Senin, 31 Agustus 2009

" Sindroma Negara Pasca Kolonial "

Persengketaan masalah kebudayaan antara Malaysia dan Indonesia yang tengah berlangsung akhir akhir ini sesungguhnya dapat kita pahami sebagai fenomena “satu bangsa yang terbelah”. Hal ini perlu kita pahami dalam konteks Indonesia dan Malaysia adalah negara bangsa pascakolonial. Kolonialisme Belanda di Indonesia dan kolonialisme Inggris di Malaysia telah membelah imajinasi rumpun Melayu di kedua negara tersebut. Jika kita telusuri sejarah menuju kemerdekaan Indonesia, kita akan menemukan catatan sejarah bahwa ada utusan Malaya dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang menyepakati terbentuknya "Indonesia Raya" termasuk di dalamnya wilayah Malaysia sekarang. Namun, dalam perkembangannya kemudian imaji kebangsaan mengalami perubahan sehingga Malaya menjadi bagian dari negara Malaysia, bukan termasuk dari Indonesia Raya seperti yang dibayangkan dalam sidang BPUPKI sebelumnya. Kenyataan sejarah itu harus kita hargai, meskipun di zaman itu kemudian menghasilkan konfrontasi dengan Malaysia karena Indonesia merasa dikhianati oleh kesepakatan utusan Malaya.



Gagalnya “Indonesia Raya”

Tampaknya, efek konfrontasi itu tidaklah berhenti begitu saja dan masih menyisakan sejumlah ketegangan hingga masa sekarang, baik politik, budaya, dan masalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Pengiriman tenaga kerja berpendidikan rendah ke Malaysia memang telah menyebabkan stereotype bahwa Indonesia adalah bangsa yang rendah di mata orang Malaysia yang memiliki jiwa feodal. Namun, tentu tidak semua orang Malaysia berkarakter demikian. Jauh lebih banyak lagi orang Malaysia yang tidak feodalis. Di era 1960—1970an, orang Malaysia melihat Indonesia sebagai bangsa yang terdidik karena mengirim guru untuk mengajar di Malaysia dan Malaysia mengirim pelajarnya ke sejumlah universitas di Indonesia, antara lain di Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (ITB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Alumni dari universitas-universitas tersebut sebagian menjadi tokoh dan negarawan maupun cikal-bakal dunia pendidikan di Malaysia. Dalam konteks sekarang, ini artinya bangsa Indonesia mengalami kemerosotan intelektual dan ekonomi, jika dibanding dengan Malaysia yang lebih berhasil secara ekonomi sehingga warganya lebih mampu menjangkau pendidikan yang lebih tinggi daripada warga Indonesia. Ini adalah kerugian simbolik dari pengiriman tenaga kerja berpendidikan rendah yang membangun citra negatif meskipun hal itu menghasilkan devisa yang menguntungkan.

Tenaga kerja Indonesia (TKI) yang pada umumnya menjadi pekerja rendahan di Malaysia menyebut diri mereka sebagai “orang Indon” yang kemudian dipakai oleh orang Malaysia untuk menyebut semua orang Indonesia sebagai “Indon”. Kata ini di Malaysia sesungguhnya tidak berkonotasi negatif, namun bagi orang Indonesia penyebutan itu bermakna negatif. Bahkan, orang Indonesia yang tidak paham akan menyangka bahwa istilah tersebut dipakai oleh orang Malaysia untuk merendahkan bangsa Indonesia, padahal sama sekali tidak karena mereka hanya mereproduksi istilah ‘Indon‘ yang digunakan oleh TKI di negeri jiran tersebut.

Situasi ini tampak seperti memperburuk relasi, namun pada dasarnya hal itu hanya ada di media massa. Dalam kehidupan sehari-hari, bagi orang Malaysia masalah itu adalah masalah kecil yang tidak menjadi berita besar. Dan mungkin karena itulah orang Indonesia melihat bahwa orang Malaysia “telinganya tebal”. Fenomena stereotype tersebut kemudian semakin parah ketika peristiwa Sipadan Ligitan yang oleh Mahkamah Internasional ditetapkan sebagai milik Malaysia, juga masalah Blok Ambalat. Ini adalah ekspresi kegagalan “Indonesia Raya” yang pernah dibicarakan dalam sidang BPUPKI.

Sindroma Negara Pascakolonial

Terbentuknya Indonesia dan Malaysia dalam perjalanan pascakemerdekaan ternyata tidak pernah menjadikan masing-masing negara itu menjadi “negara yang selesai”. Kedua negara tersebut masih mengalami “sindroma negara pascakolonial”, yaitu rapuhnya identitas masing-masing sebagai akibat dari satu suku bangsa yang kemudian terbelah karena kemerdekaan masing-masing. Indonesia yang merdeka melalui revolusi sosial yang berdarah-darah menjadikannya sangat heroik dengan perjuangan mencapai kemerdekaan sehingga kesadaran akan teritorial menjadi sangat kuat. Sementara itu, Malaysia yang merdeka "hanya" melalui penyerahan kedaulatan secara damai masih memiliki warisan kerajaan yang utuh sehingga dengan mudah meletakkan jati diri bangsa pada basis kerajaan karena warisan budaya yang masih utuh tersebut. Benar bahwa ada perlawanan anti kolonial di Malaysia, namun kekuatan tersebut dapat diredam dan ditransformasikan menjadi lebih politis yaitu negosiasi untuk merdeka. Sebaliknya di Indonesia, gerakan anti kolonial mampu memperoleh kemerdekaan melalui konflik dengan pemerintah kolonial dan juga dengan berbagai institusi kerajaan yang berkolaborasi dengan kekuatan kolonial. Hasilnya adalah runtuhnya kerajaan di masing-masing wilayah swapraja.

Meskipun ada perbedaan dalam perjuangan menuju merdeka, terdapat persamaan penting yang perlu kita kaji lebih lanjut, yaitu faktor Islam dalam proses kemerdekaan. Islam, baik di Malaysia maupun di Indonesia, sama-sama menjadi faktor perekat sosial. Faktor itu kemudian semakin diperkuat oleh lingua franca bahasa Melayu yang dipakai di Indonesia maupun di Malaysia. Islam dan bahasa Melayu di Malaysia mengalami penguatan yang signifikan dan bahkan menghomogenkan Malaysia menjadi negara Islam meskipun di dalamnya terdapat masyarakat yang beragama Hindu, Budha, Konfusianisme, Protestan, dan Katolik. Sedangkan di Indonesia, kemajemukan budaya dan agama masih bertahan hingga kini. Efek dari homogenisasi Islam di Malaysia, semua bentuk kebudayaan yang ada mengalami Islamisasi, praktek-praktek budaya yang bertentangan dengan Islam tidak akan memperoleh ruang untuk berkembang. Hanya yang bercorak Islam yang mendapatkan ruang untuk hidup. Akibatnya, masyarakat Malaysia yang pada dasarnya majemuk (ada yang berasal dari berbagai pulau di wilayah Indonesia), tidak lagi mengembangkan budaya asal mereka karena homogenisasi budaya menjadi Islam.

Banyak warga Malaysia yang berasal dari Ponorogo tidak lagi mengembangkan reog yang dianggap bertentangan dengan Islam, karena warok merupakan praktek homoseksual yang masih tersisa dari tradisi Tantrayana. Banyak pula orang-orang dari daerah yang memiliki tradisi membatik atau membuat wayang, seperti Pekalongan, Lasem, Rembang, dan Surakarta atau Yogyakarta, namun karena kemajuan ekonomi dan meningkatnya pendidikan, tradisi tersebut tidak terjaga lagi. Ini adalah akibat dari tenaga kerja telah terdidik tidak mau lagi bekerja untuk membatik yang dianggap pekerjaan dengan upah kecil. Akibatnya, banyak warga Malaysia yang mengimpor batik dari daerah Pantai Utara Jawa dan Surakarta. Kalau pun ada yang membatik, bisa dipastikan mereka adalah keturunan dari orang-orang Indonesia yang telah menjadi warga Malaysia. Sebaliknya, semua itu masih terjaga di Indonesia, bukan hanya karena bermaksud untuk menjaga tradisi, namun karena masih ada orang yang tidak mampu menjangkau pendidikan tinggi sehingga masih mau berkutat pada usaha batik yang upahnya rendah. Ketika produk budaya seperti reog, batik, dan Tari Pendet dari Bali, serta berbagai produk budaya Indonesia lainnya diakui sebagai milik Malaysia, orang Indonesia secara responsif mengkonfrontasi hal tersebut. Orang Indonesia hanya peduli pada produk budaya saja tetapi tidak peduli pada penghasilan dari produsen budaya yang tidak cukup untuk memperbaiki tingkat pendidikan mereka.

Kenyataan sejarah diaspora menunjukkan bahwa warga Malaysia pernah memiliki berbagai produk kebudayaan tersebut karena apa yang disebut dengan Malaysia dan Indonesia pada dasarnya adalah serumpun bangsa Melayu yang berbagi kebudayaan yang sama. Pada dasarnya mereka keturunan jawa, Sumatra, Banjar, Bugis, dan lain sebagainya yang secara administratif menjadi warga negara Malaysia. Padahal, secara budaya mereka adalah serumpun Melayu. Budaya asli mereka mengalami Islamisasi dan artinya terhomogenisasi. Praktik budaya Melayu yang masih mengamalkan tradisi asli dan berseberangan dengan ajaran Islam semakin lama semakin lenyap. Hal demikian tidak terjadi di Indonesia, semua bentuk budaya tersebut masih dipraktikkan.

Dalam konteks negara pascakolonial, baik Indonesia maupun Malaysia sama-sama mengalami sindroma, namun menghasilkan ekspresi yang berbeda. Indonesia dengan semangat heroiknya yang dilandasi gagasan nasionalistik negara pascakolonial merespon masalah konflik produk budaya secara konfrontatif, karena secara sadar mereka membangun batas teritori imajinatif yang tegas, yaitu Indonesia dan Malaysia berbeda. Sebaliknya, Malaysia yang telah terhomogonesisasi oleh Islam mengalami krisis kebudayaan ketika harus berhadapan dengan keharusan mengembangkan pariwisata. Budaya yang berakar pada masyarakat tradisional tidak lagi mereka temukan. Akibatnya, budaya yang dapat dijadikan komoditas untuk menarik wisatawan ke Malaysia di dalam bingkai "Malaysia Truly Asia" menjadi sangat minim. Oleh karena apa yang disebut sebagai "Truly Asia" itu telah hilang karena Islamisasi, maka Malaysia berupaya menggali akar budaya lama yang hilang tersebut untuk menjadi komoditi wisata. Misalnya, reog yang pernah berkembang pada komunitas Ponorogo di Malaysia dihidupkan kembali. Caranya adalah dengan mengimpor reog dari Ponorogo dan kemudian menghidupkan kembali komunitas Ponorogo yang ada di Malaysia. Tari Pendet juga dicoba dihidupkan kembali meskipun komunitas orang Bali di Malaysia telah terislamkan. Fenomena seperti inilah yang terjadi pula dengan angklung, wayang, dan batik. Kesadaran akan teritori negara pascakolonial hal itu telah menyinggung perasaan rakyat Indonesia.

Dari penjelasan di atas tampak bahwa Indonesia maupun Malaysia sama-sama mengalami sindroma negara pascakolonial. Indonesia memunculkan heroism syndrome sebagai negara pascakolonial yang membangun identitas bangsa dengan konfrontasi, sementara Malaysia juga mengalami sindroma negara pascakolonial dalam bentuk krisis kebudayaan karena Islamisasi yang pernah menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme ternyata menghabisi kebudayaan lokal. Ini adalah wajah masyarakat rumpun Melayu yang terbelah oleh negara pascakolonial. Masing-masing mengembangkan gagasan yang pada dasarnya keluar dari bingkai kemelayuan dan justru masuk ke dalam konflik yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

Melayu Online.com, Solusi Menyatukan Budaya Melayu

Fenomena berebut kebudayaan, dari batik hingga Tari Pendet, pada dasarnya merupakan efek dari cara berfikir negara pasca kolonial. Artinya, meskipun perjuangan menuju merdeka merupakan upaya untuk lepas dari kolonialisme, bukan berarti kerangka berpikir bangsa Indonesia dan Malaysia berhasil keluar dari bingkai bangsa yang terbelah karena kolonial itu sendiri. Untuk mengatasi sindroma negara pascakolonial, www.MelayuOnline.com yang dikelola oleh warga Indonesia telah menyediakan wadah untuk menuju kebersamaan sebagai rumpun Melayu. Hal ni penting, karena pada dasarnya Indonesia dan Malaysia adalah sama-sama bangsa Melayu yang berbagi kebudayaan yang sama.

Kehadiran negara pascakolonial telah membelah bangsa Melayu untuk membangun stereotype yang tidak kunjung menemui ujung pangkal. Oleh karena itu, kehadiran www.MelayuOnline.com yang bernaung di bawah Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) dengan pusatnya di Yogyakarta, merupakan instrumen komunikasi modern yang mampu menjadi jaringan untuk menghimpun kembali puak-puak Melayu di seluruh dunia demi menggalang solidaritas bersama dan hidup berdampingan dengan berbagai macam bentuk kebudayaan di dunia yang juga harus kita hargai sebagai milik bersama.

Tidak ada komentar: