Senin, 31 Agustus 2009

" Selamat Tinggal Lampu Bohlam "

Lampu pijar mulai ditanggalkan di Eropa karena sifatnya yang boros energi. Banyak orang tua memberontak.

*HAMBURG *-- Lampu listrik ciptaan Thomas Alfa Edison telah menemani peradaban manusia dan menerangi dunia selama 130 tahun. Kini, krisis energi dan laku perubahan iklim mengharuskan mereka segera pensiun.

Borosnya energi listrik yang digunakannya untuk memanaskan kawat wolfram hingga menghasilkan cahaya yang bisa kita lihat atau nikmati itu menjadi sumber kelemahan bola lampu Edison. Seperti dikatakan Dan Norris, Menteri Lingkungan Inggris, "Kita tidak bisa lebih lama lagi bergantung pada sebuah bohlam yang menyia-nyiakan 95 persen energinya terbuang
sebagai panas."

Kebijakan mengucapkan selamat tinggal kepada bola lampu dengan kawat pijar di dalamnya diinisiasi di Eropa. Mulai besok, per 1 September, bola-bola lampu pijar harus berhenti diproduksi di sana. Larangan--kalau dilanggar akan dikenai denda atau hukuman badan--dimulai dengan bohlam berdaya 100 watt yang dianggap sebagai yang paling boros.

Berturut-turut setelah itu, rak-rak toko akan disterilkan dari lampu-lampu halogen dan lampu fluoresens berefisiensi rendah. Target terakhir adalah bohlam 75 dan 60 watt yang tak boleh lagi berpijar per 2012.

Legislasi untuk mengganti bola-bola lampu pijar dengan lampu-lampu /compact fluorescent light/ (CFL) yang lebih hemat energi dan tahan lama disepakati negara-negara anggota Uni Eropa pada Desember lalu. Sponsor utamanya adalah Inggris yang sudah secara sukarela meregenerasi bola-bola lampu di negerinya sejak 2007.

Menurut Norris, penerapan legislasi itu adalah berita baik bagi setiap warga yang akan membayar hingga ratusan dollar lebih murah kebutuhan listriknya setiap tahun. "Ini bahkan berita yang lebih baik lagi bagi bumi karena akan terjadi pemangkasan emisi CO2 sampai sebesar satu ton per tahun per 2020 mendatang," katanya.

Dengan cuma 5 persen energinya yang bisa dikonversi menjadi terang--sisanya terbuang sebagai panas, kebijakan itu tentu saja didukung para pakar. Pihak industri pun bisa dibilang bereaksi positif karena lampu-lampu CFL bukanlah barang baru untuk mereka.

Seperti yang diungkap lewat hasil riset pasar yang dilakukan perusahaan Gfk, penjualan bohlam telah turun 35 persen di triwulan pertama 2009 di beberapa negara Eropa. "Tren besarnya memang efisiensi energi," begitu kata Martin Goetzeler, CEO Osram.

Resistensi justru muncul dari sebagian konsumen. Kebanyakan orang tua di Eropa ternyata masih ada yang tidak rela jika lampu pijar diganti. "Saya tidak suka dengan bola lampu yang baru (CFL) karena terangnya beda," kata Bronwen Jones, 67, dari Merthyr Tydfil, Inggris, yang memborong satu pak berisi 20 bohlam. "Ini mestinya bisa sampai beberapa tahun ke
depan," katanya.

Aksi memborong dan menimbun terutama terjadi di Jerman dan Austria yang justru menunjukkan angka penjualan bohlam yang meningkat dalam periode yang sama. Beberapa pelanggan lanjut usia di supermarket- supermarket di negeri itu seperti berlomba memenuhi kereta belanja mereka dengan bohlam 100 watt yang sudah tidak lama lagi akan "punah" itu.

"Luar biasa. Angka penjualan bohlam 100 watt di toko-toko kami di Hamburg melejit sampai 337 persen," kata Simone Naujoks, juru bicara jaringan toko Max Bahr, seperti dikutip dari harian /Die Welt/.

Di satu tokonya itu, misalnya, ada seorang pria berusia sekitar 50 tahun yang mengaku tak butuh lampu hemat energi. "Kemampuan mata saya tidak sebagus dulu. Lampu-lampu hemat energi itu sia-sia saja karena tidak bisa saya pakai membaca."

Di Jerman memang banyak konsumen mengkritik legislasi baru sebagai trik pabrikan yang ingin mengatrol keuntungan dengan cara mengganti lampu pijar yang murah dengan lampu lain yang lebih mahal. Mereka bahkan menilai CFL yang lebih hemat energi itu tidak cukup terang serta
cahayanya lebih dingin dan kurang nyaman.

Keluhan lain adalah lambat panas dan berkedip lebih sering sehingga menyebabkan sakit kepala. Belum lagi kemungkinan radiasi gas merkuri yang menjadi sumber cahaya lampu.

Khusus tentang kekhawatiran yang terakhir, Nigel Farage, politikus dari Partai Independen, Inggris, mengungkapkan bahwa perdebatannya sudah sampai pada tingkat kepala negara beberapa tahun lalu. "Lampu-lampu itu berisi penuh merkuri yang akan mendatangkan masalah ketika sudah waktunya ribuan dan jutaan dari mereka menjadi timbunan sampah," katanya.

Donnachadh McCarthy, pendiri National Carbon Footprint Day, menyangkal seluruh skenario buruk itu dengan menyatakan bahwa kualitas cahaya lampu CFL tidak berbeda dari bola lampu tradisional. Lampu-lampu baru bahkan bisa lebih hemat energi dan uang. "Hanya karena berbeda bentuk saja lampu-lampu ini tidak diterima dan dianggap sampah," katanya.

Bernward Janzing, kolumnis di Jerman, juga menuding penolakan lebih didasarkan sikap emosional. "Orang-orang yang menimbun bohlam merasa bahwa mereka sedang memberontak melawan otoritas, padahal mereka sedang menunjukkan ketidakmampuan diri menyesuaikan dengan perubahan (iklim)," demikian pernyataan dalam tulisannya. *wuragil/berbagai sumber.

Sumber http://www.korantem po.com/korantemp o/koran/2009/ 08/31/Ilmu_ dan_Teknologi/ krn.20090831. 175345.id. html


" Satu Guru Satu Laptop, Bisakah ! "

SURABAYA (SI) – Seluruh guru di Jatim diharapkan memili satu unit laptop untuk meningkatkan kualitas belajar mengajar.Asosiasi Klub Guru Indonesia bahkan telah menjalin kerjasama dengan Telkom Divre 5 Jatim dan Intel untuk program Satu Guru Satu Laptop (Sagusala) di Jatim.

”Untuk program Sagusala ini,kami juga bekerjasama dengan Telkom Divre 5 Jawa Timur dan Intel.Sampai saat ini, laptop Sagusala ini sudah terpasang konten berbagai pelajaran hingga 40 Giga Bite,” ujar Ketua Asosiasi Klub Guru Indonesia Satria Dharma kemarin. Menurut dia, program Sagusala merupakan salah satu bentuk transformasi pendidikan yang memiliki dampak positif bagi proses belajar mengajar di sekolah.

Pasalnya, tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi menjadi bagian penting bagi kehidupan sehari-hari. Program Sagusala, kata dia, sangat memungkinkan guru memiliki wawasan yang semakin luas saat melaksanakan tugasnya mengajar di sekolah. Sebab di dalam laptop tersebut sudah terpasang berbagai konten pengajaran sesuai dengan bidang pelajaran yang akan diajarkan, sekaligus sudah terkoneksi dengan internet .

Karena itu, pihaknya berharap agar pemerintah daerah dan pihak swasta turut mendukung program ini dengan memberikan berbagi kemudahan dan fasilitas agar para guru bisa mendapatkan laptop.Dia menambahkan, peningkatan kesejahteraan oleh pemerintah semestinya diiringi dengan upaya untuk meningkatkan kualitas para guru.

Salah satunya adalah dengan memanfaatkan teknologi informasi bagi pendidikan siswa. ”Para guru harus melek teknologi. Proses belajar dan mengajar di kelas juga harus didukung dengan berbagai informasi baru sehingga siswa akan semakin memiliki wawasan luas,”ujarnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim Soewanto menyatakan akan mendukung program kepemilikan laptop bagi guru untuk menyukseskan program Sagusala. ”Kami sebelumnya telah menghubungi pihak perbankan untuk memberikan kredit dengan bunga ringan bagi guru yang ingin mendapatkan laptop.

Tetapi ini murni bisnis, bukan dalam bentuk subsidi,” paparnya. Meski program ini terus dikampanyekan, lanjut Soewanto,bukan berarti Pemprov atau Dindik Jatim mewajibkan tiap guru memiliki laptop. ”Program ini bukan untuk memaksa guru memiliki laptop.

Tetapi kami hanya memberikan masukan bahwa program Sagusala merupakan upaya meningkatkan kualitas dan wawasan guru,”tambahnya. Ketua Dewan Pendidikan Jatim Zainuddin Maliki menuturkan, program Sagusala yang diajukan ke Pemprov Jatim bukan kebutuhan utama bagi guru.Melihat kondisi yang ada di tiap sekolah, tidak semua guru memiliki kemampuan untuk mengoperasionalkan laptop.

Makanya, kebutuhan laptop bagi guru bukan sesuatu yang mendesak, sebab banyak kebutuhan lain untuk segera diperbaiki termasuk menambah sarana belajar di tiap sekolah. ”Jadi usulan pengadaan laptop untuk guru tidak harus dipenuhi,”ungkapnya. Zainuddin menjelaskan, guru yang ada di daerah pinggiran malah tidak tahu sama sekali tentang laptop.

Kondisi itu berbeda dengan guru yang ada di Surabaya. ”Makanya mendingan dipakai untuk perbaikan layanan pendidikan daripada memaksakan diri memberi laptop pada guru,” imbuhnya.

Sumber http://www.seputar- indonesia. com/edisicetak/ content/view/ 266502/
Diusulkan Satu Guru Satu Laptop
Sunday, 30 August 2009

" SISFOKOL (Sistem Infomasi Sekolah ) JANISSARI v1.0 "

SISFOKOL singkatan dari Sistem Informasi Sekolah, yang dikembangkan oleh : Agus Muhajir, S.Kom . Pengembangan SISFOKOL ini sejak akhir tahun 2005. Kini pada akhir 2008 ini, versi 2.0 baru bisa dikeluarkan.SISFOKOL ini bersifat OpenSource, FreeSoftware, Freedom, dengan lisensi GNU/GPL 2.0

SISFOKOL ini terdiri dari 4 paket, yakni untuk SD, SLTP, SLTA dan SMK. Bahasa yang digunakan adalah PHP, dengan database MySQL. Ditambah lagi dengan SISFOKOL_JANISSARI, untuk keperluan e-learning sekolah. Rilis sejak Kamis, 27 Agustus 2009.

Untuk mendapatkan versi Free Download, Anda harus menjadi member dahulu pada Milist SISFOKOL (http://tech. groups.yahoo. com/group/ sisfokol/). Kemudian bisa langsung mengambil file ˜ Buku_Pedoman_ SISFOKOL_ JANISSARI, dan file SISFOKOL_JANISSARI_ v1.0_FREEDO, pada menu file .

" Undip Tolak Mahasiswa Malaysia "


Metrotvnews. com, Semarang: Universitas Diponegoro (Undip) Semarang memutuskan tidak akan menerima mahasiswa baru asal Malaysia dalam tahun ajaran baru 2009-2010. Tindakan ini sebagai wujud nyata ekspresi rasa nasionalisme. Rektor Undip Susilo Wibowo menyatakan hal tersebut di Semarang, Jawa Tengah, Selasa (25/8).

Susilo menilai Malaysia tidak menghargai harkat dan martabat bangsa Indonesia. Hal ini terlihat adanya pengakuan Negeri Jiran atas berbagai kebudayaan yang berasal dari Indonesia.



Namun demikian, kata Susilo, Undip akan tetap melakukan kerja sama dengan perguruan tinggi dari Malaysia. Kerja sama tersebut dimanfaatkan untuk menyerap ilmu dan teknologi.

Di kesempatan sama, Kepala Humas Undip Agus Naryoso mengatakan, mahasiswa asal Malaysia banyak yang belajar di Fakultas Kedokteran Undip. Mereka tetap diberi kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan. Namun, tidak ada lagi penerimaan mahasiswa baru dari Malaysia pada tahun ini.(Ant/*** /DSY)

Undip Tolak Mahasiswa Malaysia
Sosbud / Selasa, 25 Agustus 2009 21:34 WIB

" Lima Puluh Tahun Terang Bulan Terbarai "

Ha ha ha.. Semuanya sedang terbarai. Retak, pecah akhirnya terbarai. Ketika saya menulis ini muzik latar yang mengiringi ketikan jari saya di laptop ialah putaran muzik Memula Moon versi paling terbaru. Ini versi rap rock parodi counter culture yang cool lagi menggiurkan. Tiga helai bulu ari dan tiga helai janggut untuk anak muda yang merekonstruksi Memula Moon.

Memula Moon a.k.a Terang Bulan a.k.a Negaraku a.k.a Negara Kuku kini menjadi top hit yang hampir mencecah satu juta pendengar dan puluhan ribu memberi komen. Angka-angka ini kelihatan terus melonjak. Ratusan ribu Mak Cik Felda dan Pak Cik Teksi , di seluruh negara - dari Perlis hingga ke Mersing yang tidak 'connected' sedang tertanya-tanya - Negara Kuku itu
apa?



Tiga helai lagi bulu ari untuk Namewee.

Saya telah lupa entah berapa kali saya telah menulis tentang lagu Terang Bulan ini. Semenjak saya di Universiti Malaya dalam tahun 70'an lagi saya telah menulis dan menerangkan apakah dia si Terang Bulan. Saya tidak akan lupa bagaimana Concorong Republik Indonesia Bung Karno telah memainkan lagu Terang Bulan ketika Konfrontasi (1963-64).

Terang Bulan dimainkan di concorong. Concorong? Apa jadahnya concorong ini? Untuk mereka yang lahir pada zaman Firaun concorong adalah perkataan Melayu untuk radio. Perkataan ini telah saya pelajari sebelum saya belajar sains dan maths dalam Bahasa Inggeris.

Bung Karno memainkan lagu Terang Bulan di Radio Republik Indonesia untuk memperlekehkan Tengku Abdul Rahman seorang budak suruhan Inggeris yang tidak berupaya membuat lagu kebangsaan sendiri. Memang tepat anggapan Bung Karno ini. Bagaimana sebuah negara yang mengelar diri mereka - merdeka - tetapi lagu kebangsaan pun di ciplak.

Ha ha ha. Selama 50 tahun penjiplakan ini telah disorok di bawah kopek United Malay National Organisations. Betapa besar pun kopek Rafidah dan kopek Sharizat, penjiplakan ini akhirnya diketahui umum. Memula Moon akhirnya tertonjol keluar apabila kopek-kopek United Malay National Organisations yang semakin mengecut.

Pada satu ketika dahulu lagu Terang Bulan opps. Negara-ku ini dimainkan di panggung wayang. Ini pun ketika saya belum belajar sains dan maths dalam Bahasa Inggeris. Awalnya Terang Bulan dimainkan sebelum filem bermula.

Kami kanak-kanak seperti biasa dibuli agar bangun berdiri - kunoon -sebagai contoh rakyat patriotik. Kemudian, entah apa berlaku Terang Bulan dimainkan apabila filem selesai diputar. Akhirnya hingga ke hari ini satu hampeh pun tidak ada lagi. Warga telah bosan dengan Terang Bulan.

Sebenarnya pada ketika itu dalam panggung wayang tidak sesiapa yang ambil pot apabila Terang Bulan berbunyi dan bendera Star and Stripes opps salah lagi. apabila bendera Tanah Melayu berkibar. Kami anak-anak sekolah sahaja yang berdiri kerana takut (sic) kalau-kalau cik gu ada sama di dalam panggung. Pak Cik, abang dan kakak langsung tidak ambil pot apabila Terang Bulan berbunyi.

Semua ini berlaku ketika beberapa tahun sesudah British meninggalkan Tanah Melayu. Ini di era Firaun belum menjadi Firaun. Ini di zaman surat beranak Mahathir masih di tulis son of Kutty. Ini sebelum Razak Hussein dapat berkenalan dengan Sarimah. Ini pada zaman ada joget lambat selepas perkahwinan anak wakil rakyat Pas.

Zaman yang saya katakan ini ialah zaman sebelum kita semua boleh menggoogle. Zaman sebelum Mahazalim dan Mahafiraun menjadi santapan bacaan. Zaman sebelum blog wujud dan menyusahkan Utusan Malaysia dan RTM.

Kini kita telah memasuki zaman pasca moden. Semuanya boleh. Naratif induk tentang dunia ini di wujudkan oleh tuhan dalam masa tujuh hari telah dipersoalkan. Meta naratif tentang Adam dan Hawa hanya dilihat sebagai metafora.

Semua naratif boleh di persoalkan. Semua naratif telah berkecai dan terbarai. Tidak wujud lagi pemusatan hegemoni naratif yang menjadi ikutan umat manusia. Kita semua telah 'connected' - manusia pasca moden hanya perlu menggoogle untuk mengetahui apa sahaja maklumat dalam
dunia ini.

Kerana itu saya dapat mengetahui bahawa Terang Bulan, Negara-ku, Negara Kuku berasal dari lagu Memula Moon. Jika tidak percaya apa yang saya tulis sila google perkataan Memula Moon. Tidak percaya lagi? Sila google perkataan Negara-ku. Masih was was , sila lawati YouTube. Di sini dapat dilihat bukti-bukti sahih tentang asal usul Negara Kuku. Bukti ini boleh kita semua dapati tanpa perlu berhubung dengan Ghani Patail atau merasuah sesiapa untuk mendengar alunan gesekan biola Memula Moon.

Ha ha ha. Lima puluh tahun Projek Malaysia telah terbukti semakin gagal. Apa yang sedang kita semua lihat dan baca hari ini adalah manifestasi dari kegagalan Projek Malaysia. Projek Malaysia ini tidak bertiang, tidak berpaksi dengan kebenaran. Projek Malaysia tidak berdiri di atas fakta
sejarah. Projek Malaysia berdasarkan kong kali kong dan klentong demi klentong. Tutup lubang gali lubang.

BUKTI PERTAMA - Malaysia BUKAN 50 tahun. Hari Malaysia BUKAN 31 Ogos. Projek Malaysia bermula pada 16 September 1963. Sila google untuk kesahihan fakta ini. Jika TIDAK percaya sila pergi tanya Mat Sabah atau Minah Serawak. Dua wilayah ini memasuki Malaysia pada 16 September 1963 BUKAN 31 Ogos 1957.

BUKTI KEDUA - Tuntutan MERDEKA adalah projek dan tuntutan Persatuan Kebangsaan Melayu Malaya (PKMM). Merdeka BUKAN projek United Malay National Organisations. Projek United Malay Organisations ialah – HIDUP Melayu. (macamlah Tanah Melayu tak ada oksigen)

BUKTI KE TIGA - Kemerdekaan di capai tanpa tumpah darah. BOHONG. Penyokong dan anggota Parti Komunis Malaya, PKMM, Angakatan Pemuda Insaf (API), Angkatan Wanita Sedar ( AWAS), Hisbul Muslimin, Malayan Democratic Union adalah di antara ribuan anak bangsa yang telah mengangkat senjata melawan penjajah British.

BUKTI KE EMPAT - Lagu Negara-ku bukan lagu hasil ciptaan warga Tanah Melayu. Lagu ini adalah ciptaan penyair dan komposer Perancis yang bernama Pierre Jean Berager yang lahir pada kurun ke 19. Beliau yang menulis muzik lagu Memula Moon a.k.a Negara-ku.

BUKTI KE LIMA - Warna bendera Malaysia yang wujud hari ini tidak ada sangkut paut dengan budaya dan asas bumi ini. Bendera yang ada pada hari ini adalah ciplakkan dari bendera Amerika Syarikat. Bendera Langkasuka tamadun Melayu di Lembah Bujang ialah Merah Putih. Warna merah putih ini berkibar sebagai bendera negara Indonesia, Singapura dan di pakai oleh
United Malay National Organisations sendiri.

Ha ha ha. Semuanya terbarai kerana kita semua boleh menggoogle, membaca, menulis dan menonton laman-laman web tanpa disaring oleh hegemoni daulah. Terima kasih Ronald Reagan yang telah menghadiahkan internet kepada dunia. Tiga helai bulu ari untuk arwah Ronald Reagan.

Justeru jangan hairan kenapa bendera Malaysia hari ini tidak berkibar. Dirotan, dipaksa dan disaman pun orang ramai TIDAK ambil pot. Rakyat telah muak dengan pembohongan demi pembohongan. Projek Malaysia yang penuh dengan klentong telah kelihatan gagal. Naratif Malaysia kini sedang di cabar oleh maklumat- maklumat yang bergantang-gantang keluar dari
internet.

United Malay National Organisations yang terus bersikap esklusif dan possesive tentang Merdeka kelihatan terpencil bersendirian. Mereka memukul gendang maka mereka sahajalah yang berjongeng. Sikap dan perangai United Malay National Organisations yang eksklusif dan tidak demokratik ini pasti akhirnya akan membosankan rakyat Sabah dan Serawak.

Tidak menghairankan satu ketika nanti rakyat Sabah dan Serawak akan menghidupkan kembali cita-cita asal perjuangan mereka untuk menubuhkan negara merdeka Kalimantan Utara - penyatuan Sabah Serawak dan Brunai. Fakta Kalimantan Utara ini juga telah cuba disurukkan di bawah kopek. Tetapi dengan wujudnya internet semua fakta akan muncul dengan bantuan Pak
Cik saya yang bernama Lebai Google bin Mat Yahoo.

Bila rap Terang Bulan terus berputar di lap top saya tersenyum puas. Saman? Tangkap anak muda yang mengkonstruk Memula Moon? Rotan dia? Masukkan dalam penjara? Poorah. Hanya seorang sahaja yang berhak menyaman iaitu manusia yang bernama Pierre Jean Berager. aman dari kaum keluarga Jean Beranger wajib disampaikan kepada sesiapa sahaja rakyat Malaysia yang masih menganggap lagu Memula Moon ini sebagai lagu Negara-ku.

Apakah saya seorang pengkhianat bangsa kerana menulis perkara-perkara ini ? Apakah saya tidak patriotik? Sila google dan baca apa kata Mark Twain tentang patriotik. Pengkhianat bangsa? Dalam negara yang penuh dengan klentong, penipuan dan pembohongan bercakap benar adalah tindakan yang revolusioner.

Hisham Rais

" Ramos Horta Tolak Pembentukan Pengadilan HAM "

DILI - Rangkaian peringatan 10 tahun referendum Timor Leste, yang mengantarkan bekas provinsi ke-27 Indonesia tersebut menjadi negara merdeka, dimulai kemarin (29/8). Tapi, puncak peringatan dijadwalkan berlangsung hari ini (30/8).

Pemerintah Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) menggelar upacara penghormatan terhadap gerilyawan Falintil atau Forcas Armadas Libertacao Independente Timor Leste (Tentara Kemerdekaan Timor Leste) yang tewas saat melakukan perlawanan terhadap TNI pada 1975 sampai 1999.

Upacara penguburan kembali kerangka gerilyawan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Metinaro, 15 km timur pusat Kota Dili, berlangsung secara militer. Seluruh pejabat tinggi hadir,
seperti Presiden Ramos Horta, Perdana Menteri (PM) Xanana Gusmao, Ketua Parlemen Fernando Lasama, dan seluruh menteri kabinet. Uskup Dili Alberto Ricardo da Silva Pr memimpin misa requiem (misa arwah) bagi pejuang.

Suasanaharu terlihat begitu peti yang dibungkus bendera Timor Leste dipanggul tentara. Wanita dan anak-anak sesenggukan saat peti mulai dimasukkan ke liang lahat. Mereka menangis sambil memeluk pusara keluarga mereka yang tinggal kerangka.

Dalam khotbah misa, Uskup Ricardo mengajak semua rakyat Timor Leste senantiasa berpegang pada semangat pejuang Falintil. Dia mengajak rakyat memegang teguh semangat persatuan, perdamaian, dan saling mengasihi dalam membangun masa depan Timor Leste.

Presiden Ramos Horta mengatakan, pemerintah sejak 2002 sudah memberikan santunan kepada para pejuang dan keluarganya yang tewas di pertempuran. Tapi, pemerintah kesulitan mengidentifikasi jenazah, baik soal waktu dan bagaimana mereka tewas. Baik yang tewas tertembak maupun tewas dalam penjara. ''Belum semua dikuburkan di Taman Makam Pahlawan. Tapi, inilah penghormatan pemerintah kepada pejuang Timor Leste,'' kata Horta.

Dalam kesempatan itu, Horta menolak seruan Amnesty International (AI) untuk membentuk dan mendirikan pengadilan (tribunal) bagi para pelanggar HAM di negerinya.

Sebuah laporan AI yang dirilis Kamis lalu (27/8) menuding bahwa Timor Leste dan Indonesia sengaja mempromosikan impunitas dengan menolak mendakwa mereka yang berada di balik pelanggaran HAM. Pelanggaran ini, klaim AI, terjadi dalam 24 tahun pendudukan Indonesia atas negeri bekas koloni Portugal tersebut.

Kekerasan dan kerusuhan selama referendum di Timor Leste diperkirakan menewaskan 1.400 warga. Ratusan ribu yang lain kehilangan tempat tinggal. Sejak pendudukan Indonesia pada 1975 hingga 1999 (referendum), sekitar 100 ribu orang diperkirakan tewas di Timor Leste akibat perang, penyakit, dan kelaparan.


''Mengapa Timor Leste harus selalu dijadikan eksperimen untuk keadilan internasional? Saya terus menentang dan selamanya menolak pengadilan internasional bagi Timor Leste,'' kata Horta, seperti dikutip kantor berita AFP. ''Saya dipilih (pada 2007) oleh 70 persen suara rakyat. Jadi, rakyat negeri ini telah mengetahui sikap saya terkait isu tersebut sejak 1999,'' lanjutnya.

Horta mengaku telah mendengar laporan AI dari London yang mempersoalkan impunitas (pemberian pengampunan) di Timor Leste. ''Kalau setiap negara di dunia mengalami yang kami rasakan hendak mendirikan pengadilan internasional guna mendakwa kejahatan perang yang terjadi, mungkin kita mulai dengan AS dulu atas Vietnam,'' papar Horta.

Juru Bicara Deplu Indonesia Teuku Faizasyah juga mengkritik laporan AI yang mendesak pembentukan pengadilan HAM di Timor Leste. ''Memangnya Amnesty mewakili siapa? Kami mempertanyakan aspirasi yang disuarakan Amnesty. Sebab, aspirasi rakyat Timor Leste telah disalurkan lewat pemerintah dan parlemen,'' katanya.

Kemarin 12 kerangka dalam peti secara simbolis dikubur ulang. Sekitar 700 kerangka dikumpulkan pemerintah dari hutan untuk dikubur ulang. Soal jumlah kerangka ini masih simpang siur karena ada pihak keluarga yang tidak mau menyerahkan kepada pemerintah. Mereka melakukan prosesi penguburan ulang sendiri.

Puncak acara peringatan 10 tahun referendum itu dijadwalkan hari ini. Pemerintah Indonesia mengirimkan Menlu Nur Hassan Wirajuda untuk menghadiri acara tersebut atas undangan
pemimpin Timor Leste.

Selain upacara di Istana Kepresidenan pagi ini, nanti malam warga Dili dihibur diva pop Indonesia, Krisdayanti, yang berkolaborasi dengan Dian H.P. Dia diundang khusus untuk perayaan 10 tahun referendum. KD -panggilan Krisdayanti- kemarin terlihat semringah di tempatnya menginap. Beberapa kali dia berlatih vokal untuk menyanyikan lagu dalam bahasa Tetun (bahasa lokal) saat konser nanti.

" Sindroma Negara Pasca Kolonial "

Persengketaan masalah kebudayaan antara Malaysia dan Indonesia yang tengah berlangsung akhir akhir ini sesungguhnya dapat kita pahami sebagai fenomena “satu bangsa yang terbelah”. Hal ini perlu kita pahami dalam konteks Indonesia dan Malaysia adalah negara bangsa pascakolonial. Kolonialisme Belanda di Indonesia dan kolonialisme Inggris di Malaysia telah membelah imajinasi rumpun Melayu di kedua negara tersebut. Jika kita telusuri sejarah menuju kemerdekaan Indonesia, kita akan menemukan catatan sejarah bahwa ada utusan Malaya dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang menyepakati terbentuknya "Indonesia Raya" termasuk di dalamnya wilayah Malaysia sekarang. Namun, dalam perkembangannya kemudian imaji kebangsaan mengalami perubahan sehingga Malaya menjadi bagian dari negara Malaysia, bukan termasuk dari Indonesia Raya seperti yang dibayangkan dalam sidang BPUPKI sebelumnya. Kenyataan sejarah itu harus kita hargai, meskipun di zaman itu kemudian menghasilkan konfrontasi dengan Malaysia karena Indonesia merasa dikhianati oleh kesepakatan utusan Malaya.



Gagalnya “Indonesia Raya”

Tampaknya, efek konfrontasi itu tidaklah berhenti begitu saja dan masih menyisakan sejumlah ketegangan hingga masa sekarang, baik politik, budaya, dan masalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Pengiriman tenaga kerja berpendidikan rendah ke Malaysia memang telah menyebabkan stereotype bahwa Indonesia adalah bangsa yang rendah di mata orang Malaysia yang memiliki jiwa feodal. Namun, tentu tidak semua orang Malaysia berkarakter demikian. Jauh lebih banyak lagi orang Malaysia yang tidak feodalis. Di era 1960—1970an, orang Malaysia melihat Indonesia sebagai bangsa yang terdidik karena mengirim guru untuk mengajar di Malaysia dan Malaysia mengirim pelajarnya ke sejumlah universitas di Indonesia, antara lain di Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (ITB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Alumni dari universitas-universitas tersebut sebagian menjadi tokoh dan negarawan maupun cikal-bakal dunia pendidikan di Malaysia. Dalam konteks sekarang, ini artinya bangsa Indonesia mengalami kemerosotan intelektual dan ekonomi, jika dibanding dengan Malaysia yang lebih berhasil secara ekonomi sehingga warganya lebih mampu menjangkau pendidikan yang lebih tinggi daripada warga Indonesia. Ini adalah kerugian simbolik dari pengiriman tenaga kerja berpendidikan rendah yang membangun citra negatif meskipun hal itu menghasilkan devisa yang menguntungkan.

Tenaga kerja Indonesia (TKI) yang pada umumnya menjadi pekerja rendahan di Malaysia menyebut diri mereka sebagai “orang Indon” yang kemudian dipakai oleh orang Malaysia untuk menyebut semua orang Indonesia sebagai “Indon”. Kata ini di Malaysia sesungguhnya tidak berkonotasi negatif, namun bagi orang Indonesia penyebutan itu bermakna negatif. Bahkan, orang Indonesia yang tidak paham akan menyangka bahwa istilah tersebut dipakai oleh orang Malaysia untuk merendahkan bangsa Indonesia, padahal sama sekali tidak karena mereka hanya mereproduksi istilah ‘Indon‘ yang digunakan oleh TKI di negeri jiran tersebut.

Situasi ini tampak seperti memperburuk relasi, namun pada dasarnya hal itu hanya ada di media massa. Dalam kehidupan sehari-hari, bagi orang Malaysia masalah itu adalah masalah kecil yang tidak menjadi berita besar. Dan mungkin karena itulah orang Indonesia melihat bahwa orang Malaysia “telinganya tebal”. Fenomena stereotype tersebut kemudian semakin parah ketika peristiwa Sipadan Ligitan yang oleh Mahkamah Internasional ditetapkan sebagai milik Malaysia, juga masalah Blok Ambalat. Ini adalah ekspresi kegagalan “Indonesia Raya” yang pernah dibicarakan dalam sidang BPUPKI.

Sindroma Negara Pascakolonial

Terbentuknya Indonesia dan Malaysia dalam perjalanan pascakemerdekaan ternyata tidak pernah menjadikan masing-masing negara itu menjadi “negara yang selesai”. Kedua negara tersebut masih mengalami “sindroma negara pascakolonial”, yaitu rapuhnya identitas masing-masing sebagai akibat dari satu suku bangsa yang kemudian terbelah karena kemerdekaan masing-masing. Indonesia yang merdeka melalui revolusi sosial yang berdarah-darah menjadikannya sangat heroik dengan perjuangan mencapai kemerdekaan sehingga kesadaran akan teritorial menjadi sangat kuat. Sementara itu, Malaysia yang merdeka "hanya" melalui penyerahan kedaulatan secara damai masih memiliki warisan kerajaan yang utuh sehingga dengan mudah meletakkan jati diri bangsa pada basis kerajaan karena warisan budaya yang masih utuh tersebut. Benar bahwa ada perlawanan anti kolonial di Malaysia, namun kekuatan tersebut dapat diredam dan ditransformasikan menjadi lebih politis yaitu negosiasi untuk merdeka. Sebaliknya di Indonesia, gerakan anti kolonial mampu memperoleh kemerdekaan melalui konflik dengan pemerintah kolonial dan juga dengan berbagai institusi kerajaan yang berkolaborasi dengan kekuatan kolonial. Hasilnya adalah runtuhnya kerajaan di masing-masing wilayah swapraja.

Meskipun ada perbedaan dalam perjuangan menuju merdeka, terdapat persamaan penting yang perlu kita kaji lebih lanjut, yaitu faktor Islam dalam proses kemerdekaan. Islam, baik di Malaysia maupun di Indonesia, sama-sama menjadi faktor perekat sosial. Faktor itu kemudian semakin diperkuat oleh lingua franca bahasa Melayu yang dipakai di Indonesia maupun di Malaysia. Islam dan bahasa Melayu di Malaysia mengalami penguatan yang signifikan dan bahkan menghomogenkan Malaysia menjadi negara Islam meskipun di dalamnya terdapat masyarakat yang beragama Hindu, Budha, Konfusianisme, Protestan, dan Katolik. Sedangkan di Indonesia, kemajemukan budaya dan agama masih bertahan hingga kini. Efek dari homogenisasi Islam di Malaysia, semua bentuk kebudayaan yang ada mengalami Islamisasi, praktek-praktek budaya yang bertentangan dengan Islam tidak akan memperoleh ruang untuk berkembang. Hanya yang bercorak Islam yang mendapatkan ruang untuk hidup. Akibatnya, masyarakat Malaysia yang pada dasarnya majemuk (ada yang berasal dari berbagai pulau di wilayah Indonesia), tidak lagi mengembangkan budaya asal mereka karena homogenisasi budaya menjadi Islam.

Banyak warga Malaysia yang berasal dari Ponorogo tidak lagi mengembangkan reog yang dianggap bertentangan dengan Islam, karena warok merupakan praktek homoseksual yang masih tersisa dari tradisi Tantrayana. Banyak pula orang-orang dari daerah yang memiliki tradisi membatik atau membuat wayang, seperti Pekalongan, Lasem, Rembang, dan Surakarta atau Yogyakarta, namun karena kemajuan ekonomi dan meningkatnya pendidikan, tradisi tersebut tidak terjaga lagi. Ini adalah akibat dari tenaga kerja telah terdidik tidak mau lagi bekerja untuk membatik yang dianggap pekerjaan dengan upah kecil. Akibatnya, banyak warga Malaysia yang mengimpor batik dari daerah Pantai Utara Jawa dan Surakarta. Kalau pun ada yang membatik, bisa dipastikan mereka adalah keturunan dari orang-orang Indonesia yang telah menjadi warga Malaysia. Sebaliknya, semua itu masih terjaga di Indonesia, bukan hanya karena bermaksud untuk menjaga tradisi, namun karena masih ada orang yang tidak mampu menjangkau pendidikan tinggi sehingga masih mau berkutat pada usaha batik yang upahnya rendah. Ketika produk budaya seperti reog, batik, dan Tari Pendet dari Bali, serta berbagai produk budaya Indonesia lainnya diakui sebagai milik Malaysia, orang Indonesia secara responsif mengkonfrontasi hal tersebut. Orang Indonesia hanya peduli pada produk budaya saja tetapi tidak peduli pada penghasilan dari produsen budaya yang tidak cukup untuk memperbaiki tingkat pendidikan mereka.

Kenyataan sejarah diaspora menunjukkan bahwa warga Malaysia pernah memiliki berbagai produk kebudayaan tersebut karena apa yang disebut dengan Malaysia dan Indonesia pada dasarnya adalah serumpun bangsa Melayu yang berbagi kebudayaan yang sama. Pada dasarnya mereka keturunan jawa, Sumatra, Banjar, Bugis, dan lain sebagainya yang secara administratif menjadi warga negara Malaysia. Padahal, secara budaya mereka adalah serumpun Melayu. Budaya asli mereka mengalami Islamisasi dan artinya terhomogenisasi. Praktik budaya Melayu yang masih mengamalkan tradisi asli dan berseberangan dengan ajaran Islam semakin lama semakin lenyap. Hal demikian tidak terjadi di Indonesia, semua bentuk budaya tersebut masih dipraktikkan.

Dalam konteks negara pascakolonial, baik Indonesia maupun Malaysia sama-sama mengalami sindroma, namun menghasilkan ekspresi yang berbeda. Indonesia dengan semangat heroiknya yang dilandasi gagasan nasionalistik negara pascakolonial merespon masalah konflik produk budaya secara konfrontatif, karena secara sadar mereka membangun batas teritori imajinatif yang tegas, yaitu Indonesia dan Malaysia berbeda. Sebaliknya, Malaysia yang telah terhomogonesisasi oleh Islam mengalami krisis kebudayaan ketika harus berhadapan dengan keharusan mengembangkan pariwisata. Budaya yang berakar pada masyarakat tradisional tidak lagi mereka temukan. Akibatnya, budaya yang dapat dijadikan komoditas untuk menarik wisatawan ke Malaysia di dalam bingkai "Malaysia Truly Asia" menjadi sangat minim. Oleh karena apa yang disebut sebagai "Truly Asia" itu telah hilang karena Islamisasi, maka Malaysia berupaya menggali akar budaya lama yang hilang tersebut untuk menjadi komoditi wisata. Misalnya, reog yang pernah berkembang pada komunitas Ponorogo di Malaysia dihidupkan kembali. Caranya adalah dengan mengimpor reog dari Ponorogo dan kemudian menghidupkan kembali komunitas Ponorogo yang ada di Malaysia. Tari Pendet juga dicoba dihidupkan kembali meskipun komunitas orang Bali di Malaysia telah terislamkan. Fenomena seperti inilah yang terjadi pula dengan angklung, wayang, dan batik. Kesadaran akan teritori negara pascakolonial hal itu telah menyinggung perasaan rakyat Indonesia.

Dari penjelasan di atas tampak bahwa Indonesia maupun Malaysia sama-sama mengalami sindroma negara pascakolonial. Indonesia memunculkan heroism syndrome sebagai negara pascakolonial yang membangun identitas bangsa dengan konfrontasi, sementara Malaysia juga mengalami sindroma negara pascakolonial dalam bentuk krisis kebudayaan karena Islamisasi yang pernah menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme ternyata menghabisi kebudayaan lokal. Ini adalah wajah masyarakat rumpun Melayu yang terbelah oleh negara pascakolonial. Masing-masing mengembangkan gagasan yang pada dasarnya keluar dari bingkai kemelayuan dan justru masuk ke dalam konflik yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

Melayu Online.com, Solusi Menyatukan Budaya Melayu

Fenomena berebut kebudayaan, dari batik hingga Tari Pendet, pada dasarnya merupakan efek dari cara berfikir negara pasca kolonial. Artinya, meskipun perjuangan menuju merdeka merupakan upaya untuk lepas dari kolonialisme, bukan berarti kerangka berpikir bangsa Indonesia dan Malaysia berhasil keluar dari bingkai bangsa yang terbelah karena kolonial itu sendiri. Untuk mengatasi sindroma negara pascakolonial, www.MelayuOnline.com yang dikelola oleh warga Indonesia telah menyediakan wadah untuk menuju kebersamaan sebagai rumpun Melayu. Hal ni penting, karena pada dasarnya Indonesia dan Malaysia adalah sama-sama bangsa Melayu yang berbagi kebudayaan yang sama.

Kehadiran negara pascakolonial telah membelah bangsa Melayu untuk membangun stereotype yang tidak kunjung menemui ujung pangkal. Oleh karena itu, kehadiran www.MelayuOnline.com yang bernaung di bawah Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) dengan pusatnya di Yogyakarta, merupakan instrumen komunikasi modern yang mampu menjadi jaringan untuk menghimpun kembali puak-puak Melayu di seluruh dunia demi menggalang solidaritas bersama dan hidup berdampingan dengan berbagai macam bentuk kebudayaan di dunia yang juga harus kita hargai sebagai milik bersama.

Sabtu, 29 Agustus 2009

" Belajar dari Janda Penjual Penjual Susu "

Suatu malam, Aslam bersama Khalifah Umar bin al Khaththab bersandar di sebuah dinding bilik. Sayup-sayup didengarnya dialog antara seorang ibu penjual susu dan anak gadisnya.

"Anakku, campurlah air itu ke dalam susu!", perintah sang ibu, "Maaf bu, bukankah Khalifah melarangnya? ", jawab si gadis, anaknya. "Saat ini Khalifah tidak mungkin tahu", sahud sang ibu lagi."

"Ibu bukankan kita berkewajiban menaati khalifah disaat ramai dan di saat sepi?" Jawab sang anak.

Penggalan dialog ini di rekam oleh Sang Khalifah, Umar radliallahu anhu. Wahai Aslam tandailah rumah ini, dan besok engkau cari tahu siapa mereka!"

Pagi menjelah, tahulah Sang Khalifah, ternyata meraka adalah seorang janda dan anak gadisnya semata wayang.

Umar radliallahu anhu, mendatangi ketiga anaknya, Abdullah, Abdurrahman dan 'Ashim radliallahu anhum ajma'in.

"Wahai anakku, maukah engkau menikahi seorang gadis mulia, jika seandainya bapakmu ini masih ingin menikah lagi, niscaya aku akan mendahului kalian.

"Aku sudah menikah ayahanda", seru Abdullah.

"Akupun sudah menikah ayahanda", seru Abdurahman

"Nikahkanlah aku dengannya wahai ayahku!" pinta Ashim..

Mereka pun menikah, dari pernikahannya lahirlah seorang wanita, dan dari rahimnya kemudian lahir seorang khalifah yang terkenal keadilan, ketaqwaan dan kebijaksanaannya, Umar bin Abdul Aziz.

Sepenggal fragmen kehidupan Khalifah Umar bin Al Khaththab ini dinukil bahkan oleh Ibnu Qayyim Al Jauzi, juga di kitab Al Hilyah.

Sebuah kisah yang dapat kita ambil hikmahnya.

Pertama, Kebiksanaan Pemimpin

Betapa sehebat apapun pangkatnya, sebesar apapun kedudukannya, seorang pemimpin jika sudah menduduki tampuk kursinya, saat itu pula ia adalah pelayan rakyatnya. Dan itulah sesungguhnya tugas terbesar bagi seorang pemimpin, selain tugas utamanya kepada Rabbnya. Umar bin Khathathab adalah teladan terbaik setelah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Abu Bakr Ash Shiddiq radliallahu anhu.

Khalifah Umar selalu gelisah hatinya manakala melihat rakyatnya sengsara. Beliau seperti bapak ditengah keluarganya, ketika hak-hak rakyatnya terampas dialah yang memberikannya. Ketika rakyatnya ketakutan dirinyalah yang memberikan rasa keberanian dengan menyingkirkan kedhaliman yang melingkupinya. Beliau merasakan kehidupan yang dijalani rakyatnya. Maka tak ayal bersandar di sebuah dinding bilik ia lakoni karena istananya bukanlah gedung menjulang berhias emas.

Kedua, Kejujuran adalah permata

Kejujuran seorang gadis miskin, anak seorang janda tua penjual susu, bukanlan calon istri ideal bagi pria manapun. Karena ia sangat jauh dari type ideal, kaya, cantik, keturunan berada dan terhormat.

Tapi bagi Sang Khalifah kejujurannya mengalahkan atribut duniawi itu, ia tawarkan kepada anak-anaknya setelah ia sendiri mengakui bahwa seandainya ia masih ingin menikah lagi niscaya ia akan menikahi sebelum anak-anaknya. Dan benarlah ternyata kejururan itu berbuah ranum. Dari rahimnya, lahir seorang wanita shalihah yang melahirkan Khalifah besar setelahnya, Umar bin Abdul Aziz.

Ketiga, Ketaatan kepada pemimpin

Pemimpin dipilih atau diangkat untuk ditaati. Sebagai seorang muslim kita harus mentaati perintah pemimpin kita. Walau pimpinan itu seorang yang hitam legam, keriting sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Nabi Shallahu alaihi wa sallam.

Namun sebagaimana yang dijelaskan buku-buku fikih para ulama terdahulu, ketika perintahnya melanggar perintah Allah subhanahu wata'ala maka kita hanyalah menaati yang bersesuaian dengan aturan Allah saja. Karena tidak ada ketaatan kepada Makhluq dalam kemaksiatan Al Khaliq.

Menaati pemimpin dalam kebaikan dan taqwa adalah manifestasi dari ibadah kepada Allah subhanahu wata'ala.. Athiullaha waathiur rasuul, waulul amri minkum. "Taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul, serta kepada pemimpin-pemimpin dari kalian". Kata Taatlah diulang dua kali, kemudian dilanjutkan kepada pemimpin…

Keempat, Muraqabatullah

Manusia harus selalu sadar bahwa ia selalu diawasi dari detik-ke detik selama 24 jam sehari selama ia hidup didunia. Setiap hal yang ia lakoni walaupun sebesar atom, kelak ia akan menerima pahala atau dosa. Maka sungguh seorang yang bijaksana adalah orang yang selalu menghitung timbangan kebaikan dan keburukannya.

Semoga timbangan kebaikan kita lebih berat daripada timbangan kejelekan kita. Wallahu a'lam bishwab. Aminuddin, 7 Ramadlan 1430 H. Disampaikan di Masjid AtTauhid ARH, UI, Jakarta kamis,28-08- 2009

Sponsored by. www.madinastore. com


" Meski dicurangi, Kostrad Kalahkan Ranger Malaysia ! "

Malaysia adalah contoh kasus ringan. Jiran itu memang agak menyepelekan kita karena kenyataannya rakyat kita menjadi budak mereka (TKI/TKW). Ditambah kenyataan bahwa di jaman "Ganyang Malaysia" doeloe, kita yang banyak berkoar-koar, tetapi kita pula yg kalah. Dua personil KKO (kini Marinir) kita, Oesman dan Haroen tertangkap dan digantung. Saya dapat cerita langsung dari paman saya yg pada saat itu dalam kompi yg sama. Bang Ali Sadikin, bosnya KKO mengultimatum akan menenggelamkan pulau Singapura. Sayangnya belum sempat terwujud, keburu Orde Lama tumbang oleh Soeharto yg kemudian bersahabat dengan Malaysia. Semasa Orba, KKO, pasukan super elite didikan UniSovyet yg sebenarnya paling disegani oleh jiran-jiran seputar kita, kekuatannya terkesan makin surut seirama dengan semakin mencuatnya RPKAD yang akhirnya menjadi Kopassus menggantikan posisi super elite, setidaknya membuat jiran-jiran kita, terutama Malaysia, semakin merasa aman. Lagipula, Malaysia, sebagai negara sekemakmuran Inggeris, tentu yakin akan mendapat "backup" bila terancam.

Selain itu, kian hari Malaysia kian mengerti bahwa ternyata Orba adalah pemerintah kotor yg penuh KKN. Jika seorang petinggi militer bisa memiliki harta puluhan bahkan raturan milyar, apakah dia masih sanggup mengangkat senjata di medan perang? Nah yg gini ini mereka tahu. Sori ini bukan khayalan. Saya sering di Malaysia, dan kalimat-kalimat seperti itu sering terlontar oleh mulut mereka saat berkelakar. Ditambah lagi modernisasi persenjataan yg bukan rahasia umum lagi, kita ketinggalan. Situasi semacam ini semakin membuat mereka tidak hanya tidak takut, tapi juga gatel ingin menjajal.




Tetapi saya yakin, selama kita masih memiliki orang2 idealis radikal seperti Pak Arman dkk, negeri ini pasti bangkit. Kita memiliki sejumlah bukti empiris. Kekalahan Saylendera yg ludes dibabat Sanjaya ternyata memicu Balaputera Dewa turun tangan yg akhirnya malah bangkit menjadi Sriwijaya yang mampu menguasai hampir separo Nusantara. Kehancuran Tumapel oleh keculasan dan ketidakbecusan Tunggul Ametung ternyata memicu Ken Arok turun tangan yg malah akhirnya menjadi negara besar Singasari. Kekacauan dan kebobrokan Singasari setelah Kertanegara dikudeta oleh Jayakatong malah memicu Raden Wijaya turun tangan yg akhirnya malah menjadi Majapahit yg membentang melebihi Nusantara, dari Madagaskar sampai Papua Nugini. Demikian pula dengan Panembahan Senopati yg dipicu oleh kekacauan pemerintah Pajang.

Bukti lain yg kontradiktif adalah kerajaan Mataram di era akhir abad 19. Kala itu kekacauan Mataram makin hari makin parah karena gerilya "devide et impera" Belanda yg ingin menguasai Nusantara. Belanda memang sudah menguasai beberapa daerah di luar Jawa. Tetapi di Jawa mereka tidak berani duel fisik lawan tentara Mataram. Yg mereka lakukan hanya adudomba dan pembobrokan moral, hingga pada saatnya, yaitu pada tahun 1870, Belanda berhasil mengkondisikan Sunan Amangkurat I untuk menandatangani pernyataan "dijajah" oleh Pemerintah Nederland, dan sejak itu Mataram resmi menjadi jajahan Belanda. Kenapa hal ini bisa terjadi? Karena saat itu tidak muncul orang-orang idealis radikal seperti Balaputera, Ken Arok, R Wijaya dan Panembahan Senopati. Memang sempat ada, yaitu Pangeran Diponegoro pada tahun 1825. Tetapi karena kelihaian Belanda, akhirnya Diponegoro dianggap pembrontak melawan kerajaan dan diburu oleh Belanda atas perintah kerajaan. Itulah rahasia kemenangan Belanda yg murni karena kelicikannya, termasuk memalsukan sejarah. Menjajah 70 tahun (1870-1940) ditulis 350 tahun. Di awal kehadirannya yg hanya puluhan pedagang gembel culas yg dinahkodai Jan Peter Soen Koon dikisahkan mampu mengalahkan tentara Mataram semasa Sultan Agung Hanyokrokusumo yg lagi kuat-kuatnya. Ya nggak mungkin lah... karena mereka kan mangkal di Jakarta yg pada saat itu termasuk wilayah kerajaan Banten. Apa perlunya Sultan Agung menyerang? Lagipula kan harus melalui kerajaan Cirebon yg juga perlu passport dan visa. Semua itu adalah kebohongan demi untuk menjatuhkan moral/mental kita sebagai bangsa yg "keokan". Maaf kalo saya salah, karena saya bukan guru/ahli sejarah. Untunglah memasuki abad 20 Allah berkenan menghadirkan kembali orang-orang idealis radikal seperti Soekarno, Hatta dkk

Dari bukti-bukti empiris di atas, saya menyimpulkan (sementara), bahwa kita pasti bangkit, karena kita punya orang-orang idealis radikal. Anggap saja kasus Malaysia dan terorisme sebagai trigger. Selama orang-orang idealis radikal ini tidak mengenal lelah dan putus asa dalam menyerukan idealismenya, suatu hari kelak akan membentuk suatu kekuatan yg solid. Orang-orang inilah yg diharapkan terus-menerus menyerukan agar kita tidak kehilangan jatidiri, agar karya kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri, agar budaya dan tradisi kita menjadi maskot di negeri sendiri. Agar kita yg memiliki bakat dan kemampuan mendapat tempat di negeri sendiri. Agar para pengajar dan pendidik memberi keteladanan yg semestinya, dll, dst. Jika sudah demikian, tidak ada lagi tempat buat teroris bersembunyi, karena tidak ada lagi makluk tak bermoral yg sanggup menjadi mertua, teman, murid apalagi pengikut teroris.

Masalah dg Malaysia juga sederhana. Bagaimana caranya bangsa kita tidak mengemis kerjaan disana? Kita memiliki puluhan bahkan mungkin ratusan insinyur kreatif yg karyanya terbukti mampu menyaingi produk dari korporasi di negara maju. Namun saat ini mereka terlunta-lunta. Sebagian menjadi kuli di luar negeri. Sebagian lagi masih ngotot berkutet berkarya di dalam negeri meskipun harus hidup jauh di bawah garis kelayakan jika diukur dari tingkat keahliannya. Mereka ini adalah senjata yang diabaikan. Memang sulit mengharap dukungan pemerintah untuk menghimpun dan memberdayakan mereka. Karena pemerintah dari jaman sepur lempung hingga hari ini senengnya formalitas. Kemampuan seseorang diukur dari titel formalnya. Meskipun hanya mampu menghembuskan "abab busuk" kalo bertitel DR atau PhD akan diakui sebagai ahli. Tetapi "insinyur sejati" yg benar-benar terbukti kemampuannya di lapangan, nggak akan dilihat sebelah mata karena hanya S1 atau D3.

Publik pun tidak bisa diharapkan dukungannya dg mudah. Karena publik mayoritas memiliki paradigma berpikir yg sama dg para pejabat pemerintah. Publik hanya melihat S3 dan S2-nya saja tanpa tahu apa saja yg bisa dia lakukan dan tangisan seperti apa yg dia lakukan dulu saat berharap kelulusan. Yg kita harapkan adalah antar sesama mereka sendiri bertemu atau dipertemukan sehingga menjadi kekuatan sederap bagaikan sinar X untuk melibas keadaan dengan berbagai demonstrasi yg menakjubkan` di bidangnya masing-masing. Dengan demikian diharapkan publik bisa terpengaruh sehingga sentimen pasar lokal bisa memihak. Kalo sudah begini, dengan atau tanpa dukungan pemerintah, aktivitas ekonomi pasti meningkat. Semua ini akan menjadi semacam rekomendasi bagi pasar luar untuk menerimanya dan akan semakin baik pengaruhnya bagi perekonomian kita... hingga diujungnya adalah terwujudnya kemakmuran seperti yang dicita-citakan oleh para pahlawan kita. Jika kita sudah makmur, maka tidak ada lagi yg datang ke Malaysia untuk menjadi "bedinde" atau "kacung". Minimal seperti saya, datang kesana untuk menyelesaikan masalah teknologi yg tidak bisa mereka tangani atau mengajar mereka. Tentu Malaysia tidak akan berani menyepelekan kita lagi.


Kamis, 27 Agustus 2009

" Machel Jhackson islam?, Benar kah "

Mungkin dah basi ya, tapi kita harus membacanya lagi, kalau perlu minta tanggapan bener apa salah tantang cerita ini.

Meninggalnya Michael Jackson meninggalkan begitu banyak hal. Entah dengan maksud dan tujuan apa atau sekadar merasa harus berbela sungkawa, banyak orang yang selalu mengait-ngaitkan Jackson dengan Islam, bahwa Jackson sudah menjadi seorang Muslim.

Tak diragukan lagi kalau Jacko—begitu panggilan akrab Michael Jackson—adalah seorang musisi yang mempunyai talenta. Ia menciptakan musik yang digemari banyak orang di seluruh dunia dan menghasilkan uang sedemikian banyak. Jacko menciptakan sebuah tarian yang sangat terkenal, yaitu moonwalk, dan berdiri miring seperti hendak jatuh, dan sulit ditiru oleh penari-penari lainnya. Popularitasnya membuat jutaan orang tergila-gila kepadanya, bahkan Jacko—seperti David Beckham di dunia sepak bola—tak ubahnya seperti nabi bagi para penggemarnya.




Salah satu yang terus bergulir sampai kini adalah, apakah Jacko benar-benar telah memluk Islam? Banyak berita yang melaporkannya seperti itu. Gulf News misalnya, melaporkan pada 21 November 2008 bahwa Jacko sudah memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Mikail.

Karena sentimennya sebagai seorang Muslim pula dunia Arab bahkan ramai memberikan penghormatan kepada Jacko. Di Bahrain, sebuah kerjaan berkabung. Pada tahun 2005, Jacko pernah tinggal di negara itu selama satu tahun ketika tengah menghadapi kasus tuntutan penganiayaan anak di AS. Sebagian rakyat Bahrain menganggap Jacko sudah menjadi warga negaranya. Di Mesir, sebagian orang sengaja cuti untuk pergi ke Alexandria bergabung dengan penggemar Jakco lainnya untuk berkabung. Di Kairo, sebuah klub jazz sekarang tengah kewalahan mengatur jadwal untuk malam penghargaan kepada Jacko. Di Lebanon, lebih dari 100 orang penggemarnya menyalakan lilin dan menyanyikan lagu-lagu Jacko di pusat kota.

Bahkan ketika tragedi berdarah Gaza pada Januari silam pun, pemandangan seperti ini langka ditemukan di negara-negara Arab.

Di Indonesia, bahkan dalam setiap acara infotainment ketika memaparkan perjalanan hidup Jacko, selalu juga dibahas dalam porsi besar bahwa Jacko telah memeluk Islam. Sebenarnya, kasak-kusuk Jacko masuk Islam sudah sering terdengar sejak tahun 2004. Setiap tahun, selalu saja ada yang memberitakan bahwa Jacko sudah masuk Islam lewat bimbingan kakaknya, Jermaine Jackson yang memang sudah nyata menjadi seorang Muslim.

Namun, tidak seperti selebriti dunia lainnya yang ketika masuk Islam telah jelas menunjukan ke-Islam-annya, tidak demikian dengan Jacko. Berita Jacko dengan aktivitas Islam amatlah minim, bahkan boleh dibilang hampir tidak ada. Pada sekitar 2006, sebuah lagu yang berjudul "Give Thanks To Allah" dirilis, suara vokalnya mirip sekali dengan suara Jakco. Semua orang (Islam, dan terutama orang Arab) mengklaim itu lagu nasyid yang diciptakan oleh Jacko, namun kenyataannya lagu itu milik Zain Bikha, seorang munsyid asal Afrika Selatan yang terkenal bahkan di dunia Arab sendiri.

Cat Stevens, penyanyi terkenal asal Inggris, ketika memeluk Islam masih tetap berkarya namun nuansa Islamnya sangat kental. Ia memberikan karya kepada kelompok nasyid Raihan dalam nasyid “God Is The Light” dan lagu-lagu lainnya yang ia ciptakan jelas menunjukan ia seorang Muslim tanpa diragukan lagi. Lagunya yang terkenal yang didaur ulang oleh grup rock Mr Big, “Wild World”, keuntungannya ia sumbangkan untuk perkembangan dakwah.

Nama Cat Stevens pun ia ganti dengan Yusuf Islam. Sedangkan Jacko diberitakan mengganti namanya menjadi Mikail, suatu nama yang walaupun berbau Islam, cukup mengernyitkan dahi, karena tak lazim dipakai oleh orang-orang Islam, bahkan hampir jarang sekali. Selain Yusuf Islam, masih banyak lagi selebriti dunia yang memeluk Islam dan tak ragu menampilkan jati dirinya sebagai seorang Muslim.

Pada tahun 2009, BBC dan MSNBC mewartakan bahwa Jacko sedianya akan melakukan tur musiknya lagi di London, dan para penggemarnya yang berjumlah ribuan sudah menantinya. Jangan pula dilupakan, istri kedua Jacko adalah seorang yahudi, bernama Debbie Rowe. Jadi apakah benar Jacko sudah menjadi seorang Muslim? Sayang sekali, tak ada catatan yang pasti mengenai hal itu. Sedangkan Jacko sudah berpulang, dan hanya Allah swt yang mengetahuinya. (sa/glfnws/rmslm)

Senin, 24 Agustus 2009

" Beban Mengajar 24 Jam per Minggu Sulit Tercapai "

BANTUL, KOMPAS.com- Beban mengajar yang diberikan kepada guru untuk memperoleh sertifikasi yakni selama 24 jam per minggu dinilai terlalu berat. Bagi sekolah-sekolah yang jumlah siswanya sedikit, target tersebut sulit tercapai, sehingga para guru harus mencari tambahan mengajar di luar sekolah.

"Kalau beban 24 jam itu tidak dipenuhi, maka kami tidak bisa mendapatkan tunjangan kesejahteraan sebesar satu kali gaji pokok. Padahal tunjangan itu sangat kami butuhkan," kata Ketua Musyawarah Guru Lintas Sekolah (MGLS) Kabupaten Bantul, Umi Kulsum, Rabu (19/8).




Menurut dia, tindakan para guru untuk mencari tambahan jam mengajar di luar sekolah juga bisa berdampak negatif. Fokus mereka terbelah sehingga sisi kualitas pun terabaikan. Untuk guru yang mengajar di sekolah yang kelasnya banyak mungkin tidak perlu repot mencari tambahan, tetapi bagaimana dengan guru di sekolah pinggiran dan swasta yang siswanya sedikit?

Sikap diskriminatif pengelola sekolah dengan memberikan beban mengajar lebih banyak kepada sejumlah guru tertentu juga menjadi kendala tercapainya target jam mengajar. "Dinas pendidikan seharusnya memantaunya supaya ada jalan penyelesaiannya," katanya.

Umi meminta beban mengajar dikembalikan menjadi 18 jam per minggu. Sertifikasi seharusnya lebih mengarah ke kualitas mengajar, bukan sekedar mengejar kuantitas. "Jika dipaksakan dampaknya bisa buruk. Kalau pun dipaksakan seharusnya sistem tim teaching diaktifkan kembali jadi satu mata pelajaran bisa diajar lebih dari satu guru," katanya.

Dalam waktu dekat rombongan guru dari Bantul akan menemui anggota DPR RI untuk menyampaikan persoalan tersebut. Diharapkan ketentuan yang sudah tertuang dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tersebut bisa diubah.

Muryadi, guru olahraga SMK Negeri Pajangan Bantul, mengatakan, jumlah jam pelajaran olahraga sangat terbatas. Tidak seperti Bahasa Indonesia atau Matematika yang porsinya besar. Dengan porsi sedikit bagaimana mungkin saya bisa meme nuhi target 24 jam," ujarnya.



" Kepala Sekolah di Pungli "


Situbondo-Surya- Sekitar 168 kepala sekolah (kasek) SD dan SMP penerima bantuan dana alokasi khusus (DAK) tahun 2009 di Kabupaten Situbondo resah. Masalahnya, setiap kasek diminta menyetor Rp 1 juta agar pelaksanaan proyek aman dari jeratan hukum.
“Saya kurang paham untuk apa uangnya, tapi yang jelas semua kasek yang sekolahnya menerima bantuan DAK diminta untuk membayar sebesar Rp 1 juta,” ungkap seorang kasek penerima bantuan DAK kepada Surya, Selasa (18/8).

Menurutnya, praktik pungutan liar yang dibebankan kepada setiap kasek penerima bantuan DAK itu tergolong rapi. Pungutan itu dikoordinir melalui kantor cabang dinas pendidikan yang ada di kecamatan. “Sesuai kesepakatan, uangnya tidak langsung disetor ke dinas, tapi melalui kantor cabang dinas,” jelasnya.


Ketua Forum Solidaritas Masyarakat Pendidikan (FSMP), Drs Sugiono Eks Santoso saat dikonfirmasi mengaku juga menerima keluhan dan pengaduan dari pihak kepala sekolah dan guru yang sekolahnya menerima bantuan DAK. Para kasek itu mengadukan permintaan uang Rp 1 juta yang dikoordinir melalui kepala cabang dinas pendidikan.

Melalui praktik pungli yang dikoordinir cabang dinas pendidikan ini akan terkumpul uang sebesar Rp 168 juta. “Uang ratusan juta itu untuk apa ? Kalau uang untuk pengamanan, pengamanan siapa,” papar guru SMAN Kapongan ini.

Sementara Kepala Bidang Pendidikan Dasar, Budi Hartono dikonfirmasi melalui Kepala Seksi Sarana Prasarana Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Situbondo, Hj Yuyun Nurjannah Spd mengatakan, pihaknya tidak mengetahui adanya permintaan bantuan dana Rp 1 juta bagi kasek yang menerima bantuan DAK. “Kami tidak pernah meminta,” ujarnya.

Menurutnya, kalau memang terbukti ada pungutan liar terhadap kasek yang dilakukan kepala cabang dinas, kasusnya akan ditangani kepada Kepala Dinas Pendidikan Situbondo. “Kalau urusan tindakan, kita serahkan kepada kepala dinas,” jelasnya.

Kasus pungli kasek penerima bantuan DAK ternyata telah tercium tim penyidik Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Polres Situbondo. “Kami juga menerima adanya info itu, bahkan ada tiga SMS yang masuk,” ujar Kasat Reskrim AKP Sukari melalui Kanit Tipikor Polres Situbondo Aiptu Bambang Iriyanto.st6

" Apa Fungsi Nilai Budaya Lokal Dalam Pendidikan "


“Think Globally, Act Locally” tulis Naisbitt dalam bukunya yang berjudul Globall Paradox. Kata-kata tersebut sederhana tetapi mengandung makna yang dalam bagi kita semua yang tengah berada dalam persaingan global. Maksud dari dua kalimat tersebut adalah jika kita ingin sukses dalam persaingan Global, maka kita harus mampu berfikir secara global tetapi berperilaku dan bertindak lokal.

Kenyataan dewasa ini menunjukkan dunia seolah tanpa batas, berbagai pengaruh global melalui berbagai media informasi masuk mempengaruhi kita tanpa mampu kita hambat, baik positif maupun negatif, yang jika dibiarkan tanpa kendali maka nilai budaya setempat atau lokal akan
tergerus hingga akhirnya hilang dari permukaan bumi.

Selain akibat pengaruh global, tergerusnya nilai-nilai setempat juga disebabkan oleh pengaruh yang datang dari para pemukim baru atau para pendatang, dimana mereka mempertahankan nilai yang dibawa dan dianutnya tanpa mau memperkaya diri dengan nilai lokal di tempat dimana mereka hidup dan tinggal. Mereka menganggap tempat yang didiaminya kini bukanlah tanah tumpah darahnya, hanya sebagai tempat menumpang hidup.Akibatnya, mereka tidak perduli dengan kondisi sekitar yang dipentingkan hanyalah diri dan kelompoknya. Padahal leluhur kita telah mewariskan sebuah nilai yang universal, yaitu “Dimana bumi dipijak, maka di situ langit di junjung”. Ungkapan tersebut sangatlah sederhana tetapi makna yang dikandungnya sangat mendalam dimana orang yang “bubuara” di tanah orang harus mampu menghormati dan menghargai serta menjadikan nilai tradisional setempat sebagai pegangan hidupnya. Jika berhasil mengimplementasikan pepatah tersebut pastilah dia akan memperoleh suatu keberhasilan dalam menggapai asa dan cita di negeri orang.

Kenyataan yang muncul ke permukaan sebagai akibat dari semakin tergerusnya nilai budaya setempat atau lokal adalah posisinya yang semakin termarjinalkan terutama di mata generasi muda. Mereka menganggap nilai budaya tradisional adalah sesuatu yang kuno dan ketinggalan jaman serta sudah tidak mampu untuk bersaing ditengah-tengah persaingan global. Karena mereka bertanggapan bahwa segala sesuatu yang datang dari luar adalah baik dan harus diikuti bahkan dijadikan pegangan hidup sehari-hari. Padahal, dalam kenyataannya tidak semua nilai yang masuk dari luar adalah positif bahkan lebih banyak yang negatif dan bertentangan dengan norma dan nilai budaya lokal.

Penggerusan nilai budaya setempat atau lokal dapat kita lihat dari semakin menggejalanya budaya negatif yang terjadi di tengah masyarakat, terutama di kalangan generasi muda, diantaranya :

1. Perilaku fandalisme atau hologanisme seolah sudah menjadi bagian dalam kehidupan Masyarakat, terutama generasi muda.

Pengrusakan dan penjarahan terhadap hak orang lain seolah menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sebagian kelompok anak muda dalam melampiaskan kekesalannya, bahkan tidak sedikit nyawa orang lain jadi sasaran.

2. Menurunnya rasa bangga dan rasa memiliki terhadap lingkungan tempat dimana mereka tumbuh dan berkembang.

Perilaku ini tampak dari menurunnya rasa peduli sebagian generasi muda kita terhadap lingkungan sekitar.
3. Semakin melunturnya semangat kebersamaan dan gotong royong pada generasi muda,

karena semakin tergeser oleh nilai individualis dan nilai materialis. Segala sesuatu diukur dengan ukuran materi atau uang.

Kenyataan tersebut seolah menyadarkan kita akan pentingnya mentransformasikan nilai-nilai tradisional kepada generasi berikutnya agar nilai-nilai tersebut tidak menguap ditiup oleh perkembangan jaman. Upaya yang dapat dilakukan guna melestaraikan nilai-nilai tradisional, salah satunya adalah melalui pendidikan. Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan wujud nyata dalam upaya pentransformasian nilai kepada generasi berikut.

Pengintegrasian Nilai Lokal dalam Proses Pembelajaran Upaya untuk melestarikan nilai budaya setempat sebenarnya sudah ada, yaitu melalui pengintegrasian nilai-nilai lokal dalam kurikulum
nasional. Pengintegrasian tersebut tujuannya adalah agar siswa dalam perkembangan dirinya sebagai Insan Indonesia yang modern tidak tercabut sama sekali dari akar lingkungan sosio-budayanya sendiri.

Kenyataan dalam realisasi di lapangan menunjukkan, kurikulum muatan lokal sering kali ditafsirkan secara keliru dan menyimpang jauh dari tujuan utama serta hanya diwujudkan melalui mata pelajaran muatan lokal, seperti bahasa dan keterampilan daerah. Akibatnya, keberadaanMuatan lokal dalam kurikulum seolah hanya menjadi pelengkap belaka bahkan tidak sedikit yang menganggapnya sebagai beban yang kurang bermanfaat bagi siswa sehingga diganti dengan mata pelajaran lain yang lebih “menjual”, seperti bahasa inggris atau keterampilan Komputer.


Pengintegrasian potensi lokal dalam materi pembelajaran seolah sulit untuk diwujudkan karena padatnya materi dalam kurikulum nasional. Kenyataan ini berdampak semakin jauhnya siswa dari tata nilai budayanya sendiri. Kurangnya kebanggaan terhadap budaya dan lingkungan dimana dia hidup berakibat pada semakin tergerusnya nilai budaya lokal yang tumbuh di tengah masyarakat, padahal nilai budaya tersebut merupakan akar bagi nilai budaya nasional. Rendahnya pemahaman siswa terhadap nilai budaya lokal dapat terlihat pada :


1. Siswa kurang memahami kondisi lingkungan di mana mereka tinggal,

seperti mereka tidak mengenal sejarah, kondisi geografis serta potensi ekonomi yang dimiliki daerahnya.

2. Kurangnya rasa bangga terhadap daerahnya.

Pada diri mereka tumbuh anggapan bahwa sesuatu yang datang dari luar lebih baik, sedangkan
nilai budaya yang ada di lingkungannya dianggap ketinggalan jaman.

3. Semakin melunturnya semangat kebersamaan dan gotong royong

karena tergeser oleh sikap individualis dan materialis yang dihembuskan melalui globalisasi

4. Semakin lemahnya rasa persaudaraan

yang tampak dari semakin meningkatnya angkat tawuran dari hari ke hari.

5. Kurangnya penghargaan terhadap budaya

setempat oleh para pendatang sebagai akibat mulai lunturnya pepatah “Dimana langit dipijak di situ langit dijunjung” atau “pindah cai pindah tampian”, akibatnya nilai budaya setempat menjadi tergerus, karena yang tertanam dalam benaknya hanyalah keuntungan semata bukan bagaimana bisa hidup berdampingan di tengah keberagaman.

Melihat kenyataan nilai-nilai tradisional kita semakin tercabut dari akarnya serta adanya kewajiban kurikulum yang menerangkan perlunya pengintegrasian nilai-nilaii lokal dalam setiap pelajaran, maka transformasi nilai-nilai lokal kepada siswa menjadi sesuatu yang mutlak dilakukan oleh setiap pendidik melalui penyampaian nilai-nilai tradisional dengan cara diintegrasikan (disisipkan) pada materi pelajaran yang disampaikannya.

Upaya pengintegrasian nilai tradisional tersebut tidaklah akan berhasil dengan baik jika Guru tidak mampu menyampaikannya, sehingga untuk mencapainya diperlukan tenaga Guru yang mempunyai pemahaman yang memadai akan nilai budaya setempat disamping kemampuannya memahami materi pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Untuk itu, pihak PTK (Perguruan Tinggi Keguruan) perlu mempersiapkan lulusannya agar mempunyai kompetensi tidak hanya kemampuan intelektual tetapi juga pemahaman akan nilai-nilai tradisional yang berlaku di masyarakat. Selain itu, Pemerintah Daerah selaku pengelola pendidikan di daerahnya mempunyai kewajiban untuk memberikan pembekalan terhadap guru yang bertugas dan akan bertugas tentang nilai budaya tradisional setempat dan itu perlu dilakukan secara berkelanjutan agar kemampuan guru mengintegrasikan nilai budaya setempat dapat terus terasah hingga pada
akhirnya mampu mentransformasikan nilai-nilai tradisional yang luhur kepada anak didiknya. Jika itu berhasil diharapkan pengaruh budaya negatif yang datang dari luar dapat diminimalisasi. Semoga...... .

Minggu, 23 Agustus 2009

" Islam Cuma Pemulung? Caping : Si Buntung "

JANGAN bicara kepada saya tentang jihad. Hari ini saya sudah tak tahu
lagi apa maksudnya.

Tuan bisa berkata, jihad bukanlah kekerasan. Tapi berbareng dengan itu
orang lain berkata jihad itulah yang membenarkan bila orang yang
dianggap kafir atau murtad dibunuh. Tiap tafsir bisa dibantah tafsir
lain. Kepada siapa saya bisa minta kata akhir tentang apa sebenarnya
yang diperintahkan agama?

Maka jangan bicara kepada saya tentang jihad. Terorisme tak perlu dan
tak bisa diterangkan dengan sabda atau fatwa. Bom yang diledakkan untuk
membunuh dan bunuh diri itu justru mungkin akan lebih jelas bila dilihat
sebagai sesuatu yang tak dapat diutarakan oleh (dan dalam) sabda dan fatwa.

Siapa yang melihat hubungan antara terorisme dan ajaran, apalagi
ideologi, melupakan bahwa ada sesuatu yang lebih dahulu, dan lebih bisu,
ketimbang ajaran dan ideologi—yaitu luka.






Yang menyedihkan dalam sejarah ialah bahwa luka itu tampaknya tak
terelakkan. Akan ada selalu orang-orang buntung. Kata ini tak
menunjukkan luka potong yang harfiah; di sini, ”buntung” adalah lawan
kata ”beruntung”. Seorang teman di Bonn tadi pagi mengirim sebuah
tulisan Hans Magnus Enzensberger dan di sana saya menemukan apa yang
saya maksud. Dalam bahasa Jerman Enzensberger menyebut si buntung
”Verlierer”; dalam bahasa Inggris ”loser”.

Si buntung—dan ia tak hanya seorang—lahir dari semacam kecelakaan yang
niscaya ketika manusia mengorganisasi dirinya sendiri. Enzensberger
menyebut ”kapitalisme”, ”persaingan”, ”imperium”, dan ”globalisasi”,
tapi kita bisa menambahkan bahwa terbentuknya negara-bangsa atau lembaga
agama—bahkan dalam sejarah kota dan banjar—juga menyebabkan ada
orang-orang yang terbuncang, tertinggal, kalah, bahkan separuh atau
seluruhnya hancur. Mereka yang luka. Si buntung.

Sejarah juga mencatat, si buntung bisa memilih untuk menerima nasib. Si
korban bisa menuntut pampasan. Si kalah bisa menunggu kesempatan lain.
Tapi ada yang oleh Enzensberger disebut sebagai ”si buntung radikal”: ia
yang mengisolasi diri, menjadikan dirinya tak kelihatan, merawat khayal
atau phantasma-nya, menyimpan tenaga, dan menanti sampai saatnya datang.

Tapi saat itu bukanlah saat untuk menebus nasibnya yang parah. Si
buntung radikal, menurut Enzensberger, mengatakan kepada dirinya
sendiri: ”Aku buntung, dan tak bisa lain selain buntung.” Ia tak melihat
hidupnya berharga, dan tak memandang hidup orang lain berharga pula.
Maka ketika saat itu tiba dan ia menggebrak, si buntung siap
membinasakan orang lain sekaligus dirinya sendiri.

Tapi agak berbeda dari Enzensberger, saya tak menganggap bahwa seluruh
momen penghancuran itu sebuah pernyataan keberanian yang putus asa. Yang
meledak juga bukan hasrat terpendam untuk mengekalkan ke-buntung-an.
Bukankah pada saat itu, seperti dikatakan Enzensberger sendiri, akhirnya
si buntung radikal bisa melihat dirinya jadi ”tuan dari hidup dan
kematian”? Ia jadi seorang militan. Ia jadi subyek. Sejenak ia
membebaskan diri dari statusnya yang celaka: untuk memakai kata-kata
dalam sebuah sajak Chairil Anwar, ”sekali berarti, sudah itu mati.”

”Ber-arti”, atau mendapatkan harga dan makna, itulah yang diberikan oleh
ajaran atau ideologi. Tentu saja karena ada kecocokan antara si buntung
radikal dan ajaran atau ideologi itu: petuah dan petunjuk itu, tentang
jihad atau perang, lahir dari tafsir yang diutarakan dari sebuah situasi
luka.

Enzensberger memaparkan luka itu—dalam sejarah Islam—sebagaimana yang
umumnya sudah diketahui. Jika ”Islam” adalah nama bagi sebuah peradaban,
yang terjadi adalah sebuah riwayat panjang tentang arus yang surut.
Enzensberger mengutip sajak penyair muslim kelahiran India, Hussain Hali
(1837-1914), yang menggambarkan bagaimana peradaban yang pernah jaya
pada abad ke-8 itu akhirnya ”tak memperoleh penghormatan dalam ilmu/tak
menonjol dalam kriya dan industri”.

Yang kemudian berlangsung adalah Islam yang hanya memungut, cuma
meminjam, dan tak bisa lagi memperbaharui. Terutama di dunia Arab, yang
pada satu sisi bangga telah jadi sumber dari sebuah agama yang
menakjubkan tapi di sisi lain terus-menerus menemukan kekalahan.
Enzensberger menulis: ”Bagi setiap orang Arab yang peduli untuk
merenungkannya, tiap benda yang kini hampir mutlak dipakai di kehidupan
sehari-hari … mewakili sebuah penghinaan yang tak diucapkan—tiap kulkas,
tiap pesawat telepon, tiap colokan listrik, tiap obeng, apalagi produk
teknologi tinggi”.

Bahkan terorisme—dari gagasan, gaya, serta peralatannya—datang pada abad
ke-20 dari ”Barat” yang mereka haramkan. Lingkaran setan tak dapat
dielakkan lagi. Yang terpuruk jadi merasa tambah terpuruk justru ketika
ingin membebaskan diri. Dalam lingkaran itu kebencian pun
berkecamuk—gabungan antara kepada ”mereka” dan juga kepada diri sendiri.
Tak mengherankan, di wilayah ini, si buntung radikal berkelimun.

Akankah ada pembebasan? Mungkinkah pembebasan? Saya percaya, jadi
buntung bukanlah hukuman yang kekal. Tapi untuk itu agaknya diperlukan
sebuah lupa. Si buntung perlu tak mengacuhkan lagi luka sejarah. Ia
perlu melihat kekalahannya sebagai bagian dari pengalaman dan memandang
pengalaman itu sebagai, seperti kata petuah lama, guru yang baik.

Tapi saya sadar, si buntung radikal akan sulit untuk bersikap demikian.
Terutama ketika ia menerima ajaran bahwa lukanya adalah luka di luar
sejarah. Maka bom diledakkan, surga yang kekal dijanjikan, jihad ke
kematian jadi langkah awal dan akhir. Dan selebihnya beku.

http://majalah. tempointeraktif. com/id/arsip/ 2009/08/03/ CTP/mbm.20090803 .CTP131036. id.html

" Probing SBY's `Indonesia 2025' vision "

In his address to the nation on Aug. 15, 2009, President Susilo
Bambang Yudhoyono mentioned self-dependency (kemandirian) ,
competitiveness (daya saing) and excellence in civilization (peradaban
yang unggul) as three important factors in nation building.

Self-Dependency, or Nationalism in the language of our first president
Soekarno, can no longer be sustained outside the larger framework of
Internationalism. Our national self-dependency must also recognize the
interdependency of nations. Our world has already become a global
village, where anything happening in any corner of the village, or to
any villager, affects the entire village and all villagers.

In response to the JW Marriott and Ritz-Carlton bombings recently,
some of our "knowledgeable" experts, analysts and activists remarked
that the bombers had no reason to attack our country, for Indonesia
was not at war with them, and that instead they could have bombed some
other country at war with them, perhaps for instance the United States
of America.




It is very disheartening to note that even our "knowledgeable" lack
intelligence. What happens to America, or to any other country in the
world, has a ripple effect on the entire world. We cannot escape it.

Similarly, our government's stand on Myanmar is also regrettable.
While we can have a Palestinian Mission in our country, why can't we
allow the activists for peace and democracy in Myanmar to meet here?
Why can't we have the Dalai Lama visit our country and talk about the
plight of his people?

While talking about competitiveness, I believe that the Machiavellian
and Sun-Tzuian concept is no longer relevant. It must be replaced with
a more human approach based on togetherness (kebersamaan) as pointed
out by Business Week in its excellent special report (Oct. 30, 2006).

Interestingly, such a human approach was already envisioned by our
founding fathers. Sukarno called it gotong-royong (sharing our
burden), and Hatta translated the concept into a cooperative based
economy. Unfortunately however, President Yudhoyono did not, even
once, mention the word in his entire speech.

He did, however, suggest taking into account our resources (certainly
both human and natural), knowledge (skills), and culture for our
economic development. I fully endorse to this, as I also do to the
"limited role" of government (non intervention) , for we have just
witnessed the failure of totally decentralized and liberal western
economy.

President Yudhoyono suggested productivity, adaptability, and
innovation (most importantly in the field of technology), as important
factors to excel. I presume that by innovation he meant creativity.
For innovation could also mean growth, or simply improvement on
something already created; whereas, creativity is originality.
Creativity is unique.

We must believe in our "uniqueness" . This country, like any other
country in the world, is unique. We have our share to contribute to
world civilization as other countries do. We must be more
self-confident.

President Yudhoyono reasserted his commitment to the state ideology of
Pancasila as an "open and living ideology, source of inspiration and
solution for nation building"; and, the national theme Bhinneka
Tunggal Ika or "Unity in Diversity" as our uniting factor.

Now, let us for once and all time end the discourse on khilafat and
religion-based government system. And, with that, also end the threat
to our national unity and integration.

What is most important for the President is to closely watch the
movements of his supporters, some of them clearly have hidden agendas
and vested interests.

Our culture is deeply rooted in spirituality and humanity, not in the
dogmas and doctrines of a particular religion.

We do not believe in politically motivated barriers in the name of
religion. Our founding fathers used Ketuhanan or Godliness for
spirituality.

President Yudhoyono also shared his vision of "Indonesia 2025", when,
in his opinion, we will no longer be a developing nation, but mature
into a developed nation. This is perhaps his wise response to a report
prepared by the National Intelligence Council of the United States in
November 2008.

The report and ensuing studies, as well as scenarios prepared by
several experts, indicate that by 2025 the Indonesian State could be
fragmented. The threat is posed by religious fanatics, radicals and
extremists, and not only from terrorists or their violent acts.

President Yudhoyono seems to have understood this threat clearly. I
must say, there are not so easy and very ambitious, but achievable
goals. Together, we can achieve them. But, as we talk of togetherness,
let us also not forget the "checks and balances", the most oft quoted
phrase in his speech, without which democracy would mean nothing.

Let us have the opposition. Let us not be afraid of them. "Those who
point out your mistakes," said the great 14th century Sufi Mystic
Kabir, "are your true friends and well wishers." For, it is because of
them, that we can improve, and grow further.

The writer is a spiritual activist and author of more than 130 books.


" Asal Mula bandung "


Mengenai asal-usul nama "Bandung", dikemukakan berbagai pendapat.
Sebagian mengatakan bahwa, kata "Bandung" dalam bahasa Sunda, identik
dengan kata "banding" dalam Bahasa Indonesia, berarti berdampingan.
Ngabanding (Sunda) berarti berdampingan atau berdekatan. Hal ini antara
lain dinyatakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai
Pustaka (1994) dan Kamus Sunda-Indonesia terbitan Pustaka Setia (1996),
bahwa kata bandung berarti berpasangan dan berarti pula berdampingan.

Pendapat lain mengatakan, bahwa kata "bandung" mengandung arti besar
atau luas. Kata itu berasal dari kata bandeng. Dalam bahasa Sunda,
ngabandeng berarti genangan air yang luas dan tampak tenang, namun
terkesan menyeramkan. Diduga kata bandeng itu kemudian berubah bunyi
menjadi Bandung. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa kata Bandung
berasal dari kata bendung.





Pendapat-pendapat tentang asal dan arti kata Bandung, rupanya berkaitan
dengan peristiwa terbendungnya aliran Sungai Citarum purba di daerah
Padalarang oleh lahar Gunung Tangkuban Parahu yang meletus pada masa
holosen (± 6000 tahun yang lalu).

Akibatnya, daerah antara Padalarang sampai Cicalengka (± 30 kilometer)
dan daerah antara Gunung Tangkuban Parahu sampai Soreang (± 50
kilometer) terendam menjadi sebuah danau besar yang kemudian dikenal
dengan sebutan Danau Bandung atau Danau Bandung Purba. Berdasarkan
hasil penelitian geologi, air Danau Bandung diperkirakan mulai surut
pada masa neolitikum (± 8000 - 7000 sebelum Masehi). Proses surutnya
air danau itu berlangsung secara bertahap dalam waktu berabad-abad.

Secara historis, kata atau nama Bandung mulai dikenal sejak di daerah
bekas danau tersebut berdiri pemerintah Kabupaten bandung (sekitar
decade ketiga abad ke-17). Dengan demikian, sebutan Danau Bandung
terhadap danau besar itu pun terjadi setelah berdirinya Kabupaten
Bandung.

Berdirinya Kabupaten Bandung

Sebelum Kabupaten Bandung berdiri, daerah Bandung dikenal dengan
sebutan "Tatar Ukur". Menurut naskah Sadjarah Bandung, sebelum
Kabupaten Bandung berdiri, Tatar Ukur adalah termasuk daerah Kerajaan
Timbanganten dengan ibukota Tegalluar. Kerajaan itu berada dibawah
dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran. Sejak pertengahan abad ke-15,
Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun temurun oleh Prabu
Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan
Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas,
mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat, terdiri atas sembilan
daerah yang disebut "Ukur Sasanga".

Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (1579/1580) akibat gerakan
Pasukan banten dalam usaha menyebarkan agama Islam di daerah Jawa
Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang,
penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan
diperintah pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun pada (1580-1608), dengan
ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak sebelah Barat kota
Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaan kerajaan itu meliputi daerah yang
kemudian disebut Priangan, kecuali daerah Galuh (sekarang bernama
Ciamis).

Ketika Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Suriadiwangsa,
anak tiri Geusan Ulun dari rtu Harisbaya, Sumedanglarang menjadi daerah
kekuasaan Mataram sejak tahun 1620. Sejak itu status Sumedanglarang pun
berubah dari kerajaan menjadi kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang.
Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian
Barat terhadap kemungkinan serangan Pasukan Banten dan atau Kompeni
yang berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah pemerintahan
Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni dan konflik dengan
Kesultanan Banten.

Untuk mengawasi wilayah Priangan, Sultan Agung mengangkat Raden Aria
Suradiwangsa menjadi Bupati Wedana (Bupati Kepala) di Priangan
(1620-1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, terkenal
dengan sebutan Rangga Gempol I.

Tahun 1624 Sultan agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk menaklukkan
daerah Sampang (Madura). Karenanya, jabatan Bupati Wedana Priangan
diwakilkan kepada adik Rangga Gempol I pangeran Dipati Rangga Gede.
Tidak lama setelah Pangeran Dipati Rangga Gede menjabat sebagai Bupati
Wedana, Sumedang diserang oleh Pasukan Banten. Karena sebagian Pasukan
Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak dapat
mengatasi serangan tersebut. Akibatnya, ia menerima sanksi politis dari
Sultan Agung. Pangeran Dipati Rangga Gede ditahan di Mataram. Jabatan
Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat ia
harus dapat merebut Batavia dari kekuasaan Kompeni.

Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu
pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu
mengalami kegagalan. Dipati Ukur menyadari bahwa sebagai konsekwensi
dari kegagalan itu ia akan mendapat hukuman seperti yang diterima oleh
Pangeran Dipati Rangga gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh
karena itu Dipati Ukur beserta para pengikutnya membangkang terhadap
Mataram. Setelah penyerangan terhadap Kompeni gagal, mereka tidak
datang ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya. Tindakan Dipati Ukur
itu dianggap oleh pihak Mataram sebagai pemberontakan terhadap penguasa
Kerajaan Mataram.

Terjadinya pembangkangan Dipati Ukur beserta para pengikutnya
dimungkinkan, antara lain karena pihak Mataram sulit untuk mengawasi
daerah Priangan secara langsung, akibat jauhnya jarak antara Pusat
Kerajaan Mataram dengan daerah Priangan. Secara teoritis, bila daerah
tersebut sangat jauh dari pusat kekuasaan, maka kekuasaan pusat di
daerah itu sangat lemah. Walaupun demikian, berkat bantuan beberapa
Kepala daerah di Priangan, pihak Mataram akhirnya dapat memadamkan
pemberontakan Dipati Ukur. Menurut Sejarah Sumedang (babad), Dipati
Ukur tertangkap di Gunung Lumbung (daerah Bandung) pada tahun 1632.

Setelah "pemberontakan" Dipati Ukur dianggap berakhir, Sultan Agung
menyerahkan kembali jabatan Bupati Wedana Priangan kepada Pangeran
Dipati Rangga Gede yang telah bebas dari hukumannya. Selain itu juga
dilakukan reorganisasi pemerintahan di Priangan untuk menstabilkan
situasi dan kondisi daerah tersebut. Daerah Priangan di luar Sumedang
dan Galuh dibagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung,
Kabupaten Parakanmuncang dan Kabupaten Sukapura dengan cara mengangkat
tiga kepala daerah dari Priangan yang dianggap telah berjasa menumpas
pemberontakan Dipati Ukur.

Ketiga orang kepala daerah dimaksud adalah Ki Astamanggala, umbul
Cihaurbeuti diangkat menjadi mantri agung (bupati) Bandung dengan gelar
Tumenggung Wiraangunangun, Tanubaya sebagai bupati Parakanmuncang dan
Ngabehi Wirawangsa menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung
Wiradadaha. Ketiga orang itu dilantik secara bersamaan
berdasarkan "Piagem Sultan Agung", yang dikeluarkan pada hari Sabtu
tanggal 9 Muharam Tahun Alip (penanggalan Jawa). Dengan demikian,
tanggal 9 Muharam Taun Alip bukan hanya merupakan hari jadi Kabupagten
Bandung tetapi sekaligus sebagai hari jadi Kabupaten Sukapura dan
Kabupaten Parakanmuncang.

Berdirinya Kabupaten Bandung, berarti di daerah Bandung terjadi
perubahan terutama dalam bidang pemerintahan. Daerah yang semula
merupakan bagian (bawahan) dari pemerintah kerajaan (Kerajaan
Sunda-Pajararan kemudian Sumedanglarang) dengan status yang tidak
jelas, berubah menjadi daerah dengan sttus administrative yang jelas,
yaitu kabupaten.

Setelah ketiga bupati tersebut dilantik di pusat pemerintahan Mataram,
mereka kembali ke daerah masing-masing. Sadjarah Bandung (naskah)
menyebutkan bahwa Bupati Bandung Tumeggung Wiraangunangun beserta
pengikutnya dari Mataram kembali ke Tatar Ukur. Pertama kali mereka
dating ke Timbanganten. Di sana bupati Bandung mendapatkan 200 cacah.
Selanjutnya Tumenanggung Wiraangunangun bersama rakyatnya membangun
Krapyak, sebuah tempat yang terletak di tepi Sungat Citarum dekat muara
Sungai Cikapundung, (daerah pinggiran Kabupaten Bandung bagian Selatan)
sebagai ibukota kabupaten. Sebagai daerah pusat kabupaten Bandung,
Krapyak dan daerah sekitarnya disebut Bumi kur Gede.

Wilayah administrative Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram
(hingga akhir abad ke-17), belum diketahui secara pasti, karena sumber
akurat yang memuat data tentang hal itu tidak/belum ditemukan. Menurut
sumber pribumi, data tahap awal Kabupaten Bandung meliputi beberapa
daerah antara lain Tatar Ukur, termasuk daerah Timbanganten, Kuripan,
Sagaraherang, dan sebagian Tanahmedang.

Boleh jadi, daerah Priangan di luar Wilayah Kabupaten Sumedang,
Parakanmuncang, Sukapura dan Galuh, yang semula merupakan wilayah Tatar
Ukur (Ukur Sasanga) pada masa pemerintahan Dipati Ukur, merupakan
wilayah administrative Kabupaten Bandung waktu itu. Bila dugaan ini
benar, maka Kabupaten Bandung dengan ibukota Krapyak, wilayahnya
mencakup daerah Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin,
Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung dan
lain-lain, termasuk daerah Kuripan, Sagaraherang dan Tanahmedang.

Kabupaten Bandung sebagai salah satu Kabupaten yang dibentuk Pemerintah
Kerajaan Mataram, dan berada di bawah pengaruh penguasa kerajaan
tersebut, maka sistem pemerintahan Kabupaten Bandung memiliki sistem
pemerintahan Mataram. Bupati memiliki berbagai jenis symbol kebesaran,
pengawal khusus dan prajurit bersenjata. Simbol dan atribut itu
menambah besar dan kuatnya kekuasaan serta pengaruh Bupti atas
rakyatnya.

Besarnya kekuasaan dan pengaruh bupati, antara lain ditunjukkan oleh
pemilikan hak-hak istimewa yang biasa dmiliki oleh raja. Hak-hak
dimaksud adalah hak mewariskan jabatan, ha memungut pajak dalam bentuk
uang dan barang, ha memperoleh tenaga kerja (ngawula), hak berburu dan
menangkap ikan dan hak mengadili.

Dengan sangat terbatasnya pengawasan langsung dari penguasa Mataram,
maka tidaklah heran apabila waktu itu Bupati Bandung khususnya dan
Bupati Priangan umumnya berkuasa seperti raja. Ia berkuasa penuh atas
rakyat dan daerahnya. Sistem pemerinatahn dan gaya hidup bupati
merupakan miniatur dari kehidupan keraton. Dalam menjalankan tugasnya,
bupati dibantu oleh pejabat-pejabat bawahannya, seperti patih, jaksa,
penghulu, demang atau kepala cutak (kepala distrik), camat (pembantu
kepala distrik), patinggi (lurah atau kepala desa) dan lain-lain.

Kabupaten Bandung berada dibawah pengaruh Mataram sampai akhir tahun
1677. Kemudian Kabupaten Bandung jatuh ketangan Kompeni. Hal itu
terjadi akibat perjanjian Mataram-Kompeni (perjanjian pertama) tanggal
19-20 Oktober 1677. Di bawah kekuasaan Kompeni (1677-1799), Bupati
Bandung dan Bupati lainnya di Priangan tetap berkedudukan sebagai
penguasa tertinggi di kabupaten, tanpa ikatan birokrasi dengan Kompeni.

Sistem pemerintahan kabupaten pada dasarnya tidak mengalami perubahan,
karena Kompeni hanya menuntut agar bupati mengakui kekuasaan Kompeni,
dengan jaminan menjual hasil-hasil bumi tertentu kepada VOC. Dalam hal
ini bupati tidak boleh mengadakan hubungan politik dan dagang dengan
pihak lain. Satu hal yang berubah adalah jabatan bupati wedana
dihilangkan. Sebagai gantinya, Kompeni mengangkat Pangeran Aria Cirebon
sebagai pengawas (opzigter) daerah Cirebon-Priangan (Cheribonsche
Preangerlandan) .

Salah satu kewajiban utama bupati terhadap kompeni adalah melaksanakan
penanaman wajib tanaman tertentu, terutama kopi, dan menyerahkan
hasilnya. Sistem penanaman wajib itu disebut Preangerstelsel. Sementara
itu bupati wajib memelihara keamanan dan ketertiban daerah
kekuasaannya. Bupati juga tidak boleh mengangkat atau memecat pegawai
bawahan bupati tanpa pertimbangan Bupati Kompeni atau penguasa Kompeni
di Cirebon. Agar bupati dapat melaksanakan kewajiban yang disebut
terakhir dengan baik, pengaruh bupati dalam bidang keagamaan, termasuk
penghasilan dari bidang itu, seperti bagian zakar fitrah, tidak
diganggu baik bupati maupun rakyat (petani) mendapat bayaran atas
penyerahan kopi yang besarnya ditentukan oleh Kompeni.

Hingga berakhirnya kekuasaan Kompeni-VOC akhir tahun 1779, Kabupaten
Bandung beribukota di Krapyak. Selama itu Kabupaten Bandung diperintah
secara turun temurun oleh enam orang bupati. Tumenggung Wiraangunangun
(merupakan bupati pertama) ankatan Mataram yang memerintah sampai tahun
1681. Lima bupati lainnya adalah bupati angkatan Kompeni yakni
Tumenggung Ardikusumah yang memerintah tahun 1681-1704, Tumenggung
Anggadireja I (1704-1747), Tumenggung Anggadireja II (1747-1763), R.
Anggadireja III dengan gelar R.A. Wiranatakusumah I (1763-1794) dan
R.A. Wiranatakusumah II yang memerintah dari tahun 1794 hingga tahun
1829. Pada masa pemerintahan bupati R.A. Wiranatakusumah II, ibukota
Kabupaten Bandung dipindahkan dari Karapyak ke Kota Bandung.

Berdirinya Kota Bandung

Ketika Kabupaten Bandung dipimpin oleh Bupati RA Wiranatakusumah II,
kekuasaan Kompeni di Nusantara berakhir akibat VOC bangkrut (Desember
1799). Kekuasaan di Nusantara selanjutnya diambil alih oleh Pemerintah
Hindia Belanda dengan Gubernur Jenderal pertama Herman Willem Daendels
(1808-1811).

Sejalan dengan perubahan kekuasaan di Hindia Belanda, situasi dan
kondisi Kabupaten Bandung mengalami perubahan. Perubahan yang pertama
kali terjadi adalah pemindahan ibukota kabupaten dari Krapyak di bagian
Selatan daerah Bandung ke Kota Bandung yang ter;etak di bagian tengah
wilayah kabupaten tersebut.

Antara Januari 1800 sampai akhir Desember 1807 di Nusantara umumnya dan
di Pulau Jawa khususnya, terjadi vakum kekuasaan asing (penjajah),
karena walaupun Gubernur Jenderal Kompeni masih ada, tetapi ia sudah
tidak memiliki kekuasaan. Bagi para bupati, selama vakum kekuasaan itu
berarti hilangnya beban berupa kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi
bagi kepentingan penguasa asing (penjajah). Dengan demikian, mereka
dapat mencurahkan perhatian bagi kepentingan pemerintahan daerah
masing-masing. Hal ini kiranya terjadi pula di Kabupaten Bandung.

Menurut naskah Sadjarah Bandung, pada tahun 1809 Bupati Bandung
Wiranatakusumah II beserta sejumlah rakyatnya pindah dari Karapyak ke
daerah sebelah Utara dari lahan bakal ibukota. Pada waktu itu lahan
bakal Kota Bandung masih berupa hutan, tetapi di sebelah utaranya sudah
ada pemukiman, yaitu Kampung Cikapundung Kolot, Kampung Cikalintu, dan
Kampung Bogor. Menurut naskah tersebut, Bupati R.A. Wiranatakusumah II
pindah ke Kota Bandung setelah ia menetap di tempat tinggal sementara
selama dua setengah tahun.

Semula bupati tinggal di Cikalintu (daerah Cipaganti) kemudian ia
pindah Balubur Hilir. Ketika Deandels meresmikan pembangunan jembatan
Cikapundung (jembatan di Jl. Asia Afrika dekat Gedung PLN sekarang),
Bupati Bandung berada disana. Deandels bersama Bupati melewati jembatan
itu kemudian mereka berjalan ke arah timur sampai disuatu tempat (depan
Kantor Dinas PU Jl. Asia Afrika sekarang). Di tempat itu deandels
menancapkan tongkat seraya berkata: "Zorg, dat als ik terug kom hier
een stad is gebouwd!" (Usahakan, bila aku datang kembali ke sini,
sebuah kota telah dibangun!". Rupanya Deandels menghendaki pusat kota
Bandung dibangun di tempat itu.

Sebagai tindak lanjut dari ucapannya itu, Deandels meminta Bupati
Bandung dan Parakanmuncang untuk memindahkan ibukota kabupaten
masing-masing ke dekat Jalan Raya Pos. Permintaan Deandels itu
disampaikan melalui surat tertanggal 25 Mei 1810.

Pindahnya Kabupaten Bandung ke Kota Bandung bersamaan dengan
pengangkatan Raden Suria menjadi Patih Parakanmuncang. Kedua momentum
tersebut dikukuhkan dengan besluit (surat keputusan) tanggal 25
September 1810. Tanggal ini juga merupakan tanggal Surat Keputusan
(besluit), maka secara yuridis formal (dejure) ditetapkan sebagai Hari
Jadi Kota Bandung.

Boleh jadi bupati mulai berkedudukan di Kota Bandung setelah di sana
terlebih dahulu berdiri bangunan pendopo kabupaten. Dapat dipastikan
pendopo kabupaten merupakan bangunan pertama yang dibangun untuk pusat
kegiatan pemerintahan Kabupaten Bandung.

Berdasarkan data dari berbagai sumber, pembangunan Kota Bandung
sepenuhnya dilakukan oleh sejumlah rakyat Bandung dibawah pimpinan
Bupati R.A. Wiranatakusumah II. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan
bahwa bupati R.A. Wiranatakusumah II adalah pendiri (the founding
father) kota Bandung.

Berkembangnya Kota Bandung dan letaknya yang strategis yang berada di
bagian tengah Priangan, telah mendorong timbulnya gagasan Pemerintah
Hindia Belanda pada tahun 1856 untuk memindahkan Ibukota Keresiden
priangan dari Cianjur ke Bandung. Gagasan tersebut karena berbagai hal
baru direalisasikan pada tahun 1864. Berdasarkan Besluit Gubernur
Jenderal tanggal 7 Agustus 1864 No.18, Kota Bandung ditetapkan sebagai
pusat pemerintahan Keresidenan Priangan. Dengan demikian, sejak saat
itu Kota Bandung memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai Ibukota Kabupaten
Bandung sekaligus sebagai ibukota Keresidenan Priangan. Pada waktu itu
yang menjadi Bupati Bandung adalah R.A. Wiranatakusumah IV (1846-1874).

Sejalan dengan perkembangan fungsinya, di Kota Bandung dibangun gedung
keresidenan di daerah Cicendo (sekarang menjadi Rumah Dinas Gubernur
Jawa Barat) dan sebuah hotel pemerintah. Gedung keresidenan selesai
dibangun tahun 1867.

Perkembangan Kota Bandung terjadi setelah beroperasi transportasi
kereta api dari dan ke kota Bandung sejak tahun 1884. Karena Kota
Bandung berfungsi sebagai pusat kegiatan transportasi kereta api "Lin
Barat", maka telah mendorong berkembangnya kehidupan di Kota Bandung
dengan meningkatnya penduduk dari tahun ke tahun.
Di penghujung abad ke-19, penduduk golongan Eropa jumlahnya sudah
mencapai ribuan orang dan menuntut adanya lembaga otonom yang dapat
mengurus kepentingan mereka. Sementara itu pemerintah pusat menyadari
kegagalan pelaksanaan sistem pemerintahan sentralistis berikut
dampaknya. Karenanya, pemerintah sampai pada kebijakan untuk mengganti
sistem pemerintahan dengan sistem desentralisasi, bukan hanya
desentralisasi dalam bidang keuangan, tetapi juga desentralisasi dalam
pemberian hak otonomi bidang pemerintahan (zelfbestuur)

Dalam hal ini, pemerintah Kabupaten Bandung di bawah pimpinan Bupati
RAA Martanagara (1893-1918) menyambut baik gagasan pemerintah kolonial
tersebut. Berlangsungnya pemerintahan otonomi di Kota Bandung, berarti
pemerintah kabupaten mendapat dana budget khusus dari pemerintah
kolonial yang sebelumnya tidak pernah ada.

Berdasarkan Undang-undang Desentralisasi (Decentralisatiewet ) yang
dikeluarkan tahun 1903 dan Surat Keputusan tentang desentralisasi
(Decentralisasi Besluit) serta Ordonansi Dewan Lokal (Locale Raden
Ordonantie) sejak tanggal 1 April 1906 ditetapkan sebagai gemeente
(kotapraja) yang berpemerintahan otonomom. Ketetapan itu semakin
memperkuat fungsi Kota Bandung sebagai pusat pemerintahan, terutama
pemerintahan Kolonial Belanda di Kota Bandung. Semula Gemeente Bandung
Dipimpin oleh Asisten Residen priangan selaku Ketua Dewan Kota
(Gemeenteraad) , tetapi sejak tahun 1913 gemeente dipimpin oleh
burgemeester (walikota).