Pelaku pertambangan kembali mendapat keistimewaan. Mereka boleh mengubah
hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang terbuka hanya
dengan menyewa Rp 300 per meter. Fungsi lindung dan penyangga kehidupan
kawasan hutan harganya lebih murah dari sepotong pisang goreng.
Di tengah keprihatinan bencana banjir dan longsor di musim hujan, 4
Februari lalu, Presiden SBY mengeluarkan PP No 2 Tahun 2008. PP ini
mengatur jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari
penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan
kehutanan yang berlaku pada Departemen Kehutanan.
Seharga pisang goreng
PP ini memungkinkan perusahaan tambang mengubah kawasan hutan lindung
dan hutan produksi menjadi kawasan tambang skala besar hanya dengan
membayar Rp 1,8 juta-Rp 3 juta per hektar. Lebih murah lagi untuk
tambang minyak dan gas , panas bumi, jaringan telekomunikasi, repeater
telekomunikasi, stasiun pemancar radio, stasiun relai televisi, tenaga
listrik, instalasi teknologi energi terbarukan, instalasi air, dan jalan
tol. Tarif untuk semua itu menjadi Rp 1,2 juta hingga Rp 1,5 juta.
Itulah harga hutan lindung termurah—kalaupun fungsinya bisa
diuangkan—yang resmi dikeluarkan negeri ini. Hanya Rp 120-Rp 300 per
meter, lebih murah dari sepotong pisang goreng . Inilah cara amat buruk
menghargai fungsi lindung hutan.
Padahal, banjir dan longsor akibat perusakan sumber daya alam ,
khususnya hutan, telah melahirkan bencana dan kerugian triliunan rupiah.
Sepanjang 2000 hingga 2006, sedikitnya ada 392 bencana banjir dan
longsor di pelosok negeri. Ada ribuan orang meninggal, sementara ratusan
ribu lainnya menjadi pengungsi.
Empati pengurus negeri ini dipertanyakan. Benarkah mereka masih menaruh
perhatian terhadap nasib anak negeri? Kedatangan pejabat ke
daerah-daerah korban banjir dan longsor terkesan basa-basi, apalagi saat
kebijakan yang dikeluarkan ke depan justru akan memperbesar timbulnya
korban.
PP ini keluar di tengah laju kerusakan hutan rata-rata 2,76 juta hektar,
sepanjang 2005 dan 2006. Kerusakan hutan terbesar terjadi di Pulau
Kalimantan dan Sumatera. Dua pulau ini memiliki konsesi tambang yang
jumlah dan luasnya amat besar. Di Kalimantan Selatan saja, sedikitnya
ada 400 perizinan tambang batu bara, sebagian besar keluar
pascareformasi.
Banyak peraturan dikeluarkan pemerintah bukannya membuat keselamatan dan
produktivitas rakyat terjamin, tetapi justru sebaliknya. Peneliti Cifor
menyebutkan, selama tujuh tahun terakhir telah disahkan 500 lebih
peraturan Menteri Kehutanan untuk mengurus hutan Indonesia. Dalam jangka
yang sama, luas hutan menyusut 11,2 juta hektar.
Yang paling bersorak tentu pelaku pertambangan. Sejak delapan tahun
lalu, berbagai perusahaan tambang asing melakukan lobby hingga ancaman
membawa Indonesia ke arbitrase internasional. Kontrak karya mereka
terganjal status hutan lindung.
Akhirnya, UU Kehutanan Tahun 1999, yang melarang tambang terbuka di
hutan lindung, berhasil diamandemen dua tahun lalu. Ada 13 perusahaan
yang mendapat pengecualian meneruskan tambangnya di hutan lindung.
Sebagian besar adalah perusahaan tambang asing raksasa, sekelas Freeport
dari AS, Rio Tinto dari Inggris, Inco dari Kanada, dan Newcrest dari
Australia.
Sejak itu, jika mau membuka tambang di hutan lindung, mereka harus
mencari hutan kompensasi. Tetapi, itu tak cukup. Mereka mengeluhkan
lahan kompensasi sulit didapat. Mereka mau cara lebih mudah dan murah,
dan dijawab pemerintah dengan munculnya PP ini.
Daya rusak tambang
Berlawanan dengan kemanjaan yang diberikan kepada pelaku pertambangan,
protes penduduk korban yang jatuh bangun menghadapi daya rusak
pertambangan tak didengar pimpinan negeri ini. Padahal, pertambangan
berdaya rusak tak terpulihkan. Untuk mendapat satu gram emas saja,
sedikitnya 2,1 ton limbah batuan dan lumpur dibuang ke lingkungan.
Dengan ciri itu, lahan hutan yang digali tak bisa dipulihkan fungsinya
seperti semula.
Di Kalimantan Timur, korban tambang Kelian milik Rio Tinto tak jelas
nasibnya dan berkonflik satu sama lain, hingga perusahaan tutup. Warga
Dayak Paser terpaksa pindah kampung, tergusur tambang batu bara Kideco
Jaya Agung. Juga Dayak Siang Murung Bakumpai di Kalimantan Tengah,
lahannya dirampas Aurora Gold. Kasus-kasus ini tak menjadi rujukan
memperbaiki pengurusan tambang yang lebih adil ke depan.
Warisan lain adalah lubang tambang puluhan hektar dan kedalaman ratusan
meter yang dibiarkan menganga tak diurus. Lahan rusak itu di antaranya
lubang Etzberg milik Freeport, Toguraci milik Newcrest di Maluku Utara,
Serujan milik Aurora Gold, hingga ratusan lubang tambang batu bara di
Kalimantan Selatan dan seribu lebih lubang tambang timah di Bangka
Belitung.
Jika tak dicabut, PP ini akan memperparah kerusakan hutan dan kembali
meletakkan nasib rakyat dan lingkungan pada kerentanan tak
tertanggungkan.
Siti Maemunah, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar