Ninuk M Pambudy
Kejadian yang sama setiap tahun berulang saat penyelenggaraan ujian nasional. Berkali-kali dan bukan di satu tempat muncul laporan guru-guru yang ikut membocorkan jawaban soal ujian, bahkan mengganti jawaban siswa-siswinya.
Pertanyaannya, mengapa guru-guru tersebut nekat melakukan hal yang sebetulnya tidak boleh mereka lakukan? Bukankah pendidikan seharusnya mengajarkan kejujuran?
Tampaknya, persoalan tersebut barulah puncak gunung es dari persoalan mendasar pendidikan nasional Indonesia.
Menteri Pendidikan 1978-1983 Daoed Joesoef, Ketua Dewan Penasihat Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia dan Rektor IKIP Jakarta 1975-1980 Winarno Surakhmad, dan tokoh pendidik Arief Rachman sama-sama berpendapat, ujian nasional hanyalah detail dari sebuah konsep sistem pendidikan nasional.
”Ujian nasional itu seperti pintu dari bangunan besar sistem pendidikan nasional,” tandas Daoed Joesoef. Bila sistem pendidikan nasional sudah ditata, demikian Daoed, tidak akan terjadi kisruh dalam pelaksanaan ujian nasional seperti saat ini.
Daoed menyebutkan, pendidikan sekarang dilepaskan dari tujuan menjadikan manusia yang semakin berpembawaan budaya dengan orientasi pada masa depan. Pendidikan sebagai bagian dari budaya, yaitu semua yang diciptakan manusia, mengembangkan sistem nilai dan memberi makna pada sistem nilai tersebut. Di sini pendidikan berperan mengajarkan semangat keilmuan dan pengetahuan ilmiah.
Di dalam bukunya, Dia dan Aku (2006), Daoed menyebutkan, ada delapan kondisi dasar yang menentukan kualitas pendidikan, yaitu fokus pendidikan, tujuan pendidikan, kualitas tenaga pengajar, metode mengajar, kurikulum, lingkungan kondisional sekolah, alat-alat pengajaran, termasuk buku teks di dalamnya, dan penghargaan terhadap guru.
”Konsep pendidikan sekarang hanya sepotong-sepotong. Seharusnya ada konsep integral. Ini berbahaya karena tidak hanya mencelakai generasi berikut, tetapi juga merusak masa depan bangsa,” kata Daoed kepada Kompas.
Salah satu contoh lemahnya sistem pendidikan nasional saat ini adalah pengajaran berbeda-beda yang dilakukan di daerah-daerah. Keadaan yang berbeda-beda tersebut tidak memungkinkan diberlakukannya kesamaan mutu di dalam satu standar.
Daoed menyarankan untuk justru mensentralisasi pendidikan sehingga dengan demikian pemerintah sebagai pengemban misi pendidikan masyarakat mengetahui di mana terjadi ketertinggalan dalam pendidikan.
Dia tidak setuju bila dikatakan sentralisasi akan menghilangkan kesempatan daerah mengembangkan potensi lokalnya. Menurut Daoed, kesalahan Orde Baru bukan dalam sentralisasi itu sendiri, tetapi pada konsep pembangunan itu sendiri yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, bukan berdasarkan pada social space, sehingga tidak terjadi pemerataan pembangunan. ”Pendidikan itu seharusnya memberi kesempatan untuk to be more human, menjadi wong kata orang Jawa,” tambah Daoed.
Tiga persoalan
Winarno Surakhmad dan Arief Rachman secara terpisah juga menyebutkan, UN yang kisruh saat ini menggambarkan kekacauan sistem pendidikan saat ini.
Kekacauan itu, menurut Winarno, tergambar jelas dalam pelaksanaan UN yang memiliki tiga persoalan. Pertama, persoalan dasar asumsi, yaitu untuk menunjukkan anak-anak Indonesia pintar, ditetapkan standar kelulusan, tidak kuat. Konstitusi mengamanatkan pertanggungjawaban dan bertugas mencerdaskan kehidupan bangsa. Masalahnya, tidak ada bukti untuk menunjukkan bahwa mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika dapat memenuhi kecerdasan sebagai dimaksudkan konstitusi.
Kedua, pendekatan UN yang lebih berorientasi pada output, hasil akhir, yaitu angka kelulusan yang semakin tinggi. Tetapi, demikian Winarno, UN kurang memerhatikan proses, sedangkan dalam dunia pendidikan proses merupakan bagian sangat penting.
”Kalau mengutamakan output, guru tidak peduli cara belajar anak. Yang penting angka ujian mencapai 4 atau 5 sesuai standar yang dimaui. Apakah siswa memperoleh jawaban dengan menerka, meniru atau cara lain, tidak jadi masalah. Karena itu, kalau anak tidak lulus, dianjurkan ujian lagi, tidak ditanyakan bagaimana cara belajar anak sampai tidak lulus,” kata Winarno.
Ketiga, UN dilakukan secara nasional. ”Itu bagus, tetapi ibarat UN itu ukuran mirip meteran, sedangkan yang diukur beda-beda. Ketika sekolah kondisinya—guru, fasilitas-berbeda-beda, tidak mungkin kita bisa mengharapkan menerapkan satu ukuran. Satu ukuran untuk situasi beragam itu tidak benar,” tandas Winarno.
Dalam pandangan Arief Rachman, menyamakan standar kelulusan untuk seluruh siswa se-Indonesia menyalahi aturan keadilan. Banyak sekolah tidak dapat mengejar standar kelulusan karena tidak mendapat fasilitas pendidikan yang sama dan kualitas guru pun tidak semua memadai.
Arief pun mempertanyakan tataran idealisme standardisasi UN yang hanya melihat siswa dari lulus tidaknya UN. Dengan mengukur keberhasilan siswa dari lulus-tidaknya dia, maka pendidikan tidak mengukur sisi lain pendidikan, yaitu aspek afektif, psikologi, budi pekerti, dan akhlak. Semua proses pembelajaran pada mata pelajaran di luar yang diujikan dalam UN diveto oleh UN. ”Kalau anak tersebut nilai UN-nya hanya kurang 0,01 pada mata pelajaran UN, maka dia akan ’mati’ meskipun nilai mata pelajaran lain bagus-bagus,” kata Arief.
UN vs guru
Alasan penerapan standardisasi melalui UN untuk membuat pemetaan pun dipertanyakan.
Arief menyebut, pemetaan seharusnya hanya memotret kondisi yang ada, tetapi tidak boleh berakibat anak lulus atau tidak lulus. ”Jadi, urutannya, pemetaan, perbaikan, baru kemudian ujian,” tandas Arief Rachman. Masalahnya, semua itu perlu proses dan waktu, sementara pemerintah tidak sabar. ”Tanpa proses, pemerintah membuat gebrakan dengan langsung menstandarkan tanpa membuat pemetaan,” tambah Arief.
Kasus-kasus guru-guru yang membantu siswa-siswanya dalam menjawab soal UN adalah akibat kebijakan yang tidak tepat. ”Itu bukan maunya guru-guru. Mereka membantu siswa lulus karena kasihan kepada siswa. Apalagi ada tekanan dari sekolah, dari kepala dinas, dari bupati yang tidak mau kehilangan muka, agar kelulusan siswa jumlahnya meningkat. Pemerintah mestinya mau memahami persoalan ini,” kata Winarno.
Untuk keluar dari kekisruhan UN, Winarno menyarankan untuk melakukan pemetaan lebih dulu sebagai dasar untuk pembinaan. Kalau pemerintah ingin menerapkan standar nasional, harus dipenuhi dulu standar komponen di setiap sekolah di pusat dan daerah, yaitu setidaknya adalah guru, kurikulum, sarana, manajemen, dan siswa. Nyatanya, demikian Winarno, daerah-daerah terpencil semakin kurang mampu memenuhi komponen tersebut.
Dengan melihat parahnya kondisi pendidikan saat ini, dengan mengutip filsuf Friedrich Nietzsche yang menyebutkan ”ada satu masa satu-satunya kebijakan pemerintah adalah kebijakan pendidikan”, Daoed Joesoef pun mengingatkan, sekarang adalah masanya kita memerhatikan pendidikan dengan sungguh-sungguh. (Ilham Khoiri/ Lusiana Indriasari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar