JANGAN bicara kepada saya tentang jihad. Hari ini saya sudah tak tahu 
lagi apa maksudnya.
Tuan bisa berkata, jihad bukanlah kekerasan. Tapi berbareng dengan itu 
orang lain berkata jihad itulah yang membenarkan bila orang yang 
dianggap kafir atau murtad dibunuh. Tiap tafsir bisa dibantah tafsir 
lain. Kepada siapa saya bisa minta kata akhir tentang apa sebenarnya 
yang diperintahkan agama?
Maka jangan bicara kepada saya tentang jihad. Terorisme tak perlu dan 
tak bisa diterangkan dengan sabda atau fatwa. Bom yang diledakkan untuk 
membunuh dan bunuh diri itu justru mungkin akan lebih jelas bila dilihat 
sebagai sesuatu yang tak dapat diutarakan oleh (dan dalam) sabda dan fatwa.
Siapa yang melihat hubungan antara terorisme dan ajaran, apalagi 
ideologi, melupakan bahwa ada sesuatu yang lebih dahulu, dan lebih bisu, 
ketimbang ajaran dan ideologi—yaitu luka.
Yang menyedihkan dalam sejarah ialah bahwa luka itu tampaknya tak 
terelakkan. Akan ada selalu orang-orang buntung. Kata ini tak 
menunjukkan luka potong yang harfiah; di sini, ”buntung” adalah lawan 
kata ”beruntung”. Seorang teman di Bonn tadi pagi mengirim sebuah 
tulisan Hans Magnus Enzensberger dan di sana saya menemukan apa yang 
saya maksud. Dalam bahasa Jerman Enzensberger menyebut si buntung 
”Verlierer”; dalam bahasa Inggris ”loser”.
Si buntung—dan ia tak hanya seorang—lahir dari semacam kecelakaan yang 
niscaya ketika manusia mengorganisasi dirinya sendiri. Enzensberger 
menyebut ”kapitalisme”, ”persaingan”, ”imperium”, dan ”globalisasi”, 
tapi kita bisa menambahkan bahwa terbentuknya negara-bangsa atau lembaga 
agama—bahkan dalam sejarah kota dan banjar—juga menyebabkan ada 
orang-orang yang terbuncang, tertinggal, kalah, bahkan separuh atau 
seluruhnya hancur. Mereka yang luka. Si buntung.
Sejarah juga mencatat, si buntung bisa memilih untuk menerima nasib. Si 
korban bisa menuntut pampasan. Si kalah bisa menunggu kesempatan lain. 
Tapi ada yang oleh Enzensberger disebut sebagai ”si buntung radikal”: ia 
yang mengisolasi diri, menjadikan dirinya tak kelihatan, merawat khayal 
atau phantasma-nya, menyimpan tenaga, dan menanti sampai saatnya datang.
Tapi saat itu bukanlah saat untuk menebus nasibnya yang parah. Si 
buntung radikal, menurut Enzensberger, mengatakan kepada dirinya 
sendiri: ”Aku buntung, dan tak bisa lain selain buntung.” Ia tak melihat 
hidupnya berharga, dan tak memandang hidup orang lain berharga pula. 
Maka ketika saat itu tiba dan ia menggebrak, si buntung siap 
membinasakan orang lain sekaligus dirinya sendiri.
Tapi agak berbeda dari Enzensberger, saya tak menganggap bahwa seluruh 
momen penghancuran itu sebuah pernyataan keberanian yang putus asa. Yang 
meledak juga bukan hasrat terpendam untuk mengekalkan ke-buntung-an. 
Bukankah pada saat itu, seperti dikatakan Enzensberger sendiri, akhirnya 
si buntung radikal bisa melihat dirinya jadi ”tuan dari hidup dan 
kematian”? Ia jadi seorang militan. Ia jadi subyek. Sejenak ia 
membebaskan diri dari statusnya yang celaka: untuk memakai kata-kata 
dalam sebuah sajak Chairil Anwar, ”sekali berarti, sudah itu mati.”
”Ber-arti”, atau mendapatkan harga dan makna, itulah yang diberikan oleh 
ajaran atau ideologi. Tentu saja karena ada kecocokan antara si buntung 
radikal dan ajaran atau ideologi itu: petuah dan petunjuk itu, tentang 
jihad atau perang, lahir dari tafsir yang diutarakan dari sebuah situasi 
luka.
Enzensberger memaparkan luka itu—dalam sejarah Islam—sebagaimana yang 
umumnya sudah diketahui. Jika ”Islam” adalah nama bagi sebuah peradaban, 
yang terjadi adalah sebuah riwayat panjang tentang arus yang surut. 
Enzensberger mengutip sajak penyair muslim kelahiran India, Hussain Hali 
(1837-1914), yang menggambarkan bagaimana peradaban yang pernah jaya 
pada abad ke-8 itu akhirnya ”tak memperoleh penghormatan dalam ilmu/tak 
menonjol dalam kriya dan industri”.
Yang kemudian berlangsung adalah Islam yang hanya memungut, cuma 
meminjam, dan tak bisa lagi memperbaharui. Terutama di dunia Arab, yang 
pada satu sisi bangga telah jadi sumber dari sebuah agama yang 
menakjubkan tapi di sisi lain terus-menerus menemukan kekalahan. 
Enzensberger menulis: ”Bagi setiap orang Arab yang peduli untuk 
merenungkannya, tiap benda yang kini hampir mutlak dipakai di kehidupan 
sehari-hari … mewakili sebuah penghinaan yang tak diucapkan—tiap kulkas, 
tiap pesawat telepon, tiap colokan listrik, tiap obeng, apalagi produk 
teknologi tinggi”.
Bahkan terorisme—dari gagasan, gaya, serta peralatannya—datang pada abad 
ke-20 dari ”Barat” yang mereka haramkan. Lingkaran setan tak dapat 
dielakkan lagi. Yang terpuruk jadi merasa tambah terpuruk justru ketika 
ingin membebaskan diri. Dalam lingkaran itu kebencian pun 
berkecamuk—gabungan antara kepada ”mereka” dan juga kepada diri sendiri. 
Tak mengherankan, di wilayah ini, si buntung radikal berkelimun.
Akankah ada pembebasan? Mungkinkah pembebasan? Saya percaya, jadi 
buntung bukanlah hukuman yang kekal. Tapi untuk itu agaknya diperlukan 
sebuah lupa. Si buntung perlu tak mengacuhkan lagi luka sejarah. Ia 
perlu melihat kekalahannya sebagai bagian dari pengalaman dan memandang 
pengalaman itu sebagai, seperti kata petuah lama, guru yang baik.
Tapi saya sadar, si buntung radikal akan sulit untuk bersikap demikian. 
Terutama ketika ia menerima ajaran bahwa lukanya adalah luka di luar 
sejarah. Maka bom diledakkan, surga yang kekal dijanjikan, jihad ke 
kematian jadi langkah awal dan akhir. Dan selebihnya beku.
http://majalah. tempointeraktif. com/id/arsip/ 2009/08/03/ CTP/mbm.20090803 .CTP131036. id.html
 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar