PENYEBARAN Islam di Nusantara, merupakan suatu proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia. Akan tetapi, fase ini juga merupakan masa yang kurang jelas. Hal ini, menurut Ricklefs (1981) dalam A History of Modern Indonesia, karena ternyata di beberapa bagian Indonesia telah ada dan bermukim para pedagang Arab. Mereka mendapat kedudukan yang kokoh dalam masyarakat lokal. Ini telah berlangsung selama berabad-abad. Mengenai hal ini telah terjadi perdebatan panjang antara para ahli sejarah, mengenai kapan, mengapa, dan bagaimana penduduk Nusantara menganut agama Islam. Dengan demikian, maka banyak teori yang dikemukakan mengenai kedatangan Islam di Nusantara. Teori-teori yang ada banyak menunjukan perbedaan-perbedaan, terutama mengenai waktu dan negeri asal pembawanya.
Di antara teori-teori yang banyak dikemukakan secara grand theory terdapat tiga teori yaitu Teori Mekah yang dipelopori Hamka, Teori Persia oleh Hoesen Djajadiningrat, dan Teori Gujarat oleh Snouck Horgrunje. Semua teori tersebut dalam argumentasinya menggunakan pendekatan budaya.
Kedatangan Islam di Jawa Barat, tidak dapat dilepaskan dengan proses kedatangan masuk dan berkembang Islam di Nusantara secara integral. Hal ini menurut Hoesen Djajadiningrat (1913) disebabkan karena Cirebon dan Banten yang dianggap sebagai pusat penyebaran agama Islam dan kekuasaan Islam di Jawa Barat. Cirebon dan Banten posisinya berada pada lokasi yang strategis baik secara ekonomis maupun politik. Selain itu, letak Cirebon dan Banten berada pada jaringan perdagangan internasional yaitu perdagangan jarak jauh (long dintance trade ) yaitu pergadangan jalur sutra.
Menurut Hasan Muarif Ambari (1998) Abad ke-13 sampai dengan 16 Masehi merupakan rentang waktu yang ditandai dengan pertumbuhan peradaban Islam di Nusantara. Saat itu hampir bersamaan dengan runtuhnya pusat-pusat peradaban Islam di Timur Tengah, agama Islam telah masuk dan menyebar ke seluruh pelosok Nusantara. Penyebaran agama Islam ke Nusantara dilakukan oleh para mubaligh dan para pedagang Arab dengan memanfaatkan wahana perdagangan internasional yaitu perdagangan jalur sutra. Banyak wilayah-wilayah di Nusantara disinggahi oleh para pedagang Muslim, terutama tempat – tempat yang berada di daerah pesisir seperti Tuban, Gresik, Demak, Cirebon, Banten dan lain sebagainya. Wilayah- wilayah itu dengan cepat mengadakan hubungan dengan para pedagang Islam dan telah membawa dampak sosial maupun budaya bagi masyarakat setempat.
Menurut Sartono Kartodirdjo (1987), penyelenggaraan perkapalan dan perdagangan di kota-kota pelabuhan melahirkan jalur komunikasi terbuka, sehingga terjadi mobilitas sosial baik itu vertikal maupun horizontal. Fenomena di atas ditandai oleh adanya perkembangan perdagangan jarak jauh (long dintance trade) di mana para pedagang Arab memegang peranan penting yang telah berdagang di Nusantara sejak awal abad Masehi, dan degradasi pusat-pusat peradaban Islam di Timur Tengah dengan ditandai oleh keruntuhan Daulah Abasyiah yang mengakibatkan derasnya pengembaraan para ulama dan pedagang Arab ke arah Timur untuk membuka wilayah baru baik itu untuk sosialisasi Islam maupun kepentingan perdagangan.
Penyebaran dan sosialisasi Islam di Nusantara diawali dengan kontak antara komunitas Nusantara dengan para pedagang dan musafir dari Arab, Persia, Turki, Syiria, India, Cina dan lain-lain. Kemudian para pendatang tersebut melakukan kontak budaya dengan masyarakat Nusantara yang diikuti dengan tumbuhnya kantung-kantung pemukiman muslim baik itu di pesisir maupun di pedalaman. Kemudian tumbuh pusat-pusat kekuatan politik dan kesultanan Islam di Nusantara yang ditandai dengan munculnya kerajaan- kerajaan yang bercorak Islam.
Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Pantai Utara Jawa, serta hubungan antara satu kerajaan dengan kerajaan yang lainnya dan asal-usul penguasanya, menunjukan bahwa Islamisasi di Jawa pada fase ini perlu dijelaskan dengan memperhitungkan latar belakang politik dan ekonomi mereka. Menurut Sartono Kartodiordjo (1987) para penguasa kerjaan di Pesisir Pantai Utara Jawa selain memegang tampuk pemerintahan, juga terlibat dalam perdagangan dan agama.
Menurut De Graaf (2001) Sejak abad 11 Masehi di pesisir Utara Jawa telah memiliki pemukiman-pemukiman Muslim, sehingga Islam dapat berkembang di daerah tersebut. Selain itu, cepatnya penyebaran agama Islam di pesisir maupun di pedalaman Jawa tidak dapat dilepaskan dari peranan para wali yang tergabung dalam kelompok Wali Songo. Secara politik, periode ini merupakan pemantapan institusionalisasi Islam.
Para wali di Pantai Utara Jawa termasuk elite politik-religius. Menurut Sartono Kartodirdjo (1987), disamping kewibawaan ruhaniah mereka juga berperan di bidang politik, antara lain ada yang memegang kekuasaan pemerintahan. Keterpaduan antara dua jenis kekuasaan tidak bertentangan baik itu dengan konsep Islam tentang kekuasaan maupun konsep (Hindu)-Jawa tentang kekuasaan raja.
Peran dan kedudukan para wali dapat dilihat dari beberapa karakternya di antaranya adalah :
1. Wali tidak mengembangkan atau memperluas wilayah, tetapi menjalankan pengaruh melalui lembaga-lembaga pesantren seperti yang dilakukan oleh Sunan Giri.
2. Wali tidak mengembangkan pengaruh politik dan mengembangkan kekuasaan politik kepada tangan raja seperti yang dilakukan oleh Sunan Kudus, Sunan Bonang, dan Sunan Kalijaga.
3. Wali mengembangkan wilayah dan membuat lembaga kerajaan serta sekaligus mengembangkan agama Islam seperti yang diperankan oleh Sunan Gunung Djati baik di Cirebon maupun Banten.
Pada abad ke 15 dan 16 di Jawa Barat terdapat kerajaan Sunda dengan pusat pemerintahannya di Pakuan Pajajaran. Kekuatan kerajaan tersebut melemah setelah terjadi pemberontakan-pemberontakan dari pelbagai daerah yang ingin melepaskan ikatan dengan Pakuan Pajajaran seperti Cirebon, Galuh, Talaga, dan Banten. Menurut F. de Haan (1912:93), bersamaan dengan melemahnya kerajaan Sunda, Agama Islam mulai masuk dan menyebar di wilayah tersebut. Berdasarkan berita dari Tome Pires, pengaruh Islam di Jawa Barat berasal dari Cirebon (Uka Tjandrasasmita , 1975 : 93 ). Jika berdasarkan berita dari Tome Pires, maka Islam sudah ada di Cirebon sejak lebih kurang 1470-1475 Masehi (H. J. de Graaf, 1952:153). Tetapi sampai sekarang belum ditemukan keterangan yang pasti baik itu dari berita Cina maupun Arab yang memberikan penjelasan waktu tentang masuknya Islam ke Jawa Barat. Informasi mengenai hal ini hanya dapat diterima dari sumber-sumber lokal seperti yang dikutif oleh Hageman (1866) yang menyebutkan adanya Haji Purwa di Galuh dan Cirebon pada tahun 1250 Tahun Jawa atau 1337 Tahun Masehi.
Proses penyebaran dan perluasan Islam di Jawa Barat lebih banyak dikisahkan melalui dua gerbang penyebaran yaitu Cirebon dan Banten. Didua daerah itu dikuasai oleh seorang raja juga seorang ulama yaitu Sunan Gunung Djati. Karena dua kekuasaan yang diperankannya yaitu kekuasaan politik dan agama, dia mendapatkan gelar Ratu Pandita. Dibawah kepemimpinannya dilakukan penyebaran agama Islam di Jawa Barat atau Tatar Sunda dari dua pusat kekuasaan Islam yaitu Cirebon dan Banten.
Cirebon
CIREBON sebagai kota wali dan sekaligus pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat masih menyimpan misteri, terutama yang berhubungan dengan sumber-sumber sejarah untuk menjelaskan bentangan sejarah Cirebon yang cukup panjang. Menurut Nina Herlina Lubis (2000) asal-usul kota tersebut lebih banyak ditemukan dalam historiografi tradisional yaitu dalam bentuk manuskrip yang ditulis pada abad 18. Sementara itu, pertumbuhan dan perkembangan Cirebon sudah dimulai pada abad 15 dan 16 seiring dengan gerakan penyebaran Islam di tanah Jawa oleh para wali.
Sejarah mengenai Cirebon dapat dilihat dalam beberapa naskah di antaranya adalah Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, Sajarah Kasultanan Cirebon, babad walangsungsang, Pustaka rajyarajya I Bhumi Nusantara, Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawa Dwipa, Pustaka Negara Kertabumi , Wawacan Sunan Gunung Djati dan lain sebagainya. Banyak para ahli atau peneliti meragukan sumber-sumber tersebut dan dianggap sebagai sumber sekunder. Tetapi sebelum ada sumber lain yang lebih bisa lebih dipercaya, sumber tadi bisa dipergunakan meskipun sumber sekunder untuk menjelaskan bentangan sejarah perjalanan Islam di Jawa Barat terutama sejarah Cirebon.
Cirebon pada mulanya merupakan desa nelayan yang bernama Pasambangan yang letaknya kurang lebih 5 KM dari kota Cirebon sekarang. Sedangkan kota Cirebon sekarang asalnya bernama Lemah Wungkuk yaitu sebuah desa kecil yang merupakan pemukiman masyarakat muslim yang dipimpin oleh Ki Gedeng Alang-Alang. Menurut Pangeran Suleiman Sulendraningrat dalam Babad Tanah Sunda Babad Cirebon, Ki Gedeng Alang – Alang oleh penguasa Pajajaran diangkat menjadi kepala pemukiman masyarakat Muslim Lemah Wungkuk dengan gelar Kuwu Cerbon. Adapun batas wilayahnya meliputi Sungai Cipamali sebelah Timur, Cigugur sebelah Selatan, Pegunungan Kromong sebelah Barat, dan Junti (Indramayu) sebelah Utara.
Berdasarkan sumber lokal yang tergolong tradisional, pendiri Kesultanan Islam Cirebon adalah Sunan Gunung Djati. Mengenai hal ini dapat dilihat dalam Babad Cirebon, Carita Purwaka Caruban Nagari, ataupun Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara . Pada umumnya sumber historiografi tradisional tersebut memulai menjelaskan sejarah Cirebon dari masa akhir Prabu Siliwangi sebagai penguasa Pajajaran.
Sumber-sumber sejarah tradisional memulai menjelaskan Sejarah Cirebon dari dua nagari yang berada di daerah pesisir pantai utara Cirebon yaitu Nagari Surantaka dan Singapura. Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari, dikisahkan bahwa di Nagari Surantaka saat itu yang memegang kekuasaan adalah Ki Gedeng Sedang Kasih. Wilayah kekuasaannya meliputi Pelabuhan Muara Djati, yang menjadikannya sebagai Syahbandar.
Berdasarkan sumber lokal mengatakan bahwa penguasa Nagari Surantaka Ki Gedeng Sedang Kasih adalah saudara Prabu Anggalarang dari Galuh. Menurut Babad Galuh dan Carita Waruga Guru, Prabu Anggalarang adalah ayah dari Prabu Siliwangi. Dalam Babad Pajajaran diceritakan bahwa penguasa Surantaka mempunyai puteri bernama Nyai Ambet Kasih yang menikah dengan Raden Pamanah Rasa putra Prabu Anggalarang yang juga sekaligus merupakan keponakannya. Babad Siliwangi menjelaskan bahwa Pamanah Rasa adalah nama masa pemuda Prabu Siliwangi Raja Sunda Pajajaran.
Sementara itu di Singapura ada suatu peristiwa unik yaitu diadakan sayembara untuk menentukan jodoh puteri Mangkubumi Singapura Ki Gedeng Tapa yang bernama Nyai Subang Larang. Dalam sayembara itu ditentukan bahwa yang akan menjadi jodoh Nyai Subang Larang adalah pemenang pertadingan dalam perkelahian bersenjata
Diantara peserta sayembara penentuan jodoh Nyai Subang Larang, terdapat Raden Pamanah Rasa. Dalam sayembara itu yang keluar menjadi pemenang adalah putera Prabu Anggalarang. Dengan demikian, maka yang mendapatkan puteri Mangkubumi Singapura adalah Raden Pamanah Rasa. Menurut Babad Cirebon Mereka menikah pada tahun 1422.
Menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, sebelum perkawinan antara Nyai Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa, di Singapura terdapat dua peristiwa penting yaitu:
Pertama, tahun 1415 ke Nagari Singapura tepatnya di Pelabuhan Muara Djati berlabuh kapal dari Cina selama satu minggu yang dinahkodai oleh Te Ho atau Cheng Ho atau Sam Po Kong dengan sekretarisnya bernama Ma Huang. Mereka adalah penganut agama Islam. Setelah menetap di Nagari Singapura, Ma Huang menikah dengan saudara Ki Gedeng Tapa yaitu Nyai Rara Rudra. Setelah perkawinannya, Ma Huang bergelar Ki Dampu Awang. Menurut Buku Baluwarti Keraton Kasepuhan Cirebon para pengikut Cheng Ho berhasil membanguan sebuah Mercu Suar.
Kedua, tahun 1418 ke Nagari Singapura datang pula rombongan pedagang dari Campa. Salah satu anggota rombongan tersebut terdapat seolang mubaligh yaitu Syekh Hasanudin bin Yusuf Siddik. Atas persetujuan Ki Gedeng Tapa, untuk beberapa lama mereka tinggal di di Singapura. Syekh Hasanuddin bin Yusuf Siddik kemudian pergi ke Karawang dan mendirikan pesantren dan namanya kemudian dikenal menjadi Syekh Quro. Dari pertemuannya dengan Syekh Quro, kemudian Ki Gedeng Tapa mengirimkan puterinya Nyai Subang Larang untuk belajar ilmu agama Islam di Pesantren Syekh Hasanuddin bin Yusuf Siddik atau Syekh Quro Karawang.
Selain kedatangan Syekh Quro, Ki Gedeng Tapa kedatangan pula mubaligh pengajar agama Islam yaitu Syekh Datuk Kahfi adik Sultan Sulaiman Bagdad. Pada saat dia datang ke Singapura, penguasa nagari tersebut yaitu Ki Gedeng Tapa telah masuk Islam. Maka atas izin dari Mangkubumi Singapura Syekh Datuk Kahfi menetap di Nagari Singapura yaitu di Pasambangan. Menurut salah satu sumber tradisional, di Pasambangan Datuk Kahfi menikah dengan Hadijah seorang cucu Haji Purwa. Haji Purwa dianggap sebagai tokoh penyebar agama Islam pertama di Jawa Barat. Kemudian Syekh Datuk Kahfi mendirikan pesantren yang bernama Pesantren Quro Amparan Djati.
Menurut Pustaka Carita Parahyangan, Prabu Siliwangi Raja Pajajaran dari isterinya yang bernama Nyai Subang Larang atau Subang Karancang yang menganut agama Islam mempunyai anak yang bernama Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang, dan Raden Sanggara. Semua anak-anak Prabu Siliwangi dari Subang Larang mengikuti jejak ibunya menganut agama Islam. Sebagaimana Subang Larang ibunya, mereka menganut menganut Islam mazhab Hanafi.
Menurut Babad Cirebon, setelah ibunya wafat, Pangeran Walangsungsang dan adik-adiknya pergi meninggalkan Pajajaran. Perjalanan pertamanya menuju ke wilayah Timur (Galuh). Kemudian Pangeran Walangsungsang bertemu dan tinggal dengan seorang Kasogatan (Ulama Budha) yang bernama Ki Danuwarsih. Akhirnya Pangeran Walangsungsang menikahi putri Ki Danuwarsih yang bernama Nyai Indang Geulis. Menurut Negara Kerta Bhumi dari kediaman Ki Danuwarsih Pangeran Walangsungsang bersama isterinya Nyai Indang Geulis dan adiknya Nyai Lara Santang menuju ke kerajaan Singapura yang terletak di pesisir pantai Utara Jawa dengan tujuan untuk menemui kakeknya Ki Gedeng Tapa.
Sebagaimana telah dikemukaan, di Nagari Singapura bermukim seorang guru agama bernama Syekh Datuk Kahfi. Atas keinginan dari Ki Gedeng Tapa, Syekh Datuk Kahfi mendirikan pesantren di Gunung Djati yang kemudian dikenal dengan Pondok Quro Amparan Djati. Syekh Datuk Kahfi kemudian oleh Ki Gedeng Tapa diberi gelar Syekh Nurjati. Kepada Syekh Nurjati inilah Pangeran Walangsungsang belajar Islam mazhab Syafi’i. Oleh Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Nurjati, Pangeran Walangsungsang diberi nama baru yaitu Ki Samadullah dan kelak setelah menunaikan ibadah haji namanya berganti menjadi Haji Abdullah Iman. Menurut Sunarjo (1983), Walangsungsang belajar agama Islam dari Syekh Datuk Kahfi selama 3 tahun.
Di lingkungan Keraton Nagari Singapura sendiri, Pangeran Walangsungsang oleh Ki Gedeng Tapa diangkat sebagai Pangraksabumi yang merupakan jabatan sebagai orang kedua dikeraton tersebut yaitu wakil dari Mangkubumi yang dijabat oleh Ki Gedeng Tapa sendiri.
Setelah selesai menuntut Ilmu di Pondok Quro Amparan Djati, Pangeran Walangsungsang atau Ki Samadullah pada tahun 1445 membuka pemukiman baru di daerah Kebon Pesisir atau Tegal Alang-Alang atau Lemah Wungkuk. Di daerah baru tersebut Ki Samadullah berhasil menarik perhatian dari para pendatang lainnya, sehingga daerah Tegal Alang-Alang menjadi daerah baru yang banyak didatangi oleh para pendatang dari berbagai latar belakang baik suku maupun agama. Didaerah itu tumbuh sikap toleransi saling hormat-menghormati terhadap beberapa perbedaan. Menurut beberapa catatan sumber tradisional daerah yang baru dibuka oleh Ki Samadullah dihuni oleh 346 orang yang meliputi orang Sunda 196 orang, Jawa 106 orang, Sumatera 16 orang, Semenanjung Malaysia 4 orang, India 2 orang, Persi 2 orang, Syam 2 orang, Arab 11 orang, dan Cina 6 orang. Hal ini di dapat dilihat dari hidup berdampingan antara Ki Gedeng Danusela yang beragama Budha sebagai Kuwu dengan Ki Samadullah yang beragama Islam dan memegang jabatan pangraksa bumi yang kemudian bergelar Ki Cakrabumi (Nina Herlina Lubis, 2000:30).
Setelah sukses mendirikan Dukuh Cirebon dan mengIslamkan penduduknya, maka atas saran dari Syekh Quro Amparan Djati yaitu Syekh Nurjati atau Syekh Datuk Kahfi atau Syeikh Maulana Idlofi, Ki Samadullah bersama dengan adiknya Nyai Larasantang disarankan untuk menuanaikan ibadah haji guna menyempurnakan ibadah Islamnya. Menurut CaritaPurwaka Caruban Nagari, akhirnya Ki Samadullah tanpa ditemani Isterinya Nyai Indang Geulis karena sedang hamil tua, bersama adiknya Nyai Lara Santang pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah dengan menggunakan perahu layar besar.
Dalam perjalanannya ke Mekah, perahu layar mereka singgah di Mesir. Bersama dengan para pejabat mesir mereka berlayar ke Mekah dan bersandar di Jedah. Di kapal itulah, terjadi pertemuan antara wali kota Mesir Syarif Abdullah yang bergelar Sultan Makmun keturunan Bani Hasyim putera Ali Nurul Alim dengan Nyai Lara Santang Puteri Pajajaran. Akhirnya di Tanah Suci Mekah Nyai Lara Santang dinikahkan oleh Ki Samadullah dengan Syarif Abdullah. Setelah menikah dengan Syarif Abdullah, Nyai Lara Santang diberi gelar Hajjah Syarifah Muda’im. Sedangkan Pangeran Walangsungsang atau Ki Samadullah diberi gelar Haji Abdullah Iman al-Jawi. Di Mekah mereka tinggal di rumah Syeikh Bayanullah adik Syeikh Datuk Kahfi.
Setelah perkawinan adiknya Nyai Lara Santang yang bergelar Hajjah Syarifah Muda’im, maka Pangeran Walangsungsang alian Ki Samadullah atau Haji Abdullah Iman al-Jawi kembali ke Jawa dengan maksud meneruskan penyebaran agama Islam. Tetapi sambil pulang ke Jawa, Haji Abdullah Iman al-Jawi singgah ke Iraq dan Campa sehingga dia dapat menyerap Islam secara universal.
Menurut Pustaka Negara Kertabhumi, dan Carita Puwaka Caruban Nagari, setibanya di tanah air, Haji Abdullah Iman al-Jawi mendirikan Masjid Jalagrahan. Selain itu dibuat pula rumah besar yang nantinya menjadi Keraton Pakungwati. Nama tersebut diambil dari nama putri Pangeran Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji Abdulah Iman al-Jawi atau Ki Cakrabumi dari isterinya Nyai Indang Geulis yang bernama Nyai Pakungwati.
Menurut Sunarjo (1983) karena menginginkan putera laki-laki untuk penerusnya, maka atas persetujuan isterinya Nyai Indang Geulis, Haji Abdullah Iman al-Jawi menikahi puteri Ki Gedeng Alang-Alang yang bernama Nyai Ratna Riris atau Nyai Kancana Larang. Dari perkawinan kedua ini, Pangeran Walangsungsang mempunyai putera yang diberi nama Pangeran Cerbon.
Setelah kuwu Tegal Alang-Alang atau Caruban yang juga mertua dari Pangeran Walangsungsang yaitu Ki Gedeng Alang-Alang meninggal dunia, maka Pangeran Walangsungsang diangkat menjadi Kuwu Caruban dengan gelar Pangeran Cakrabuana menggantikan Ki Danusela. Tidak lama setelah menjadi Kuwu Caruban, kakek Ki Samadullah yaitu Ki Gedeng Jumajan Djati atau Ki Gedeng Tapa wafat. Abdullah Iman tidak mengantikan kakeknya menjadi penguasa Singapura tetapi memilih tetap menjadi kuwu Cirebon. Didukung dengan warisan yang diterima dari Ki Gedeng Jumajan Djati, Pakuwuan Caruban statusnya ditingkatkan menjadi Nagari Caruban Larang. Dengan demikian maka Pangeran Cakrabuana menjadi penguasa nagari sekaligus sebagai ulama.
Sementara itu, Raja Pajajaran Prabu Siliwangi sangat gembira mendengar keberhasilan Pangeran Walangsungsang, sehingga untuk melegitimasi kekuasaan Pangeran Cakrabuana, maka Prabu Siliwangi melantik Ki Samadullah sebagai Tumenggung Cirebon. Dengan mengutus Tumenggung Jagabaya, Prabu Siliwangi memberikan Pratanda dan Anarimakna Kacakrawartyan. Kemudian Haji Abdullah Iman al-Jawi diberi gelar resmi kerajaan oleh Prabu Siliwangi dengan gelar Sri Mangana. Dengan demikian maka, penguasa Caruban Larang bernama Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman al-Jawi.
Sementara itu Nyai Lara Santang atau Hajjah Syarifah Muda’im yang telah menikah dengan Syarif Abdullah walikota Mesir melahirkan dua orang putera yaitu Syarif Hidayatullah yang kelak menjadi Sunan Gunung Djati dan Syarif Nurullah. Menurut naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Syarif Hidayatullah putra Hajjah Syarifah Muda’im ini akan menjadi salah seorang Wali Sanga penyebar Islam di tanah Jawa. Lebih jauh menurut naskah tersebut Syarif Hidayatullah menduduki generasi ke 22 dari Nabi Muhammad SAW.
Setelah Syarif Hidayatullah menjadi pemuda dan berusia dua puluh tahun, dia meninggalkan Mekah untuk berguru kepada beberapa orang guru seperti kepada Syeikh Tajudin al-Kubri selama 2 tahun, Syeikh Athaillah Syazali. Beliau pergi pula ke Baghdad. Di sana syarif Haidayatullah berguru Tasawuf Rasul dan tinggal di pesantren saudara ayahnya selama 2 tahun (Sunarjo, 1983:51). Dalam waktu singkat Syarif Hidayatullah telah mempunyai banyak nama di antaranya Syaid Al kamil, Syeikh Nuruddin Ibrahim Ibnu Maulana Sultan Mahmud al-Khibti.
Setelah ayahnya meninggal, Syarif Hidayatullah diminta untuk menggantikan ayahnya Syarif Abdullah. Tetapi dia menolak bahkan meminta adiknya Syarif Nurullah untuk menggantikan dirinya. Syarif Hidayatullah sendiri memilih pergi ke Jawa untuk menyebarkan agama Islam. Menurut sumber tradisional, Pangeran Nurrullah inilah disebut sebagai orang Pasai yang merantau ke Jawa untuk menyebarkan agama Islam, kemudian namanya dikenal dengan Faletehan atau Fatahillah.
Dalam perjalanannya ke Jawa, Syarif Hidayatullah singgah di Gujarat. Di sana Syaid Kamil betemu dengan Dipati Keling beserta anak buahnya. Dipati Keling dan anak buahnya masuk Islam dan mengabdi pada Syarif Hidayattullah. Kemudian mereka bersama-sama meneruskan perjalannannya menuju Jawa. Sebelum ke Jawa, Syaid Kamil singgah di Pasai. Disini Syarif Hidayatullah berguru kepada Syaid Ishak. Di Pasai mereka tinggal selama dua tahun. Setelah itu, Syaid Kamil dan rombongan meneruskan perjalan menuju ke Jawa, yang diawali dengan persinggahannya di negeri Banten. Di negeri itu sudah banyak yang memeluk agama Islam berkat binaan dari Syaid Rakhmat atau Ali Rakhmatullah seorang guru agama dari Ampel Gading yang kemudian bergelar Susuhunan Ampel.
Setelah bertemu dengan Sunan Ampel, Syarif Hidayatullah diminta untuk meneruskan Ali Rakhmattullah untuk mengajar agama Islam di negeri Banten. Ketika Syaid Rakhmatullah pulang ke Ampel, Syarif Hidayatullah ikut pula ke Ampel guna lebih memperdalam agama Islam. Ketika tiba di Ampel, di sana telah berkumpul para wali. Pada saat itu para wali sedang membagi pekerjaan untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Setelah bersilaturahmi dengan para wali, maka diatur mengenai siasat penyebaran Islam di Jawa. Saat itu Syaid Kamil atau Syarif Hidayatullah diminta untuk menyebarkan agama Islam di Jawa bagian Barat yaitu di tatar Sunda.
Setelah mendapat tugas untuk menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda, maka bersama Dipati Keling dan anak buahnya berlayar menuju ke Caruban Larang untuk menemui uwaknya Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman al-Jawi. Setelah memasuki Caruban Larang, pertama kali Syaid Kamil mendarat di pelabuhan Muara Djati, kemudian ke desa Sembung-Pasambangan dekan Giri Amparan Djati. Di sana Syarif Hidayatullah mengajarkan agama Islam menggantikan Syeikh Datuk Kahfi yang telah meninggal dunia. Masyarakat setempat menganggap Sayid Kamil sebagai orang Arab, sehingga digelari Syeik Maulana Djati atau Syeikh Djati.
Selain di Sembung-Pasambangan, Syarif Hidayatullah, mengajarkan agama Islam di Dukuh Babadan. Di sana ia menemukan jodohnya dengan Nyai Babadan puteri Ki Gedeng Babadan. Tetapi perkawinannya tidak berlangsung lama, karena Nyai babadan meninggal dunia dan tidak mempunyai anak. Mengenai perkawinan Sunan Gunung Djati sumber tradisional seperti Wawacan Sunan Gunung Djati dan Babad Banten mengatakan bahwa ia menikahi beberapa orang isteri di antaranya Nyai Babadan, Nyai Rara Djati, Ratu Kawung Anten, Ratu Tepasan dan sorang puteri Cina On Tien.
Pertemuan antara Syarif Hidayatullah, Dipati Keling beserta anak buahnya dengan uwaknya Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman Al Jawi, telah melahirkan kekuatan baru bagi kerajaan Islam Cirebon, terutama dalam penyebaran agama Islam di daerah itu. Syarif Hidayatullah beserta Dipati Keling dan anak buahnya oleh Pangeran Cakrabuana ditempatkan di Giri Sembung untuk mengelola Pondok Quro Amparan Djati peninggalan Syekh Datuk Kahfi. Selain itu, oleh uwaknya Syaid Kamil dinikahkan dengan puterinya yaitu Nyai Mas Pakungwati yang merupakan saudara sepupunya sendiri.
Di Giri Sembung, Syarif Hidayatullah disebut dengan Syeikh Maulana Djati atau Syeikh Djati. Setelah mengelola Pesantren di Giri Sembung, kemudian nama Syaid Kamil atau Syarif Hidayatullah semakin terkenal dan dikenal dengan sebutan Susuhunan Djati atau Sunan Cirebon. Dalam mengajarkan agama Islam di Cirebon, Syeikh Djati tidak mengalami kesulitan, karena santri- santri yang belajar di pesantrennya sama-sama menganut Islam mazhab Syafi’i.
Menurut Sunarjo (1983), ke Cirebon telah datang rombongan dari Banten menghadap kepada Sunan Gunung Djati. Adapun kedatangan mereka adalah untuk meminta Sunan Gunung Djati atau Syarif Hidayatullah untuk mengajarkan agama Islam di Banten. Menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, setelah berunding dan mendapat restu dari Sri Mangana Pangeran Cakra Buana Haji Abdullah Iman al-Jawi raja Kerajaan Islam Cirebon yang sekaligus uwak dan mertuanya, maka Syarif Hidayatullah pergi ke Banten.
Pada saat sedang giat-giatnya mengajarkan agama Islam di Banten, Syarif Hidayatullah di panggil pulang ke Cirebon karena tenaganya sangat dibutuhkan oleh Raja Cirebon. Setibanya di Cirebon, Sunan Gunung Djati diserahi tugas untuk menggantikan Sri Mangana Pangeran Cakra Buana haji Abdullah Iman al-Jawi sebagai Raja di Kerajaan Islam Cirebon yang telah dikuasainya selama 30 tahun. Kemudian setelah menyerahkan kekuasaan pada Sunan Gunung Djati, memilih hidup sebagai Muslim yang saleh dengan mempelajari Ilmu Ma’rifatullah.
Untuk penobatan Susuhunan Djati sebagai penguasa Kerajaan Islam Cirebon dilakukan oleh para wali yang tergabung dalam Wali Sanga dari Jawa Timur di antaranya Raden Fatah dari Kesultanan Demak yang didampingi oleh Panglima Perang Kesultanan Demak Fadhilah Khan. Peristiwa penobatan Syarif Hidayatullah sebagai Raja Kerajaan Islam Cirebon terjadi pada tahun 1479. Sejak tahun itulah Caruban Larang atau Cirebon menjadi pusat sebuah kesultanan Islam.
Menurut Hoesen Djajadiningrat (1913), setelah Sunan Gunung Djati jadi penguasa Kerajaan Islam Cirebon, secara damai ia mengajarkan dan menyebarkan agama Islam. Pada saat itu, beribu-ribu orang berdatangan kepada Sunan Gunung Djati untuk berguru agama Islam. Pada awalnya kepala-kepala daerah di sekelilingnya mencoba menentang gerakan itu. Tetapi mereka melihat tentangannya tidak berguna, mereka membiarkan diri mereka sendiri terseret oleh gerakan tersebut. Para bupati seperti Galuh, Sukapura, dan Limbangan menerima dan memeluk agama Islam dan menghormati Sunan Gunung Djati. Para penguasa di sekitar Cirebon menganggap bahwa Sunan Gunung Djati adalah sebagai peletak dasar bagi dinasti sultan-sultan Cirebon.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Sunan Gunung Djati menggunakan sistem desentralisasi. Adapun pola kekuasaannya Kerajaan Islam Cirebon menggunakan pola Kerajaan Pesisir, di mana pelabuhan mempunyai peranan yang sangat penting dengan dukungan wilayah pedalaman menjadi penunjang yang vital. Struktur pemerintahan Kerajaan Islam Cirebon menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, terdiri dari Tumenggung sebagai pemimpin tertinggi, kemudian penasehat, dan pimpinan tentara atau lasykar yaitu para Adipati, kemudian para pemimpin wilayah yang lazim disebut dengan Ki Gedeng.
Adapun program-program yang dijalankan dalam memipin pemerintahan di Cirebon, menurut Sunarjo (1983) Sunan Gunung Djati adalah intensitas pengembangan agama Islam ke segenap penjuru Tatar Sunda. Sedangkan di bidang ekonomi Sultan menekankan bidang perdagangan terutama dengan nagari-nagari di wilayah Nusantara. Selain itu dikembangkan pula hubungan perdagangan dengan negeri Campa, Malaka, Cina, India, dan Arab.
Setelah membangunan kekuatan-kekuatan ekonomi, Sunan Gunung Djati sebagai kepela pemerintahan melakukan penataan pemerintahan baik di pusat maupun di wilayah-wilayah nagari. Untuk kelancaran pemerintahan, maka Sultan menempatkan kerabat-kerabat dan ulama-ulama sebagai unsur pimpinan pemerintahan baik pusat maupun daerah.
Menyadari posisi Cirebon sebagai pusat penyebaran agama Islam, pusat kekuasaan politik, serta pusat perekonomian yang sangat strategis, maka Sunan Gunung Djati mempercepat pengembangan kota tersebut. Untuk hal itu, maka ia menjalin hubungan dengan Kerajaan Islam Pesisir Utara Jawa yaitu Kerajaan Islam Demak.
Menurut Tome Pires seorang akuntan Portugis yang pernah tinggal di Cirebon pada tahun 1513 memandang bahwa Cirebon merupakan bagian dari Demak (Graff, 1974:138). Dalam bukunya Suma Oriental (1944) bahwa di Cirebon (the land of Cherimon ) dikepalai oleh Lebe Uca, dan merupakan vassal seorang lord dari Demak yaitu Pete Rodim. Menurut Atja (1972) yang dimaksud oleh Tome Pires Lebe Uca adalah Sunan Gunung Djati dan Pete Rodim adalah Raden Fatah. Bisa jadi pandangan semacam itu terjadi karena Tome Pires melihat bahwa pada saat Sunan Gunung Djati naik tahta menjadi raja di Kerajaan Islam Cirebon menggantikan Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman al-Jawi yang melantiknya adalah para wali di antaranya Raden Fatah Sultan Kerajaan Islam Demak. Dengan dilantiknya Sunan Gunung jati oleh Raden Fatah, maka Tome Pires menganggap bahwa hal tersebut sebagai bukti ketundukan penguasa Cirebon kepada penguasa Demak. Oleh karena itu, Tome Pires menganggap bahwa Cirebon merupakan vassal Kerajaan Islam Demak.
Hubungan antara Cirebon dan Demak, menurut De Graaf (2001) dan F. de Haan (1912) selain karena kepentingan politik, juga didasari oleh hubungan keluarga. Hal ini ditandai dengan perkawinan Sunan Gunung Djati sendiri dengan Nyai Ageng Tepasan. Menurut Wawacan Sunan Gunung Djati Nyai Ageng Tepasan dianggap ibu asal dari para sultan Cirebon.Dari perkawinan itu, Sultan Cirebon mempunyai dua orang anak yaitu Nyai Ratu Ayu dan Pangeran Muhammad Arifin yang kemudian dikenal dengan Pangeran Pasarean.
Menurut Hoesen Djajadiningrat (1913), berdasarkan Babad Cirebon dan Wawacan Sunan Gunung Djati serta Sejarah Para Wali, perkawinan politik antara penguasa Cirebon dengan Demak terus berlangsung, yaitu dengan perkawinan Pangeran Brata Kencana atau Pangeran Gung Anom putera Sunan Gunung Djati dari Nyai Lara Bagdad dengan Ratu Nyawa puteri Raden Patah. Sebenarnya sebelum pernikahan itu, sebelumnya sudah terjadi pernikahan lain yaitu pernikahan antara Pangeran Jaya Kelana putera Sunan Gunung Djati atau kakaknya Brata Kelana dengan Nyai Ratu Pembaya saudara Ratu Nyawa isteri Brata Kelana. Tetapi pernikahan mereka tidak lama, karena para pangeran meninggal dunia saat terjadi pertempuran melawan bajak laut ketika dalam perjalanan dari Demak ke Cirebon. Setelah meninggal Pangeran Jaya Kelana, Nyai Ratu Pembaya menikah lagi dengan Ki Fadhillah Khan atau Fatahillah atau Faletehan sebagai isterinya yang ke dua (Sunarjo, 1983:68). Selain itu menurut Hoesen Djajadiningrat (1913) untuk memperkokoh hubungan Cirebon dan Demak maka dikawinkanlah putera Sunan Gunung Djati yaitu Pangeran Pasarean dengan Ratu Nyawa puteri Sultan demak yang juga janda dari kakaknya yaitu Pangeran Brata Kelana. Menurut Babad Tanah Jawi, dan Babad Pajajaran, hubungan kedua kerajaan Islam itu semakin erat terutama setelah perkawinan Nyai Mas Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor. Tetapi pernikahan inipun tidak berlangsung lama karena Pangeran Sabrang Lor yang dikenal dengan Raja Demak II meninggal. Kemudian Janda Raja Demak II tersebut menikah lagi dengan Fatahillah.
Menurut Hasan Muarif Ambari (1997) Islam di Cirebon berkembang dalam dua bentuk aliran, yaitu aliran Suni dan Syiah. Penyebar-penyebar Islam periode pertama adalah para pedagang Arab Islam , para mubaligh, para musyafir, para ahli kriya dan seniman di berbagai bidang. Mereka sangat dimungkinkan menganut tarekat-tarekat tertentu dengan cara meleburkan diri terhadap pengembangan tarekat di Cirebon dan sekitarnya.
Menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, Sunan Gunung Djati untuk mendukung pemerintahannya, ia terus membangun sarana-sarana pendukung baik itu sarana ekonomi, politik maupun agama. Untuk sarana di bidang agama, Sunan Gunung Djati membangun mesjid agung. Berdasarkan sumber tradisional, pembangunan Mesjid Agung Cirebon didirikan dengan bantuan para wali seperti Raden Patah yang mengirimkan seorang arsitek dan sekaligus sebagai arsitek Mesjid Agung Cirebon yaitu Raden Sepat. Kemudian bantuan datang dari Sunan Bonang, Sunan Kali Jaga dan Sunan Ampel. Mesjid tersebut oleh para wali diberi nama Mesjid Sang Cipta Rasa. Menurut De Graaf (2001), mesjid Sang Cipta Rasa menjadi model mesjid di kota-kota Islam di Jawa. Menurut sumber-sumber lokal mesjid tersebut pernah digunakan untuk pelaksanaan musyawarah Wali Sanga dalam pengadilan untuk mengadili Syekh Lemah Abang atau Syekh Siti Jenar.
Untuk sarana politik, Sunan Gunung Djati memperluas bangunan Istana Pakung Wati sebagai tempat pusat kegiatan pemerintahan. Kemudian di bidang ekonomi, Sultan Cirebon selain memperluas jaringan perdagangan, untuk mendukung kegiatan ekonomi dibuat jalan-jalan antara istana ke pelabuhan Muara Djati dan pasar.
Setelah Cirebon berada dibawah kekuasaan kesultanan Islam yang dipimpin oleh Syarif Hidayatullah atau Sayid Kamil, atau Syeikh Djati, atau Susuhunan Djati, maka kota tersebut tumbuh menjadi pusat kekuatan politik Islam di Jawa Barat atau Tatar Sunda. Selain itu Cirebon dibawah kekuasaan Syarif Hidayatullah selain sebagai pusat kekuasaan Kesultanan Islam juga merupakan pusat penyebaran agama Islam dan sekaligus sebagai pusat perdagangan yang menjadi lintasan perdagangan internasional yaitu lintasan perdagangan jarak jauh (long dintance trade line) yang dikenal perdagangan Jalur Sutra. Dengan demikian maka dalam waktu singkat dibawah kekuasaan Sunan Gunung Djati Cirebon tumbuh menjadi sebuah kota metropolis.
Sebagai sebuah kota metropolis, Cirebon mempunyai karakteristik di antaranya sebagai berikut:
1. Tumbuhnya kehidupan kota yang bernafaskan Islam dengan pola penyusunan masyarakat serta hirearki sosial yang kompleks.
2. Berkembang arsitektur baik yang sakral maupun yang profan seperti Mesjid Sang Cipta Rasa, Keraton, dan bangunan lainnya yang mengadapatasi rancang bangun dan ornamen pra-Islam.
3. Tumbuhnya karya seni baik itu seni pahat, seni lukis, maupun sastra Islam. Hal ini bisa dilihat dari hasil karya seni seperti seni batik, seni musik, kaligrafi, dan karya sastra serta lainnya.
4. Tumbuh subur pendidikan Islam yaitu pesantren di sekitar Cirebon.
5. Cirebon masuk dalam jaringan penyebaran agama Islam yang dipimpin oleh Wali Songo.
Di samping hal-hal tersebut di atas yang menjadikan tumbuhnya Cirebon sebagai sebuah kota metropolis adalah:
Pertama, dukungan sarana dan prasarana esensial pemerintahan dan ekonomi sebagai sebuah ibu kota Kerajaan Pesisir sepert:
* Keraton sebagai tempat kediaman resmi raja (Kepala Negara / Susuhunan dan pusat pemerintahan terletak tidak jauh dari Pelabuhan Muara Djati.
* Mesjid Agung sebagai tempat ibadah dan tempat merumuskan program pengembangan agama Islam.
* Pelabuhan utama Muara Djati dapat diandalkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat dan kerajaan.
* Jalan raya utama yang menghubungkan ketaron sebagai pusat pemerintahan dengan pelabuhan sebagai pusat perekonomian, dan Mesjid sebagai pusat keagamaan.
* Pasar sebagai pusat perdagangan di Psambangan.
Kedua, telah dikuasainya daerah- daerah belakang (hunterland) yang diandalkan untuk mensuplay bahan pangan.
Ketiga, dibentuknya pasukan lasykar yang dipimpin para dipati (panglima) yang berwibawa dan loyal pada Kerajaan.
Keempat, adanya penasehat-penasehat raja di bidang pemerintahan maupun agama. Kemudian diangkatnya penasehat yang merupakan pembantu utama di tingkat pusat, kemudian kepala wilayah yaitu Ki Gedeng yang loyal pada raja dan berdedikasi tinggi dan berwibawa.
Kelima, terjalinnya hubungan antar negeri yang erat antara Cirebon dan Demak.
Keenam, mendapat dukungan penuh dari para wali yang tergabung dalam Wali Sanga yang mempunyai kharisma dalam masyarakat terutama di pesisir pantai Utara Jawa.
Ketujuh, bebasnya Cirebon dari ancaman Kerajaan Sunda Pajajaran (Prabu Siliwangi) karena Cirebon dianggap masih ada pertalian darah dengan penguasa Pajajaran.
Kesultanan Islam Cirebon secara geopolitik menampilkan strategi situasional yang tepat. Hal itu disebabkan karena pada saat muncul kekuatan Islam di Tatar Sunda di wilayah itu tengah terjadi rotasi lokalisasi pusat kekuasaan dari pedalaman yaitu pusat kekuasaan kerajaan Hindu ke pesisir. Jadi pada saat yang bersamaan di daerah pesisir tumbuh dengan mantap pusat kekuasaan Islam di daerah pesisir. Disini sangat memungkinkan bahwa pada masa kesultanan Islam Cirebon, terjadi percampuran antara etnis Sunda dan Jawa yang kemudian melahirkan sub-etnik sunda yaitu Cirebon. Menurut Ayat Rohaedi (1995:308) mereka adalah orang Cirebon, yang berbahasa Jawa Cirebon, dan mengembangkan budaya Cirebon. Dengan demikian, Kesultanan Cirebon telah melahirkan karakteristik masyarakat yang beragam budaya, dengan ciri kehidupan kota bandar dengan masyarakat religius dan egalitarian, sesuai dengan konsep ummah.
Cirebon sebagai sebuah pusat kekuasaan politik dan dakwah berada diantara pusat-pusat kekuasaan lainnya. Untuk menjelaskan mengenai hal tersebut perlu dijelaskan bagaimana geostrategi Cirebon pada abad ke 16 terutama aspek ekonomi dan politik. Hal ini perlu dijelaskan karena peran Cirebon sebagai pusat kekuasaan dan dakwah Islam merupakan bagian inheren dari sosialisasi Islam di Jawa Barat.
Secara ekonomis Kesultanan Islam Cirebon yang dipimpin oleh Sunan Gunung Djati berada didalam jalur internasional perdagangan jarak jauh yaitu pedagangan jalur sutra. Dengan letaknya yang strategis secara ekonomis, maka di kesultanan Cirebon tumbuh dan berkembang pemukiman bagi para pelaku ekonomi baik yang berasal dari dalam maupun luar Cirebon atau pendatang. Hal inilah yang mendorong Cirebon muncul kota bandar dan merupakan salah satu bandar utama di pantai Utara Jawa. Letak Kesultanan Cirebon secara diametral berada pada jalur antara Banten dan Jayakarta di bagian Barat dan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Giri di bagian Timur. Dengan demikian posisi bandar Cirebon berada ditengah jaringan ekonomi perdagangan dan penyiaran Islam baik ke Barat maupun ke Timur.
Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis telah merubah peta geopolitik dan geoekonomi Jawa dan telah menempatkan Cirebon dalam posisi strategis baik secara ekonomi maupun politik. Secara geopolitik, bersamaan dengan munculnya kekuasaan kesultanan Islam Cirebon dibawah kekuasaan Sunan Gunung Djati, menurut De graf (2001:10) di wilayah kekuasaan raja-raja pesisir terjadi hegemoni kekuasaan Kesultanan Demak. Gerakan transformasi agama dan politik dari Kesultanan Demak selain ke wilayah timur yaitu Pajang dan Mataram juga ke arah Barat. Menurut Prodjokusumo (1991:68) berkat dukungan dari Sultan Demak, Sunan Gunung Djati dapat melebarkan pengaruh dan kekuasaannya di Sunda Kelapa, kemudian ke Banten Girang dan Pakuan Pajajaran.
Kesultanan Islam Cirebon yang dipimpin oleh Sunan Gunung Djati terus menjalin hubungan dengan sentra-sentra politik di antaranya dengan Demak yang pada saat itu dianggap eksfansif dan hegemonis. Dalam menjalin hubungan dengan kekuatan politik lainnya di wilayah Barat Kesultanan Islam Cirebon memantapkan strategi penyiaran Islam sekaligus kepentingan politiknya untuk menghadapi Portugis dan Belanda dengan menempatkan Pangeran Maulana Hasanudin putra Sunan Gunung jati dari Isterinya kawung Anten menjadi penguasa di Banten. Kemudian Sunan Gunung Djati mematahkan pengaruh Portugis di Sunda Kelapa. Selain itu dengan aliansi antara Cirebon dan demak maka selain menaklukan dan merebut Sunda Kelapa juga menaklukan Pakuan Pajajaran yang Hinduistis. Sementara untuk ke arah Timur Sultan Cirebon Syarif Hidayatullah memantapkan hubungan dengan sentra-sentra kekuasaan raja-raja Muslim di pesisir yang merupakan jaringan dari Wali Songo seperti hubungannya dengan Sunan Kali Jaga.
Menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, Selain mengendalikan kekuasaan politik sebagai penguasa kesultanan Islam Cirebon, Sunan Gunung Djati terus menyebarkan agama Islam ke seluruh pelosok tatar Sunda dengan dtemani oleh para pembantunya. Menurut Nina Lubis ( 2000 ) daerah-daerah yang dijelajahi oleh Sunan Gunung Djati adalah Ukur Cibaliung (Kabupaten Bandung ), Timbanganten (Kabupaten Garut ), Pasir Luhur, Batu layang, dan pengadingan (wilayah Barat dan Selatan Sumedang Larang). Daerah-daerah lain yang berhasil diIslamkan sebagaiman diceritakan dalam sumber-sumber tradisional adalah nagari Talaga, Raja Galuh, Dermayu, Trusni, Cangkuang dan Kuningan. Jika diperkirakan, maka gerakan Islamisasi Sunan Gunung Djati saat itu telah mencapai 2/3 wilayah Jawa Barat.
Setelah meninggalnya Sunan Gunung Djati tahun 1568 Masehi, menurut F. de Haan dalam bukunya Priangan kekuasaannya di Cirebon diteruskan oleh puranya yaitu Panembahan Ratu. Hal ini disebabkan karena Pangeran Paseran menjadi Raja Cirebon tidak lama karena beliau meninggal. Saat itu Sunan Gunung Djati masih hidup. Pada tahun 1570 yang berkuasa di Cirebon adalah Penembahan Ratu yang memerintah sampai dengan 1649.
Menurut Hasan Muarif Ambari (1998) kemantapan posisi geopolitik Cirebon seringkali diuji oleh tekanan Mataram terutama pada saat kekuasaan Mataram semakin kuat dan meluas. Cirebon sering ditempatkan pada posisi sulit, seperti pada saat terjadi konflik antara Mataram-VOC. Hubungan Cirebon-Mataram bagaikan api dalam sekam. Selain itu posisi Cirebon sering dimanfaatkan oleh Mataram menjadi penghubung antara Mataram-Banten, dimana jika terjadi konflik akan mempersulit posisi Cirebon. Untuk hal itu akhirnya Cirebon memilih proteksi Belanda pada 1681.
Posisi Cirebon secara politik sangat penting dan strategis bagi Mataram. Hal ini disebabkan karena Cirebon dapat menjadi penghubung bagi Mataram untuk menetralisir Kesultanan Banten untuk bertkembang lebih jauh. Sementara untuk menghadapi VOC, mataram menggunakan Cirebon sebagai “buffer-fower” untuk menahan laju VOC yang berpusat di Batavia. Selain itu Cirebon bagi Mataram dianggap mampu mengamankan dan menyediakan logistik militer bagi operasi Mataram ke Barat khususnya Batavia.
Hubungan Cirebon dengan Mataram tidak saja disebabkan karena beberapa kepentingan politik maupun ekonomi, tetapi juga karena hubungan keluarga melalui perkawinan meskipun perkawinanya itu lebih kental dengan nuansa politik. Hal ini terjadi pada saat Sultan Agung dari Mataram sedang giat-giatnya melakukan invasi ke Barat maupun ke Timur dan saat itu Cirebon merupakan satu-satunya wilayah yang tidak diinvasi Mataram. Pada saat itu Kesultanan Cirebon berada di bawah kekuasaan Panembahan Ratu. Di mana dalam menjalankan pemerintahannya ia lebih diarahkan pada penguatan kehidupan keagamaan. Sultan Cirebon saat itu lebih banyak bertindak sebagai ulama dari pada sebagai umaro. Sultan Panembahan Ratu lebih mementingkan kepentingan agama daripada ekonomi dan politik. Hal inilah yang membuat segan Sultan Agung dari Mataram untuk menginvasi Cirebon. Disamping itu Sultan Cirebon Panembahan Ratu usianya lebih tua daripada Sultan Agung dan menganggap sebagai guru. Pada saat Mataram gagal menyerang batavia, VOC mendekati Panembahan Ratu Sultan Cirebon, tetapi tidak berhasil. Untuk membendung pengaruh VOC maka diadakan perkawinan politis antara keluarga Kesultanan Cirebon dengan Kesultanan Mataram. Perkawinan pertama terjadi antara Saudara kakak perempuan Panembahan Ratu yaitu Puteri Ratu Sakluh dengan Sultan Agung yang kemudian melahirkan Susuhunan Amangkurat I. Perkawinan berikutnya adalah antara puteri Amangkurat I dari Mataram dengan Panembahan Girilaya dari Cirebon. Hal inilah yang menempatkan posisi Cirebon dalam perkembangan sejarahnya pada akhir abad ke 16 lebih codong ke Mataram dan bahkan menjadi vassal dari Mataram. Menurut F. de Haan dalam Priangan pada awalnya hubungan antara Cirebon dan Mataram adalah hubungan persahabatan sejak masa perjanjian antara Senapati dari Mataram dengan Panembahan Ratu dari Cirebon. Tetapi lambat laun dengan tanpa kekerasan kedudukan persamaan antara keduanyan berubah. Cirebon yang tadinya sebuah kerajaan sahabat Mataram menjadi sebuah kerajaan taklukan Mataram.
Perkawinan politik antara Cirebon dengan Mataram telah mengakibatkan jatuhnya kekuasaan Cirebon secara tidak langsung kedalam kekuasaan Mataram. Hal ini terjadi setelah Panembahan Ratu wafat pada tahun 1649. Kedudukannya digantikan oleh cucunya yaitu Panembahan Grilaya, karena puteranya Pangeran Seda Ing Gayam telah wafat terlebih dahulu. Saat itu terjadi perubahan sikap dari Amangkurat I terhadap Cirebon. Perubahan itu diperlihatkan ketika ia mengharuskan Panembahan Girilaya bersama puteranya Martawijaya dan Kertawijaya tinggal di Mataram sampai akhirnya meninggal di Mataram. Menurut Ekajati (1978) sikap Amangkurat tersebut karena menganggap Girilaya bersalah telah membiarkan pasukan Banten masuk Cirebon, sementara Banten konflik dengan Mataram.
Banten
SEJARAH Banten tidak dapat dilepaskan dari sejarah Cirebon. Hal ini disebabkan karena menurut beberapa sumber bahwa ada hubungan yang erat secara historis antara Banten dan Cirebon. Masalah ini berhubungan dengan peran seorang tokoh penyebar agama Islam yaitu Sunan Gunung Djati yang telah dianggap sebagai peletak dasar bagi lahirnya dua kesultanan Islam di Jawa Barat sekaligus yaitu Kesultanan Islam Cirebon dan Banten.
Sejarah Islam di Banten dimulai pada fase akhir dari Kerajaan Hindu Pajajaran yang saat itu sudah mulai menampakan tanda-tanda kemundurannya. Pada saat kekuasaan Hindu Pajajaran sudah mulai melemah, muncul gerakan dakwah Islam yang dipelopori oleh Wali Sango.
Menurut sebuah sumber, pada saat Kerajaan Pajajran menuju pada titik kehancuran, di Banten telah banyak penduduk yang memeluk agama Islam berkat gerakan dakwah yang dilakukan oleh Sunan Ampel. Banten pada saat itu telah menjadi pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang baik lokal maupun internasional. Seiring dengan meningkatnya perdagangan antara wilayah Timur dan Barat maka saat itu Banten menjadi tempat persinggahan para pedagang dari Arab, Cina, India dan Perlak serta para mubaligh . Menurut Halwani Michrob (1990:50), penyebaran Islam di Banten telah dimulai sejak abad ke 7 dan 8 Masehi.
Sebelum kedatangan Syarif Hidayatullah ke Banten untuk mengajarkan agama Islam, didaerah itu sudah ada komunitas masyarakat Muslim yang telah mempelajari agama Islam dibawah bimbingan Sunan Ampel. Selain itu menurut Afif Amrullah (1990:44)di sana sudah ada mesjid jami tempat beribadah orang-orang yang telah memeluk agama Islam di Banten yaitu mesjid di daerah Pacinan.
Menurut Carita Purwaka Carauban Nagari, kedatangan Sunan Gunung Djati ke Banten terjadi pada saat dia sedang menuju ke Jawa untuk tujuan menyebarkan agama Islam setelah terlebih dahulu singgah di Pasai. Banten pada saat itu merupakan vassal kerajaan Demak. Kedatangan Sunan Gunung Djati yang pada saat itu masih bernama Syarif Hidayatullah atau Sayid Kamil diiringi oleh Dipati Keling dan para pengawalnya berjumlah 98 orang. Ketika tiba di Banten, Syarif Hidayatullah bertemu dengan Ali Rakhmatullah atau dikenal dengan Sunan Ampel yang sedang mengajarkan agama Islam pada penduduk Banten. Syarif Hidayatullah kemudian berguru kepada Sunan Ampel.
Setelah cukup lama tinggal di Banten, Syarif Hidayatullah pergi ke Demak bersama dengan Sunan Ampel. Dari Demak dia pergi ke Cirebon setelah mendapat tugas dari para wali untuk menyebarkan agama Islam di wilayah Jawa bagian Barat. Di Cirebon Syarif Hidayatullah berhasil menyebarkan agama Islam dan menjadi penguasa kerajaan Islam Cirebon menggantikan uwaknya Pangeran Cakra Buana.
Sunan Gunung Djati terus membina teritorial wilayah kekuasaannya sambil berdakwah mengajarakan agama Islam ke wilayah pedalaman seperti ke Ukur Cibaliung, Timbanganten, Pasir Luhur, Batu Layang dan Pegadingan. Gerakan penyebaran agama Islam terus ke wilayah Banten yang saat itu bagian dari Kerajaan Sunda Pajajaran.
Menurut sebuah sumber tradisional, kedatangan Sunan Gunung Djati ke Banten atas permintaan utusan Banten yang datang ke Cirebon untk mengajarkan agama Islam di Banten. Menurut Sunarjo (1983) dengan persetujuan Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman Al Jawi yang saat itu menjadi Raja di Kerajaan Islam Cirebon, maka Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati pergi ke Banten untuk mengajarkan agama Islam.
Di Banten, Syekh Maulana Djati atau Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati mengajarkan agama Islam sehingga banyak penduduk Banten yang masuk agama Islam meninggalkan agama lama yaitu Hindu. Salah satu keberhasilan dakwah Sunan Gunung Djati saat itu adalah dapat mengIslamkan penguasa Banten yaitu Bupati Kawung Anten. Mereka bersama keluarga dan para pengikutnya memeluk agama Islam dan berguru pada Syarif Hidayatullah. Selain mengIslamkan Bupati Kawung Anten, Sunan Gunung Djati atas restu dari Bupati Kawung Anten menikah dengan Nyai Kawung Anten adik bupati tersebut. Dari perkawinannya itu, Sunan Gunung Djati mempunyai dua orang anak yaitu Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingkin. Menurut Sajarah Banten Sunan Gunung Djati tinggal di Banten sampai dengan tahun 1552.
Pada saat Islam sudah menyebar di Banten, dan mempunyai tonggak serta landasan yang cukup kuat dengan adanya legitimasi dari Bupati Kawung Anten, Syarif Hidayatullah pulang ke Cirebon. Kepulangannya ke Cirebon, karena Raja Kerajaan Islam Cirebon sangat membutuhkan tenaga Sunan Gunung Djati. Sepulangnya di Cirebon Sunan Gunung Djati diserahi tugas untuk memimpin Kerajaan Islam Cirebon oleh Raja Sri Mangana Pangeran Cakra Buana Haji Abdullah Iman al-Jawi karena usianya sudah tua. Naiknya Sunan Gunung Djati sebagai Raja di Kerajaan Islam Cirebon telah mengukuhkan kekuasaannya atas dua wilayah Islam yaitu Cirebon dan Banten.
Setelah Sunan Gunung Djati diangkat menjadi Sultan di Kerajaan Islam Cirebon, yang dihadapi olehnya pada saat itu baik di Banten maupun Cirebon adalah Kerajaan Sunda Pajajaran yang berkoalisi dengan Portugis untuk menghadapi kekuasaan Islam. Pada saat itu Kerajaan Sunda Pajajaran dan Portugis mempunyai dan menguasai bandar-bandar yang cukup strategis seperti Bandar Banten, Sunda Kelapa, Pontang, Cikande, Tanggerang dan Cimanuk.
Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511, dan Pasai tahun 1512, maka pusat perdagangan pindah dari kedua tempat itu ke Bandar Banten. Hal ini disebabkan karena para saudagar Islam yang terdiri dari orang Arab, Cina dan Persia memindahkan jalur perdagangannya dari Malaka ke Jawa Barat yaitu Banten. Menurut Hamka (1981) rute perdagangan dari pelabuhan Banten ke arah Timur rutenya Banten-Maluku dan rute Barat meliputi Banten-Salida-Padang Pariaman-Singkel-Barus-kemudian ke Aceh Barat.
Pada waktu Tome Pires mengunjungi kota-kota pelabuhan di wilayah Kerajaan Sunda Pajajaran tahun 1413, mengatakan bahwa Raja Sunda merasa khawatir terhadap desakan dan perkembangan Islam di wilayah Timur. Kemudian dia berusaha membendung pengaruh agama Islam dengan cara mengurangi kedatangan saudagar-saudagar muslim masuk ke bandar-bandar yang berada di wilayahnya. Usaha Raja Sunda Pajajaran itu tidak berhasil, karena kekuatan dan pengaruh agama Islam yang sebenarnya berasal dari Kerajaan Islam Demak yang saat itu sedang terus menerus mengembangkan kekuasaannya untuk merebut hegemoni di wilayah Timur setelah runtuhnya Kerajaan Hindu Majapahit sambil mengembangkan agama Islam. Menurut Hoesen Djajadiningrat (1913) guna menghadapi kekuatan dan pengaruh Islam dari Kerajaan Demak, maka Raja Sunda Pajajaran mengadakan perjanjian dengan Portugis tahun 1522 untuk melindunginya dari Kerajaan Islam Demak. Kompensasi dari perjanjian itu adalah pemberian izin kepada Henrique Leme pemimpin Portugis untuk mendirikan sebuah benteng di Sunda Kelapa serta dizinkannya orang Portugis untuk mengadakan tukar menukar lada dengan barang-barang yang diperlukan oleh penduduk setempat. Setelah ada kompensasi itu, maka Portugis mendirikan sebuah loji dan benteng kecil di Sunda Kelapa.
Menurut Sejarah Banten, pada tahun 1522 Jorge d’ Alboquerque Gubernur Malaka mengutus Henrique Leme menemui Raja Sunda yang bernama Samiam untuk menjalin hubungan dagang dengannya. Tawaran itu disambut baik oleh raja Pajajaran, karena diapun punya kepentingan dengan Portugis untuk membatu Pajajaran menghadapi bangsa Mor (Islam). Perjanjian antara Porugis dan Pajajaran dilakukan pada tanggal 21 Agustus 1522. Saat itu menurut Hoesen Djajadiningrat (1913), yang menjadi saksi perjanjian tersebut adalah Mandari Ta’da, Tamingo Sangue de Pate, dan Bengar seorang syahbandar Sunda Kelapa. Adapun isi perjanjian Portugis dan Pajajaran adalah:
* 1. Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Sunda Kelapa.
* 2. Untuk kapal Portugis yang datang, akan diberi muatan lada kemudian harus ditukar oleh pihak Portugis dengan barang-barang yang dibutuhkan oleh Pajajaran.
* 3. Pada saat benteng mulai di bangun, pihak Pajajaran akan menyerahkan 1000 Karung lada tiap tahun, dan harus ditukar dengan keperluan Pajajaran sebanyak 351 Kwintal.
Dengan adanya perjanjian tersebut, maka peranan Malaka telah dikuasai sepenuhnya oleh Portugis, dan dengan dikuasainya Banten dan Sunda Kelapa, maka jalur perdagangan internasional yang menghubungkan Cirebon dan Demak menjadi terputus.
Untuk menghadapi Raja Sunda Pajajaran dan Portugis, menurut salah satu sumber sejarah, Sunan Gunung Djati mengirimkan tim penyelidik untuk mengetahui situasi terakhir di Banten dan Sunda Kelapa. Setelah menerima laporan dari utusannya, maka Sunan Gunung Djati atas persetujuan Pangeran Cakrabuana dan Dipati Keling memutuskan untuk menyerang Banten dan Sunda Kelapa. Keputusan itu semakin diperkuat setelah menerima Fatahillah. Kedatangan Fatahillah atau Faletehan adalah menyampaikan pesan dan dukungan Sultan Demak untuk menyerang Kerajaan Sunda Pajajaran dan Portugis di Banten dan Sunda Kelapa. Dukungan Raja Demak diikuti dengan pengiriman bantuan armada yang dipimpin oleh Fatahillah sebagai panglimanya.
Menurut Fruin-Mees (1925) dengan dibantu oleh kekuatan dari Demak yang dipimpin oleh Fatahillah bersama pemimpin pasukan lainnya, pasukan dari Cirebon dipimpin oleh Pangeran Cirebon, Dipati Keling, dan Dipati Cangkuang menyerang Banten, yang akhirnya Banten dapat direbut pada tahun 1525. Menurut Sajarah Banten, setelah Banten dapat direbut, maka diangkat Hasanudin jadi Dipati Banten dengan pusat pemerintahan Banten Girang.
Menurut beberapa sumber sejarah, setelah Banten berhasil direbut oleh pasukan gabungan Cirebon dan Demak, daerah itu menjadi bagian dari Cirebon di bawah penguasaan Sunan Gunung Djati. Kemudian untuk menjalankan pemerintahan di Banten ia menyerahkannya kepada puteranya Hasanudin untuk menjadi Dipati Banten. Oleh karena itu menurut Hoesen Djajadiningrat (1913) yang meletakan dasar – dasar kekuasaan Islam di Banten adalah Sunan Gunung Djati. Hal ini didasarkan bahwa meskipun Hasanudin sebagai penguasa Banten, tetapi keputusan-keputusannya harus atas persetujuan Sunan Gunung Djati ayahnya.
Pada tanggal 8 Oktober 1526 Syarif Hidayatullah memindahkan pusat pemerintahan Banten dari Banten Girang ke Banten dekat Pelabuhan yang kemudian dikenal dengan “Surosowan“. Menurut Halwani Michrob (1993) pemindahan pusat kekuasaan itu berhubungan dengan situasi politik dan ekonomi Asia Tenggara saat itu dimana Malaka telah jatuh dibawah kekuasaan Portugis sehingga para pedagang segan melakukan hubungan dagang dengan Portugis dan memindahkan jalur perdagangannya dari Malaka ke Selat Sunda yaitu Banten.
Setelah menaklukan Banten, maka dilakukan penyerangan terhadap Batavia dengan kekuatan tambahan bantuan dari Banten dibawah pimpinan Hasanudin. Penyerangan ke Sunda Kelapa dipimpin oleh Fatahillah. Setelah lewat pertempuran sengit, maka Kerajaan Sunda dan Portugis dapat dipukul mundur dari Sunda Kelapa dan akhirnya pada tanggal 22 Juni 1527 dapat dikuasai dan diganti namanya menjadi Jayakarta. Setelah dapat merebut Sunda Kelapa, maka atas persetujuan Sultan Demak Fatahillah diangkat menjadi Dipati Jayakarta.
Pemimpin pasukan yang memimpin penyerang terhadap Sunda Kelapa adalah Fatahillah. Berdasarkan sumber tradisional Fatahillah mempunyai gelar Maulana Fadhilah Khan al-Pasey Ibnu Maulana Mahdar Ibrahim Al Gujarat. Dia dilahirkan di Pasai pada tahun 1490 Masehi. Ayahnya bernama Maulana Mahdar Ibrahim dari Gujarat India yang tinggal di Basem Pasai. Ayahnya mempunyai keturunan yang sama dengan Syarif Hidayatullah yakni Nurul Amin. Selain itu Fatahillah juga merupakan menantu dari Sunan Gunung Djati.
Menurut salah satu sumber, sebelum penyerangan ke Sunda Kelapa, Fatahillah tinggal di Demak. Di sini dia mempunyai dua orang isteri. Pertama adalah Nyai Ratu Ayu puteri Sunan Gunung Djati janda dari Pangeran Sabrang Lor Sultan Demak. Isteri kedua adalah Nyai Ratu Pembayun, puteri Sultan Demak Raden Patah janda Pangeran Jaya Kelana putera Sunan Gunung Djati. Dengan demikian hubungan antara Fatahilah dengan Sunan Gunung Djati adalah menantu dari perkawinan dengan puterinya dan suami dari menantunya.
Setelah berhasil merebut Banten, Sunda Kelapa dan menggantinya menjadi Jayakarta, maka Sunan Gunung Djati yang saat itu sudah tua menyerahkan kekuasaan Kesultanan Islam Cirebon kepada Pageran Pasarean, kemudian Banten kepada Maulana Hasanudin, dan Jayakarta kepada Fatahillah.
Setelah Sultan Hasanudin menjadi penguasa Kesultanan Islam Banten, maka terus dilakukan pengembangan-pengembangan baik itu agama, wilayah, politik maupun ekonomi. Langkah Sultan Hasanudin untuk membangun dan mengembangkan Banten lebih menitikberatkan pada pengembangan sektor perdagangan. Sarana dan prasarana terus dibangun untuk melengkapi dan menunjang kekuasaannya. Diantara sarana- sarana yang dibangun oleh Sultan Banten adalah Keraton Surosowan sebagai pusat kekuasaan, Mesjig Agung yang letaknya disebelah Barat, Alun-alun sebagai pusat peristirahatan masyarakat dalam melakukan aktivitasnya di pusat kota Banten, Pasar Pabean. Selain itu ditata pula pemukiman-pemukiman penduduk untuk menghindari konflik seperti pemukiman orang-orang Cina maka Sultan Hasanudin membuat pecinan.
Banyaknya para pedagang muslim yang datang ke Banten selain aktif berdagang juga berdakwah, maka selain pusat kekuasaan kota Banten itu penjadi pusat dakwah atau penyiaran agama Islam. Dengan demikian, Banten selain sebagai pusat penyebaran agama Islam di Jawa bagian Barat juga Sumatera bagian Selatan terutama Lampung.
Pada waktu Cirebon dan Banten dibawah kekuasaan Sunan Gunung Djati, perbatasan antara kedua wilayah tersebut tidak menjadi masalah. Tetapi ketika Banten diserahkan kepada Maulana Hasanudin dan Cirebon kepada Pangeran Pasarean yang kemudian kepada Panembahan Ratu, maka batas-batas wilayah menjadi masalah yang menimbulkan ketegangan hubungan antara Banten dan Cirebon. Persoalan batas wilayah muncul setelah Kerajaan Sunda Pajajaran dapat ditaklukan Banten dan eksistensinya telah sirna.
Dari beberapa sumber dikatakan bahwa setelah Kerajaan Sunda Pajajaran ditaklukan Banten, maka seluruh wilayah kekuasaan Pajajaran berada dibawah kontrol dan kendali Banten. Seluruh wilayah bekas Pajajaran harus tunduk pada peraturan-peraturan Sultan Banten. Diantara yang menjadi persoalan adalah wilayah Priangan dan Sumedang Larang. Kedua wilayah itu awalnya merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Pajajaran, sehingga setelah Pajajaran takluk kepada Banten, maka secara operasional pemerintahan berada dibawah kontrol Kesultanan Banten. Tetapi menurut Sajarah Banten, dan Carita Purwaka Caruban Nagari, meskipun kedua daerah harus berada dibawah kendali kekuasaan Banten pada kenyataannya dikedua daerah tersebut pengaruh Cirebon masih kuat. Masalah perbatasan antara Cirebon dan Banten tidak dapat diselesaikan secara resmi, sehingga persoalan tersebut membuat hubungan Banten dan Cirebon seperti bara api dalam sekam.
Pada awal kekuasaannya, Sultan Hasanudin memproklamirkan bahwa Kerajaan Islam Banten berada dibawah kekuasaan Kerajaan Islam Demak atau merupakan vassal dari Demak, Hal ini didasarkan karena Banten dapat direbut dari Kerajaan Sunda Pajajaran dan dapat diIslamkan dengan bantuan Raja Demak. Tetapi perkembangan berikutnya Sultan Hasanudin pada tahun 1568 memaklumkan bahwa Kerajaan Islam Banten membebaskan diri dari Kerajaan Demak.
Menurut Hoesen Djajadiningrat (1983) Tindakan Hasanudin melepaskan Kerajaan Islam Banten dari pengawasan Demak merupakan tindakan yang dianggap penting. Hal ini disebabkan selain untuk kemajuan pengembangan Banten, juga untuk menghindarkan diri dari kericuhan yang selalu terjadi pada keluarga kesultanan Demak yang masih merupakan keluarganya. Menurut De Graff (1989:151) Hubungan keluarga antara Banten dan Demak disebabkan oleh perkawinan antara Sultan Hasanudin dengan salah seorang puteri Kesultanan Demak yang dikaruniai beberapa orang anak. Sultan Hasanudin bertahta di Kerajaan Islam Banten selama 18 tahun.
Sultan Hasanudin mempunyai anak tiga orang yaitu Puteri Pembayun, Pangeran Yusuf dan Pangeran Arya yang tinggal di Jepara dengan bibinya Ratu Kalinyamat yang nantinya menjadi Pangeran Jepara. Setelah Hasanudin meninggal dunia, maka Kesultanan Banten diserahkan kepada Pangeran Yusuf. Menurut Hamka (1976:181) Pemerintahan Maulana Yusuf sebagaimana ayahnya merupakan sultan yang memimpin pemerintahan sekaligus pemimpin agama.
Kalau pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanudin pembangunan lebih dipusatkan pada bidang keamanan kota, perluasan wilayah disamping menyebarkan agama Islam, maka pada masa kekuasaan Sultan Maulana Yusuf strategi pembangunan lebih dititik beratkan pada pengembangan kota, keamanan wilayah, perdagangan serta pertanian. Menurut Husen Djajadiningrat (1983:153) pasukan kerajaan Islam Banten dapat menaklukan dan merebut Pakuan Pajajaran yang merupakan ibu kota Kerajaan Pajajaran pada tanggal 13 Desember 1579. Maka sejak peristiwa itulah Kerajaan Sunda Pajajaran habis riwayatnya. Gerakan perluasan wilayah oleh Sultan Maulana Yusuf diteruskan sampai ke pedalamam yaitu ke daerah-daerah yang masih dikuasai oleh Pajajaran. Menurut Nina Lubis (2000:56) sejak dikuasainya Ibukota Pakuan Pajajaran oleh Banten, maka di Jawa Bagian Barat tinggal beberapa kekuasaan yang lebih kecil dari kerajaan Sunda yaitu Banten, Cirebon, Sumedanglarang, dan Galuh.
Sebagaiman Cirebon, Kesultanan Islam Bantenpun ditopang oleh letaknya yang strategis sebagai Kota Bandar. Pada abad ke-16, Bandar Banten merupakan bandar yang bertarap internasaional. Letak Bandar Banten sangat strategis yaitu terletak antara Malaka dan Gresik. Banyak kapal-kapal yang berlabuh disana seperti dari Cina, India, Arab, dan Eropa. Kedatangan kapal-kapal ke Bandar Banten tidak semata-mata membawa barang dagangan dari negerinya, tetapi juga membeli komoditi dari Kerajaan Banten dan sekitarnya. Dengan demikian, maka Banten dapat menjalin hubungan bukan saja dengan daerah dipedalaman tetapi juga dengan dunia internasional. Selain itu di bandar Banten terjadi pula kontak sosial yang memperlancar kontak budaya yang berasal dari kegiatan ekonomi ke bidang lainnya. Menurut Tome Pires dalam Suma Oriental, Pelabuhan Banten merupakan pelabuhan terpenting di Jawa.
Struktur masyarakat dan kota Banten, banyak dijelaskan oleh beberapa sumber baik itu sumber lokal maupun asing. Informasi tertua mengenai struktur masyarakat Banten diperoleh dari Yans Kaerel seorang anggota armada Belanda yang berlabuh di Banten pada bulan Nopember 1596 di bawah pimpinan Cornelis de Hautman. Menurut Rouffaer dan Ijzerman (1915) berdasarkan catatan Cornelis de Haoutman setiap kapal asing yang akan berlabuh dan berlayar di pelabuhan Banten harus minta ijin dulu kepada Syah Bandar. Kemudian untuk memasuki kota Banten harus melalui tempat pemungut pajak.
Gambaran mengenai Istana Raja Banten digambarkan oleh Chijs (1881) dan Wertheim (1956) bahwa Istana raja menghadap ke Utara dikelilingi oleh parit dan rumah-rumah kecil, di sebelah gerbang utama terdapat rumah jaga, dan setelah melalui pintu masuk istana terdapat tempat terbuka dengan tiang dan permadani. Sedangkan mengenai Iuas kota Surosowan menurut catatan Valentijn kalau dijelajahi dengan jalan kaki akan selesai selama dua jam.
Dari beberapa catatan orang asing yang mengunjungi Banten pada masa kesultanan menggambarkan struktur masyarakat Banten digolongkan pada empat golongan yaitu :
* 1. Golongan raja dan keluarga, menduduki status sosial yang paling tinggi, hal ini disebabkan karena fungsi dan jabatannya merupakan pemegang kekuasaan politik dan ekonomi.
* 2. Golongan elit, yaitu kelompok yang memiliki status sosial tinggi karena jabatannya seperti bangsawan Mangkubumi, Menteri, Laksamana, Senopati, Ulama, Tumenggung dan Syah Bandar.
* 3. Golongan bukan elit, seperti para pedagang, nelayan, tentara, petani, seniman, dan pejabat rendahan.
* 4. Golongan budak yaitu yang tidak mampu membayar utang
Selain masalah stratifikasi sosial dalam masyarakat, menurut Hasan Muarif Ambari (1998) di Banten dapat dilihat pula pengelompokan pemukiman menjadi empat kelompok yaitu :
* 1. Pengelompokan atas dasar ras dan suku yang terdiri dari kebalen (pemukiman orang Bali), karoya (pemukiman orang Koga dari India), dan karangantu (pemukiman orang asing lainnya).
* 2. Pengelompokan atas dasar keagamaan yang terdiri dari kapakihan (pemukiman kaum ulama), dan kasunyatan (pemukiman orang suci).
* 3. Pengelompokan atas dasar sosial ekonomi yaitu pamarican (tempat penyimpanan lada ), pabean (tempat manrik pajak), pajaringan (tempat pemukinan nelayan ), pasulaman ( tempat pengrajin sulam), kagongan (tempat membuat gong), pamaranggen (tempat membuat keris), pawilahan (tempat kerajinan bambu), pakawatan (tempat membuat jala), pratok (tempat pembuat obat), kepandean (tempat pembuatan alat-alat senjata ).
* 4. Pengelompokan atas dasar status dalam pemerintahan dan masyarakat yang terdiri dari kawangsan (tempat pemukiman Pangeran Wangsa), kaloran (tempat pemukiman Pangeran Lor), kawiragunan (tempat pemukiman Pangeran Wiraguna), kapurban (pemukiman Pangeran Purba), kabantenan (pemukiman pejabat pemerintah), kamandalikan (pemukiman Pangeran Mandalika), Keraton (pemukiman sultan dan keluarganya) dan kesatrian (pemukiman tentara).
Penutup
PROSES Islamisasi Jawa Barat, tidak dapat dilepaskan dari gerakan Islamisasi Jawa yang dilakukan oleh Wali Sanga secara integral. Penyebaran agama Islam di Jawa Barat tidak terlepas dari perannan tokoh Sunan Gunung Djati seorang wali yang juga seorang raja. Selain menyebarkan agama Islam, Sunan Gunung Djati telah menjadi peletak dasar bagi kekuasaan politik Islam di Jawa Barat yang meliputi Banten dan Cirebon. Sebelum Sunan Gunung Djati menyebarkan Islam di tatar Sunda, di Cirebon sudah ada gerakan penyebararan agama Islam yang dipelopori oleh Haji Purwa di Cirebon, Syekh Quro di Karawang dan Syekh Datuk Kahfi di Cirebon.
Gerakan Islamisasi yang dilakukan oleh Sunan Gunung Djati dilakukan dengan pendekatan agama, ekonomi, politik dan kultural. Dengan pendekatan tersebut maka dalam waktu yang relatif singkat Islam dapat menyebar hampir keseluruh wilayah Jawa Barat.
Sumber-sumber mengenai gerakan penyebaran agama Islam dengan tokohnya Sunan Gunung Djati lebih banyak terdapat dalam sumber-sumber tradisional berupa babad dan wawacan serta cerita rakyat. Sumber-sumber tersebut masih perlu penelitian lebih jauh untuk mempertegas posisi Sunan Gunung Djati dalam gerakan penyebaran agama Islam di Jawa Barat. Dengan dilakukan penelitian ulang yang lebih komprehensip mengenai sumber-sumber Sejarah Islam di Jawa Barat akan memperjelas sosok Sunan Gunung Djati ada diantara mitos dan realitas sejarah.
Penelitian mengenai penyebaran agama Islam di Jawa Barat masih memerlukan penelian lanjutan terutama sentra-sentra dan pusat pusat penyebaran agama Islam di pedalaman tatar Sunda seperti Simedang Larang, dan Pamijahan dengan tokohnya Syekh Abdul Muhyi.
Daftar Pustaka
* Atja, Tjarita parahijangan, Yayasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung, 1968.
* Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari, Ikatan Karyawan Museum, Jakarta, 1972.
* Atja & Saleh Danasasmita, Sanghiyang Siksakandang Karesian, Proyek Pengembangan Permuseuman, Bandung, 1981.
* Atja & Edi S. Ekadjati, Carita Parahyangan, Yayasan Pembangunan Jawa Barat, Bandung, 1989.
* Ayat Rohaedi, dkk, Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawadwipa, Yayasan Pembangunan Jawa Barat, 1989.
* Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1995.
* Denis Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 2, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000.
* De Graaf, H. J. & T. H. Pigeaud, Kerajaan – Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Pustaka Utama Grafity & KITLV, Jakarta, 1985.
* Edi S. Ekajati, Babad Cirebon Edisi Brandes Tinjauan Sastra dan Sejarah, Unpad, Bandung, 1978
* Fruin Mees, W, Geshiedenis van Java II, Uitgave van de commarsie voor de vilkslectuur, Welterenden, 1920.
* Haan, F, de., Priangan; De Preanger -Regenschappen Onder het Nederlandsch Bestuur tot 1811, Eerste Deel,. Batavia: G.Kolff & Co, 1910.
* Haan, F, de., Priangan ; De Preanger -Regenschappen Onder het Nederlandsch Bestuur tot 1811, Tweede Deel,. Batavia: G.Kolff & Co, 1911.
* Haan, F, de., Priangan ; De Preanger -Regenschappen Onder het Nederlandsch Bestuur tot 1811, Deerde Deel,. Batavia: G.Kolff & Co, 1912.
* Hoesen Djajadiningrat, Critische beschouwing van de Sadjarah Banten. Bijdrage ter kenschetsing van de Javaansche Geschiedschrijving, Nederland, 1913. Diterjemahkan Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten, Sumbangan Bagi Pengenalan Sifat – Sifat Penulisan Sejarah Jawa, Djambatan, Jakarta, 1983.
* Halwany Michrob, Sejarah Perkembangan Arsitektur Kota Islam Banten, Yayasan Baluwarti, Jakarta, 1993.
* Hageman, J.C.J. Gescheidenis der Soenda – Landen , TBG deel 16, Batavia : Lange & Co’s Hage M. Nijhoff, 1869.
* Henri Chambert-Loir & Hasan Muarif Ambari ( Editor ) , Panggung Sejarah, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999.
* Hasan Muarif Ambari, Menemukan Peradaban Jejak Arkeologi dan Historis Islam Indonesia, Logos, Jakarta, 1998.
* Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho, Pustaka Populer Obor, Jakarta, 2000.
* Leur, J.C.V., Indonesian Trade and Society, Sumur Bandung, Bandung, 1960
* Muhammad Syamsu AS, Ulama Pembawa Islam di Indonesia, Lentera, Jakarta, 1996.
* M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1991.
* Marwati Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Balai Pustaka, Jakarta, 1990.
* Nina Herlina Lubis, dkk, Sejarah Kota – Kota Lama di Jawa Barat, Alqa Print, Bandung, 2000.
* P. S. Sulendraningrat, Sejarah Cirebon, Depdikbud, Jakarta, 1978.
* Pires, Tome, The Suma Oriental, terjemahan Armando Cortecao, London, 1944.
* Ridin Sofwan, Islamisasi di Jawa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.
* R. Z. Leirissa ( penyunting ), Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra, Depdikbud RI, Jakarta, 1997.
* Sharon Siddique, Islam di Asia Tenggara Perspektif Sejarah, LP3ES, Jakarta, 1989.
* Susanto Zuhdi ( penyunting ), Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Depdikbud RiI, Jakarta, 1997.
* Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Jilid I, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992.
* Uka Tjadrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota – Kota Muslim di Indonesia, Menara Kudus, Kudus, 2000.
* Unang Sunarjo, Kerajaan Cirebon 1479 – 1809, Transito, Bandung, 1983.
* Yoseph Iskandar, Negara Gheng Islam Pakungwati Cirebon, Padepokan Sapta Rengga, Bandung, 2000.
Oleh SULASMAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar