Kamis, 13 Agustus 2009

" Menyekolahkan Anak hanya Impian "


SP/Fuska Sani Efani


Prawiro (54), buruh tani menginjak-injak padi agar terlepas
dari batangnya di Bantul, DIY. Selama musim panen ia menjadi buruh tani dengan
upah Rp 20.000 per hari.

Hidup serba kekurangan sudah
menyatu dalam kehidupan se- orang buruh tani. Makan dengan lauk seadanya, bahkan
hanya makan tiwul (singkong yang dikeringkan) , adalah hal biasa. Bisa
menyekolahkan anak hingga SMA hanyalah impian, karena tak ada dana untuk
membiayai anak bersekolah. Bisa sekolah hingga SLTP saja sudah merupakan
keajaiban.



Munali (48 tahun), seorang buruh tani asal Desa Pepe,
Kecamatan Sedati, Sidoarjo, Jawa Timur, bisa menggambarkan bagaimana nelangsanya
kehidupan seorang buruh tani di negeri ini. Hidupnya serbakekurangan. Makan
hanya dengan lauk seadanya, dua anaknya putus sekolah karena tidak ada biaya
untuk menyekolahkannya.

"Penghasilan sebagai buruh tani hanya untuk bisa
makan. Selebihnya kami hidup serbakekurangan, " kata Munali, kepada SP, di tengah
sawah dengan tanaman padi menghijau milik majikannya, Sumali, Senin
(10/8).

Kedua anaknya, Rokhmad dan Ainur Rokhim, sekarang harus bekerja
sebagai buruh pengangkat kain di kawasan Kapasan, Surabaya. Keduanya tidak bisa
melanjutkan sekolah dan hanya mengantongi ijazah SMP, karena ketiadaan biaya.
Munali tak mampu mem- biayainya.

"Kedua anak saya sudah mampu membiayai
diri mereka sendiri dengan bekerja sebagai buruh pengangkat kain. Sebagai buruh
tani, saya rata-rata hanya berpenghasilan Rp 10.000 sehari.
Uang itu hanya cukup untuk makan, dan pasti tidak cukup untuk membiayai
anak-anak saya sekolah," ujar Munali, yang terlihat kepanasan bekerja di sawah
siang itu.

Saat kedua anaknya masih sekolah, uang yang diterima
Rp 300.000 per bulan itu, harus diambil sebagian untuk
membiayai mereka.

"Dulu untuk keperluan mereka juga diambil dari
penghasilan sebagai buruh tani yang sedikit itu, untuk membeli buku dan sedikit
uang jajan mereka.

Untuk membiayai mereka melanjutkan sekolah ke jenjang
lebih tinggi sangat tidak mungkin dengan penghasilan yang hanya sebesar itu,"
ujarnya lagi.

Pekerjaan sebagai buruh tani sudah digeluti Munali sejak
dia sudah bisa bekerja.

Tanpa memiliki keterampilan lainnya, kecuali
bekerja sebagai buruh tani membuat kehidupan Munali tidak mengalami perubahan
meskipun presiden di negeri ini sudah beberapa kali berganti dan sekarang
Indonesia akan merayakan HUT Kemerdekaan yang ke-64, tanggal 17 Agustus 2009
mendatang.

Di tengah kehidupan yang memprihatinkan tersebut, Munali masih
mempunyai harapan terhadap Presiden SBY, yang terpilih untuk memimpin negeri ini
hingga 2014 mendatang. "Saya berharap presiden terpilih bisa membantu para buruh
tani dengan mengucurkan kredit murah dalam bentuk lahan pertanian. Dengan
demikian kami tidak hanya bekerja sebagai buruh tani, tapi bisa memiliki lahan
yang dikerjakan sendiri," tambahnya.

Buruh tani, kata Munali, dibelikan
lahan pertanian melalui bank milik pemerintah atau pemerintah daerah. Sertifikat
kepemilikan dibuat jaminan, sementara buruh tani berkewajiban mengangsur dalam
jangka panjang, yang tidak memberatkan. Melalui cara ini diharapkan buruh tani
dapat mengelola lahan pertanian miliknya, tanpa harus bergantung kepada
majikannya.

Begitu pula dengan Ny Prawiro (54 tahun) yang bekerja
sebagai buruh tani sejak berusia muda. Dia hanya bekerja ketika ada garapan di
sawah. Upah yang diterima untuk mengolah sawah adalah 25 kilogram beras setiap
musim panen. Jika bekerja secara harian, dibayar hanya Rp 20.000 per hari.

"Upahnya paling-paling habis untuk makan harian sekeluarga," kata Ny
Prawiro , perempuan asal Bantul, Jawa Timur.

Namun perempuan dengan empat
anak ini mengaku mampu menyekolahkan salah seorang anaknya hingga lulus STM.
"Yang lulus STM kemarin sudah bekerja di bengkel motor. Toh jadi buruh juga
kan," ujarnya menegaskan nasibnya secara turun-temurun.

"Dulu simbah
(kakek-Red) memang punya sawah, tapi sudah habis dibagi-bagi buat anak yang
laki-laki, kebetulan saya keturunan dari ibu atau anak perempuan, jadinya tidak
kebagian. Jadilah kami mburuh," katanya.

Kalau pekerjaan di sawah sedang
lowong, Ny Prawiro, banting stir menjadi tukang cuci atau tukang seterika di
usaha-usaha laundry. Kalau pas musim tanam, juragan langganannya selalu
mempercayainya. "Pas musim tanam, saya biasanya bekerja nonstop selama dua
minggu. Ya, bayarannya Rp 20 ribu sehari. Tapi kalau pas musim panen, setiap
lahan 2 kali 14 meter, saya dapat 25 kilogram beras, tergantung dari berapa
kemampuan saya," katanya lagi.

Keterampilannya itu diturunkan juga kepada
anaknya yang perempuan. Sejak masih di usia SMP, anak-anaknya sudah pandai
menanam padi hingga memanen. Jadi kelak, tongkat estafet sebagai buruh tani akan
turun ke anak perempuannya. Artinya, tidak akan ada perbaikan nasib bagi anak
keturunannya.

Entah sampai kapan generasi buruh ini terus menurun kepada
anak cucunya. Tanpa bantuan pemerintah untuk menyekolahkan anak-anak mereka,
kehidupan buruh tani ini tidak akan bisa ditingkatkan. Turun temurun mereka
tetap menjadi buruh tani yang miskin. Potret kehidupan Munali dan Ny Prawiro
telah berbicara tentang hal ini.

Data BPS pada 2002 menyebutkan, buruh
tani pada 1995 jumlahnya sekitar 5,064 juta keluarga, dan meningkat menjadi 7,10
juta keluarga pada 1999. Pada 2003 tercatat ada 11,7 juta keluarga. Kesulitan
ekonomi yang mengakibatkan lapangan kerja sangat terbatas serta tidak adanya
perbaikan nasib, akan membuat jumlah buruh tani terus meningkat.
[152/080]


Tidak ada komentar: