Kamis, 16 Juli 2009
" Flu Babi di Bloomington v di Surabaya "
Flu Babi di Bloomington v di Surabaya
Oleh: Budi Darma
KASUS flu babi yang menghebohkan masyarakat Indonesia belakangan ini mengingatkan saya pada era 1979, tepatnya Januari, sesaat setelah saya menyelesaikan S-2 di Universitas Indiana, Bloomington, Indiana, Amerika. Kala itu sponsor saya, Fulbright, mengizinkan saya tetap tinggal di Bloomington sampai Mei, akhir semester musim semi.
Karena mendapatkan izin tersebut, saya bisa mengambil beberapa mata kuliah sambil berjuang untuk memperoleh beasiswa S-3 dengan membawa keluarga. Fulbright sudah terikat kontrak. Maka, Fulbright tidak dapat memberikan beasiswa lanjutan, apalagi saya mengajak keluarga. Karena sebetulnya saya sudah diterima S-3 dan dapat langsung masuk ke S-3, Fulbright berjanji menawarkan kasus saya ke sponsor-sponsor lain. Dengan catatan, saya harus berusaha sendiri.
Sialnya, berita mengenai beasiswa tidak kunjung tiba. Sabtu, 22 Mei 1976, saya pulang dengan singgah di berbagai negara di Eropa. Lalu, Sabtu, 29 Mei 1976, ketika berada di Paris, saya menerima telegram dari Bloomington. Isinya: The Ford Foundation setuju, kalau mungkin, segera kembali ke Bloomington. Karena harus mengurus keluarga dan beberapa dokumen, saya putuskan untuk pulang dulu ke Indonesia. Apalagi, semester musim panas sudah mulai. Karena itu, saya akan masuk semester musim gugur, Agustus 1976.
Karena berbagai dokumen harus diurus ulang, saya dan keluarga baru bisa berangkat ke Bloomington lewat Jakarta pada Selasa, 7 September 1976. Di Bloomington, kuliah sudah berjalan. Karena itu, saya harus ke sana kemari untuk menghubungi berbagai pihak. Senin, 13 September 1976, saya mulai kuliah.
***
Di hari pertama kuliah itu, saya tidak tahu mengapa pers kampus dan pers lokal beberapa kali menyiarkan berita bahwa semua penduduk Bloomington wajib vaksinasi swine flu di rumah sakit, gratis. Seperti teman-teman dan para tetangga, waktu itu saya tidak perduli apa itu swine flu. Namun, karena merasa sebagai penduduk Bloomington, Selasa sore, 14 Mei 1976, saya dan keluarga pergi ke rumah sakit. Di sana sudah berderet banyak orang, menunggu giliran.
Setelah membaca pengumuman, tahulah saya bahwa swine flu sudah masuk ke beberapa kota besar di Amerika. Meskipun di Bloomington belum pernah ditemukan kasus swine flu dan lokasinya jauh dari kota-kota besar, penduduk wajib vaksinasi untuk menghindari kemungkinan kontaminasi. Seperti penduduk lain, saya tetap tidak peduli apa makna swine flu dan merasa aman karena pemerintah sudah menyediakan vaksinasi gratis.
Beberapa waktu lalu (saya sudah tidak rajin menulis catatan harian), pers menyebarkan informasi tentang flu babi di Meksiko. Radio BBC mewartakan bahaya flu babi, sejarahnya, dan kemungkinan penyebarannya. Suatu sore, ketika kebetulan menonton TV, saya melihat Presiden SBY berbicara mengenai swine flu (presiden mempergunakan istilah tersebut).
Dari rentetan peristiwa itu, baru saya teringat dengan peristiwa di Bloomington yang sudah saya lupakan, swine flu tidak lain adalah flu babi. Sementara itu, pers menyiarkan berita mengenai pengusiran orang-orang Meksiko di Tiongkok. Sebab, Tiongkok takut terkontaminasi flu babi.
Kemudian, beberapa kali menteri kesehatan memberikan penjelasan mengenai flu babi, demikian juga para pakar. Berkali-kali menteri kesehatan menekankan, penduduk tidak perlu takut selama mengikuti gaya hidup sehat, yaitu gizi cukup, istirahat cukup, lingkungan bersih, dan cuci tangan dengan sabun setelah bepergian dan akan makan.
Beberapa pakar menjelaskan, flu babi bukan penyakit baru dan akan secara berkala muncul lagi. Flu babi muncul karena babi yang berpenyakit menulari manusia. Karena itu, kita harus mengikuti gaya hidup sehat.
Karena pemanasan global, perubahan gaya hidup, dan terus bertambahnya penduduk, kemungkinan lahirnya lagi penyakit manusia yang berasal dari binatang bakal makin sering terjadi. Contoh, karena tanah gembur makin sempit, kucing tidak bisa lagi buang air besar dan mencakar-cakar tanah tanah gembur untuk menutupi kotoran.
Ternyata, gaya itu menular pada kucing-kucing lain, bahkan di kawasan yang masih punya area tanah gembur. Saya sendiri melihat beberapa kucing liar melampiaskan hajat di aspal pinggir jalan, lalu mencakar-cakar aspal. Padahal, di dekat jalan itu masih banyak area tanah gembur. Binatang-binatang lain pun, kata para pakar, mengalami perubahan perilaku dan perubahan tersebut mempercepat munculnya lagi penyakit-penyakit yang ada sejak dulu.
***
Beberapa hari lalu, setelah beberapa hari kasus flu babi ditemukan di Indonesia, menteri kesehatan muncul lagi dengan pernyataan, kalau demikian keadaannya, masuk dan menyebarnya flu babi di Indonesia sudah tidak mungkin dicegah. Lalu, Senin, 13 Juli 2009, ada berita bahwa flu babi sudah masuk ke Surabaya dan penyebarannya sukar dibendung.
Apa yang diterima penduduk? Hanya berita-berita mengenai penyebaran dan bahaya flu babi serta nasihat-nasihat dari pemerintah untuk mengikuti gaya hidup sehat. Hanya itu. Mengapa? Bukan karena Indonesia melarat sehingga tidak mampu memberikan vaksinasi gratis, melainkan Indonesia digerogoti penyakit korupsi. Andai kata vaksinasi gratis pun diberikan, manipulasi pasti terjadi di sana sini, misalnya pungli. Kesadaran untuk antre tidak ada. Jarum yang seharusnya dipakai untuk satu orang dipakai untuk banyak orang, Kualitasnya pun sudah disulap menjadi kualitas buruk dan seterusnya. Sementara itu, politisi sodok-menyodok untuk memperebutkan kekuasaan dan kekuasaan diidentikkan dengan kesempatan untuk korupsi. (*)
*). Budi Darma, budayawan, guru besar Unesa, Surabaya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar