Minggu, 15 Mei 2011

Pelesiran dan Studi Banding

MESKI tahun lalu sempat dihujat dan dikritik habis-habisan, tahun ini
Dewan Perwakilan Rakyat akan kembali melanjutkan kebiasaan kunjungan kerja
ke luar negeri, yang dianggap banyak pihak sebagai pemborosan. Kebiasaan
yang sama dilakukan pejabat pemerintah-baik pusat maupun daerah-yang
mempunyai hobi jalan-jalan ke luar negeri.

Pada umumnya, kunjungan kerja para pejabat ke luar negeri mempunyai tiga
tujuan. Pertama, menghadiri konferensi, semacam Konferensi Tingkat Tinggi
ASEAN, OKI, IPU, dan AIPO. Kedua, melakukan negosiasi untuk sebuah
perundingan. Ini banyak dilakukan oleh tim Kementerian Luar Negeri,
Kementerian Perdagangan, Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan lain-lain.
Termasuk dalam kategori ini pengiriman misi perlindungan warga negara di
luar negeri. Ketiga, kunjungan studi banding. Kelompok terakhir inilah yang
menjadi masalah dan perlu mendapat perhatian serius. Sebab, kebanyakan studi
banding sebenarnya merupakan acara tamasya yang dibiayai dinas.

Dalam setiap kunjungan kerja, sedikitnya tiga pihak terlibat, yakni instansi
yang mengirim rombongan, Kedutaan Besar Republik Indonesia yang mengatur
kegiatan selama di suatu negara, dan instansi negara penerima. DPR termasuk
"pemasok" kegiatan kunjungan kerja yang cukup tinggi. Dalam setahun, seorang
anggota Dewan rata-rata melakukan dua-tiga kali perjalanan dinas ke luar
negeri, bahkan lebih, bergantung pada keterlibatannya di panitia khusus,
komisi, atau badan-badan di Senayan.

Karena menjadi salah satu "pemasok" yang tinggi, wajar jika DPR menjadi
sorotan, walau, sekali lagi, Dewan bukan satu-satunya lembaga yang mempunyai
program kunjungan ke luar negeri. Tingginya program ke luar negeri dari
banyak instansi di Indonesia bisa dilihat dari kesibukan
perwakilan-perwakilan RI di luar negeri. Mereka terpaksa menempatkan staf
lokal khusus mengurus tamu di bandara.

Kita bisa melihat betapa sibuknya Kedutaan RI di Bangkok, Kuala Lumpur,
Singapura, Den Haag, dan banyak negara lain. Dalam setahun, rata-rata bisa
menerima 4.000-5.000 delegasi resmi-yang dimaksudkan resmi ialah rombongan
yang memberi tahu kedutaan dengan mengirim kawat. Jadi, dalam sehari
kedutaan menerima rata-rata 10-15 rombongan resmi.

Kesulitan kedutaan bukan hanya menerima banyaknya anggota rombongan.
Kadang-kadang ada dua rombongan dengan tujuan ke instansi sama tapi datang
pada hari berbeda. Misalnya, pada pekan pertama datang rombongan Panitia
Khusus Rancangan Undang-Undang Perbankan untuk bertemu dengan asosiasi
perbankan di suatu negara. Pekan berikutnya datang Panitia Khusus RUU
Keuangan ingin berdialog dengan asosiasi yang sama. Ini sangat merepotkan.
Sebab, sulit sekali kedutaan menjelaskan kepada mitra kerja di negara itu
bahwa dua rombongan itu dari panitia khusus yang berbeda.

Ada ciri yang sama dari tujuan studi banding: negara maju sangat cocok
untuk kegiatan "sampingan", yakni berwisata. Kolega saya yang menjabat
kepala perwakilan RI di negara-negara kurang maju, seperti Ethiopia,
Zimbabwe, Sudan, Senegal, dan Nigeria, jarang menerima kunjungan rombongan.
Tujuan utama kunjungan biasanya tiga wilayah, yakni Eropa Barat, Asia
Timur/ASEAN/Australia, dan Amerika Utara.

Dalam banyak kesempatan, terkadang rombongan tanpa malu-malu mengatakan
akan lebih banyak berwisata daripada melakukan kunjungan sesungguhnya. Tahun
lalu saya nyaris menolak serombongan dari dewan perwakilan rakyat daerah
sebuah provinsi di Sumatera. Sebab, dalam surat yang dikirim ke Kedutaan
Besar RI di Bern, mereka hanya mengalokasikan waktu enam jam untuk kunjungan
kerja selama enam hari.

Saya langsung memberi instruksi: tidak usah diurus rombongan Dewan yang
hanya mau berwisata. Silakan jalan sesukanya di Swiss, tapi Kedutaan tidak
akan menstempel formulir surat perintah perjalanan dinas-bukti
pertanggungjawaban penggunaan dana untuk perjalanan itu.

Bahwa kebanyakan kunjungan kerja selama ini hanya jalan-jalan memang
bukan cerita bohong. Umumnya satu instansi menyusun alokasi anggaran untuk
tujuh hari. Nyatanya, waktu pertemuan resmi hanya dua hari-paling lama empat
jam setiap harinya, dua jam pagi hari dan dua jam sore. Selebihnya "free
time", yang sering disamarkan dengan "kegiatan pendalaman" untuk
masing-masing anggota. Tidak jelas yang dimaksudkan dengan "pendalaman".
Yang banyak terjadi, anggota rombongan jalan-jalan sepanjang hari. Masih
lumayan kalau ada anggota minta diantar ke toko buku, karena sangat jarang
mereka punya hobi baca buku.

Ada juga rombongan aneh dan tidak masuk akal. Misalnya, banyak rombongan
ke Eropa masuk melalui Prancis. Tapi mereka melakukan kunjungan pada musim
panas. Padahal, pada saat itu, mayoritas warga Eropa meninggalkan negaranya
untuk liburan panjang. Akhirnya anggota Dewan yang terhormat hanya diterima
pejabat sekretariat-bukan mitra kerja yang sesuai.

Sangat wajar jika sekarang banyak tuntutan agar DPR-juga instansi
pemerintah-memperbaiki pelaksanaan kunjungan kerja. Bahkan, kalau perlu,
studi banding dihentikan sama sekali. Mengapa? Karena perbandingan antara
biaya dan hasilnya sangat tidak berimbang. Ambil contoh, untuk perjalanan ke
Eropa, seorang anggota memerlukan sekitar US$ 10 ribu. Rata-rata rombongan
terdiri atas 13 orang dan dua anggota staf sekretariat. Jadi, untuk satu tim
kunjungan kerja, dibutuhkan biaya paling tidak US$ 150 ribu.

Dalam pertemuan dua jam dengan instansi tujuan, tidak semua anggota
berkesempatan bertanya atau berdiskusi. Apalagi jika ada kendala bahasa,
misalnya ke negara non-bahasa Inggris. Akan lebih efektif jika pemimpin
lembaga di Indonesia-baik DPR, DPRD, Dewan Perwakilan Daerah, maupun
instansi pemerintah-lebih memanfaatkan kedutaan. Misalnya kedutaan diminta
mencari informasi yang diperlukan.

Terus terang saja, jika panitia khusus, komisi, DPRD, atau instansi lain
bersedia memanfaatkan kedutaan, akan terjadi efisiensi yang luar biasa.
Kualitas informasi yang diperoleh juga pasti lebih bagus. Dari pengalaman
mengikuti kunjungan sewaktu masih menjadi anggota Dewan, dan kini mengatur
kedatangan kunjungan, saya menyimpulkan, kebanyakan informasi yang
diperlukan bisa diperoleh jawabannya lewat kedutaan. Jadi buat apa
menghabiskan banyak uang untuk kunjungan yang kurang produktif?

Cara lain adalah mengundang pakar dari luar negeri ke Tanah Air. Banyak
lembaga nonpemerintah atau mitra kerja luar negeri yang mau membiayai
kedatangan pakar ini. Atau, kalau harus membiayai sendiri, masih jauh lebih
murah daripada mengirim rombongan studi banding ke luar negeri. Perkiraan
saya, US$ 10 ribu sudah cukup untuk mendatangkan pakar bidang apa pun ke
Indonesia.

Tentunya pemimpin Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Daerah
bisa lebih selektif dalam mengeluarkan izin perjalanan. Misalnya, izin
diberikan jika semua rancangan acara sudah beres dan diperkirakan bisa
benar-benar produktif. Selama ini pemimpin Dewan memberikan izin perjalanan
kepada panitia khusus atau komisi. Baru kemudian sekretariat bergerak
mengatur acara. Dengan demikian, kontrol atas program acara hampir tidak
ada, atau sangat lemah.

Sebagai pemimpin Kedutaan Besar Republik Indonesia di Bern, saya
mewajibkan setiap kunjungan kerja ke Swiss memanfaatkan 70-80 persen waktu
untuk acara resmi. Kurang dari alokasi itu, sebaiknya kunjungan ditunda atau
dibatalkan. Masalahnya, mau tidak kita mengubah kebiasaan tamasya dengan
alasan perjalanan dinas menjadi kunjungan kerja sebenarnya?

*Duta Besar RI di Swiss; tulisan ini merupakan pendapat pribadi.

Tidak ada komentar: