DALAM makalah ini akan dikemukakan suatu analisis historis tentang identitas Sunan Gunung Djati, salah seorang wali dari Wali Sanga, yang menjadi pendiri Kesultanan Cirebon dan Banten, sekaligus penyebar agama Islam di Jawa Barat.
Sunan Gunung Djati, menjadi tokoh utama dalam berbagai naskah lama yang dapat disebut sebagai naskah-naskah Cirebon. Selain itu, beberapa buku tentang Sunan Gunung Djati, juga telah ditulis beberapa pengarang. Bahkan yang terakhir, ada suatu studi filologi-sejarah untuk penulisan disertasi, yang berusaha menganalisis tentang Sunan Gunung Djati berdasarkan naskah-naskah lama. Jejak-jejak berupa makam masih ada pula di Gunung Sembung, dan tentu saja peninggalan lainnya yang ada di Cirebon ini. Yang menjadi obyek kajian di sini adalah sumber-sumber tertulis tentang Sunan Gunung Djati. Selain sumber naskah, dikemukakan pula sumber lain yaitu berita dari orang asing.
Kerangka Konseptual
JEJAK-JEJAK (traces) suatu peristiwa sejarah dapat dilacak melalui sumber-sumber (sources) yang ditinggalkannya. Jadi, jejak-jejak tentang Sunan Gunung Djati, bisa dilacak melalui sumber-sumber yang ditinggalkannya. Dilihat dari asal-usul sumber, sumber sejarah dapat diklasifikasikan menjadi sumber primer dan sumber sekunder, dan sumber tersier (Garraghan, 1946: 107, Alfian, 2000:9).
Yang dimaksud dengan sumber primer (primary sources) adalah bila sumber atau penulis sumber menyaksikan, mendengar sendiri (eye-witness atau ear-witness), atau mengalami sendiri (the actor) peristiwa yang dituliskan dalam sumber tersebut. Jadi, sumber hidup sezaman dengan peristiwanya itu sendiri. Sumber primer dapat dibagi dua pula, yaitu strictly primary sources (sumber primer yang kuat) dan less-strictly primary sources atau contemporary primary sources (sumber primer yang kurang kuat atau sumber primer kontemporer). Yang pertama menunjuk pada sumber yang tergolong saksi mata (eye-witness) atau pelaku (the actor), sedangkan yang kedua menunjuk pada si penulis sumber bukan saksi atau pelaku, hanya hidup sezaman dengan peristiwa.(Garraghan, 1946).
Yang dimaksud dengan sumber sekunder adalah bila sumber atau penulis sumber hanya mendengar peristiwa itu dari orang lain. Dalam hal ini, harus dibedakan antara sumber sekunder dengan sumber kontemporer. Untuk mudahnya, dapat dikatakan bahwa sumber sekunder sumber tidak hidup sezaman. Yang dimaksud dengan sumber tersier adalah semua karya tulis sejarah yang bersifat ilmiah.
Sebuah sumber sejarah mengandung informasi sejarah yang terdiri dari data (keterangan) sejarah. Data belum tentu merupakan fakta sejarah. Untuk mencari fakta, maka harus dilakukan kritik terhadap sumber sejarah. Pertama, harus dilakukan kritik ekstern, yaitu menentukan otentisitas sumber. Untuk itu diteliti:
1. Kapan sumber itu dibuat
2. Di mana sumber itu dibuat
3. Materi (kertas dan tinta) apa yang dipakai.
4. Jenis huruf, tanda tangan, meterai, tulisan tangan.
5. Apakah sumber itu asli atau turunan. Ini berlaku terutama untuk naskah-naskah lama.
6. Apakah sumber itu utuh atau telah diubah-ubah.
Tahap selanjutnya adalah melakukan kritik intern, yaitu untuk menentukan kredibilitas sumber. Apakah suatu sumber dapat dipercaya atau tidak isinya, perlu diteliti dua hal penting:
1. Kemampuan sumber untuk menyampaikan kebenaran suatu peristiwa. Kemampuan ini ditentukan oleh: pertama, kedekatan pelaku atau saksi dengan peristiwa, baik kedekatan waktu maupun ruang. Jadi, bila suatu sumber ditulis oleh orang yang berada di tempat suatu peristiwa terjadi akan lebih tinggi kredibilitasnya dibandingkan dengan sumber yang ditulis oleh orang yang tidak hadir di tempat itu. Juga, suatu sumber yang ditulis oleh orang yang hidup pada waktu peristiwa itu terjadi atau hidup sezaman dengan peristiwa itu, akan lebih tinggi kredibilitasnya bila dibandingkan dengan sumber yang ditulis oleh orang yang tidak sezaman. Makin jauh dari ruang dan waktu peristiwa itu terjadi, makin rendah kredibilitas suatu sumber; dan, kedua, kompetensi pelaku atau saksi, yang ditentukan oleh tingkatan keahlian (pendidikan), kesehatan fisik dan mental, usia, ingatan, ketrampilan bercerita, dsb.
2. Kemauan sumber untuk menyampaikan kebenaran. Hal ini dapat ditentukan oleh seberapa jauh kepentingan pelaku atau saksi dalam peristiwa itu.(Garraghan, 1946: 338-346; Gottschalk, 1975: 103-106)
Selanjutnya, harus dilakukan perbandingan antara sumber-sumber, yang bebas satu sama lain atau tidak saling mempengaruhi. Dari hasil perbandingan ini dihasilkan satu dukungan penuh untuk sebuah fakta. Prosedur ini disebut koroborasi. Jelaslah, bahwa fakta dalam hal ini adalah sebuah konstruk (Kartodirdjo, 1992:17).
Artinya, fakta dibangun oleh pikiran sejarawan. Fakta-fakta inilah yang kemudian diinterpretasikan oleh sejarawan, sehingga lahir sebuah sintesis, yang tentu saja tidak bisa lepas sepenuhnya dari unsur subyektif si sejarawan itu sendiri, meski ia berusaha untuk obyektif. Itulah sebabnya, sebuah kisah sejarah dapat diubah dengan jalan melakukan reinterpretasi. Akan tetapi, reinterpretasi ini, hanya bisa dilakukan apabila:
1. Ditemukan sumber kontemporer yang sebelumnya tidak ditemukan.
2. Adanya kekeliruan yang terdapat dalam sumber-sumber terkait.
3. Adanya interpretasi baru terhadap fenomena sejarah yang telah dikenal (Alfian, 2000:9).
Ketika melakukan interpretasi, maka pendekatan yang bersifat hermeneutika dapat dipergunakan. Secara lebih tepat, metode verstehen yang dikemukakan oleh Wilhelm Dilthey bisa dipergunakan sehingga analisis yang dilakukan benar-benar historical-mindedness.(Haddock, 1980: 152; Ankersmith, 1987: 153-170; Lloyd, 1988: 85-95; Iggers,1997: 39)
Apabila sumber yang ada ternyata ada satu sumber primer, sehingga tidak ada sumber pembanding, atau sumber-sumber yang ada hanya merupakan sumber-sumber sekunder tanpa ditemukan sumber primer sebagai pembanding, sehingga prosedur koroborasi tidak dapat dilakukan, maka berlakulah prinsip argumentum ex silentio. Artinya, pendapat ini untuk sementara bisa diterima asalkan tidak terdapat kontradiksi di dalamnya. Perlu ditegaskan bahwa prinsip ini dalam metode sejarah merupakan cara pengujian yang lemah (Garraghan, 1946: 162-166).
Sunan Gunung Djati dalam Sumber-sumber Tertulis
1. Sumber Lokal
Hingga saat ini, belum ditemukan sumber tertulis berupa prasasti ataupun tulisan dalam benda-benda peninggalan purbakala yang memberikan informasi tentang Sunan Gunung Djati (selanjutnya disingkat SGD). Yang ada yaitu sumber tulisan berupa naskah, yaitu karangan yang ditulis dengan tangan (dalam perkembangannya, naskah juga meliputi karangan yang ditik tetapi belum diterbitkan). Naskah-naskah yang berisi informasi tentang SGD, tergolong karya sastra sejarah, yaitu karya yang terdiri dari tiga unsur: sejarah, sastra, dan mitos.
Menurut penelitian paling mutakhir yang dilakukan Dadan Wildan (2001) untuk bakal disertasinya yang berjudul Ceritera Sunan Gunung Djati; Keterjalinan antara Legenda dan Fakta, hingga saat ini naskah-naskah tentang SGD yang telah ditemukan orang telah ditulis sejak awal abad ke-18. Artinya, naskah-naskah itu ditulis kira-kira satu setengah abad setelah SGD wafat. Naskah-naskah yang menceritakan tentang SGD ditemukan di Cirebon dan Priangan antara lain berjudul Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, Sajarah Cirebon, Sajarah Babad Nagari Cirebon, Babad Sunan Gunung Djati, Wawacan Sunan Gunung Djati, Babad Walangsungsang, Wawacan Walangsungsang, dan Sajarah Lampah Para Wali Kabeh. Naskah-naskah ini sebagian besar ditulis dalam huruf Arab Pegon dan huruf Jawa, sebagian kecil dalam huruf Latin, dengan menggunakan bahasa Jawa Cirebon, Sunda, dan Melayu, baik dalam bentuk puisi maupun prosa. Naskah-naskah ini disimpan di berbagai perpustakaan: di Bandung, Jakarta, dan di Negeri Belanda, selain yang masih ada dalam koleksi pribadi di berbagai tempat di Jawa Barat (Wildan, 2001:3-4).
Dari sumber-sumber historiografi tradisional dapat dikemukakan ringkasan kisah tentang SGD sebagai berikut:
Dikisahkan Ki Gedeng Sedhang Kasih, sebagai kepala Nagari Surantaka, bawahan Kerajaan Galuh. Ki Gedeng Sedhang Kasih, yang merupakan adik Raja Galuh, Prabu Anggalarang, memiliki puteri bernama Nyai Ambet Kasih. Puterinya ini dinikahkan dengan Raden Pamanah Rasa, putra Prabu Anggalarang.
Sementara itu di Nagari Singapura, tetangga Nagari Surantaka, diadakan sayembara untuk mencari jodoh bagi putri Ki Gedeng Tapa, Mangkubumi Singapura. Ternyata Raden Pamanah Rasalah yang memenangkan sayembara itu, sehingga ia menikahi sang puteri yang bernama Nyai Subang Larang. Dari perkawinan ini lahirlah tiga orang anak yaitu Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang, dan Raja Sangara Setelah ibunya meninggal, Raden Walangsungsang pergi meninggalkan keraton, disusul kemudian oleh Nyai Lara Santang. Keduanya tinggal di rumah pendeta Budha, Ki Gedeng Danuwarsih yang memiliki seorang puteri cantik bernama Nyai Indang Geulis. Raden Walangsungsang kemudian menikahi puteri pendeta ini dan setelah itu mereka pergi berguru agama Islam kepada Syekh Datuk Kahfi. Raden Walangsungsang diberi nama baru yaitu Ki Samadullah, dan kelak sepulang dari tanah suci diganti nama menjadi Haji Abdullah Iman. Setelah tamat belajar di pesantren Syekh Datuk Kahfi, Raden Walangsungsang dianjurkan oleh gurunya untuk membuka daerah baru yang diberi nama Tegal Alang-alang atau Kebon Pesisir, di mana tinggal paman Nyai Indang Geulis.
Raden Walangsungsang alias Ki Samadullah berhasil menarik para pendatang. Daerah Tegal Alang-alang berkembang dan banyak didatangi oleh orang-orang Sunda, Jawa, Arab, dan Cina, sehingga disebutlah daerah ini “Caruban” artinya campuran. Di tempat ini bukan hanya berbagai etnis bercampur, agama juga bercampur. Misalnya saja, Ki Gedeng Danusela yang beragama Budha sebagai “kuwu” bercampur dengan Raden Walangsungsang yang beragama Islam sebagai “pangraksabumi” yaitu pejabat yang mengurusi pertanian dan perikanan, sehingga ia digelari Ki Cakrabumi.
Atas saran gurunya, Raden Walangsungsang pergi ke tanah suci bersama adiknya, Nyai Lara Santang, karena Nyai Indang Geulis sedang hamil tua. Di tanah suci inilah, Nyi Lara Santang menikah dengan Maulana Sultan Muhamad, bergelar Syarif Abdullah keturunan Bani Hasyim putra Nurul Alim. Suami Nyai Lara Santang ini adalah anak penguasa Kota Ismailiyah dan wilayah Palestina, yang menjadi bawahan Mesir. Nyai Lara Santang pun diganti namanya menjadi Syarifah Mudaim. Dari perkawinan ini lahirlah Syarif Hidayatullah yang kelak menjadi Sunan Gunung Djati. Dilihat dari genealogi dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Syarif Hidayatullah yang nantinya menjadi salah seorang dari Wali sanga, menduduki generasi ke-22 dari Nabi Muhammad.
Setelah perkawinan adiknya, Ki Samadullah yang bergelar Haji Abdullah Iman memutuskan kembali ke Jawa dengan maksud mengembangkan agama Islam di tanah leluhurnya. Setibanya di tanah air, ia mendirikan Masjid Jalagrahan, dan kemudian mem-buat rumah besar yang nantinya menjadi Keraton Pakungwati. Di sanalah ia meneruskan tugasnya sebagai pembantu Ki Danusela, Kuwu Caruban. Setelah Ki Danusela meninggal, Ki Samadullah diangkat menjadi Kuwu Caruban dan digelari Pangeran Cakrabuana
Pakuwuan Caruban kemudian ditingkatkan menjadi Nagari Caruban Larang. Dengan demikian Pangeran Cakrabuana menjadi penguasan nagari yang juga merangkap ulama. Selanjutnya ia mendapat gelar dari ayahandanya, Prabu Siliwangi, sebagai Sri Mangana. Selanjutnya diceritakan bahwa Syarif Hidayatullah yang dibesarkan di negara ayahnya, setelah berusia dua puluh tahun pergi berguru kepada beberapa ulama di Mekah dan Bagdad selama beberapa tahun. Setelah itu ia kembali ke negeri ayahandanya. Ketika ayahnya meninggal dunia, ia diminta menggantikan posisi ayahnya, tetapi permintaan itu ditolaknya. Bahkan dimintanya adiknya yang bernama Nurullah, menggantikan dirinya. Ia sendiri memilih untuk pergi ke Jawa guna menyebarkan agama Islam. Tokoh Nurullah ini, dalam salah satu sumber disebutkan sebagai orang Pasai, yang nantinya merantau ke Jawa untuk menyebarkan agama Islam, dan terkenal sebagai Fatahillah atau Falatehan.
Dalam perjalanannya ke Jawa, Syarif Hidayatullah singgah di Gujarat selama beberapa waktu, kemudian singgah pula di Pasai dan tinggal di rumah seorang ulama bernama Syarif Ishak. Setelah beberapa lama, Syarif Hidayatullah meneruskan perjalanannya dan singgah di Banten yang waktu itu penduduknya ada yang sudah beragama Islam, berkat syiar yang dilakukan Sunan Ampel. Syarif Hidayatullah merasa sangat tertarik untuk belajar kepada wali yang berasal dari Jawa Timur ini. Ketika Sunan Ampel pulang, Syarif Hidayatullah ikut pergi ke Ampel dan tinggal di sana untuk memperdalam soal syiar Islam dari Sunan Ampel. Dengan persetujuan Sunan Ampel dan para wali lainnya yang tergabung dalam Wali Sanga, Syarif Hidayatullah diminta untuk menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda. Pergilah ia ke Caruban Larang dan bergabung dengan uwaknya, Pangeran Cakrabuana.
Syarif Hidayatullah tiba di pelabuhan Muara Djati kemudian terus ke Desa Sembung-Pasambangan, dekat Giri Amparan Djati, pada tahun 1475 (ada naskah yang menyebut tahun 1470). Di sana ia mengajar agama Islam menggantikan Syekh Datuk Kahfi yang telah meninggal dunia. Perlahan-lahan ia menyesuaikan diri dengan masyarakat setempat yang menganggapnya sebagai orang asing dari Arab. Ia kemudian digelari Syeh Maulana Djati atau Syeh Djati. Syeh Djati mengajar juga di Dukuh Babadan. Di sana ia menemukan jodohnya dengan Nyai Babadan puteri Ki Gedeng Babadan. Tidak lama kemudian isterinya sakit dan meninggal dunia. Syeh Djati kemudian menikah lagi dengan Dewi Pakungwati puteri Pangeran Cakrabuana. Jadi ini merupakan pernikahan dengan saudara sepupu sendiri. Setelah itu Syeh Djati menikah lagi dengan Nyai Lara Bagdad, puteri sahabat Syekh Datuk Kahfi
Syeh Djati kemudian pergi ke Banten untuk mengajarkan agama Islam di sana. Ternyata Bupati Kawunganten yang keturunan Pajajaran sangat tertarik, sehingga ia masuk Islam dan memberikan adiknya untuk diperisteri. Dari perkawinan dengan Nyai Kawung-anten ini lahirlah Pangeran Sabakingkin, yang kelak dikenal sebagai Maulana Hasanudin pendiri Kerajaan Banten. Sementara itu Pangeran Cakrabuana meminta agar Syeh Djati menggantikan kedudukannya dan Syarif Hidayatullah pun kembali lagi ke Caruban. Di sana ia dinobatkan oleh uwaknya sebagai kepala nagari dan digelari Susuhunan Djati atau Sunan Djati atau Sunan Caruban (Cerbon). Sejak tahun 1479 itulah Caruban Larang dari sebuah nagari mulai dikembangkan sebagai pusat sebuah kesultanan dan namanya diganti menjadi Cerbon.
Berdasarkan keterangan dalam naskah-naskah tersebut hal yang paling menarik untuk dikemukakan adalah tentang:
1. Silsilah SGD. Leluhur SGD dalam sebagian naskah dihubungkan dengan tokoh-tokoh pewayangan dari garis ibu dan dan dihubungkan dengan para nabi dari garis ayah. Dalam naskah lainnya, SGD hanya dihubungkan dengan para nabi dari garis ayah dan dengan tokoh Prabu Siliwangi dari garis ibu (misalnya dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari).
2.
SGD sebagai Penyebar Islam di Jawa Barat. Dalam naskah-naskah di atas secara bervariasi, dapat ditemukan informasi, bagaimana SGD mencari ruh Nabi Muhammad SAW, kemudian berguru agama Islam. Kepada para ulama di Bagdad, di Mekah, dan di Pasai. Selanjutnya dikisahkan pula bagaimana SGD meng-Islamkan tanah Jawa (Banten, Cirebon, dan daerah-daerah lainnya di Jawa Barat) dan juga Cina.
3. Hubungan SGD dengan Faletehan. Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, diinformasikan bahwa Faletehan atau Fadillah Khan adalah menantu Sunan Gunung Djati.
2. Sumber asing.
a. Sumber Portugis. Sumber asing pertama yang menyebut-nyebut tentang elite politik Cirebon, adalah Tome Pires. Ia adalah seorang sekretaris dan akuntan Portugis yang tinggal di Malaka dari tahun 1511-151 dan pernah berkunjung ke Cirebon antara bulan Maret-Juni 1513.(De Graaf, 1974: 138; Siddique, 1977: 24). Pengalamannya selama malang-melintang di dunia Timur ini dituliskannya dalam sebuah buku yang berjudul Suma Oriental (telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Armando Cortesao dan diterbitkan pada tahun 1944). Dalam buku ini disebutkan bahwa “The land of Cherimon” (daerah Cirebon) dikepalai oleh Lebe Uca, yang merupakan vassal seorang lord dari Demak, yaitu Pate Rodim.
Seorang sejarawan Portugis, Joan de Barros dalam tulisannya yang berjudul Da Asia, menyebutkan tentang Falatehan yang sekembalinya dari Mekah ke Pasai, menemukan Pasai sudah dikuasai orang-orang Portugis. Falatehan kemudian pergi ke Demak, dan dengan dukungan Raja Demak, ia pergi ke Banten untuk menyebarkan agama Islam di sana. Ketika situasi dinilainya menguntungkan, dengan bantuan tentara Demak, secara cepat ia menaklukkan Banten dan kemudian Sundakalapa, yang pada waktu itu merupakan dua pelabuhan terbesar milik Kerajaan Sunda. Barros tidak menyebutkan kapan peristiwa ini terjadi.
Sumber lainnya yang memberitakan Cirebon periode awal, adalah Mendez Pinto, yang pergi ke Banten untuk mengapalkan lada. Dalam bukunya Perigrinacoes, ia menceritakan bahwa di kota pelabuhan itu, ia terkatung-katung hingga dua bulan karena rupanya Demak sedang bersiap-siap menyerbu Pasuruan pada tahun 1546 Mendez Pinto menceritakan bahwa pada waktu itu, ia dengan beberapa orang kawan Portugisnya mengikuti Tagaril, raja Sunda di Banten, ke Demak atas panggilan Raja Demak untuk ikut penyerangan ke Pasuruan.
Ternyata di Demak terjadi kerusuhan yang menyebabkan tewasnya Sultan Demak Di samping Sultan Trenggono, menurut Mendez Pinto, yang tewas dalam penyerbuan itu adalah “Quiay Ansedaa Pate de Cerbom”.
b. Sumber Belanda. SGD sudah wafat ketika orang Belanda tiba di Pulau Jawa. Pada tahun 1596, rombongan para pedagang Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman mendarat di Banten. Pada tahun yang sama orang Belanda pertama yang datang ke Cirebon, melaporkan bahwa Cirebon pada waktu itu merupakan kota dagang yang relatif kuat yang sekelilingnya dibenteng dengan sebuah aliran sungai (Djajadiningrat, 1913/1983: 97).Menurut Frederick de Haan, penulis adikarya kompilasi arsip sejarah Priangan, benteng yang disebut-sebut oleh pedagang Belanda itu, dibangun pada tahun 1590 oleh Senapati dari Mataram untuk Panembahan Ratu, cucu Sunan Gunung Djati yang menjadi pengganti kakeknya sebagai penguasa Cirebon. Pejabat VOC pertama yang datang ke Kerajaan Cirebon, adalah wakil Gubernur Jenderal yang dalam perjalanannya ke Mataram, singgah di sana pada tahun 1622. Ia bertemu dengan Panembahan Ratu yang saat itu usianya sudah sangat lanjut..
Analisis
KISAH Sunan Gunung Djati yang terdapat dalam berbagai naskah yang disebut di atas, tentu saja bukan kisah sejarah dalam arti “sejarah sebagaimana ia terjadi” (wie est eigentlich gewesen ist), seperti kata Leopold von Ranke. Semua naskah itu tergolong historiografi tradisional, yang selain mengandung unsur sejarah, juga mengandung unsur sastra dan mitos. Hal ini bisa dipahami, karena sebuah historiografi tradisional ditulis bukan semata dimaksudkan menulis sejarah, melainkan dimkasudkan untuk meneguhkan nilai-nilai budaya masyarakat yang berlaku saat naskah ditulis.
Naskah-naskah itu, sebagaimana telah disebut, ditulis jauh dari masa Sunan Gunung Djati hidup. Jadi, naskah itu tidak tergolong naskah sezaman (kontemporer), jadi bukan sumber primer. Dengan demikian, informasi yang terkandung di dalamnya, bisa dipastikan kredibilitasnya tidak setinggi kalau naskah-naskah itu berasal dari masa Sunan Gunung Djati hidup. Oleh karena itu, perlu dikemukakan sumber-sumber primer. Dalam hal ini, sejarawan berpaling kepada berita-berita Portugis yang sezaman.
1. Mengenai silsilah SGD yang dihubungkan dengan tokoh-tokoh pewayangan dan di pihak lain dengan para Nabi (hingga Nabi Adam), dan juga dengan Prabu Siliwangi dapat dianggap sebagai unsur mitos yang sulit dibuktikan secara historis. Secara hermeneutis, hal ini dapat dipahami, mengingat fungsi sebuah naskah, antara lain untuk meneguhkan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat sekaligus juga dapat dipakai sebagai alat legitimasi SGD sebagai penyebar Islam sekaligus sebagai raja. Andaikata ada sumber primer yang bisa dijadikan sebagai pembanding, kita mungkin bisa mendapat informasi secara tepat siapa sesungguhnya orang tua dan kakek SGD baik dari pihak ayah maupun ibu. Sayangnya hingga saat ini belum ditemukan sumber primer semacam itu.
2. Mengenai Sunan Gunung Djati sebagai penyebar Islam di Jawa Barat dan pendiri Kerajaan Cirebon, diinformasikan oleh semua naskah. Secara hermeneutis pula, bisa dipastikan bahwa sebelum menyebarkan agama Islam, pastilah SGD berguru terlebih dahulu ke berbagai tempat di mana ada ulama-ulama terkenal dan tentu termasuk ulama di Mekkah. Akan tetapi soal pertemuannya dengan ruh Nabi Muhammad dan kisah-kisah legendaris lainnya tidak bisa dibuktikan secara historis. Hal seperti ini dapat diklasifikasikan sebagai mentifact , yang hanya dipercayai oleh orang-orang yang percaya saja. Ini juga adalah bagian dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Andaikata Sunan Gunung Djati adalah sama dengan Faletehan, informasi dari naskah mendapat dukungan dari sumber primer Portugis, yang menyebutkan adanya tokoh yang berasal dari Pasai ini yang mengIslamkan Banten. Bahkan informasi ini didukung oleh dikenalnya tokoh Wali ini di berbagai tempat hingga sekarang. Ketika Sunan Gunung Djati berkeliling di Tatar Pasundan dalam rangka penyebaran agama Islam, daerah-daerah yang dijelajahnya ternyata mencapai daerah Ukur Cibaliung (Kabupaten Bandung), Timbanganten (Kabupaten Garut), Pasir Luhur, Batulayang, dan Pegadingan (wilayah sebelah Barat dan Selatan Sumedanglarang) (De Haan, 1912: 40-41). Jadi, diperkirakan wilayah yang dijelajahi Sunan Gunung Djati itu meliputi 2/3 wilayah Jawa Barat sekarang.
Sebagai pendiri Kerajaan Cirebon dan Banten, selain diinformasikan oleh naskah sebagai sumber sekunder, hal ini didukung oleh sumber Portugis maupun sumber Belanda yang mendapat informasi dari cucu SGD yang menjadi penguasa Cirebon waktu itu, yaitu Panembahan Ratu. Dalam penjelasannya, Atja (1972), menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Lebe Uca” oleh Tome Pires adalah “Sunan Gunung Djati” dan “Pate Rodim” adalah “Raden Patah” Sultan Demak. Bukanlah hal yang aneh, bila pengucapan dan penulisan kata-kata dari bahasa pribumi oleh orang asing, menjadi berbeda dari aslinya. Demikian juga sebaliknya, orang pribumi sulit menyebut kata-kata asing, dan lebih mudah mengubah pengucapan dan penulisan sehingga sesuai dengan lidahnya sendiri. Misalnya saja “Jan Pieterszoen Coen”, dalam historiografi tradisional, semacam babad, disebutkan sebagai “Murjangkung”. Gejala verbastering seperti ini sudah biasa ditemui dalam berbagai sumber sejarah lama.
Oleh karena orang asing yang datang biasanya juga tidak begitu mengenal situasi dan kondisi kemasyarakatan pribumi, apalagi bila kunjungan hanya dilakukan dalam waktu singkat, maka seringkali data sejarah yang dituliskannya menjadi tidak tepat, mengalami distorsi, bahkan bias. Misalnya saja ia menyebut bahwa Lebe Uca adalah vassal Pate Rodim. Jelas, bahwa Tome Pires berpikir menurut kerangka pikirannya sendiri. Konsep vassal dan lord adalah konsep Barat yang berhubungan dengan feodalisme. Dalam sistem feodal yang mulai dikenal di Perancis Selatan pada abad ke sembilan, penguasa atau lord adalah pemilik tanah beserta penduduk yang tinggal di atasnya. Untuk mengelola kekuasaannya, seorang lord biasanya mengikat kontrak dengan penguasa-penguasa kecil yang menjadi bawahannya, yang disebut para vassal. Seorang vassal dapat juga memiliki para subvassal, untuk memudahkan pekerjaannya. Dalam kontrak seperti ini, seorang vassal memiliki beberapa kewajiban antara lain, mengelola tanah milik lord dan menyerahkan sebagian hasilnya kepada pemilik, memberikan bantuan militer bila lord terlibat dalam peperangan, dan sejumlah kewajiban lainnya yang meng-ikat. (Bloch, 1961; Coulborn, 1956; Weber, 1964). Mungkin, Tome Pires melihat fenomena hubungan politik yang ada di Cirebon saat itu seperti sistem feodal di Barat, sehingga ia menyimpulkan bahwa Lebe Uca, penguasa Cirebon waktu itu adalah vassal Sultan Demak.
Seperti disebut di atas, menurut De Barros, Faletehan berhasil melakukan serangan ke Banten dan Sundakalapa. Meski Barros tidak menyebut kapan peristiwa itu terjadi, tetapi diperkirakan ini terjadi antara tahun 1526-1527. Penjelasannya adalah demikian: Pada tahun 1522, Henrique Leme, seorang pedagang besar Portugis, telah menandatangani perjanjian dengan Raja Sunda untuk mengirimkan 35.000 pon lada. Akan tetapi ketika Gubernur Malaka mengirim Fransisco de Sa ke Sundakalapa lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 1527, pelabuhan tersebut sudah dikuasai oleh orang-orang Muslim. Jadi, diperkirakan bahwa penaklukan Sundakalapa oleh pasukan Islam dari Demak terjadi beberapa saat sebelum utusan Portugis itu tiba di sana.
1. Apakah Sunan Gunung Djati sama dengan Faletehan? Hoesein Djajadiningrat, dalam disertasinya yang berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten (1913), membuat interpretasi bahwa tokoh Faletehan yang disebut oleh De Barros sama dengan tokoh Tagaril yang disebut Mendez Pinto dan sama denga tokoh SGD. Mereka bertiga hidup sezaman. Meskipun sezaman, masih harus dipertanyakan, apakah kedua sumber Portugis ini benar-benar pernah bertemu dengan Sunan Gunung Djati, yang nama sebelum wafatnya adalah Syarif Hidayat. Yang mungkin pernah mereka temui adalah tokoh Faletehan, dan tokoh Tagaril itu. Interpretasi Djajadiningrat saat ini masih diikuti banyak kalangan. Dari segi metode sejarah, prosedur koroborasi masih tetap diperlukan, untuk menjadikan pendapat Djajadiningrat sebagai fakta keras. Untuk itu masih diperlukan sumber sezaman atau sumber primer yang bisa memberikan pendukungan atas data yang sudah ada. Mungkin saja diperlukan penggalian arkeologis untuk menemukan sumber ini..
2. Selanjutnya Atja (1972), membuat penjelasan berdasarkan naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang ditulis tahun 1720 oleh Pangeran Arya Cirebon, bahwa Faletehan atau Tagaril itu tidak sama dengan SGD. Faletehan atau Falatehan adalah menantu Sunan Gunung Djati. Hal ini ditunjukkan pula dengan adanya dua makam berdampingan di Gunung Sembung, yang menurut naskah Carita Purwzaka Caruban Nagari adalah makam SGD dan Fadillah Khan. Hanya patut dicatat bahwa menurut kesaksian paling mutakhir dari Dadan Wildan (2001) yang melakukan ziarah ke makam tesebut, di atas nisan kedua makam itu tidak ada tulisan yang menunjukkan identitas tentang siapa yang dimakamkan di sana.
3. Apa yang dikemukakan dalam naskah karya Pangeran Arya Cirebon itu, perlu mendapat dukungan dari sumber primer atau sumber sezaman, karena bagaimanapun naskah itu ditulis satu setengah abad setelah wafatnya SGD (meskipun menurut keterangan naskah itu dibuat berdasarkan sumber yang lebih tua). Prosedur koroborasi menuntut adanya sumber bebas yang bisa mendukung pendapat dari sumber sekunder itu. Hingga saat ini, sumber primer yang diperlukan belum ditemukan. Kalaupun mau menggunakan prinsip argumentum ex silentio, dalam ketiadaan sumber yang lebih bisa dipercaya, maka interpretasi ini bisa saja untuk sementara diterima, meskipun tingkat pengujiannya tidak cukup kuat untuk bisa menghasilkan fakta keras atau fakta yang tak terbantah.
Penutup
DALAM makalah ini hampir tidak ada reinterpretasi tentang SGD. Pendapat yang ada hingga penelitian paling mutakhir (2001) tidak menampilkan sumber baru atau keterangan baru tentang SGD. Yang bisa diterima hingga saat ini adalah bahwa SGD adalah salah seorang wali dari Wali Sanga yang menjadi penyebar agama Islam di Jawa Barat dan menjadi pendiri Kerajaan Cirebon dan Banten. Selain itu, masih ada dua interpretasi: pertama bahwa SGD sama dengan Faletehan dan kedua, bahwa SGD tidak sama dengan Faletehan. Kedua pendapat ini sah-sah saja dalam Ilmu Sejarah. Untuk memastikan pendapat atau interpretasi mana yang benar sehingga bisa dianggap sebagai fakta keras, masih perlu ditempuh prosedur koroborasi. Untuk itu, marilah kita berikhtiar mencari sumber primer atau sumber sezaman yang diperlukan untuk itu. Wallahu ‘alam Bissawab.
Daftar Pustaka
*
Ankersmith, F.R. 1987. Refleksi tentang Sejarah (terj.). Jakarta: Gramedia.
*
Atja.(ed.) 1972. Carita Purwaka Caruban Nagari. Djakarta: Ikatan Karyawan Museum.
*
Bloch, Marc. 1961. Feudal Society (translated by L.A. Manyon). Chicago: The University of Chicago Press.
*
Coulborn, Rushton (ed.). 1956. Feudalism in History. Princeton: Princeton University Press.
*
De Graaf, H.J. dan Th. G. Th. Pigeaud. 1974. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa (terj.). Jakarta: Grafitipers.
*
De Haan, Frederick. 1912. Priangan; De Preanger Regentschappen onder het Neder- landsch Bestuur tot 1811. Batavia: Kolff.
*
Djajadiningrat, Hoesein. 1913/1983. Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten. (terj.). Jakarta: Penerbit Djambatan.
*
EkaDjati, Edi S. et al 1991. Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas. Bandung: Unpad.
*
Garraghan, Gilbert J. 1946. A Guide to Historical Method. New York: Fordham University Press.
*
Haddock, B.A. 1980. An Introduction to Historical Thought.London: Edward Arnold.
*
Hageman, C.J.Z. 1869. Geschiedenis der Soendalanden.
*
Herlina, Nina. 1984. Peranan Pangeran Aria Cirebon sebagai Perantara Kompeni dengan Para Bupati Priangan. Skripsi. Bandung: Unpad.
*
Iggers, Georg. G. 1997. Historiography in the Twentieth Century; From Scientific Objectivity tio the Postmodern Challenge. London: WesleyanUniversity Press.
*
Kielstra, E.B. 1917. “De Sultans van Cheribon”, De Indische Archipel. Haarlem: De Erven F. Bohr.
*
Lubis, Nina H. 1998. Kehidupan Kaum Menak Priangan (1800-1942). Disertasi. Bandung Pusat Informasi Kebudayaan Sunda.
*
_____. 2000. Tradisi dan Transformasi Sejarah Sunda. Bandung: HUP
*
_____. (ed.). 2000. Sejarah Kota-kota Lama di Jawa-Barat. Bandung: HUP.
*
Raffles, Thomas Stamford. 1817/1982. History of Java. II. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
*
Siddique, Sharon. 1977. Relics of the Past? A Sociological Study of the Sultanates of Cirebon, West Java. Disertasi. Universitas Bielefeld.
*
Sulendraningrat, P.S. t.t. Babad Tanah Sunda Babad Cirebon.
*
Sunardjo, R.H. Unang. 1983. Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809. Bandung: Tarsito.
*
_____. 1996. Selayang Pandang Sejarah Masa Kejayaan Kerajaan Cirebon; Kajian dari Aspek Politik dan Pemerintahan. Cirebon: Yayasan Kraton Kasepuhan Cirebon.
*
Van den Berg, L.W.C. 1902. De Inlandsche Rangen en Titels op Java en Madoera. Batavia: Kolff.
*
Weber, Max. 1964. The Theory of Social and Economic Organization (translated by A.M. Henderson and Talcott Parsons). New York: The Free Press
*
Wildan, Dadan. 2001. Ceritera Sunan Gunung Djati; Keterjalinan Antara Legenda dan Fakta (naskah disertasi.)
Sumber: Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional “Sejarah Sunan Gunung Djati dan Pengembangan Pariwisata Sejarah Budaya Islam” di Keraton Kasepuhan Cirebon, 22-23 April 2001.
Oleh NINA H. LUBIS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar