Minggu, 08 November 2009

Reproduksi seni tradisi

Dalam tiga bulan terakhir ini industri kreatif ramai diberitakan media. Kedai Informasi pun telah mengagendakannya sebagai topik sarasehan.

Namun kasus Bibit-Chandra “meledak” di media, menenggelamkan berita industri kreatif. Fenomena ini disebut efek penyekat–suatu berita menyembunyikan berita lainnya.


Untungnya, Don masih setia tuhu pada visi dan misi budayanya. Visinya, ”Kejayaan Budaya Tradisi”, sedangkan misinya: mengglobalkan seni tradisi dengan kreativitas. Wah, kok vulgar bin klise begitu. Seingat saya, visi dan misi ini pernah diucapkan Don saat fit and proper test ketika ia melamar pekerjaan di sebuah sanggar tari.
Seperti biasa, kami bersarasehan.
”Don, bagaimana caranya mengglobalkan budaya tradisi?.”
”Dengan teknologi, Pak. Seni tradisi, seperti seni tari, wayang, atau ritual-ritual tradisional, kita rekam di atas CD, kemudian kita edarkan ke mancanegara. Beres. Ini kata teman saya, seorang pembuat video amatir. ”
Pertama-tama mari kita beri aplus kepada juragan kecil kita atas kesuksesannya dalam menyerderhanakan persoalan. Justru di sini persoalan dimulai. Justru reproduksi mekanis ini yang bikin puyeng pengamat seni tradisi. Men-CD-kan tari Anglir Mendhung, umpamanya, atau pertunjukan wayang kulit, tidak sesederhana yang dibayangkan Don.
”Memangnya yang dibayangkan para pengamat apa, Pak?”
”Aura. Suasana sakral, magis, mistik, serta etika dan estetika tradisional yang lain, tidak bisa terangkut dalam CD.”
Don Sastro, budayawan lokal kita ini, tercenung. Ia bertanya kepada dirinya sendiri, masih pentingkah aura budaya di zaman teknologi? Masih relevan kah bicara soal estetika tradisional di zaman budaya massa yang beranak budaya pop, yang lebih banyak melahirkan kedangkalan daripada kedalaman? Ini sih bukan pertanyaan, tapi keprihatinan. Don prihatin terhadap semakin ngepopnya seni tradisi.
”Coba njenengan sekali-sekali mirsani wayang kulit, Pak. Isinya cuma goro-goro dan limbukan, sebab di situ Ki Dalang punya kesempatan berguyon ria. Kata para dalang, kalau tidak begitu, ndak ada yang nonton. Walau saya ndak suka, tapi inilah kenyataannya.”
Inilah kenyataannnya, seperti kata Don, adalah pandangan sosiologi pengetahuan. Fenomena semakin ngepopnya budaya tradisi ini menandakan bahwa kebudayaan memang harus selalu merespons dinamika masyarakat. Tidak ada kebudayaan yang tetap dan tegas dalam identitas budaya. Juga tidak ada yang murni dan monolitik. Budaya merupakan situs bagi proses-proses negosiasi yang tak putus-putus yang dilakukan oleh pelaku kebudayaan sebagai respons terhadap kondisi kekinian.
Terhadap teknologi, negosiasi dilakukan dengan reproduksi mekanis, seperti yang disebut di depan. Sekarang masalah reproduksi mekanis ini menjadi wacana di kalangan pengamat budaya. Masalahnya adalah reproduksi mekanis dipastikan akan mereduksi makna. Kita bisa merasakan kesakralan dan keadiluhungan Bedaya Ketawang ketika menontonnya secara “liver” di keraton, tetapi tidak di atas CD.
Makna berada pada saat produksi, kata Adorno. Keaslian terkait dengan auranya, dengan rohnya, yang dihidupi masyarakat di sekitarnya. Sementara pengamat budaya tradisi yang lain melihat makna ada pada konsumsi. Ketika Bedaya Ketawang, umpamanya, keluar dari keraton melalui reproduksi secara mekanis, maknanya menjadi sangat lain. Bedaya Ketawang akan koncatan kesakralannya.
Dirumuskan secara lain, ketika menjadi CD, yang keluar bukan ”seni” tari tradisi, melainkan hanya ”penanda” dari seni itu. Penanda bahwa CD tentang tari tradisi itu punya referensi ke tempat lain, mungkin dengan Keraton Surakarta, mungkin juga dengan Pulau Bali. Penanda tak lagi berisi secara esensial apa yang disebut sebagai kesenian tradisi.
Don Sastro bertanya: ”Lantas bagaimana jalan keluarnya, Pak?” Agak sulit menjawabnya. Tetapi saya katakan, harus kita sendiri yang men-CD-kan seni tradisi itu. Sebab kita lah yang lebih memahami aura dan rohnya. Sekurang-kurangnya, ini bisa mengurangi reduksi makna, yang selalu terjadi pada reproduksi mekanis. - Oleh : Mursito BM, Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS

Solopos

Tidak ada komentar: