Selasa, 18 Agustus 2009
" Taman Siswa (Tamsis) Yg Sekarat "
Gedung tua bercat baru itu berdiri diantara hiruk pikuk jalan Garuda Kemayoran, hanya berjarak 50 meter dari stasiun KRL kemayoran-Jakarta Pusat. Ketika aku memasuki halaman berpagar, bangunan sekolah bertingkat tiga berdiri, juga masih baru, seperti sekolah negeri, catnyapun sama, ada papan pengumuman berkaca dengan tempelan kliping koran Tahun 2007, poster tentang pameran lukisan Affandi Tahun 2008, itulah yg terbaru.
Digedung itu ada logo yang persis sama dengan kementrian pendidikan nasional, dengan kalimat "ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani". Betul, inilah gedung sekolah perguruan Taman Siswa di Jakarta yang terasa muram, sangat muram.
Tamsis di jaman Ki Hajar Dewantara, adalah Tamsis yang bergelora dalam mewujutkan pendidikan anak bangsa setara dengan anak penjajahnya. Dengan kebersahajaan dan sifat non kooperatif mereka mampu mendidik putra bangsa menjadi Indonesia tulen yang cerdas,mandiri serta religius. Tokohnya, hingga jaman awal orde baru masih dahsyat seperti sajak tulisan penyair Taufik Ismail.
Saking hebatnya reputasi Tamsis, logo dan ujar ujarnya diambil oleh pemerintah Indonesia menjadi logo dan tagline Departemen Pendidikan Nasional dan selalu dipajang dikantor yang mengurusi Pendidikan di Indonesia ini. Oleh karena itu, pendidikan nasional tentu dapat diartikan sebagai pendidikan ala Taman Siswa.
Namun, konon Tamsis saat ini bak kerakap diatas batu, hidup segan mati tak mau. Nyaris semua sekolah tamsis di seluruh nusantara terasa lesu kurang darah, guru, pengurus dan murid muridnya tidak lagi menunjukkan gelora dan mutu Tamsis jaman Ki Hajar, Tamsis sekarang adalah Tamsis yang renta dan muram diusia senja, meski sejarah si tua ini begitu dahsyat, namun tak mampu mencetak kader penerus.
Jauh di selatan, di sebuah daerah baru yang terhitung elit, simprug. Berdiri sebuah bangunan megah modern bertingkat, dengan lahan parkir bertingkat di bawah tanah. Halaman depan dipenuhi pepohonan dan bunga dan air mancur dengan lobi dijaga satpam yang kereng dan rapi, serta resepsionis wangi. Jangan lupa, lobi luas itupun sedingin udara puncak dikala subuh.
Gedung megah bertingkat delapan itu semua petunjuknya bertuliskan 3 bahasa, Inggris-Indonesia dan Mandarin dilengkapi dengan Lift yang apik. Pekerjanya menggunakan jas dan blazer, pengepel lantai dan tukang kebun berseragam rapi, tak ada debu di setiap dindingnya. Awalnya kupikir ini bukan di Indonesia yang panas dan berdebu, tetapi di negeri antah berantah.
Inilah Bina Nusantara (Binus) International School yang dalam keseharian, obrolan antara murid dan guru dan tenaga kependidikan lain, selain tukang pel dan tukang kebun harus berbahasa Internasional, Bahasa Inggris. Semua aspek sekolah ini terurus sangat baik, karya murid memenuhi lorong kelas yang selalu dingin. Kelas seni, yang di sekolah negeri dikesampingkan, disini sangat dihargai. Setiap tahun diadakan Bienalle, festival kesenian, kemarin ada "Interschool Arts Fiesta".
Dalam Pesta Seni (Pensi)-Arts Fiesta ini, mulai deklamasi, menyanyi, seni keramik hingga menggesek cello dan biola, alat musik yang oleh murid sekolah negeri hanya pernah di lihat melalui TV dan buku, dipertandingkan di panggung yang mirip panggung resital. Bocah usia 8 Tahun hingga usia belasan memainkan biola membawakan karya musik Vivaldi, Hyden dan komponis lain yg namanya asing ditelingaku, di bawah sorotan lampu panggung. Bocah bocah dahsyat itu dinilai oleh juri sekaliber violist perempuan Suryati Supilin.
Ketika hadir disini, pikiranku berputar putar di perguruan Tamsis Jakarta masa lalu yang bergelora itu, dimana karya seni anak bangsa dimainkan oleh murid muridnya dengan apik, sehingga seniman besar Affandi dan Chairil Anwar rela mengajar di sekolah ini dengan bangga. Tamsis masa lalu adalah gelora Binus masa kini.
Meski aku merasakan "ing ngarso asung tulodo, ing madyo mangun karso dan tut wuri handayani" di sekolah Binus, namun aku tidak merasakan Indonesia di sana, yang kurasa adalah Taiwan, Korea, Singapura. Meski samar samar, aku masih merasakan ada Indonesia di Tamsis, namun di sini dia sedang terluka dan sekarat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
ouw,bahasa nya puitis sekali...
Posting Komentar