Kamis, 13 Agustus 2009

" Jangankan Menabung, Melaut saja "


SP/M Kiblat Said

Syamsuddin
(27), nelayan dari Kelurahan Je'ne, Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten
Takalar, Sulsel, merapat di dermaga Pangkalan Pendaratan Ikan Paotere, Makassar,
Selasa (11/8). Setelah melaut selama 10 hari pendapatannya hanya Rp 300.000.
Jumlah itu tak cukup untuk menyekolahkan anaknya, dan terpaksa harus putus
sekolah.

eluh masih membasahi baju kaos, ketika Selasa (11/8) pagi,
Syamsuddin (27) dengan perahu motornya merapat di dermaga Pusat Pendaratan Ikan
Paotere, Makassar, Sulsel. Dia segera membongkar hasil tangkapannya yang akan
dilelang.



Wajah Syamsuddin tampak ceria, secerah cuaca di Selat Makassar.
Nelayan asal Kelurahan Je'ne, Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar itu,
mendarat setelah 10 hari bertarung di laut lepas perairan Selat Makassar untuk
menangkap ikan.
Dia melaut menggunakan perahu bermotor dan peralatan milik
punggawa (pemodal) yang dioperasikan dengan cara bagi hasil tangkapan, 50 persen
untuk punggawa, dan 50 persen dibagi rata di antara para nelayan yang melaut.

Dalam sebulan pendapatannya berkisar Rp 1,2 juta. Jumlah itu tidak
mencukupi biaya hidup bersama anak dan istrinya. Tetapi tidak ada pilihan lain,
dia harus tetap melaut. "Beban tinggal di darat lebih besar. Makin lama tinggal
di darat, makin sulit menutupi kebutuhan hidup," katanya.
Itulah mengapa,
meskipun penghasilan sangat kecil, nelayan lebih suka melaut. "Dua hari saja di
darat, satu per satu nelayan minta pinjam uang ke juragan," kata tokoh nelayan
Paotere, Abdul Rakhman Baddu.

Sebesar apa pun penghasilan nelayan, mereka
juga tidak kenal menabung. Bagaimana mungkin, jika sebelum melaut sudah harus
berutang untuk diberikan ke keluarga, sementara hasil tangkapan tidak jelas.
Kalau lagi beruntung bisa dapat banyak, tapi tak jarang harus pulang dengan
kantong kosong.

"Jadi, jangan pernah berharap nelayan bisa menyekolahkan
anaknya sampai ke perguruan tinggi. Jika ada anak nelayan yang mampu tamat SMA,
itu sudah luar biasa. Kungkungan keputus-asaan pada keadaan terus menghampiri
nelayan, sehingga budaya yang melekat pada mereka sulit terkikis. Jika bapak
nelayan, anak pun kadang ikut menjadi nelayan," tuturnya.
Kisah yang sama
juga tergurat dalam kehidupan Nani Lekatompessy (60), nelayan di Dusun Umputi,
Desa Latuhalat, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, Maluku. Pria yang akrab disapa
Bape Nani tersebut hingga kini masih bertahan dengan peralatan seadanya untuk
mencari ikan.

Bergelut dengan kondisi yang cukup memprihatinkan, Bape
Nani masih bisa menghidupi keluarganya, walaupun anaknya terpaksa putus sekolah.
Penghasilan dari melaut hanya bisa untuk makan sehari-hari, tak kunjung cukup
untuk menyekolahkan anak-anaknya. "Katong (kita, Red) para nelayan kurang
diperhatikan pemerintah daerah," keluhnya.

Hidup sebagai nelayan yang
serba tak menentu juga merisaukan Yasin Saropi (48), warga Desa Gajah Mati,
Kecamatan Pematang Panggang, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel. Hari-harinya
dilalui dengan rasa cemas. Harapannya begitu kecil untuk bisa memperoleh ikan.
"Hasil tangkapan kemarin juga sangat sedikit. Malah untuk membeli beras dan lauk
pauk saja masih kurang. Solar untuk melaut hari ini, masih berutang," tuturnya
pedih.

Yasin tak berdaya, ketika anak sulungnya harus putus sekolah saat
di kelas 3 SMA. "Sekarang dia ikut saya melaut," katanya.

Nelayan di
Papua setali tiga uang. Yulianus (46), nelayan di Kampung Vietnam, Jayapura,
mengaku, jalan hidup sebagai nelayan telah dilakoninya selama 30 tahun. Walaupun
pendapatan sebagai nelayan dirasa kurang, namun dia tidak bisa berbuat
banyak.

Para nelayan umumnya mengaku, masalah yang dihadapi bukan hanya
kecilnya penghasilan yang diperoleh setiap melaut. Hal yang sangat dikhawatirkan
adalah jika pemerintah kembali menaikkan harga solar atau mencabut subsidi.
Padahal, mereka sekarang harus membeli solar seharga Rp 5.000 per
liter.

Termarginalkan

Nelayan memang potret
nyata kemiskinan abadi di Indonesia, bersama kaun tani. Potensi kelautan
nasional seolah tak dilirik pemerintah. Pada saat bersamaan, berjuta ton dan
berbagai jenis ikan terus dicuri nelayan asing dengan kerugian mencapai Rp 30
triliun per tahun. Padahal, potensi itu bisa menyejahterakan kaum
nelayan.

Ketua Umum Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), Yussuf
Solichien menegaskan, sebagai negara maritim selayaknya Indonesia memanfaatkan
dan mengelola dengan baik potensi kelautan dan perikanan yang merupakan
keunggulan kompetitif.

Perhatian pada sektor kelautan dan nelayan, tak
hanya demi alasan ekonomis. Tetapi, juga demi tegaknya kedaulatan wilayah NKRI,
mengingat warga pesisir dan nelayan adalah ujung tombak, karena mereka tinggal
di wilayah terluar.

Luas wilayah laut RI hampir tiga kali lipat luas
daratan, atau mencapai 5,8 juta kilometer persegi, dengan panjang pantai lebih
dari 95.000 kilometer. Sekitar 16,4 juta orang hidup di wilayah pesisir dan
sangat bergantung pada hasil laut, termasuk produk olahannya.

Jumlah
nelayan yang menangkap ikan di laut mencapai empat juta orang, sekitar 2,6 juta
menangkap ikan di danau, sungai, dan sebagai pembudi daya ikan di tambak-tambak.

Sekretaris Dewan Kelautan Indonesia, Max Rompas mengungkapkan, di laut
Nusantara terkandung potensi ekonomi perikanan senilai US$ 32 miliar per tahun,
potensi bioteknologi atau sediaan farmatika senilai US$ 40 miliar, dan potensi
ekonomi wilayah pesisir sekitar US$ 56 miliar per tahun.

Statistik sektor
perikanan Indonesia sangat menyedihkan. Max Rompas memaparkan, kontribusi
perikanan terhadap PDB nasional pada 2008 hanya 2,7 persen, jauh lebih kecil
dari sektor lainnya. Padahal, potensi industri perikanan yang seharusnya dipasok
para nelayan sangatlah besar. Ironisnya, volume ekspor menurun, dari 926.478 ton
pada 2007, menjadi hanya 857.783 ton pada 2008. Sementara itu, ekspor produk
perikanan negara-negara lain yang wilayah lautnya jauh lebih kecil dari
Indonesia, seperti Thailand, Filipina, dan Vietnam, malah
melonjak.

Ironisnya lagi, impor perikanan kita malah naik. Tahun 2007,
impor produk perikanan mencapai 120.000 ton senilai US$ 160 juta, naik menjadi
280.000 ton atau senilai US$ 268 juta pada 2008. Uniknya, Indonesia juga
mengimpor ikan dari negara kecil, seperti Hong Kong, dan negara yang bukan
berbasis perikanan seperti Paskistan.

Tak mengherankan jika nasib
nelayan selalu terpinggirkan. Bahkan pada 2010, Departemen Kelautan dan
Perikanan (DKP) akan menerapkan aturan baru yang menyakitkan nelayan, yakni
mulai mengapling-ngapling wilayah tangkapan ikan di laut.

Dampak aturan
itu, pengusaha besar akan berpesta pora meraup jutaan ikan yang sudah disediakan
alam, sementara nelayan kecil hanya bisa gigit jari dan berpotensi menimbulkan
konflik besar. Kebijakan ini dikritik para pengamat dan LSM, namun DKP jutsru
makin menggebu dengan alasan ingin memudahkan pengawasan.

Dipastikan,
nasib nelayan semakin terpuruk. Mereka tak mampu bersaing dengan nelayan asing
yang memiliki kapal berbobot besar dan berteknologi canggih, sehingga leluasa
menangkap ikan di perairan nasional. Bahkan, nelayan kerap ditangkapi karena
dianggap tak memiliki izin.

Di sisi lain, perbankan masih pelit
mengucurkan modal untuk nelayan kecil karena menganggap usaha perikanan berisiko
tinggi. Ini menunjukkan, pemerintah memang belum memiliki komitmen tinggi untuk
mendorong sektor perikanan menjadi sumber ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Semboyan Jalesveva Jayamahe, di lautan kita jaya, masih sekadar slogan kosong.


Tidak ada komentar: