Minggu, 13 September 2009
Jardiknas Bekerja 5 Tahun Dianggap Gagal
Selasa, 8 September 2009 | 15:30 WIB
Laporan wartawan KOMPAS.com Frans Agung Setiawan
JAKARTA, KOMPAS.com — Dibandingkan tahun 2005, alokasi anggaran pendidikan wajib belajar Departemen Pendidikan Nasional meningkat tajam pada 2009, dari Rp 10,8 triliun menjadi Rp 31,6 triliun. Namun masalahnya, strategi Depdiknas untuk melakukan pemerataan dan perluasan akses masih belum jelas.
"Ada tiga indikator yang bisa kita lihat," kata Program Manager Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan di Jakarta, Selasa (8/9), dalam Presentasi Evaluasi Kinerja Depdiknas 2004-2009. Acara ini juga dihadiri oleh Lody Paat, Koordinator Koalisi Pendidikan, Bambang Wisudo Direktur Eksekurif Sekolah Tanpa Batas, dan Jumono dari Aliansi Orangtua Murid Peduli Pendidikan.
Indikator tersebut adalah, pertama, dilihat dari strategi pembiayaan. Anggaran memang besar, tetapi jatah untuk program wajib belajar tersebut ternyata disebar ke semua direktorat.
"Contohnya, dari total alokasi Rp 31,6 triliun, anggaran 2009 yang dikelola direktorat manajemen pendidikan dasar dan menengah hanya dapat Rp 20,4 triliun. Sisanya disebar ke semua direktorat, termasuk ditjen, dikti, dan itjen," ungkapnya.
Indikator kedua adalah strategi program. Program yang paling diandalkan adalah Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk sektor pendidikan. Namun, alokasi ini jauh dari sasaran karena tidak sesuai dengan kebutuhan faktual peserta didik yang diteliti oleh Depdiknas.
"BOS untuk SD Rp 400.000 per murid per tahun, padahal kebutuhannya Rp 1,8 juta per murid per tahun. Sedangkan SMP Rp 575.000 per murid per tahun dengan kebutuhan Rp 2,7 juta per murid per tahun," ujar Ade.
Ketiga adalah komodifikasi sekolah gratis. ICW bersama Koalisi Pendidikan menilai, program sekolah gratis tersebut gagal. Namun, menjelang Pemilu 2009 Depdiknas justru membuat iklan bahwa mereka berhasil melaksanakan program tersebut.
"Depdiknas sangat tidak sensitif terhadap kondisi sekolah dan warga karena iklan sekolah gratis Depdiknas malah menyulut konflik di sekolah, terutama antara guru dan orangtua murid.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
ko bisa gitu?
Posting Komentar