Berikut ini ada kisah yang menarik dan perlu kita renungi sebagai bahan introspeksi diri terkait dengan pola pendidikan anak-anak yang dilakukan oleh orangtua dan pendidik selama ini.
Ibnu Khaldun menceritakan, ketika Al-Rasyid menyerahkan anaknya, Al-Amin, kepada seorang guru, ia mengatakan, “Wahai Ahmar, sesungguhnya Amirul Mukminin telah menyerahkan kepadamu belahan jiwa dan buah hatinya. Maka, bukalah tanganmu lebar-lebar dan ketaatanmu kepadanya adalah kewajiban. Tetaplah kamu bersamanya sebagaimana kamu kepada Amirul Mukminin. Bacakanlah kepadanya Al-Qur’an dan ajarkanlah kepadanya hadits-hadits. Riwayatkanlah kepadanya syair-syair dan ajarkanlah kepadanya sunnah. Perlihatkanlah kepadanya fenomena-fenomena dan dasar-dasar ilmu kalam. Laranglah dirinya tertawa bukan pada waktunya. Janganlah ia bertemu denganmu sesaat saja kecuali kamu menyampaikan kepadanya pelajaran-pelajaran yang dapat diambilnya, dengan tidak menyembunyikannya, sehingga pikirannya menjadi mati. Janganlah kamu biarkan dirinya berleha-leha, sehingga ia suka nganggur dan bersenang-senang. Luruskanlah dirinya sesuai kemampuanmu dengan pendekatan yang lembut. Jika ia menolaknya, maka lakukanlah dengan kekerasan.”
Keterangan di atas, merupakan pelajaran bagi orangtua dan pendidik dalam proses pendidikan anak-anak mereka. Sesungguhnya anak kecil itu merupakan amanat bagi setiap orangtuanya. Hatinya masih suci, bersih, dan kosong. Jika dibiasakan dan diajari kebajikan, ia akan tumbuh pada kebajikan dan berbahagia di dunia maupun di akhirat. Nabi SAW bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, hingga lisannya fasih. Kedua orangtuanyalah yang membuatnya beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Al-Baihaqi, Ath-Thabarani).
Kesuksesan dalam mendidik anak, paling tidak akan ditentukan oleh tiga kekuatan, yaitu orangtua, pendidik di sekolah, dan tatanan lingkungan masyarakatnya. Di sini, kelihatannya peran yang menentukan dan strategis dalam periode awal kehidupan seorang anak ialah pola didik dan asuhan dari kedua orangtuanya (baca : ibu dan bapak) di rumah.
Dalam mendidik anak sesuai moral Islam, menurut Syaikh M. Jamaluddin Mahfuzh (2003), ada beberapa unsur yang perlu diperhatikan. Pertama, menanamkan aqidah yang sehat. Bersumber dari Rafi RA, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW menyerukan adzan shalat ke telinga Hasan bin Ali RA, ketika ia baru saja dilahirkan oleh Fatimah.” (HR. At-Tirmidzi).
Kedua, latihan ibadah dan beri hukuman. Bersumber dari Abdullah bin Umar RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat ketika mereka telah berusia tujuh tahun. Dan pukullah mereka, karena meninggalkan shalat ketika mereka telah berusia dua belas tahun. Dan pisahkanlah mereka pada tempat tidur.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Hakim).
Ketiga, mengajarkan kepada anak sesuatu yang halal dan haram. Bersumber dari Abdullah bin Zaid RA, ia berkata; Kami sedang berada di dekat Abdullah bin Masud RA, ketika mendadak seorang puteranya datang menghampirinya dengan mengenakan baju dari sutera. Abdullah bin Masud bertanya, “Siapa yang memakaikan pakaian ini kepadamu?” Anak itu menjawab, “Ibuku.” Abdullah bin Masud lalu menanggalkannya seraya berkata, “Katakan pada ibumu supaya ia memakai pakaian yang selain ini.”
Keempat, membangun aktivitas belajar. Rasulullah SAW bersabda, “Hak anak atas ayahnya ialah diajari menulis, berenang, dan memberinya rezeki dari yang halal saja.” (HR. Al-Baihaqi).
Kelima, membangun persahabatan orangtua terhadap anak. Rasulullah SAW bersabda, “Perhatikanlah anak-anakmu, dan didiklah mereka dengan baik.” (HR. Ibnu Majah). Hadits ini mengajarkan agar orangtua selalu bersahabat dengan anak, mengawasi, memperhatikan, dan mendidik mereka sebaik mungkin. Rasulullah memberi petunjuk dalam sabdanya, “Barangsiapa punya anak kecil, hendaklah ia perlakukan secara proposional.” (HR. Ibnu Askair).
Keenam, membiasakan meminta izin. Ishak Al-Ghazari berkata, “Aku pernah bertanya kepada Al-Auza’i, apa batasan anak kecil yang diharuskan minta izin terlebih dahulu?” Ia menjawab, “Kalau ia sudah berumur empat tahun. Pada usia ini, ia tidak boleh menemui wanita tanpa izin terlebih dahulu.” Dan menurut Az-Zuhri, “Seseorang yang menemui ibunya harus minta izin terlebih dahulu.”
Dalam bahasa lain, menurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan, secara hirarkis pokok-pokok dalam mendidik anak secara Islam itu meliputi tujuh tahapan tanggung jawab yang harus dilakukan orangtua dan pendidik, yaitu :
Pertama, tanggung jawab pendidikan iman. Di dalamnya menyangkut tentang membuka kehidupan anak dengan kalimat Laa Ilaaha Illallaah; mengenalkan hukum halal dan haram kepada anak sejak dini; menyuruh anak untuk beribadah ketika telah memasuki usia tujuh tahun; dan mendidik anak untuk mencintai Rasul, keluarganya, serta membaca Al-Qur’an.
Kedua, tanggung jawab pendidikan moral. Jika sejak masa kanak-kanak, ia tumbuh dan berkembang dengan berpijak pada landasan iman kepada Allah dan terdidik untuk selalu takut, ingat, pasrah, meminta pertolongan, dan berserah diri kepadaNya, ia akan memiliki kemampuan dan bekal pengetahuan di dalam menerima setiap keutamaan dan kemuliaan, di samping terbiasa dengan akhlak mulia. Sehingga dari sini, anak akan terhindar dari jeratan perilaku suka berbohong, suka mencuri, suka mencela dan mencemooh, serta terhindar dari kenakalan dan penyimpangan yang dilarang agama.
Ketiga, tanggung jawab pendidikan fisik. Tanggung jawab ini dimaksudkan agar anak-anak tumbuh dewasa dengan kondisi fisik yang kuat, sehat, bergairah, dan bersemangat. Amanat ini di dalamnya berisi tentang tanggung jawab memberi nafkah kepada keluarga dan anak; mengikuti aturan kesehatan dalam makan, minum, dan tidur; melindungi diri dari penyakit menular; merealisasikan prinsip tidak boleh menyakiti diri sendiri dan orang lain; membiasakan anak berolah raga; membiasakan anak untuk zuhud dan tidak larut dalam kenikmatan; membiasakan anak bersikap tegas dan menjauhkan diri dari penggangguran, penyimpangan, serta kenakalan.
Keempat, tanggung jawab pendidikan rasio (akal). Orangtua dan pendidik hendaknya mampu membentuk pola pikir anak dengan segala sesuatu yang bermanfaat, seperti ilmu agama, kebudayaan, dan peradaban. Di sini, anak diusahakan untuk selalu belajar, menumbuhkan kesadaran berpikir, dan kejernihan berpikir (baca : kesehatan berpikir).
Kelima, tanggung jawab pendidikan kejiwaan. Pendidikan ini dimaksudkan untuk mendidik anak berani bersikap terbuka, mandiri, suka menolong, bisa mengendalikan amarah, dan senang kepada seluruh bentuk keutamaan jiwa dan moral secara mutlak. Salah satu bentuknya adalah bagaimana mendidik anak untuk tidak bersifat minder, penakut, kurang percaya diri, dengki, dan pemarah.
Keenam, tanggung jawab pendidikan sosial. Yakni mendidik anak sejak kecil agar terbiasa menjalankan perilaku sosial yang utama. Di antaranya berupa penanaman prinsip dasar kejiwaan yang mulia didasari pada aqidah Islamiah yang kekal dan kesadaran iman yang mendalam. Sehingga si anak di tengah-tengah masyarakat nantinya mampu bergaul dan berperilaku sosial dengan baik, memiliki keseimbangan akal yang matang, dan tindakan yang bijaksana.
Ketujuh, tanggung jawab pendidikan seksual. Di sini, orangtua dan pendidik hendaknya mampu mendidik tentang masalah-masalah seksual kepada anak, sejak ia mengenal masalah-masalah yang berkenaan dengan naluri seks dan perkawinan. Sehingga ketika anak telah tumbuh menjadi seorang pemuda dan dapat memahami urusan-urusan kehidupan, ia telah mengetahui apa saja yang diharamkan dan apa saja yang dihalalkan. Lebih jauh lagi, ia diharapkan mampu menerapkan tingkah laku Islami sebagai akhlak dan kebiasaan hidup, serta tidak diperbudak syahwat dan tenggelam dalam gaya hidup hedonis.
Wallahu a’lam.
Sumber
Kotasantri.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar