Ejaan merupakan kaidah-kaidah cara menggambarkan bunyi-bunyi (kata, kalimat, dan sebagainya) dalam bentuk tulisan (huruf-huruf/serta penggunaan tanda baca. Tiap negara mempunyai aturan ejaan tersendiri dalam melambangkan bunyi-bunyi bahasa di negaranya. Demikian juga di Indonesia, tercatat ada 6 sejarah ejaan yang pernah dikenal di Indonesia. Dari enam ejaan tersebut, 3 ejaan pernah diberlakukan bahkan salah satunya tetap dipakai sampai saat ini (EYD), dan 3 ejaan lainnya belum sempat diterapkan atau dipakai di Indonesia karena berbagai faktor.
Ejaan yang pertama dikenal mulai berlaku pada tahun 1901. Ejaan tersebut dikenal dengan Ejaan Bahasa Melayu dengan huruf latin, yang disebut juga dengan Ejaan Van Ophuysen. Van Ophusyen merancang ejaan itu dibantu oleh Engku Nawawi Gelar Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Hal-hal yang menonjol dalam ejaan Van Ophuysen adalah sebagai berikut:
a. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang.
b. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer.
c. Tanda diakritik, seperti koma ain, hamzah dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma'moer, 'akal, ta', dinamai'.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, ejaan Van Ophuysen mengalami beberapa perubahan. Pada tanggal 19 Maret 1947, Mr. Soewandi yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan Republik Indonesia meresmikan ejaan baru yang dikenal dengan Ejaan Republik. Beberapa lambang yang tampak pada Ejaan Republik tersebut adalah sebagai berikut.
a. Huruf oe diganti dengan u, seperti pada guru, itu, umur.
b. Bunyi Hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k, seperti pada kata-kata tak, pak, maklum, rakjat.
c. Kata ulang boleh ditulis dengan angka-2, seperti anak2 (anak-anak), ber-jalan2 (berjalan-jalan), ke-barat2-an (kebarat-baratan).
d. Awalan di- dan kata depan di, kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, seperti kata depan di pada dirumah, dikebun, disamakan dengan imbuhan di- pada ditulis, dikarang.
Pada Kongres II Bahasa Indonesia tahun 1954 di Medan, Prof. Dr. Prijono mengajukan Pra-saran Dasar-Dasar Ejaan Bahasa Indonesia dengan Huruf Latin. Isi dasar-dasar tersebut adalah perlunya penyempurnaan kembali Ejaan Republik yang sedang dipakai saat itu. Namun, hasil penyempurnaan Ejaan Republik ini gagal diresmikan karena terbentur biaya yang besar untuk perombakan mesin tik yang telah ada di Indonesia.
Usaha penyempurnaan ejaan terus dilakukan, termasuk bekerja sama dengan Malaysia dengan rumpun bahasa Melayunya pada Desember 1959. Dari kerja sama ini, terbentuklah Ejaan Melindo yang diharapkan pemakaiannya berlaku di kedua negara paling lambat bulan Januari 1962. Namun, perkembangan hubungan politik yang kurang baik antar dua negara pada saat itu, ejaan ini kembali gagal diberlakukan.
Pada awal Mei 1966 Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (LBK) yang sekarang menjadi Pusat Bahasa kembali menyusun Ejaan Baru Bahasa Indonesia. Namun, hasil perubahan ini juga tetap banyak mendapat pertentangan dari berbagai pihak sehingga gagal kembali.
Pada tanggal 16 Agustus 1972 Presiden Republik Indonesia meresmikan ejaan baru, yang lebih dikenal dengan Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Ejaan baru ini tetap dipakai sampai saat ini, dan tentunya telah mengalami revisi agar lebih sempurna. Berikut ini beberapa perbedaan dari ketiga ejaan yang digunakan tersebut.
Ejaan Van Ophuysen
Ejaan Soewandi
Ejaan yang Disempurnakan
oe goeroe, itoe, oemoer
u guru, itu, umur
u guru, itu, umur
dj djalan, djauh
j jalan, jauh
j pajung, laju
y payung, layu
nj njonja, bunji
ny nyonya, bunyi
sj isjarat, masjarakat
sy isyarat, masyarakat
tj tjukup, tjutji <
Nah baru pada awal abad 21 muncullah EYD jilid 2 atau Ejaan Yang Dialaykan yang harus kita basmi bersama.
1 komentar:
J+O+K+E+R
Joker
:-)
Posting Komentar