Jumat, 04 Desember 2009

Siti Roehana Koedoes (1884-1972): Ibu Pers, Pendidikan, dan Pelopor Emansipasi Perempuan Melayu

Pendahuluan

Jika di Jawa tersebutlah nama Kartini sebagai pendekar wanita yang
paling kondang, kaum perempuan di Sumatra juga punya idola yang tidak
kalah harum namanya: Siti Roehana Koedoes. Kartini tidak sendiri lagi.
Dari ranah Melayu, Roehana mengiringi perjuangan yang dirintis
Kartini. Sejarah telah menggurat riwayat, Kartini melegenda berkat
jasa baktinya memperjuangkan kaum perempuan, demikian pula Roehana.
Kedua srikandi Indonesia itu menempuh jalan pendidikan demi
mengentaskan perempuan dari pembodohan dan penindasan.


Sama yang dialami Kartini, cita-cita Roehana menemui jalan terjal
karena desakan adat yang tak jarang menganggap rendah dalam
memposisikan perempuan. Gugatan sentiasa merintangi misi Roehana, baik
kecaman yang datang dari kalangan agamawan maupun pemuka masyarakat,
terutama mereka yang berpikiran sempit dan anti kemajuan. “Tak ada
pengorbanan suci yang sia-sia,” demikian Roehana meneguhkan hati. [1]

Upaya Roehana demi mencerdaskan bangsa telah dirintis sejak belia.
Pada usia yang masih sangat muda, Roehana sudah menjadi guru dengan
menyediakan rumahnya sebagai sekolah dadakan bagi anak-anak perempuan.
Pelajaran yang diberikan meliputi membaca, menulis, bahasa,
budi-pekerti, agama, dan keterampilan menganyam. Roehana memacu
semangat murid-muridnya untuk maju dengan meyakinkan bahwa perempuan
bisa juga menjadi dokter atau guru. Roehana menganjurkan, dalam upaya
mencari ilmu, perempuan lebih baik merantau seperti yang lazim
dilakukan kaum lelaki Minang. Bagi kaum adat, gagasan ini jelas
menyimpang. Tetapi nyali Roehana tak ciut. Baginya, emansipasi harus
terus diperjuangkan demi kemajuan kaum perempuan.

Pada 1911, Roehana membuka sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) di kota
kelahirannya, Kotogadang, Sumatra Barat. KAS berkembang pesat dan
menghasilkan barang-barang kerajinan berkualitas tinggi. KAS adalah
sekolah perempuan pertama di Sumatra yang digagas langsung oleh
perempuan. Roehana menjadi wanita Sumatra pertama yang dengan sadar
memulai usaha memajukan kaum perempuan. Hebatnya, sekolah KAS yang
dirintis Roehana masih bertahan hingga saat ini.

Selain sebagai pendidik, Roehana juga pantas disebut Ibu Pers
Indonesia berkat perannya sebagai pelopor penerbitan koran perempuan
pertama di Indonesia di mana perempuan mengambil peranan langsung
dalam teknis penerbitannya. [2] Bisa jadi Roehana adalah wartawati
pertama yang pernah ada di Nusantara. Rohana merupakan cikal bakal
lahirnya wartawan-wartawan profesional di Sumatra Barat. Roehana tak
hanya sekadar berperan sebagai “pemanis” dalam koran-koran yang
dikelolanya. Lebih dari itu, dia memainkan lakon sentral sebagai
pemimpin redaksi Soenting Melajoe, koran perempuan yang terbit di
Padang sejak 10 Juli 1912, juga koran-koran bergenre emanisipasi
wanita lainnya. Meskipun menjabat sebagai pemimpin redaksi, Roehana
tak segan turun langsung ke bawah untuk meliput berita.

Roehana juga terlibat aktif dalam perintisan perhimpunan perempuan di
Sumatra. Melihat tumbuh subur berdirinya organisasi perempuan di tanah
Minang, Roehana lalu berinisiatif untuk mewadahinya dan menjadi motor
pendeklarasian perhimpunan Sarikat Kaum Ibu Sumatera (SKIS) sebagai
wadah pemersatu berbagai organisasi perempuan Sumatra. SKIS resmi
dibentuk di Padang pada 1911. Gebrakan Roehana ini sungguh
menakjubkan. Pejuang perempuan sekaliber Kartini pun belum sempat
mewujudkan ambisi ini. Lebih dari itu, Roehana mendirikan persatuan
organisasi perempuan ini jauh sebelum Kongres Perempuan Indonesia
digagas, yang kelak baru terlaksana pada 22-25 Desember 1928.

Ibu Pendidikan Perempuan Minangkabau

Siti Roehana lahir pada 20 Desember 1884, di Kotogadang, Sumatra
Barat. [3] Roehana berasal dari keluarga terpandang, dari salah satu
jalur matrilineal tertua di Kotogadang, yakni keturunan Datuk Dinagari
dari Puak Kato. Ayah Roehana, Moehammad Rasjad Maharadja Soetan,
bekerja sebagai seorang hoofdjaksa (jaksa kepala), jabatan yang
termasuk berkelas pada masa itu. Ayah Roehana pernah mendapat
penghargaan dari Kerajaan Belanda.

Darah keluarga Rasjad memang tergaris profesi jaksa. Datoek Dinagari,
kakek buyut Roehana, adalah jaksa pertama di Bukitinggi sekurun
1833-1836. Paman Roehana, adik Rasjad, juga seorang jaksa, begitu pula
saudara-saudara lelakinya yang lain. Roehana adalah anak pertama
Rasjad dari Kiam, istri pertama Rasjad. Dari Kiam, Rasjad memperoleh
enam anak. Setelah Kiam wafat, Rasjad menikah lagi hingga lima kali.
Salah satu anak lelaki Rasjad adalah Soetan Sjahrir. [4] Dengan
demikian, Sjahrir dan Roehana adalah saudara tiri lain ibu. Adik
Rasjad, paman Roehana dan Sjahrir, adalah kakek dari Agus Salim, yang
pada akhirnya nanti menjadi bapak bangsa Indonesia. Keluarga Roehana
memang seolah-olah ditakdirkan sebagai agen untuk perubahan.

Semenjak kecil, Roehana sudah sering berpindah-pindah rumah, mengikuti
tempat tugas ayahnya. Mulai dari Alahan Panjang, Padang Panjang,
Simpang Tonang Talu (Pasaman), Jambi, kembali ke Padang Panjang, balik
lagi ke Jambi, dan kemudian ke Medan. Ketika ibunya meninggal, Roehana
kembali ke Kotogadang untuk mengasuh adik-adiknya.

Roehana sangat dekat dengan ayahnya. Julukan “Roehana anak ayah” pun
disematkan kepadanya karena Roehana dianggap sebagai anak kesayangan.
Rasjad memang berperan besar dalam proses pendewasaan Roehana dan
berharap putri tercintanya itu akan tumbuh menjadi seorang perempuan
yang berguna bagi keluarga dan bangsanya. Bakat revolusioner Roehana
sudah terlihat sedari dini. Dia gemar membaca buku dan surat kabar,
suka menulis, dan berlatih menyulam.

Berkat bimbingan sang ayah, Roehana dengan cepat menguasai ilmu-ilmu
baru. Ayahnyalah yang mendidik Roehana dengan memberi surat kabar dan
memesan buku, bahkan sampai dari Singapura, dengan aksara Latin, Arab,
maupun Melayu, untuk dibaca Roehana. Roehana tidak pernah merasakan
sekolah formal, karena harus hidup nomaden mengikuti sang ayah dan
harus menjaga adik-adiknya. Jadilah Rasjad berperan sebagai ayah
sekaligus guru bagi putri-putrinya, termasuk Roehana.

Ketika mengikuti ayahnya bertugas di Alahan Panjang, pengetahuan yang
didapat Roehana bertambah lengkap. Keluarga Roehana bertetangga baik
dengan seorang jaksa, Lebi Rajo nan Soetan, dan istrinya, Adiesah.
Kebetulan keluarga kecil ini belum dikaruniai momongan. Keluarga Lebi
Rajo kemudian berandil cukup besar dalam proses kreatif Roehana.
Roehana kerap diajari membaca, menulis, serta merajut benang wol yang
merupakan keahlian perempuan Belanda. [5] Bermacam surat kabar dan
buku yang terdapat di rumah Adiesah dilahap Roehana. Sementara di
rumahnya sendiri, Roehana juga membaca buku milik ayahnya seperti
buku sastra, politik, atau hukum. Beginilah cara Roehana mengenyam
pendidikan.

Proses pembelajaran yang menyenangkan di Alahan Panjang cuma dua tahun
dirasakan Roehana. Rasjad dipindatugaskan ke Simpang Tonang Talu
gara-gara sikapnya yang kritis terhadap atasan. Di tempat tugas
ayahnya sekaligus tempat tinggal keluarganya yang baru inilah Roehana
memulai jejaknya sebagai seorang guru muda. Ini bermula dari kebiasaan
unik Roehana—yang bakal menjadi trade mark gaya Roehana kecil menarik
murid—yakni membaca surat kabar ataupun buku dengan suara lantang di
depan orang banyak di tempat umum maupun di teras rumahnya. Ditambah
gaya baca Roehana yang memikat pendengar hingga mereka dibuat tertawa
terpingkal. [6] Kiprah sang penyuluh segera dimulai.

Awalnya hanya dari kebiasaan Roehana membaca buku-buku dan koran
dengan suara yang nyaring lagi lantang, namun siapa sangka kegemaran
ini justru yang membuat lingkungan sekitarnya sadar bahwa Roehana
sangat berbakat untuk menjadi guru. Mulanya tak puas mendengar,
berangsur para tetangganya mulai tertarik belajar membaca dan menulis
agar bisa membaca sendiri cerita yang diperdengarkan Roehana.

Ternyata umpan Roehana mujarab menjaring minat belajar orang kampung.
Timbullah gagasan mendirikan sekolah di rumah, teras disulap menjadi
tempat belajar sederhana, sedangkan ayah Roehana membantu pengadaan
alat tulis yang dibagikan secara gratis. Cukup beralas tikar dan duduk
bersila, pelajaran membaca dan menulis dimulai dengan Roehana sebagai
guru. Ayah Roehana pun bersedia mengajar materi budi-pekerti dan
agama.

Kegiatan belajar-mengajar yang berlangsung di rumah Roehana semakin
riuh, dari anak-anak hingga para ibu muda terlibat proses pendidikan
yang menggembirakan. Roehana mulai memperkaya materi pengajaran. Tak
hanya membaca dan menulis saja, tapi juga pelajaran agama dengan
menyertakan belajar membaca dan menulis Arab agar tidak sekadar
menghafal, sebagaimana pelajaran agama di surau-surau. Nenek Roehana,
Tuo Sarimin, turut andil dengan memberikan pelajaran keterampilan
menyulam, sementara Tuo Sini, adik neneknya yang selain pintar
mendongeng juga mengajar anyam-menganyam. [7]

Keteladanan seorang guru akan menjadikan guru sebagai pendidik yang
mampu memberikan kesempatan siswa untuk mengembangkan semua dimensi
kemanusiaannya. [8] Maka dari itu, Roehana mengasah pengetahuannya
dengan lebih banyak membaca buku dan berlangganan surat kabar,
termasuk media terbitan luar negeri. Dengan banyak menjamah bacaan
asing, Roehana kian menyadari perbedaan nasib perempuan di dalam
negeri dengan kondisi perempuan di luar negeri. Roehana mendapati tak
hanya lelaki yang bisa menikmati pendidikan, tapi juga kaum perempuan.

Perempuan di negeri nun jauh di sana bisa memperoleh gelar sarjana,
bekerja di kantor, menjadi guru, serta boleh menyatakan pendapatnya
untuk turut menentukan masa depan bangsa. Kondisi kaum perempuan di
dalam negeri sangat berbeda, masih dibatasi dengan aturan adat.
Keadaan ini mengundang rasa prihatin dan memunculkan hasrat Roehana
untuk memajukan kaum perempuan, yakni melalui jalur pendidikan dan
pers.

Pengetahuan dari bacaan-bacaan luar negeri diterapkan Roehana saat
mengajar dengan membeberkan nasib perempuan di Eropa yang jauh lebih
baik. Sekali lagi, Roehana menegaskan perlunya perempuan Minang untuk
merantau demi mencari ilmu. Bila perempuan tak berani membuka
pikirannya, kata Roehana, maka dia akan tersingkir dari perhatian
laki-laki karena pria Minang lebih menyukai perempuan yang pintar.
Pikiran Roehana tentang perempuan merantau dianggap menyimpang dari
adat karena berani memasukkan perempuan dalam lingkaran rantau yang
mutlak dipunyai lelaki. Tapi begitulah ciri pelopor, pikirannya pasti
melampaui orang kebanyakan pada zamannya.

Menjalani peran sebagai penyuluh kaum perempuan dilakoni Roehana cukup
lama, sejak belia hingga Roehana berusia 24 tahun. Selama kurun waktu
itu, Roehana telah melakukan banyak gebrakan untuk mendidik kaum
perempuan. Jasa terbesar Roehana tentu saja ketika mendirikan sekolah
Kerajinan Amai Setia (KAS) di Kotogadang pada 1911. Sekolah yang
mendidik keahlian anak-anak perempuan ini merupakan tindak lanjut dari
dideklarasikannya perkumpulan perempuan Kerajinan Amai Setia pada 11
Februari 1911 di mana Roehana ditunjuk sebagai ketuanya. Di bawah
tangan halus Roehana, KAS berkembang pesat. Para istri pejabat Belanda
tertarik dengan hasil kerajinan siswi-siswi KAS yang kualitasnya telah
layak ekspor.

Kegemilangan yang ditoreh Roehana tersiar ke berbagai penjuru. Hingga
datang undangan bagi Roehana untuk ke Eropa untuk ikut dalam
Internationale Tentoonstelling yang akan dihelat di Brussel, Belgia,
pada 1913. Internationale Tentoonstelling adalah ajang pameran
kerajinan tahunan yang diikuti oleh peserta dari banyak negara. Ini
adalah kesempatan emas Roehana untuk memamerkan sulam terawang karya
perempuan Kotogadang sehingga akan dikenal lebih luas. Namun,
gara-gara fitnah dari pihak-pihak yang dengki, Roehana batal ke Eropa,
padahal kabar rencana keberangkatan Roehana telah disiarkan luas. [9]

Wartawati Indonesia Pertama

Gagal ke Eropa, spirit Roehana tak surut. Justru aksi jegal yang
dialaminya dijadikan pelecut untuk semakin maju. Roehana bertekad
untuk terus membimbing bangsanya menuju pencerahan. Kali ini pena jadi
pilihan senjatanya. Kegemarannya membaca membuatnya terpantik untuk
turut menulis. Ini suatu keputusan berani mengingat kala itu tak
banyak perempuan yang berkecimpung di semesta media. Roehana adalah
salah seorang srikandi pertama yang memulai tradisi pers di Sumatra
Barat, pelopor jurnalisme perempuan Minangkabau.

Semasa menjadi guru, Roehana mengajari para muridnya menulis maupun
menyadur cerita dalam bentuk syair yang memuat kearifan. Selain itu,
Roehana mempunyai kebiasaan menulis catatan harian atau semacam memoar
yang berisi keluh-kesah, juga apapun yang dialaminya dalam kehidupan
sehari-hari. Kegemaran membaca dan menulis inilah yang kemudian
membuatnya berani mencoba mengirimkan hasil pemikirannya ke beberapa
surat kabar.

Ketika Poetri Hindia [10] terbit perdana pada 1908 di Batavia dan
lantas dianggap sebagai koran perempuan pertama di Indonesia, Roehana
ikut antusias menyambut kemajuan ini. Beberapa kali dia menjadi
kontributor koran perempuan yang hadir berkat gagasan Tirto Adhi
Soerjo [11] itu. Bisa jadi Roehana adalah wanita Indonesia yang secara
sadar memerankan dirinya sebagai seorang jurnalis, yang bersedia
meliput berita sekaligus menulis untuk kemudian dikirimkan ke media
massa. Kebanyakan, para perempuan yang terlibat di dunia jurnalistik
kala itu cuma sebatas sebagai “pemanis” semata, tanpa perlu
susah-susah bersadar diri dalam melakoni tugas-tugas jurnalistik.

Setelah Poetri Hindia tutup buku karena Tirto Adhi Soerjo terlibat
beberapa perkara delik pers dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda,
Roehana kemudian berpaling pada Oetoesan Melajoe yang sudah terbit
sejak 1911. [12] Roehana mengirim surat kepada Datoek Soetan Maharadja
alias DSM, pemilik Oetoesan Melajoe sekaligus tokoh pers terkemuka di
Sumatra Barat.

Gayung bersambut, DSM ternyata sama kepincutnya terhadap Roehana, DSM
mengikuti dengan cermat segala sepak-terjang Roehana, baik lewat
gerakan-gerakan Roehana di bidang pendidikan dan emansipasi perempuan
ataupun ketajaman kalam Roehana yang dimuat di sejumlah surat kabar.
Saking tertariknya, orang sepenting dan sesibuk DSM sampai rela datang
ke Kotogadang demi langsung menemui Roehana.

Hati Roehana terang girang bukan kepalang, dia segera menyampaikan
keinginannya kepada DSM yang dijuluki raja pers Minangkabau itu.
Roehana tidak main-main dalam hal ini, bahkan dia dengan tegas
menyatakan ingin menerbitkan surat kabar khusus perempuan.
“Keinginanku sebenarnya bukanlah sekadar meminta ruangan kaum ibu
dalam surat kabar Oetoesan Melajoe yang bapak pimpin, tetapi kalau
boleh ya penerbitan surat kabar yang istimewa untuk perempuan,” pinta
Roehana. Setelah berembug, mereka kemudian bersepakat untuk
menerbitkan koran khusus perempuan yang hingga saat itu belum pernah
ada di Sumatra. [13]

Tanpa lebih banyak basa-basi, meluncurlah edisi perdana Soenting
Melajoe pada 10 Juli 1912. Roehana dipercaya untuk mengendalikan surat
kabar ini sebagai pemimpin redaksinya. Inilah perempuan Indonesia
pertama yang secara langsung memimpin surat kabar dan secara teknis
sangat terlibat dalam tiap-tiap terbitannya. Bersama Roehana, duduk
pula nama-nama srikandi lain di jajaran keredaksian Soenting Melajoe,
seperti Zoebaedah Ratna Joewita binti Datoek Soetan Maharadja yang
berkedudukan di Padang serta Roehana binti Maharadja Soetan yang
mengasuh biro Soenting Melajoe di Bukitinggi. Ratna Joewita, anak
perempuan DSM, sudah cukup kenyang pengalaman karena pernah menjadi
penulis di Poetri Hindia, sama seperti yang pernah dilakoni Roehana.

DSM sendiri adalah sosok kontroversial. Pada 1911 itu, DSM, jurnalis
kawakan Melayu sekaligus pemuka adat, terlibat perselisihan dengan
kaum ulama pembaharu. DSM menggunakan Oetoesan Melajoe untuk melawan
jurnal Al-Moenir milik golongan Islam modernis. Al-Moenir mengkritik
tentang semua yang dianggap tabu kaum adat, dan sebaliknya, DSM tak
henti-hentinya menyerang musuhnya dengan menyebut mereka sebagai kaum
paderi. [14]

Kendati bertipikal keras, DSM ternyata peduli emansipasi perempuan.
Pada 1908, DSM memprakarsai Pekan Raya Melayu di mana diperkenalkan
sekolah penenun pertama untuk perempuan, Padangsche Weefschool.
Selanjutnya pada 1912, DSM berkampanye untuk meningkatkan status kaum
hawa melalui perluasan kesadaran dan pendidikan. Realisasi dari upaya
itu, DSM sekali lagi membangun sekolah-sekolah tenun di beberapa
tempat di Sumatra Barat. Kepedulian DSM terhadap kemajuan perempuan
inilah yang menjadikan Roehana sangat respek kendati DSM adalah juga
seorang tokoh adat yang cukup konservatif.

Perbedaan Soenting Melajoe dengan Poetri Hindia cukup jelas. Kendati
Poetri Hindia merupakan koran perempuan pertama di Indonesia tetapi
secara teknis jalan redaksinya ini justru dikendalikan langsung oleh
Tirto Adhi Soerjo. [15] Untuk mengesankan sebagai koran khusus
perempuan, sederet nama wanita terpandang dipasang di jajaran
keredaksian Poetri Hindia. Namun tulisan Tirto Adhi Soerjo, selaku
pemilik Poetri Hindia, masih sangat sering muncul di koran perempuan
ini.

Sedangkan Soenting Melajoe berbeda. Meski DSM menjadi salah seorang
penggagasnya, DSM tidak ikut campur dalam teknis keredaksian. DSM
menyerahkan seluruh penggarapan Soenting Melajoe kepada Roehana
sebagai pemimpin redaksinya. Inilah yang menjadi puncak pencitraan
Roehana sebagai perempuan Indonesia pertama yang berprofesi sebagai
wartawan. Awalnya, kerja Roehana hanya memetakan pemikirannya sembari
merilis berita dan tulisan dari koran-koran luar negeri untuk
ditampilkan di Soenting Melajoe. Namun kemudian Roehana benar-benar
menjalani tugasnya sebagai wartawan. Roehana tak jarang bolak-balik
Kotogadang-Bukitinggi untuk meliput peristiwa-peristiwa yang terjadi.

Roehana menemukan alasan kuat mengapa tertarik terjun ke dunia
jurnalistik. Pertama, perasaaan bangga karena dengan menjadi wartawan
dapat bertemu dengan para tokoh besar. Kedua, kerja-kerja menulis
seorang wartawan adalah ruang untuk memerdekakan pikiran, bahkan bisa
untuk mengkritik atau mengkoreksi hal-hal yang dirasa tidak benar dan
dianggap perlu diketahui oleh khalayak. Ketiga, kewajiban seorang
wartawan untuk mengemban amanat rakyat terlebih lagi amanat rakyat
yang hakiki berupa kemerdekaan hati nurani rakyat. Terakhir, dengan
menjadi seorang wartawan, Roehana leluasa memperjuangkan nasib
perempuan supaya tidak terus ditindas oleh aturan adat serta perlakuan
diskriminatif. Roehana berkehendak memenangkan perjuangan perempuan,
dan itulah yang dilakukannya melalui Soenting Melajoe.

Penghargaan sebagai Wartawati Pertama.

Dominasi sajian Soenting Melajoe menekankan pentingnya perempuan
menempuh pendidikan, baik pendidikan formal, pendidikan keluarga, juga
pendidikan untuk bisa hidup mandiri tanpa bergantung pada lelaki.
Tulisan-tulisan Roehana cukup tajam, bahkan berulangkali menyerang
adat Minangkabau yang dinilainya telah usang, tak relevan lagi dengan
kemajuan zaman. “Saya terutama sekali menulis mengenai segi keagamaan
dan keharusan adat Minangkabau, khususnya Kotogadang, yang mengubah
sikap mereka mengenai perempuan,” tegas Roehana. [16] Tulisannya
banyak bercerita ihwal kehidupan perempuan dari lapisan menengah ke
bawah. Roehana sangat paham tentang keadaan ini karena dalam
lingkungan inilah dia menjalani kehidupan.

Roehana juga kerap menyoroti nasib perempuan di negara miskin dan
negara terjajah. Dalam artikel berjudul “Perempoean” yang dimuat di
Soenting Melajoe edisi 13 Desember 1918, Roehana menggugat nasib kaum
perempuan India yang merana akibat terkekang aturan adat. Keadaan kaum
perempuan India memang sangat mengenaskan, bahkan diperlakukan tidak
manusiawi. Ketika sedang menstruasi, mereka diasingkan karena dianggap
sebagai makhluk yang kotor lagi najis. Inilah yang digugat Roehana
bahwa perempuan selalu saja menjadi tumbal atas nama norma adat.
Berikut sedikit nukilan tulisan Roehana itu:

Perempuan bangsa Hindu di tanah Hindustan sebelah utara dan Hindustan
sebelah tengah amatlah rendah sekali derajatnya dan tiada berhak
apa-apa. Perempuan Hindu itu waktu di masa berkain kotor sekali
sebulan. Jangankan berhak tidur dalam bilik, sedangkan akan tidur
dalam rumah saja, di luar bilik pun tiada boleh, melainkan harus
tinggal di beranda-beranda rumah saja atau di dapur dengan tidak boleh
masuk ke dalam rumah, sebab dia berkain kotor itu dipandang bernajis
badannya, tidak boleh masuk rumah. [17]

Gugatan Roehana kian bernyali, kali ini tulisan galaknya ditujukan
terhadap kaum pria yang selama ini hanya menjadikan perempuan berada
di bawah kuasa mereka. Roehana menginginkan keadilan. Dia tidak mau
kaumnya hanya diperlakukan sekadar sebagai pelengkap, pemuas nafsu
yang kebetulan memiliki fungsi reproduksi. Roehana memperjuangkan
emansipasi dan kesetaraan, karena menurut Roehana, perempuan bersama
laki-laki adalah unsur pembangun bangsa. Dalam artikelnya yang
bertajuk “Mentjari Isteri”, Roehana menulis untuk kaum keturunan Adam:

Wahai, tuan-tuan! Ketahuilah oleh tuan-tuan, bahwa perempuan itu
sunting permainan. Janganlah tuan pilih perempuan (sama gadis atau
janda) yang panjang rambut dan licin kening saja, tetapi wajiblah
tuan-tuan ingat buah yang manis itu banyak berulat. Biarlah kita
mendapat lembayang buruk kulit sebab daripada rupawan. Wajib pula kita
ketahui dan cari perempoean yang setiawan, gunawan nantilah hartawan,
bangsawan dan tempawan. Menurut pikiranku yang bodoh ini, di antara
jang banyak itu lebih baik benar kita mendapat istri setiawan dan
gunawan. [18]

Aksi berani Roehana ternyata menuai kecam dari kubu seberang. Suatu
ketika, Roehana mendapat kiriman surat kaleng berisi cacian.
“Perempuan tak perlu banyak ulah, kenapa harus mencari perkara dengan
pemikiran dan kegiatan yang tak penting?! Bukankah selama ini
perempuan tak lebih hanya seorang ibu rumah tangga belaka?! Sekarang
mau bersaing pula dengan laki-laki. Ada-ada saja!” begitu bunyi surat
galak bernada bias gender tersebut.

Surat makian kepada Roehana itu sebenarnya merupakan reaksi atas
tulisan keras Roehana tanggal 29 September 1924, yang berjudul
“Giliran Zaman” di mana dia mempertanyakan daya juang pergerakan yang
mulai lembek. “Sesungguhnya jika dipikir sepintas lalu, hendaklah
orang menaruh pengertian tentang putih-merahnya, lunak kerasnya jalan
sikap pergerakan rakyat pada suatu negeri. Ukuran merk stempelnya
adalah tergantung pada keadaan papan nasib penduduknya di tempat atau
di negeri di mana timbul itu pergerakan jua adanya,” [19] kritik
Roehana. Artikel inilah yang kemudian memantik reaksi kurang terima
dari beberapa kalangan, bahkan dari aktor-aktor pergerakan itu
sendiri.

Roehana tak takut, justru hasratnya terpacu, hasrat seorang perempuan
yang tak boleh bertingkah macam-macam, perempuan yang dilarang
menyaingi kaum lelaki. Surat itu datang gara-gara sepak-terjang
emansipasi Roehana, juga aksi beraninya menggugat pemerintah kolonial.
Roehana mulai melakukan agitasi terhadap kaumnya untuk turut andil
dalam perjuangang pergerakan nasional, bahkan berpolitik sebagai
senjata melawan kaum penjajah.

Meski cenderung keras dalam urusan emansipasi perempuan, namun Roehana
tak serta-merta jadi gelap mata. Roehana masih memegang teguh kodrat
asali perempuan, yakni sebagai ujung tombak dalam mengurus rumah
tangga dan keluarga. Untuk itu, Roehana selalu menghimbau agar kaum
perempuan tak jemu menimba ilmu supaya kaum perempuan menjadi golongan
yang tangguh, pandai mengelola keluarga tanpa selalu menggantungkan
diri terhadap suami. Roehana menganjurkan:

Rajin-rajinlah dan tetaplah hati saudara-saudara setiap hari menuntut
ilmu, karena ilmu itu telah bersendi kemajuan bagi pihak beberapa
bangsa. Sungguh pada masa ini sudah nyata abad ke 20 dan zaman
kemajuan. Mulai laki-laki dan perempuan, sama akan dimajukan. Sebab
kemajuan itu tak hanya pendapat pada pihak laki-laki saja. Pihak
perempuan berkemajuan juga, bangsaku perempuan hendaknya juga
dimajukan, jangan sekali ditinggalkan di belakang. Kepandaian itu amat
berguna bagi saudara kami laki-laki juga perempuan. Sekali lagi, anak
perempuan harus terus disekolahkan! [20]

Selain mengupas ihwal perempuan, Soenting Melajoe juga mengangkat
peristiwa politik maupun kriminal yang terjadi di tanah Melayu, juga
yang terjadi di dunia internasional. [21] Keunikan Soenting Melajoe
adalah kala terbitnya yang tak lazim: saban 9 hari. Dengan harga
perbulan sebesar f 0,25 untuk Hindia Belanda dan f 0,40 untuk luar
negeri, koran yang diterbitkan penerbit Snelpersdrukkerij ini mampu
menjadi penempa wanita Minangkabau dengan sapaan manisnya.

Soenting Melajoe diterbitkan dari Padang namun Roehana tak perlu
berpindah domisili. Dari Kotogadang, Roehana tetap bisa mengendalikan
redaksi Soenting Melajoe, yakni cukup dengan mengirim tulisan selama
sepekan dan berkoordinasi dengan awak redaksi di Padang. Roehana
menulis dengan tulisan tangan karena dia merasa masih nyaman dengan
gaya konvensional ini, selain tidak memiliki dan belum mahir
menggunakan mesin ketik. Kecuali aktif dan produktif dalam menulis,
Roehana turun langsung mencari bakat terpendam para perempuan yang
gemar menulis ke pelosok-pelosok, serta mengusahakan dibukanya
biro-biro Soenting Melajoe di berbagai tempat untuk memudahkan
distribusinya.

Untuk menarik koresponden berpartisipasi, Roehana memuat kolom khusus
berisi ajakan agar kaum perempuan bersedia menyumbang tulisan. Dalam
kolom tersebut ditulis, bahwa tulisan yang dikirim tak harus artikel
panjang lagi serius, syair pun diterima dengan senang. “Betapalah
senang hati hamba, kalau saudara sepertinya sua, sama-sama turut
menggoyangkan pena selalu menampakkan diri di medan ini. Memimpin
teruskan sepanjang maksud daya yang nyata ada haluan amat bagus
sekali,” demikian ajakan yang terpampang di Soenting Melajoe. [22]
Berkat militansi Roehana yang tak kenal letih, peredaran Soenting
Melajoe tak hanya di ranah Minang saja, tetapi juga hingga ke seluruh
Sumatra, bahkan sampai ke Jawa. Soenting Melajoe, misalnya, memiliki
kontributor dari Batavia dan Semarang.

Berkat peran vitalnya dalam menggalang keberlangsungan Soenting
Melajoe, nama Roehana melambung ke panggung pers nasional dengan fokus
pemberitaan tentang perempuan. Sebagai pedagog sekaligus jurnalis,
nama Roehana kemudian dikenang-kenang sebagai jurnalis pertama
perempuan Pribumi karena dia juga terlibat langsung dalam membangun
manajemen pers di dekade kedua abad ke-20 itu. “Soerat Kabar Perempuan
di Alam Minangkabau”, demikian jargon yang diusung Soenting Melajoe.
Jargon ini senafas dengan perjuangan Soenting Melajoe mengangkat
harkat perempuan, utamanya adalah bagaimana mendudukan posisi yang
sejajar dengan kaum laki-laki di dalam dunia pergerakan.

Tak jemu-jemu Roehana menuntut agar hak-hak kaum Hawa tidak terlalu
ditekan. Roehana berjuang sekuat tenaga melalui bidang yang
dikuasainya: pendidikan dan pers. Melalui media surat kabar,
pergerakan Roehana lebih leluasa dalam melancarkan kritikan dan
sentilan pedas kepada pihak-pihak yang tak ingin kaum perempuan
memperoleh kemajuan. Sebagai ransum untuk memperkaya wawasannya
sebagai seorang guru sekaligus jurnalis, Roehana terus membekali
dirinya dengan membaca surat kabar pergerakan, seperti Fadjar Asia,
Modjopahit, Goentoer Bergerak, juga Sinar Djawa/Sinar Hindia.
Koran-koran ini kebanyakan adalah corong pergerakan yang dimotori para
pejuang generasi muda yang berdarah-darah menentang penjajahan. [23]

Selain bersama Soenting Melajoe, Roehana juga terlibat dalam beberapa
koran lainnya. Pada 1913, di samping pekerjaaan utamanya sebagai
pemimpin redaksi Soenting Melajoe, Roehana juga menjadi awak Saoedara
Hindia, yang diterbitkan di Kotogadang, tempat Roehana bermukim.
Selanjutnya, pada 1920, saat Roehana menetap di Medan sembari mengajar
pada sekolah Dharma Putra, dia membantu penerbitan surat kabar
Perempoean Bergerak. [24]

Perempoean Bergerak, koran terbitan Deli, juga mengusung semangat
feminisme kendati tetap memuat sajian rumah tangga, sopan-santun,
keluarga, penjagaan anak, pergaulan sehari-hari, dan masak memasak.
Segmen pembacanya pun juga ditujukan bagi laki-laki. Argumentasinya,
kemajuan perempuan dan bangsa hanya akan tercapai dengan kerjasama
antara laki-laki dan perempuan. Perempoean Bergerak dipelopori para
aktivis perempuan ternama kala itu, antara lain Boetet Satidjah, Anong
S Hamidah, Siti Sahara, Ch Baridjah, TA Safariah, dan Siti Satiaman.
Nama terakhir yang disebut adalah pemimpin redaksi sekaligus istri
dari jurnalis terkemuka, Parada Harahap. [25] Roehana sempat pula
menjadi redaktur surat kabar Radio dan Tjahaja Sumatra yang
diterbitkan di Padang. Namun, meski sudah kenyang berbagai pengalaman
di dunia pers, Soenting Melajoe tetap saja menjadi ciri yang paling
lekat pada diri Roehana sebagai seorang jurnalis.

Roehana setia mengawal Soenting Melajoe dari awal hingga pungkas.
Sejak Soenting Melajoe pertama kali diluncurkan sampai koran ini
berhenti terbit pada 1921, posisi Roehana sebagai motor utama
penggeraknya tak tergantikan. Sembilan warsa yang dilakoni Roehana
bersama Soenting Melajoe bukanlah waktu yang sebentar, tak banyak
koran yang bisa bertahan selama itu dalam kurun dekade kedua abad
ke-20 tersebut. Berkat kegigihan dan komitmen Roehana demi kemajuan
kaum perempuan, Soenting Melajoe mampu melangsungkan perjuangannya
selama sembilan tahun itu.

Usia Panjang Sang Pejuang

Dia sejatinya bernama asli Siti Roehana. Nama tambahan Koedoes
didapatnya setelah menikah dengan Abdoel Koedoes Gelar Pamoentjak
Soeltan pada 1908. Sang suami masih terhitung keponakan ayah Roehana.
Abdoel Koedoes adalah lelaki terpelajar, wartawan, sekaligus aktivis
pergerakan. Betapa senangnya hati Roehana mendapat pasangan hidup yang
seiring sejalan dan sangat mendukung aktivitasnya. Abdoel Koedoes
adalah anggota Insulinde, organisasi pengganti Indische Partij (IP).
[26]

Abdoel Koedoes juga seorang jurnalis surat kabar Tjahaja Soematra
selain sering menulis untuk koran-koran lain. Keahlian jurnalisme sang
suami inilah yang kelak akan membuat Roehana semakin gandrung menulis
dan berjuang lewat medan pers. Ideologi perjuangan Abdoel Koedoes juga
sangat mempengaruhi pendewasaan karakter seorang Roehana, terutama
dalam hal sikap politiknya terhadap kesewenang-wenangan kaum penjajah.
Abdoel Koddoes sendiri memiliki pribadi yang berani dan tegas. Kendati
dia memperoleh pendidikan hukum, suami Roehana itu lebih memilih
menjadi notaris partikelir karena tak sudi mengabdi untuk pemerintah
kolonial.

Roehana menyadari posisi pemerintah kolonial selaku penjajah kendati
dia banyak berkawan dengan orang-orang Belanda sejauh itu memberi
manfaat posisitf bagi pergerakannya. Bersama suaminya, Roehana semakin
tajam dalam menilai setiap ketidakadilan yang dilakukan antek-antek
kolonial, sehingga tanpa tedeng aling-aling Roehana memberanikan diri
bergerak melawan lewat tulisan, pendidikan, maupun pergerakan
organisasi. Menepis anggapan bahwa selama ini Kotogadang cenderung pro
terhadap Belanda, Roehana menampik dengan menjelaskan bahwa orang
Kotogadang hanya sekadar belajar mencuri kunci bagaimana mengadakan
perubahan, termasuk lewat pendidikan. Setelah tercapai maksud, orang
Kotogadang bukan menggadai harga diri tapi merebut kebebasan.

Roehana dan suami ternyata cukup cocok dengan Soetan Sjahrir yang tak
lain adalah adik tiri Roehana. Mereka bertiga memiliki jiwa yang sama,
melawan dan tidak takut menentang pemerintah kolonial. Menurut
keyakinan ketiganya, perantauan dari ranah Minang merupakan unsur
paling dinamis di antara manusia Indonesia baru, utamanya di Medan
tempat mereka menetap kala itu. Medan di waktu itu sama riuh dan
berkembangnya dengan Batavia, Surabaya, dan Semarang, alias masuk
jajaran empat kota besar di Hindia Belanda. Medan menjadi wilayah yang
paling tersentuh nuansa modern di antara daerah-daerah lain di
Sumatra.

Pasangan Siti Roehana dan Abdoel Koedoes dikarunia anak lelaki semata
wayang yang diberi nama Djasman. Ketika beranjak dewasa, Djasman
mengikuti jejak sang ibu dengan mengabdikan diri sebagai guru. Ketika
kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, usia
Roehana sudah menginjak 61 tahun. Saat Belanda datang lagi dan
melancarkan agresi militer pasca proklamasi kemerdekaan RI, Roehana
turut membantu dengan tulisannya yang membakar semangat juang para
pemuda. Roehana juga ikut mempelopori berdirinya dapur umum dan badan
sosial untuk membantu para gerilyawan yang sedang berjuang
mempertahankan Republik. Roehana juga mencetuskan ide untuk
menyusupkan senjata dari Kotogadang ke Bukitinggi melalui Ngarai
Sianok dengan cara menyembunyikannya dalam sayuran dan buah-buahan
yang kemudian dibawa ke Payakumbuh dengan kereta api.

Ketika Indonesia menerima pengakuan kedaulatan pada 1949, Roehana
kembali ke Kotogadang karena sang suami, Abdoel Koedoes, mulai
sakit-sakitan, hingga akhirnya wafat. Sepeninggal suaminya, Roehana
kembali ke Medan, tinggal bersama Djasman. Umurnya yang sudah renta
tak memungkinkan lagi untuk terus mengajar dan menulis surat kabar. Di
masa senjanya, Roehana masih sempat menghabiskan waktu untuk hal-hal
yang bermanfaat. Membaca dan menjahit, serta mencatat diari adalah
aktivitas keseharian Roehana.

Nenek pemberani ini sempat tinggal di Jakarta. Pada 1958, Djasman
ditugaskan ke London, Inggris, selama 2 tahun. Tak mungkin bagi
Roehana untuk ikut. Karena itu, dia memutuskan menetap di Jakarta,
bersama keponakannya, sembari menunggu kepulangan Djasman. Ketika sang
putra tercinta kembali ke tanah air, Roehana terus tinggal bersama
Djasman kendati beberapa kali berpindah kota mengikuti daerah tugas.
Djasman sempat ditugaskan ke Surabaya selama 2 tahun sebelum ke
Jakarta lagi.

Pada 17 Agustus 1972, tepat ketika seluruh rakyat Republik Indonesia
memperingati hari kemerdekaannya yang ke-27, Siti Roehana Koedoes
meninggal dunia di Jakarta pada usia 88 tahun. Jenasahnya dimakamkan
di pemakaman umum Karet, Jakarta. Tak banyak perempuan Indonesia
seperti Roehana, apalagi pada masa hidupnya yang sarat ketidakadilan
yang dialami kaum perempuan. Siti Roehana Koedoes, seorang perempuan
yang tak pernah mengecap pendidikan formal tapi sanggup melakukan
hal-hal besar demi perubahan: mendirikan sekolah perempuan, membentuk
organisasi perempuan, serta menerbitkan surat kabar perempuan. Bukan
kebetulan, di ranah Sumatra, Roehana adalah sang pemulanya. [27]

Penutup

Roehana Koedoes memegang peran yang cukup sentral dalam lalu lintas
riwayat pergerakan perempuan di Minangkabau khususnya dan di Indonesia
pada umumnya. Roehana merupakan perempuan Minangkabau yang mencoba
menaburkan benih pembebasan perempuan dari teologi bias gender.
Pergerakan-pergerakan pemberdayaan perempuan yang dilakukan Roehana
adalah simbol manifestasi perjuangan kaum perempuan dari adat dan
realita yang tidak seimbang memandang perempuan itu sendiri. [28]

Roehana mempunyai komitmen yang kuat pada pendidikan terutama untuk
kaum perempuan. Pada zamannya, Roehana termasuk salah satu dari
segelintir perempuan yang percaya bahwa diskriminasi terhadap
perempuan, termasuk kesempatan untuk mendapat pendidikan, adalah
tindakan semena-semena dan harus dilawan. Dengan kecerdasan,
keberanian, pengorbanan serta perjuangannya Roehana melawan
ketidakadilan untuk perubahan nasib kaum perempuan. [29]

Roehana Koedoes, Pejuang Perempuan Melayu.

Dalam upaya mengubah paradigma masyarakat Minangkabau terhadap
pendidikan bagi perempuan, Roehana tidak kenal lelah berikhtiar.
Dengan bijak, Roehana mengakui bahwa perputaran zaman tak akan pernah
membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan
dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Akan tetapi, yang mesti
dilakukan adalah bahwa perempuan harus mendapat pendidikan dan
perlakukan yang lebih baik. Emansipasi yang ditawarkan Roehana tidak
menuntut persamaan hak perempuan dengan laki-laki namun lebih kepada
pengukuhan fungsi alamiah perempuan itu sendiri secara kodratnya. [30]
Perempuan juga butuh ilmu pengetahuan dan keterampilan, untuk itulah
diperlukannya pendidikan bagi kaum perempuan.

Perjuangan Roehana untuk memajukan kaum perempuan dilakukan dengan
mendirikan sekolah dan menerbitkan suratkabar khusus perempuan. Selain
menjadi seorang pendidik, Roehana adalah perempuan Indonesia pertama
yang dengan sadar menjalani rutinitias kesehariannya sebagai seorang
jurnalis, dengan kata lain, Roehana adalah wartawati pertama di
Indonesia. Sebagai bentuk pengabadian atas jasa-jasanya, pada 1974
pemerintah daerah Sumatra Barat memberi penghargaan kepada Roehana
sebagai wartawati pertama Indonesia. Pemerintah pusat Orde Baru tidak
mau kalah, pada peringatan Hari Pers Nasional ke III, 9 Februari 1987,
Roehana dianugerahi gelar sebagai perintis pers Indonesia.

Selanjutnya, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turut
menggenapkan gemilang jasa yang ditorehkan Roehana dengan
menganugerahkan Bintang Jasa Utama kepada Roehana atas jasa-jasanya
dalam perjuangan bangsa melalui dunia jurnalistik. Penghargaan yang
diberikan pada 16 Februari 2008 itu diserahkan melalui Gubernur
Sumatra Barat, Gamawan Fauzi, dan diterima keluarga Roehana Koedoes
yang diwakili cucunya, Juneydi Juni, pada acara puncak Hari Pers
Nasional tingkat Sumatra Barat di Istana Negara Bung Hatta,
Bukittinggi. [31]

Kepustakaan

AN Ismanto (Ed.), Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia,
Jakarta: IBOEKOE, 2007,

Fitriyanti, Roehana Koeddoes:Perempuan Sumatera Barat, Jakarta:
Yayasan Jurnal Perempuan, 2001.

Iswara N Raditya dan Muhidin M Dahlan (Eds.), Karya-karya Lengkap
Tirto Adhi Soerjo: Pers Pergerakan dan Kebangsaan, Jakarta: IBOEKOE,
2008.

M Balfas, Dr Tjipto Mangoenkoesoemo: Demokrat Sedjati, Jakarta: Djambatan,
1952.

Muhammad Safrinal (Ed.), Sang Guru: Peta Ringkas Hubungan Guru-Murid
di Pelbagai Tradisi, Yogyakarta: Ekspresibuku, 2006

Muhidin M Dahlan (Ed.), Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa,
Tanahair Bahasa (1907-2007), Jakarta: IBOEKOE, 2008.

Petrik Matanasi (Ed.), 7 Ibu Bangsa, Jakarta: Rahzenbook, 2008

Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, Jakarta: Lentera Dipantara, 2003.

Rudolf Mrazek, Sjahrir:Politik dan Pengasingan di Indonesia, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1996.

Tamar Djaja, Roehana Koddoes, Srikandi Indonesia, Jakarta: Penerbit
Mutiara, 1980.

Artikel dalam Buku

Dian Andika Winda, “Perempoean Bergerak: Dari Deli untuk Kesetaraan,
“dalam Muhidin M Dahlan (Ed.), Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa,
Tanahair Bahasa (1907-2007), Jakarta: IBOEKOE, 2008, hlm. 148.

Hajar NS, “Siti Roehana Koedoes: Ibu Pers dan Pergerakan Indonesia”,
dalam Petrik Matanasi (Ed.), 7 Ibu Bangsa, Jakarta: Rahzenbook, 2008,
hlm. 186.

Hajar NS, “Siti Roehana Koedoes: Membaca Surat kabar Seperti Meminum
Air Laut”, dalam dalam AN Ismanto (Ed.), Tanah Air Bahasa: Seratus
Jejak Pers Indonesia, Jakarta: IBOEKOE, 2007, hlm. 38.

Iswara N Raditya, “Datoek Soetan Maharadja: Penghulu Adat Berkiblat
Barat”, dalam AN Ismanto (Ed.), Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers
Indonesia, Jakarta: IBOEKOE, 2007, hlm. 24.

M Yuanda Zara, “Oetoesan Melajoe: Koran Utusan Kaum Adat”, dalam
Muhidin M Dahlan (Ed.), Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa,
Tanahair Bahasa (1907-2007), Jakarta: IBOEKOE, 2008, hlm. 73.

Reni Nuryanti, “Soenting Melajoe: Di sini, Nama Roehana Koedoes
Terpahat”, dalam Muhidin M Dahlan (Ed.), Seabad Pers Kebangsaan:
Bahasa Bangsa, Tanahair Bahasa (1907-2007), Jakarta: IBOEKOE, 2008,
hlm. 91

Rhoma Dwi Aria Yuliantri, “Parada Harahap: King of The Java Press”,
dalam AN Ismanto (Ed.), Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers
Indonesia, Jakarta: IBOEKOE, 2007, hlm. 88.

St Kartono, “Masih Ada Guru”, dalam Muhammad Safrinal (Ed.), Sang
Guru: Peta Ringkas Hubungan Guru-Murid di Pelbagai Tradisi,
Yogyakarta: Ekspresibuku, 2006, hlm. 20.

Artikel dalam Suratkabar dan Internet

-------, “Roehana Kudus”, tersedia di
www.wikipedia.org.
diakses pada
6 April 2009.

-------, “Balai Wartawan "Rohana Kudus" Bukti Sejarah,” tersedia di
www.opensubscriber.
com, diakses pada 7 April 2009.

Nasrul Azwar (2007), “Roehana Kudus, Jurnalis Perempuan Dari Sumatra
Barat” tersedia di
www.ranah-minang.com,
diakses pada 6 April 2009.

Riny Yunita (2008), “Roehana Kudus Rintis Suratkabar Perempuan”,
tersedia di www.langitperempuan.com,
diakses pada 6 April 2009.

Siti Roehana Koedoes (1918), “Perempoean”, dalam Soenting Melajoe, 13
Desember 1918.

Siti Roehana Koedoes (1920), “Mentjari Isteri”, dalam Soenting
Melajoe, 10 Desember 1920.

_______________________________
Iswara N. Raditya adalah peneliti di Balai Kajian dan Pengembangan
Budaya Melayu (BKPBM) dan Redaktur Sejarah
www.melayuonline.com,

tinggal di Yogyakarta.

Sumber Foto: Petrik Matanasi (Ed.), 7 Ibu Bangsa, Jakarta: IBOEKOE, 2008.

--------------------------------------------------------------------------------

[1] Reni Nuryanti, “Soenting Melajoe: Di sini, Nama Roehana Koedoes
Terpahat”, dalam Muhidin M Dahlan (Ed.), Seabad Pers Kebangsaan:
Bahasa Bangsa, Tanahair Bahasa (1907-2007), Jakarta: IBOEKOE, 2008,
hlm. 91.
[2] Sebenarnya pada 1 Juli 1908 telah terbit surat kabar perempuan
Bumiputera pertama, yakni Poetri Hindia di Batavia. Namun Poetri
Hindia dikendalikan langsung oleh Tirto Adhi Soerjo, dan para
perempuan ningrat yang tergabung di jajaran keredaksiannya tidak
banyak mengambil peran vital dalam teknis penggarapan maupun
penerbitannya. Kendati penerbitan Soenting Melajoe juga atas kuasa
Datoek Soetan Maharadja (DSM), namun Siti Roehana Koedoes dan jurnalis
perempuan yang tergabung di dalamnya dipercaya mengendalikan koran ini
secara penuh.
[3] Tamar Djaja, Roehana Koddoes, Srikandi Indonesia, Jakarta:
Penerbit Mutiara, 1980, hlm. 26.
[4] Tentang hubungan keluarga Roehana dan Sjahrir, baca: Rudolf
Mrazek, Sjahrir:Politik dan Pengasingan di Indonesia, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1996, hlm. 4-5.
[5] Fitriyanti, Roehana Koeddoes:Perempuan Sumatera Barat, Jakarta:
Yayasan Jurnal Perempuan, 2001, hlm. 18-19.
[6] Hajar NS, “Siti Roehana Koedoes: Ibu Pers dan Pergerakan
Indonesia”, dalam Petrik Matanasi (Ed.), 7 Ibu Bangsa, Jakarta:
Rahzenbook, 2008, hlm. 186.
[7] Hasil sulam terawang Tuo Sarimin banyak diminati dan dibeli
perempuan Belanda. Beberapa kali karya nenenda Roehana itu dipamerkan
hingga akhirnya mendapat medali dari pemerintah Hindia Belanda pada
1887.
[8] Pengantar oleh St Kartono, “Masih Ada Guru”, dalam Muhammad
Safrinal (Ed.), Sang Guru: Peta Ringkas Hubungan Guru-Murid di
Pelbagai Tradisi, Yogyakarta: Ekspresibuku, 2006, hlm. 20.
[9] Selain tidak diperbolehkan oleh mertuanya, beberapa tuduhan tak
beralasan dialamatkan kepada Roehana menjelang keberangkatannya ke
Eropa. Roehana antara lain dituduh terlibat perselingkuhan dengan
seorang pejabat Belanda yang menawarkan tiket ke Eropa.
[10] Poetri Hindia merupakan koran perempuan pertama dan utama yang
secara khusus menggalang kaum perempuan sebagai jurnalisnya di bawah
asuhan Tirto Adhi Soerjo, perintis pers Bumiputera. Poetri Hindia
terbit dua kali dalam sebulan sejak 1908. Selanjutnya baca: Reni
Nuryanti, “Poetri Hindia: Kekasih Cantik dan Alus Mas Medan”, dalam
Muhidin M Dahlan (Ed.), op.cit., hlm.49.
[11] Tirto Adhi Soerjo dikenal sebagai perintis pers Bumiputera, orang
Indonesia pertama yang menerbitkan koran sendiri. Mengenai biografi
Tirto Adhi Soerjo, baca: Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, Jakarta:
Lentera Dipantara, 2003. Sementara tentang karya-karya Tirto Adhi
Soerjo yang dimuat di berbagai surat kabar sekurun 1902-1912, baca:
Iswara N Raditya dan Muhidin M Dahlan (Eds.), Karya-karya Lengkap
Tirto Adhi Soerjo: Pers Pergerakan dan Kebangsaan, Jakarta: IBOEKOE,
2008.
[12] M Yuanda Zara, “Oetoesan Melajoe: Koran Utusan Kaum Adat”, dalam
Muhidin M Dahlan (Ed.), op.cit., hlm. 73.
[13] Gerakan emansipasi perempuan dimungkinkan karena adanya dorongan
dari pers. Surat kabar Bumiputera pertama yang memberikan ruang untuk
wanita adalah Soenda Berita, terbit tahun 1903. Sebelumnya memang
telah ada surat kabar yang diperuntukkan pembaca perempuan, Insulinde,
yang terbit di Batavia pada 1902. Namun karena berbahasa Belanda dan
diterbitkan bukan oleh Bumiputera, Insulinde dianggap bacaan elit,
bukan bagi perempuan Bumiputera.
[14] Iswara N Raditya, “Datoek Soetan Maharadja: Penghulu Adat
Berkiblat Barat”, dalam AN Ismanto (Ed.), Tanah Air Bahasa: Seratus
Jejak Pers Indonesia, Jakarta: IBOEKOE, 2007, hlm. 24.
[15] Terdapat seorang lelaki lagi dalam penerbitan Poetri Hindia.
Tirto Adhi Soerjo mengajak Raden Tumenggung Adipati Tirtokoesoemo,
Bupati Karanganyar sekaligus petinggi Boedi Oetomo (BO), untuk
membantu pendanaan dan penerbitan Poetri Hindia.
[16] Hajar NS, “Siti Roehana Koedoes: Membaca Surat kabar Seperti
Meminum Air Laut”, dalam AN Ismanto (ed.), op.cit., hlm. 38.
[17] Siti Roehana Koedoes (1918), “Perempoean”, dalam Soenting
Melajoe, 13 Desember 1918.
[18] Siti Roehana Koedoes (1920), “Mentjari Isteri”, dalam Soenting
Melajoe, 10 Desember 1920.
[19] Dinukil langsung dari Hajar NS dalam Petrik Matanasi (Ed.), 2008,
op.cit., hlm.222
[20] Ibid., hlm.221.
[21] Reni Nuryanti, “Soenting Melajoe: Di sini, Nama Roehana Kuddus
Terpahat”, dalam Muhidin M Dahlan (Ed.), loc.cit.
[22] Hajar NS dalam Petrik Matanasi, (Ed.), 2008, op.cit., hlm. 220.
[23] Fadjar Asia dimotori oleh Agus Salim dan Tjokroaminoto,
Modjopahit oleh Tjipto Mangoenkoesoemo, Goentoer Bergerak oleh Mas
Marco Kartodikromo, dan Sinar Djawa/Sinar Hindia oleh Semaoen.
[24] Perempoean Bergerak terbit sejak 15 Mei 1919 dengan alamat
redaksi di Wihelminastraat No 44, Deli. Selanjutnya baca: Dian Andika
Winda, “Perempoean Bergerak: Dari Deli untuk Kesetaraan, “dalam
Muhidin M Dahlan (Ed.), op.cit., hlm. 148.
[25] Parada Harahap (1899-1959) adalah jurnalis Bumiputera berjuluk
“King of The Java Press”. Seabrek koran pernah digelutinya, antara
lain: Benih Merdeka, Sinar Merdeka, Poestaka, Neratja, Bintang Hindia,
hingga Bintang Timoer. Selanjutnya baca: Rhoma Dwi Aria Yuliantri,
“Parada Harahap: King of The Java Press”, dalam AN Ismanto, (Ed.),
op.cit, hlm. 88.
[26] Indische Partij (IP) didirikan pada 1912 oleh Tiga Serangkai:
Douwes Dekker, Soewardi Soerjaningrat, dan Tjipto Mangoenkoesoemo. IP
adalah organisasi yang terbuka bagi semua golongan dan perhimpunan
pertama yang dengan tegas bertujuan untuk kemerdekaan bangsa Hindia
(Indonesia). Karena pergerakannya yang dinilai terlalu radikal, IP
dibubarkan oleh pemerintah kolonial pada awal 1913. Tiga Serangkai pun
kemudian diasingkan ke negeri Belanda selama tahun. Setelah IP bubar,
para mantan anggotanya lantas mendirikan Insulinde dengan nafas juang
yang sama dengan IP. Mengenai pergerakan IP dan Tjipto Mangoenkoesoemo
sebagai salah seorang penggerak IP, baca: M Balfas, Dr Tjipto
Mangoenkoesoemo: Demokrat Sedjati, Jakarta: Djambatan, 1952.
[27] Hajar NS dalam Petrik Matanasi, (Ed.), 2008, op.cit., hlm. 239.
[28] Nasrul Azwar (2007), “Roehana Kudus, Jurnalis Perempuan Dari
Sumatra Barat” tersedia di
www.ranah-minang.com,
diakses pada 6 April
2009.
[29] Riny Yunita (2008), “Roehana Kudus Rintis Suratkabar Perempuan”,
tersedia di www.langitperempuan.com,
diakses pada 6 April 2009.
[30] -------, “Roehana Kudus”, tersedia di
www.wikipedia.org.
diakses
pada 6 April 2009.
[31] “Roehana Kudus Dianugerahi Bintang Jasa Utama”, dalam Media
Indonesia.com, 18 Februari 2008, tersedia di
http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=159671,
diakses pada 6
April 2009.
Lengkap dengan foto, silakan buka :
http://melayuonline.com/article/?a=bUptL3FMZVZBUkU4Ng%3D%3D=&l=siti-r...
13 April 2009 13:56



Oleh: Iswara N. Raditya


Tidak ada komentar: