Oleh Sri Endang Susetiawati
Seorang teman bertanya kepada saya sebagai seorang guru, apa yang
menyebabkan para pelajar kita bersikap kurang toleran ? Saya jawab : Ujian
Nasional (UN) ! Sang teman sempat kaget. Mungkin, selama ini tak terpikirkan
sama sekali. Kok, bisa ya ? “Bisa !” jawab saya. Akar dari sikap toleran
adalah sikap yang menghargai adanya perbedaan pendapat atau pandangan. Sikap
intoleran, salah satunya terbentuk oleh kebiasaan seseorang yang berada
dalam keseragaman berpendapat.
UN adalah salah satu penyebab para pelajar kita bersikap kurang toleran.
Mengapa ? Karena, dalam UN siswa dibiasakan untuk menjawab secara seragam.
Dalam UN, siswa tidak dibiasakan memahami sebuah jawaban yang benar dari
banyak perspektif yang mungkin berbeda-beda. UN mengajarkan pada siswa
mengenai sebuah kebenaran tunggal. Kenapa bisa begitu ? Karena UN,
menggunakan jenis soal multiple choice, pilihan ganda. Jenis soal inilah,
yang amat mungkin diduga menyebabkan siswa menjadi tidak terbiasa untuk
berbeda pendapat.
Apa kaitannya, soal pilihan ganda dengan sikap intoleran yang cenderung
dimiliki oleh siswa ? Tentu, sangat berkaitan erat. Dari segi jenisnya
sebagai alat evaluasi tertulis berbentuk pilihan ganda, UN tidak saja kurang
mampu mengevaluasi kemampuan yang dimiliki oleh siswa secara lebih utuh,
tidak semata kemampuan yang bersifat kognitif. Namun, UN juga kian
mempertegas sebuah proses pembelajaran yang tidak membiasakan siswa untuk
berbeda pendapat, atau sekurangnya berbeda cara atau persepektif dalam
berpendapat.
*Gunakan Ujian Essay*
Bandingkan, misalnya jika evaluasi tertulis dalam bentuk Essay. Maka, siswa
akan belajar untuk menjawab soal berdasarkan cara dan persepektifnya
sendiri. Meskipun, substansi jawaban itu sama dengan siswa lainnya, namun
tetap akan ada nuansa perbedaan. Mengapa ? Karena, ada faktor sistem
berfikir, gaya bahasa dan cara pengungkapan dalam bentuk tulisan yang
berbeda antar siswa dalam menjawab soal Essay.
Dari segi penilaian sendiri, siswa akan diajarkan mengenai bagaimana sebuah
soal yang sama bisa dijawab dengan beragam cara dan persepektif yang berbeda
di antara teman-temannya. Namun, sepanjang substansi jawaban itu benar, maka
semua jawaban yang sepertinya beragam itu dapat dianggap sebagai sebuah
jawaban yang benar. Tentu, dari situ siswa akan belajar tentang sebuah
kebenaran yang tidak bersifat tunggal dan mutlak. Siswa akan terbiasa untuk
menghargai perbedaan dalam memberikan jawaban, toh bisa jadi jawaban itu pun
benar adanya berdasarkan penilaian sang guru.
*Gunakan Ujian Lisan*
Efektifitas evaluasi belajar akan lebih meningkat dalam memberikan pelajaran
mengenai perbedaan pendapat bagi siswa, manakala menggunakan ujian lisan.
Mengapa ? Karena, dengan ujian lisan atau wawancara secara langsung kepada
siswa, guru akan lebih mengetahui kemampuan yang sebenarnya dari siswa
secara lebih utuh dan lebih baik lagi. Siswa akan terbiasa belajar bagaimana
mengemukakan pendapatnya secara langsung di hadapan gurunya atau orang yang
ditunjuk sebagai anggota Tim Penilai.
Jelas, ujian lisan ini akan memberi pelajaran kepada siswa tentang kebiasaan
berpendapat, tentang kebiasaan menjawab pertanyaan atau soal yang tidak
semata berdasarkan jawaban tertutup atau bersifat tunggal. Siswa akan
terbiasa mengembangkan sendiri pendapat atau jawabannya berdasarkan apa yang
ia pelajari berdasarkan atas rangkaian kata-kata yang disusunnya sendiri.
Jelas, dalam hal ini, ujian lisan akan membiasakan siswa untuk lebih banyak
berfikir yang membuatnya akan lebih cerdas, serta membuat siswa jadi
terbiasa untuk menghargai pendapatnya sendiri dan pendapat orang lain.
*Gunakan Cara Mengajar Dialogis*
Di luar soal bentuk evaluasi belajar, tentu proses belajar mengajar yang
diselenggarakan oleh guru selama di kelas, juga turut berpengaruh. Mengapa ?
Karena proses pembelajaran di kelas, jelas merupakan proses pembiasaan sikap
dan kepribadian dalam jangka waktu yang relatif lama. Guru yang biasa
mengajar dengan pendekatan dialogis kepada siswanya akan memberikan
pembelajaran yang lebih baik atas tumbuhnya sikap toleran pada siswa.
Sebaliknya, guru yang terbiasa mengajar dengan metode ceramah secara
monoton, cenderung tidak akan merangsang siswa untuk berfikir, dan berani
untuk melakukan dialog. Karena, hanya dalam proses dialoglah, maka perbedaan
pendapat yang muncul dari para siswa akan diketahui dan akan lebih dihargai.
Inilah, yang akan menumbuhkan sikap toleransi siswa atas beragam pendapat
dan pandangan yang diberikan oleh teman-temannya saat belajar di kelas atau
di luar kelas.
Tentu saja, akan lebih baik lagi bila dalam proses belajar mengajar, guru
pun membiasakan untuk menggunakan jenis evaluasi belajar yang bukan pilihan
ganda. Guru perlu terbiasa menggunakan ulangan jenis Essay atau lisan dalam
melakukan ulangan harian atau ulangan sumatif. Agar, siswa tidak saja
terbiasa belajar lebih cerdas, juga terbiasa berani berpendapat, dan lebih
terbiasa menghargai perbedaan pendapat di antara teman-temannya. Jika, hal
ini sudah terjadi, maka sikap toleran akan tumbuh berkembang secara optimal
dalam diri siswa.
*Hentikan UN, Cegah Radikalisasi*
Apa kesimpulannya ? Fenomena intoleransi yang berakibat pada adanya sikap
radikalisasi pada generasi muda, secara efektif dapat diatasi dengan mulai
membenahi proses belajar dan evaluasi belajar di sekolah. Kembangkan proses
dialog selama belajar di sekolah, gunakan jenis evaluasi Essay dan lisan,
serta untuk sementara tinggalkan jenis ujian tertulis pilihan ganda,
termasuk juga hentikan UN. Agar sikap toleran dapat berkembang dalam diri
siswa, dan agar generasi muda dapat dicegah dari radikalisme.
Demikian, terima kasih.
*Salam Persahabatan*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar