Dalam penelitian kamitentang cerita Panji dalam relief pada candi-candi di Jawa Timur, Teras Pendopo di Candi Panataran adalah contoh yang paling menonjol. Relief di Teras Pendopo itu menginspirasikan saya untuk mengembangkan interpretasi tentang simbolisme relief Panji.
Teras Pendopo dihias relief-relief yang sangat indah dan yang menggambarkan banyak adegan naratif. Dari candi-candi lain, misalnya Candi Borobudur dan Candi Prambanan di Jawa Tengah yang lebih kuno daripada candi di Jawa Timur, kita tahu bahwa ukiran relief tidak hanya adalah hiasan dekoratif saja, melainkan punya makna simbolis dalam konteks fungsi candi sendiri. Tujuan penelitian saya adalah tafsiran makna dan fungsi relief-relief di Teras Pendopo Candi Panataran.
Dalam ukiran relief kita melihat seseorang laki-laki bertopi, dan juga seseorang perempuan dengan rambut panjang. Dua-duanya sering muncul dalam adegan kasih cinta dan romantis, tetapi sering juga dalam situasi duduk sendiri dan ternyata saling merindukan. Setelah sering dilihat dan diperiksa dan dirasakan relief-relief di Teras Pendopo, saya yakin bahwa ada beberapa cerita Panji yang diukir pada dinding bangunan itu. Cerita Panji yang sangat populer pada zaman Majapahit (sekitar tahun 1300 s.d. 1500 Masehi), mengkisahkan tentang Raden Panji dari Kerajaan Jenggala dan Putri Candrakirana dari Kerajaan Kediri yang mau menikah. Tetapi mereka terpisah dan lama harus saling mencari sebelum akhirnya mereka bisa ketemu dan menyatu. Tema perpisahan, tema perjalanan sambil mencari kekasihnya, dan tema persatuan: tiga tema itu menjadi unsur utama dalam relief-relief di Teras Pendopo. Sebagai tambahan ada dua tema lain lagi yang beberapa kali muncul dalam gambar relief: seberangan air dan pertemuan dengan seseorang rsi sebagai guru spiritual.
Kombinasi lima tema itu pasti tidak kebetulan saja. Tafsiran saya secara pendek:
1.Perpisahan dan situasi rindu dan kangen kekasihnya – penuh emosi dan cinta dengan tujuan lelaki dan perempuan menyatu.
2.Perkelanaan dan saling mencari – mengusahahan untuk sampai pada tujuannya, yaitu menyatu.
3.Situasi kasih dan romantis atau erotis – menyatu si lelaki dan si perempuan.
4.Menyeberang air – purifikasi dan maju dari tingkat bawah kepada tingkat lebih tinggi dalam pengetahuan spiritual.
5.Bertemu dengan seseorang resi – minta pengajaran oleh seorang guru spiritua.
Kesimpulan dari kombinasi lima tema ini: cinta kasih dan menyatu dalam cinta adalah tujuan utama dalam gambar relief ini. Dalam pengusahaan mencapai tujuan itu, pengajaran oleh guru spiritual membantu untuk maju dalam pengertian ngelmu. Erotisme dan penyatuan seksual antara laki-laki dan perempuan adalah unsur penting dalam ajaran Tantra. Kita tahu dari kakawin dan dari beberapa teks esoteris bahwa Tantra ternyata dipraktikkan pada zaman Majapahit dan sebelumnya, walau pun tidak diketahui dengan persis cara apa yang dipraktikkan. Tantra punya banyak versi dan jalur yang beda-beda dengan latar belakang agama Hindu dan agama Buddha. Ajaran itu selalu dipahami sebagai esoteris dan banyak dirahasiakan, sehingga secara konkrit kurang diketahui praktik dan ritualnya. Tujuan dalam yoga Tantra adalah menyatu dengan Tuhan. Penyatuan itu bisa dialami oleh penyatuan seksual antara laki-laki dan perempuan.
Tafsiran saya adalah bahwa gambar cerita Panji dalam relief di Teras Pendopo menyimbolkan ajaran Tantra itu. Panji dan Candrakirana yang didukung oleh resi memberi pengantaran dan persiapan kepada peziarah tentang pengetahuan esoteris dalam rangka Tantra. Cerita Panji dan juga ukirannya punya gaya folklor, sehingga gampang dipahami dan dilihat oleh para peziarah. Setelah dialami dan diterima pengajaran oleh Panji, peziarah sudah siap untuk maju dalam jalur ritual di candi. Pada bagian dalam di candi – di halaman ketiga dan akhirnya di petirtaan – peziarah akan masuk wilayah sakral. Panji berfungsi sebagai pengantar dan perantara antara dunia manusiawi dan dunia kedewaan. Panji membantu dalam tahap pertama yang menuju pada wahyu dan pada pengertian esoteris.
Sebagai contoh saya memberi deskripsi beberapa adegan yang digambar pada dinding barat sebelah kiri. Ada panel panjang yang ceritakan tentang Panji yang sedang duduk dengan penuh rindu dan menyampaikan surat lontar kepada burung kakatua, didampingi oleh seseorang resi. Burung itu terbang dan menyeberang laut dan menyampaikan surat lontar, yang ternyata adalah surat cinta, kepada Candrakirana yang juga duduk penuh rindu dan yang didampingi oleh seorang kili. Tujuan dua kekasihnya adalah menyatu, dan cinta itu diekspresikan oleh surat lontar. Penyeberangan air dan dukungan oleh resi sebagai guru spiritual adalah simbol untuk aspek esoteris dalam cinta. Akhirnya pada panel lain penyatuan Panji dan Candrakirana akan dicapai.
Ada dua seri relief yang bukan cerita Panji. Mereka pernah diidentifikasikan oleh ahli arkeolog dahulu, yaitu cerita Sang Satyawan dan cerita Sri Tanjung. Cerita pertama digambarkan pada dinding timur, dan yang kedua pada dinding barat sebelah kanan. Dalam dua-duanya ada seseorang yang bertopi seperti Panji. Walau pun bukan Panji, melainkan Satyawan atau Sidapaksa, dua cerita itu punya ciri sama dengan cerita Panji, yaitu lima tema yang disebut di atas itu. Simbolismenya sama. Apalagi, dua-duanya adalah sastra kidung, sama dengan sastra Panji. Dibandingkan dengan sastra kakawin, kisah kidung punya ciri folklor yang lebih dekat dengan kehidupan rakyat.
Jadi, apa Panji atau tokoh utama dalam kidung lain, semua punya peran sama sebagai perantara. Relief yang menggambarkan cerita kakawin, akhirnya muncul pada dinding bangunan yang sakral, yaitu candi induk, dengan Ramayana dan Krishnayana. Panji, Satyawan dan Sidapaksa sudah mempersiapkan para peziarah untuk membaca kakawin itu.
Dan kemudian sebagai tahap terakhir, para peziarah turun ke tempat petirtaan, di mana mereka dapat wahyu utama sambil masuk air dan dapat kebersihan spiritual. Di situ terjadi penyatuan utama dengan Tuhan.
Sydney, Cologne, 12/11/2009
Catatan :
- Makalah ini disampaikan secara tertulis dalam Sarasehan Penataran di Museum Penataran, 21 – 22 November 2009, diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jawa Timur dalam rangka Etalase Budaya Panji.
- Sudah dimuat di Majalah Kidung, terbitan Dewan Kesenian Jatim, edisi bulan Desember 2009.
- Lydia Kieven, arkeolog asal Jerman, Doktor Filosofi (PhD) di Sydney University yang menulis disertasi mengenai sosok Panji di candi-candi Jawa Timur.
Sumber utama dan gambar lengkapnya bisa dilihat di SIni
Rabu, 31 Maret 2010
Kawih Paningkes (Kropak 419); Naskah Nipah tentang Dunia Kosmologis Sunda Kuno
Naskah Kawih Paningkes atau Kawih Panikis (KP) dalam Perpustakaan Nasional tercatat sebagai Kropak 419. Naskah ini terdiri atas 40 lempir daun nipah yang ditulis pada kudua mukanya (recto-verso)—kecuali lempir terakhir yang hanya terisi bagian mukanya. Dengan begitu, naskah ini terdiri atas 79 halaman. Melihat kalimat pada halaman terakhir terputus (… drebya larang nusodahan mo-), jelas bahwa naskah ini belum selesai ditulis. Akan tetapi, mengingat penggalan kalimat tersebut terdapat pada halaman muka lempir terakhir, naskah ini juga tak bisa dianggap tak selesai karena ada lempir-lempir tambahan yang hilang atau belum ditemukan. Jadi, ada dua kemungkinan: ada lempir sambungan yang hilang, atau memang naskah ini tak atau belum diselesaikan, entah apa alasannya.
Sementara itu, bila kita perhatikan lempir pertama naskah ini yang langsung diawali dengan kalimat “luhur tan hana rahina wengi” ada kesan bahwa seharusnya ada bagian yang mengawali kalimat tersebut. Apalagi bila kita perhatikan bahwa lempir itu tidak diawali dengan ciri yang biasa sebagaimana terdapat pada awal sebuah naskah, yakni ciri kalimat pembuka/pengantar, maka dugaan bahwa awal naskah ini tak komplit cukup beralasan. Jadi, sekurang-kurangnya ada satu lempir bagian awal naskah yang tak ada, mungkin hilang, atau mungkin susah sebegitu rusaknya sehingga “hilang” juga akhirnya dari rangkaian naskah.
Kawih Paningkes memuat ajaran agama campuran antara Hindu, Buddha, dengan kepercayaan asli orang Sunda. Istilah-istilah seperti dewa, dewata, sri, mahayoga, dan moksah yang terdapat dalam ajaran Hindu dan Buddha ditemukan bersama-sama dengan nama pohaci dan istilah-istilah dari kebudayaan “asli” Sunda seperti wirumananggay, kahyangan, sanghyang, dan puhun.
Dalam naskah ini terlihat bahwa ajaran pituin/asli Sunda bisa “satu level di atas” atau “mengatasi” (menurut Ayatrohaedi) ajaran Hindu maupun Buddha. Berikut kutipannya (lempir 19):
… baruk da sang wiku lamun muja ka dewata longit (leungit) kawikwana na pandita lamun samadi mihdap hyang dewata hilang na kapanditaan ja kassarkon (kassarkeun) katinong (katineung) sarwa dingan trisna trisna bala swarangan.
… katanya, kalau wiku memuja dewata, hilanglah kewikuannya. Jika pendeta bersemadi (memuja) dewata, hilangkah kependetaannya, karena perhatian dan kecintaannya tergeser oleh (kelakuannya) sendiri.
Di lempir 22-23 ada pernyataan yang menarik tentang “jalan yang tunggal” dan “tempat yang tak terbatas”. Berikut kutipannya:
… kitu urang janma ini ulah dek ingkah ti janma lamun timu na janma mulah eta dimana eta kana kilang mantuturkon (mantuturkeun) jati swarangan nuturkon (nuturkeun) jalan nu bener hanto (hanteu) jalan dwa, tilu, nu trisna jalan sahiji to (teu) aya ngenca ngatuhu ja datar kana tangkal masana tilas masana patemonang (pateumenang) hingan.
(.....Maka kita (sebagai manusia) janganlah bergeser dari kemanusiaan, karena sudah ditemukan manusia, janganlah hal itu dijadikan alasan untuk menurutkan kesejatian sendiri. Mengikuti jalan yang benar, bukan dua atau tiga jalan kerinduan. Jalan yang tunggal, tak ada belokan ke kiri ke kanan karena datar (lurus) menuju batang pohon bekas tempat yang tak terbatas).
Kepustakaan
Ayatrohaedi. 2001. “Nganjang ka Kalanggengan, Agama Orang Sunda Pra-Islam Menurut Naskah”, dalam Rosidi, Ajip. 2003. Tulak Bala, Sistim Pertahanan Tradisional Masyarakat Sunda dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda. Bandung: Pusat Studi Sunda.
Noorduyn J. dan A. Teeuw. 2009. Tiga Pustaka Sunda Kuna. Diterjemahkan oleh Hawe Setiawan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sumber
http://www.wacananusantara.org
Sementara itu, bila kita perhatikan lempir pertama naskah ini yang langsung diawali dengan kalimat “luhur tan hana rahina wengi” ada kesan bahwa seharusnya ada bagian yang mengawali kalimat tersebut. Apalagi bila kita perhatikan bahwa lempir itu tidak diawali dengan ciri yang biasa sebagaimana terdapat pada awal sebuah naskah, yakni ciri kalimat pembuka/pengantar, maka dugaan bahwa awal naskah ini tak komplit cukup beralasan. Jadi, sekurang-kurangnya ada satu lempir bagian awal naskah yang tak ada, mungkin hilang, atau mungkin susah sebegitu rusaknya sehingga “hilang” juga akhirnya dari rangkaian naskah.
Kawih Paningkes memuat ajaran agama campuran antara Hindu, Buddha, dengan kepercayaan asli orang Sunda. Istilah-istilah seperti dewa, dewata, sri, mahayoga, dan moksah yang terdapat dalam ajaran Hindu dan Buddha ditemukan bersama-sama dengan nama pohaci dan istilah-istilah dari kebudayaan “asli” Sunda seperti wirumananggay, kahyangan, sanghyang, dan puhun.
Dalam naskah ini terlihat bahwa ajaran pituin/asli Sunda bisa “satu level di atas” atau “mengatasi” (menurut Ayatrohaedi) ajaran Hindu maupun Buddha. Berikut kutipannya (lempir 19):
… baruk da sang wiku lamun muja ka dewata longit (leungit) kawikwana na pandita lamun samadi mihdap hyang dewata hilang na kapanditaan ja kassarkon (kassarkeun) katinong (katineung) sarwa dingan trisna trisna bala swarangan.
… katanya, kalau wiku memuja dewata, hilanglah kewikuannya. Jika pendeta bersemadi (memuja) dewata, hilangkah kependetaannya, karena perhatian dan kecintaannya tergeser oleh (kelakuannya) sendiri.
Di lempir 22-23 ada pernyataan yang menarik tentang “jalan yang tunggal” dan “tempat yang tak terbatas”. Berikut kutipannya:
… kitu urang janma ini ulah dek ingkah ti janma lamun timu na janma mulah eta dimana eta kana kilang mantuturkon (mantuturkeun) jati swarangan nuturkon (nuturkeun) jalan nu bener hanto (hanteu) jalan dwa, tilu, nu trisna jalan sahiji to (teu) aya ngenca ngatuhu ja datar kana tangkal masana tilas masana patemonang (pateumenang) hingan.
(.....Maka kita (sebagai manusia) janganlah bergeser dari kemanusiaan, karena sudah ditemukan manusia, janganlah hal itu dijadikan alasan untuk menurutkan kesejatian sendiri. Mengikuti jalan yang benar, bukan dua atau tiga jalan kerinduan. Jalan yang tunggal, tak ada belokan ke kiri ke kanan karena datar (lurus) menuju batang pohon bekas tempat yang tak terbatas).
Kepustakaan
Ayatrohaedi. 2001. “Nganjang ka Kalanggengan, Agama Orang Sunda Pra-Islam Menurut Naskah”, dalam Rosidi, Ajip. 2003. Tulak Bala, Sistim Pertahanan Tradisional Masyarakat Sunda dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda. Bandung: Pusat Studi Sunda.
Noorduyn J. dan A. Teeuw. 2009. Tiga Pustaka Sunda Kuna. Diterjemahkan oleh Hawe Setiawan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sumber
http://www.wacananusantara.org
Selasa, 30 Maret 2010
Survei: Kesadaran akan Dampak Negatif Facebook Rendah
Para pengguna internet di Indonesia ternyata banyak yang mengaku belum sadar akan dampak negatif situs jejaring sosial semacam Facebook. Mereka hanya melihat Facebook dari sisi manfaatnya saja.
Demikian hasil survei yang dilakukan Masyarakat Internet Indonesia (Master). Survei menggunakan kuesioner, baik wawancara langsung maupun melalui internet (email dan jejaring sosial) dari 5 Januari hingga 5 Maret 2010 di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Balikpapan, Denpasar dan Batam.
Menurut Koordinator Master, Heru S, dari survei yang dilakukan ada 1000 jawaban responden yang terkumpul. Berdasar survei dengan tingkat kepercayaan 95%, sampling error +/- 3,3% ini, mayoritas pengguna internet (91%) terhubung ke situs jejaring sosial dan menganggap bahwa jejaring sosial bermanfaat.
Tidak mengherankan jika situs jejaring sosial seperti Facebook menjadi situs yang paling sering dikunjungi pengguna internet Indonesia (21%).
Mayoritas pengakses jejaring sosial lebih menyukai Facebook (73%) dibanding Twitter. Menurut Heru, responden menganggap Facebook menarik karena bisa menghubungkan pertemanan (19%), menggalang people power atau kekuatan massa (19%), serta dapat membaca status (18%), yang kemudian bisa dikomentari (16%).
"Namun, pengguna jaringan sosial mayoritas belum sadar dan tidak sadar (total 58%) akan dampak negatif jejaring sosial," jelas Heru kepada detikINET melalui surat elektronik, Senin (29/3/2010).
Dari hasil survei didapat pula bahwa pengguna internet mayoritas menggunakan layanan internet untuk pertemanan (31%), mencari informasi (27%) dan membaca berita (15%).
Mayoritas pengguna Facebook mendapatkan teman baru setelah bergabung di Facebook, kemudian melakukan reuni dengan teman-teman lama, serta bergabung dalam aktivitas gerakan sosial berbasis jejaring sosial.
Para pengguna internet yang disurvei oleh Master ini rata-rata mengeluarkan dana sebesar Rp 200 ribu hingga 500 ribu per bulan untuk koneksi data internetnya.
Sumber
Detik.com
Demikian hasil survei yang dilakukan Masyarakat Internet Indonesia (Master). Survei menggunakan kuesioner, baik wawancara langsung maupun melalui internet (email dan jejaring sosial) dari 5 Januari hingga 5 Maret 2010 di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Balikpapan, Denpasar dan Batam.
Menurut Koordinator Master, Heru S, dari survei yang dilakukan ada 1000 jawaban responden yang terkumpul. Berdasar survei dengan tingkat kepercayaan 95%, sampling error +/- 3,3% ini, mayoritas pengguna internet (91%) terhubung ke situs jejaring sosial dan menganggap bahwa jejaring sosial bermanfaat.
Tidak mengherankan jika situs jejaring sosial seperti Facebook menjadi situs yang paling sering dikunjungi pengguna internet Indonesia (21%).
Mayoritas pengakses jejaring sosial lebih menyukai Facebook (73%) dibanding Twitter. Menurut Heru, responden menganggap Facebook menarik karena bisa menghubungkan pertemanan (19%), menggalang people power atau kekuatan massa (19%), serta dapat membaca status (18%), yang kemudian bisa dikomentari (16%).
"Namun, pengguna jaringan sosial mayoritas belum sadar dan tidak sadar (total 58%) akan dampak negatif jejaring sosial," jelas Heru kepada detikINET melalui surat elektronik, Senin (29/3/2010).
Dari hasil survei didapat pula bahwa pengguna internet mayoritas menggunakan layanan internet untuk pertemanan (31%), mencari informasi (27%) dan membaca berita (15%).
Mayoritas pengguna Facebook mendapatkan teman baru setelah bergabung di Facebook, kemudian melakukan reuni dengan teman-teman lama, serta bergabung dalam aktivitas gerakan sosial berbasis jejaring sosial.
Para pengguna internet yang disurvei oleh Master ini rata-rata mengeluarkan dana sebesar Rp 200 ribu hingga 500 ribu per bulan untuk koneksi data internetnya.
Sumber
Detik.com
Anak-anak Kian Rentan Dimangsa Penjahat Internet
Kehadiran situs jejaring sosial macam Facebook ternyata juga memikat anak-anak dengan kisaran usia 8-12 tahun. Padahal anak-anak rentan menjadi mangsa para predator yang berkeliaran di internet.
Itulah yang terungkap dari sebuah survei yang dilakukan pengawas media, Ofcom. Dari survei tersebut ditemukan bahwa satu dari empat anak berusia 8-12 tahun memiliki profil di situs jejaring sosial, salah satunya adalah di Facebook.
Fakta ini tentu mengundang kekhawatiran karena anak-anak rentan menjadi mangsa para predator di internet. Yang lebih memprihatinkan, para orang tua mengaku tidak tahu bahwa buah hati mereka menyambangi situs jejaring sosial, sehingga mereka tidak memantau aktivitas putra-putri mereka di dunia maya.
"Di saat muncul kekhawatiran tentang meningkatnya risiko (ekploitasi) terhadap anak, justru tidak ada peningkatkan pengawasan dari orang tua," ujar Ofcom.
Menurut Ofcom, seperti detikINET kutip dari Mirror, Senin (29/3/2010), satu dari tujuh anak berusia 8-15 tahun begitu mudah mengumbar profil pribadi mereka di internet. Tentunya ini memperbesar risiko anak-anak menjadi korban predator.
"Dari survey yang melibatkan 2.131 anak, juga terungkap bahwa 3 dari 10 anak berusia 12-15 tahun memiliki komputer di kamar tidur mereka," tandas Ofcom.
Sumber
detik.com
Wikipedia Sedikit Ubah Penampilan
Situs perpustakaan internet Wikipedia mendesain uang tampilan yang versi betanya telah diuji oleh 500 ribu pengguna dan akan mulai tampil per 5 April ini. Sedikit perombakan pada tampilan awal dan perubahan pada navigasi situs menjadi lebih standar – tapi yang terpenting adalah desain baru memudahkan dalam mengedit.
"Mengedit halaman akan lebih mudah, berkat toolbar pengeditan baru. Dan kita telah menyederhanakan navigasi situs, memindahkan kotak pencarian untuk memenuhi harapan pengguna dan mengikuti standar web lain, mengurangi beberapa kekacauan," kata Naoko Komura, manajer program Stanton Wikimedia Foundation Usability Project, dalam blogpost-nya.
Berdasarkan studi, ensiklopedia online Wikipedia merupakan situs internet terbesar ke enam ditulis 75 persen lelaki berusia rata-rata 25 tahun. Sebanyak 500 juta pengguna per bulan memperoleh informasi dari situs ini.
Studi ini menemukan sebanyak 80% pengguna menyatakan bersedia ikut berkontribusi dalam mengedit bahasa Wikipedia. Pada saat ini, hanya 1% pengguna Wikipedia bertanggung jawab atas setengah dari situs pengeditan. Beberapa bulan lalu penelitian menemukan pertumbuhan Wikipedia melambat.
Dari temuan Wikipedia Foundation pada pembaca multibahasa Wikipedia, para pengguna berusia di atas 45 tahun cenderung merasa terhambat untuk melakukan perubahan kecil pada data. Mereka takut melakukan pelanggaran. Adapun pengguna berusia muda cenderung berani belajar melakukan perubahan.
Wikipedia berencana memperkenalkan perubahan itu lebih radikal pada tahun mendatang: mengurangi jumlah kode Wiki dalam sistem edit; sehingga memungkinkan para pengguna mengubah data dalam tabel dan informasi kotak melalui bentuk-bentuk sederhana, dan menyediakan kerangka baru penelusuran artikel panjang saat menyuntingnya
GUARDIAN | PURW
Sumber
TEMPO Interaktif, Jakarta
Teknologi untuk Perpendek Rute ke Mobile Web
Pada acara CTIA Wireless 2010, Nokia Siemens Networks meluncurkan upgrade teknologi jaringan bergerak inti yang memungkinkan operator memberikan layanan Internet bergerak yang lebih cepat dan efisien.
Upgrade ini memungkinkan operator untuk mengurangi beban trafik Internet pada titik optimal dalam jaringan - biasanya dekat dengan titik peering internet - untuk meminimalkan jarak transmisi. Hal ini menghemat biaya pemprosesan transport dan trafik.
“Operator biasanya perlu memasang server yang relatif mahal untuk memproses lalu lintas data bergerak,” kata Matti Palomaki, head of Packet Core product management Nokia Siemens Networks, pada keterangannya, 30 Maret 2010.
Palomaki menyebutkan, pendekatan baru mereka memungkinkan lalu lintas internet bervolume tinggi, atau trafik spesifik operator manapun, untuk mem-bypass server pemrosesan dan paket core gateway nodes (GGSN) yang terpasang. “Dalam era pertumbuhan data yang dipengaruhi oleh pemakaian telepon pintar, offload trafik dapat memberikan penghematan yang signifikan dalam jaringan HSPA dan LTE generasi mendatang,” ucapnya.
‘Traffic offload’ dapat dipasang di seluruh Flexi Network Gateway (NG) Nokia Siemens Networks dan merupakan upgrade software sederhana terhadap Serving GPRS Support Node (SGSN).
Flexi NG dan SGSN sendiri merupakan elemen kunci dari evolved packet core (EPC) Nokia Siemens Networks. ‘Traffic offload’ dapat dipasang dalam gateway terdistribusi maupun terpusat dalam jaringan 2G, 3G atau LTE. Adapun fase pertama “traffic offload” saat ini sudah tersedia.
Arsitektur jaringan untuk traffic offload, sebut Palomaki, sangat sederhana. Karena pengurangan beban trafik terjadi dalam Flexi NG mobile gateway, maka tidak diperlukan elemen jaringan tambahan dalam jalur pensinyalan dan data.
Solusi ini mendukung mobilitas pelanggan secara optimal dan dapat mengurangi keterlambatan dalam transmisi data untuk memperbaiki pengalaman mereka yang menggunakan aplikasi-aplikasi real-time dalam jaringan layanan bergerak.
Dalam kasus di mana sebuah operator telah mendistribusikan titik peering internet, Flexi NG dapat dengan mudah dipasang sebagai gateway terdistribusi di masing-masing titik tersebut untuk mengurangi biaya jaringan transport, sementara SGSN secara cerdas memilih mobile gateway yang paling dekat ke pelanggan.
Sumber
VIVAnews
Pisau Swiss Army Kini Dilengkapi "Memory Stick"
Untuk pertama kalinya pisau Swiss Army buatan Victorinox dilengkapi memory stick, tidak hanya pisau, gunting, dan alat lainnya. Selain itu, memori yang digunakan diklaim sangat aman dan tak bisa ditembus hacker.
Saking percaya diri, Victorinox sampai menjanjikan hadiah 100.000 poundsterling bagi siapa saja bisa menembus sistem keamanan memory stick tersebut saat meluncurkannya di London, pekan lalu. Namun, ternyata tak ada yang sanggup melakukannya.
Pengamanan memori tersebut memang berlapis-lapis, mulai dari pengenal sidik jari, sensor panas tubuh, hingga enkripsi AES256. Juga ditambah penggunaan Platform Schnuffi pada teknologi cip tunggal yang dipatenkan Victorinox.
Pisau yang diberi nama Secure Pro ini tersedia dalam pilihan dengan memori 8 GB hingga 32 GB seharga antara 50-180 poundsterling. Selain memory stick, perkakas yang ada di dalamnya, antara lain, lampu LED warna putih sebagai penanda, pisau, bolpoin, gunting, gunting kuku, obeng, dan gantungan.
Sumber
LONDON, KOMPAS.com
Aria Wiraraja
Aria Wiraraja atau Banyak Wide adalah tokoh pengatur siasat Raden Wijaya dalam usaha penaklukan Kadiri tahun 1293 dan pendirian Kerajaan Majapahit. Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Harsawijaya mengisahkan Arya Wiraraja semula menjabat sebagai rakryan demung pada masa pemerintahan Kertanagara di Singasari. Namun karena sikapnya menentang politik luar negeri raja, ia pun dipindahkan menjadi Bupati Sumenep.
Wiraraja merasa sakit hati. Ia mengetahui kalau Jayakatwang, Bupati Gelang-Gelang, berniat memberontak. Jayakatwang ingin membalas kekalahan leluhurnya, yaitu Kertajaya raja terakhir Kadiri yang digulingkan oleh Ken Arok pendiri Kerajaan Tumapel (Singasari). Wiraraja pun mengirim surat melalui putranya yang bernama Wirondaya, yang berisi saran supaya Jayakatwang segera melaksanakan niatnya, karena saat itu sebagian besar tentara Singasari sedang berada di luar Jawa. Maka pada tahun 1292, terjadilah serangan pasukan Gelang-Gelang terhadap ibukota Singasari. Kertanagara tewas di istana. Jayakatwang lalu membangun kembali negeri leluhurnya, yaitu Kadiri dan menjadi raja di sana.
Persekutuan Aria Wiraraja dengan Raden Wijaya
Menantu Kertanagara yang bernama Nararya Sanggramawijaya (dikenal Raden Wijaya) mengungsi ke Sumenep, Pulau Madura, meminta perlindungan Aria Wiraraja. Semasa muda, Wiraraja pernah mengabdi pada Narasingamurti, kakek Raden Wijaya. Maka, ia pun bersedia membantu sang pangeran untuk menggulingkan Jayakatwang. Raden Wijaya bersumpah jika ia berhasil merebut kembali takhta mertuanya, maka kekuasaannya akan dibagi dua, yaitu untuk dirinya dan untuk Wiraraja.
Mula-mula Wiraraja menyarankan agar Raden Wijaya pura-pura menyerah ke Kadiri. Atas jaminan darinya, Raden Wijaya dapat diterima dengan baik oleh Jayakatwang. Sebagai bukti takluk, Raden Wijaya siap membuka Hutan Tarik, di sekitar Sidoarjo, menjadi kawasan wisata bagi Jayakatwang yang gemar berburu. Jayakatwang mengabulkannya. Raden Wijaya dibantu orang-orang Madura kiriman Wiraraja membuka hutan tersebut, dan mendirikan desa Majapahit di dalamnya.
Pada tahun 1293 datang tentara Mongol untuk menghukum Kertanagara yang berani menyakiti utusan Kubilai Khan tahun 1289. Raden Wijaya selaku ahli waris Kertanagara siap menyerahkan diri asalkan ia terlebih dahulu dibantu oleh pasukan Mongol untuk memerdekakan diri dari Jayakatwang. Maka bergabunglah pasukan Mongol dan Majapahit menyerbu ibukota Kadiri. Setelah Jayakatwang kalah, pihak Majapahit ganti mengusir pasukan Mongol dari tanah Jawa.
Menurut Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Harsawijaya, pasukan Mongol diundang oleh Wiraraja untuk membantu Raden Wijaya mengalahkan Kadiri, dengan imbalan dua orang putri untuk diperistri Kaisar Mongol Kublai Khan.
Jabatan Aria Wiraraja di Majapahit
Raden Wijaya menjadi raja pertama Majapahit yang merdeka tahun 1293. Dari Prasasti Kudadu (1294) diketahui jabatan Aria Wiraraja adalah sebagai pasangguhan dengan gelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka. Pada prasasti Penanggungan (1296) nama Wiraraja sudah tidak lagi dijumpai. Penyebabnya ialah pada tahun 1295 salah satu putra Wiraraja yang bernama Ranggalawe melakukan pemberontakan dan menemui kematiannya. Peristiwa itu membuat Wiraraja sakit hati dan mengundurkan diri dari jabatannya. Ia lalu menuntut janji Raden Wijaya, yaitu setengah wilayah Majapahit. Raden Wijaya mengabulkannya. Wiraraja akhirnya mendapatkan Majapahit sebelah timur dengan ibukota di Lumajang.
Akhir Kemerdekaan Majapahit Timur
Pararaton menyebutkan pada tahun 1316 terjadi “pemberontakan” Nambi di Lumajang terhadap Jayanagara, raja kedua Majapahit. Ketika itu Nambi menjabat sebagai patih amangkubhumi Majapahit.Kidung Sorandaka mengisahkan pemberontakan tersebut terjadi setelah kematian ayah Nambi yang bernama Pranaraja. Sedangkan, Pararaton dan Kidung Harsawijaya menyebut Nambi adalah putra Wiraraja, padahal lebih tepat sebagai adik Wiraraja adn paman Ranggalawe.
Berdasarkan analisis Slamet Muljana dengan menggunakan bukti Prasasti Kudadu dan Prasasti Penanggungan (2006), Wiraraja lebih tepat sebagai ayah Ranggalawe. Tidak diketahui dengan pasti apakah Wiraraja masih hidup pada tahun 1316. Yang jelas, setelah kekalahan Nambi, daerah Lumajang kembali bersatu dengan Majapahit bagian barat. Ini berarti penguasa Majapahit Timur saat itu (entah dikuasai Wiraraja atau penggantinya) bergabung dengan Nambi yang terbunuh oleh serangan pasukan Majapahit Barat.
Kepustakaan
Muljana, Slamet. 2006. Menuju Puncak Kemegahan. Yogyakarta: LKiS.
_____ . 2005. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Yogyakarta: LKiS
Sumber
http://www.wacananusantara.org/
Wiraraja merasa sakit hati. Ia mengetahui kalau Jayakatwang, Bupati Gelang-Gelang, berniat memberontak. Jayakatwang ingin membalas kekalahan leluhurnya, yaitu Kertajaya raja terakhir Kadiri yang digulingkan oleh Ken Arok pendiri Kerajaan Tumapel (Singasari). Wiraraja pun mengirim surat melalui putranya yang bernama Wirondaya, yang berisi saran supaya Jayakatwang segera melaksanakan niatnya, karena saat itu sebagian besar tentara Singasari sedang berada di luar Jawa. Maka pada tahun 1292, terjadilah serangan pasukan Gelang-Gelang terhadap ibukota Singasari. Kertanagara tewas di istana. Jayakatwang lalu membangun kembali negeri leluhurnya, yaitu Kadiri dan menjadi raja di sana.
Persekutuan Aria Wiraraja dengan Raden Wijaya
Menantu Kertanagara yang bernama Nararya Sanggramawijaya (dikenal Raden Wijaya) mengungsi ke Sumenep, Pulau Madura, meminta perlindungan Aria Wiraraja. Semasa muda, Wiraraja pernah mengabdi pada Narasingamurti, kakek Raden Wijaya. Maka, ia pun bersedia membantu sang pangeran untuk menggulingkan Jayakatwang. Raden Wijaya bersumpah jika ia berhasil merebut kembali takhta mertuanya, maka kekuasaannya akan dibagi dua, yaitu untuk dirinya dan untuk Wiraraja.
Mula-mula Wiraraja menyarankan agar Raden Wijaya pura-pura menyerah ke Kadiri. Atas jaminan darinya, Raden Wijaya dapat diterima dengan baik oleh Jayakatwang. Sebagai bukti takluk, Raden Wijaya siap membuka Hutan Tarik, di sekitar Sidoarjo, menjadi kawasan wisata bagi Jayakatwang yang gemar berburu. Jayakatwang mengabulkannya. Raden Wijaya dibantu orang-orang Madura kiriman Wiraraja membuka hutan tersebut, dan mendirikan desa Majapahit di dalamnya.
Pada tahun 1293 datang tentara Mongol untuk menghukum Kertanagara yang berani menyakiti utusan Kubilai Khan tahun 1289. Raden Wijaya selaku ahli waris Kertanagara siap menyerahkan diri asalkan ia terlebih dahulu dibantu oleh pasukan Mongol untuk memerdekakan diri dari Jayakatwang. Maka bergabunglah pasukan Mongol dan Majapahit menyerbu ibukota Kadiri. Setelah Jayakatwang kalah, pihak Majapahit ganti mengusir pasukan Mongol dari tanah Jawa.
Menurut Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Harsawijaya, pasukan Mongol diundang oleh Wiraraja untuk membantu Raden Wijaya mengalahkan Kadiri, dengan imbalan dua orang putri untuk diperistri Kaisar Mongol Kublai Khan.
Jabatan Aria Wiraraja di Majapahit
Raden Wijaya menjadi raja pertama Majapahit yang merdeka tahun 1293. Dari Prasasti Kudadu (1294) diketahui jabatan Aria Wiraraja adalah sebagai pasangguhan dengan gelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka. Pada prasasti Penanggungan (1296) nama Wiraraja sudah tidak lagi dijumpai. Penyebabnya ialah pada tahun 1295 salah satu putra Wiraraja yang bernama Ranggalawe melakukan pemberontakan dan menemui kematiannya. Peristiwa itu membuat Wiraraja sakit hati dan mengundurkan diri dari jabatannya. Ia lalu menuntut janji Raden Wijaya, yaitu setengah wilayah Majapahit. Raden Wijaya mengabulkannya. Wiraraja akhirnya mendapatkan Majapahit sebelah timur dengan ibukota di Lumajang.
Akhir Kemerdekaan Majapahit Timur
Pararaton menyebutkan pada tahun 1316 terjadi “pemberontakan” Nambi di Lumajang terhadap Jayanagara, raja kedua Majapahit. Ketika itu Nambi menjabat sebagai patih amangkubhumi Majapahit.Kidung Sorandaka mengisahkan pemberontakan tersebut terjadi setelah kematian ayah Nambi yang bernama Pranaraja. Sedangkan, Pararaton dan Kidung Harsawijaya menyebut Nambi adalah putra Wiraraja, padahal lebih tepat sebagai adik Wiraraja adn paman Ranggalawe.
Berdasarkan analisis Slamet Muljana dengan menggunakan bukti Prasasti Kudadu dan Prasasti Penanggungan (2006), Wiraraja lebih tepat sebagai ayah Ranggalawe. Tidak diketahui dengan pasti apakah Wiraraja masih hidup pada tahun 1316. Yang jelas, setelah kekalahan Nambi, daerah Lumajang kembali bersatu dengan Majapahit bagian barat. Ini berarti penguasa Majapahit Timur saat itu (entah dikuasai Wiraraja atau penggantinya) bergabung dengan Nambi yang terbunuh oleh serangan pasukan Majapahit Barat.
Kepustakaan
Muljana, Slamet. 2006. Menuju Puncak Kemegahan. Yogyakarta: LKiS.
_____ . 2005. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Yogyakarta: LKiS
Sumber
http://www.wacananusantara.org/
Arca Raja Majapahit
Ada kebiasaan yang berkembang pada masyarakat Jawa Kuno (masa Jawa Timur) untuk membuatkan arca dewa bagi raja yang sudah meninggal dunia. Arca itu kemudian disimpan di dalam suatu candi yang merupakan pendharmaan (pengabdian) raja tersebut yang dinamakan dhinarma. Tradisi seperti ini tidak dikenal di India. Tradisi ini merupakan kelanjutan dari pemujaan yang telah berakar jauh dalam kebudayaan Indonesia.
Dalam kitab Nágarakrtágama disebutkan bahwa ada sembilan orang tokoh, raja dan pejabat pemerintah yang dibuatkan arca dan candi pendharmaan sesudah tokoh tersebut 12 tahun meninggal dunia. Tiga orang di antaranya berasal dari Majapahit, yakni;
1. Raja Krtarajasa Jajawardhana yang didharmakan di Antahpura, diarcakan sebagai Jina di Simping sebagai arca Siwa.
2. Raja Jayanagara didharmakan di dalam pura dan diarcakan sebagai Wisnu di Shila Ptak dan Bubat, dan sebagai Amogasiddi di Sukhalila.
3. Sri Rajapatni Gayatri didharmakan dan diarcakan sebagai Pranaparamita di Bhayalango.
Raja Krtarajasa
Arca Harihara, dewa gabungan Siwa dan Wisnu sebagai penggambaran Kertarajasa.
Berlokasi semula di Candi Simping - Blitar.
(Koleksi Museum Nasional Republik Indonesia.)
Raja Krtarajasa Jayawardhana atau Raden Wijaya adalah raja pertama dan pendiri Kerajaan Majapahit. Tempat pendaharmaannya adalah di Antahpura, tidak diketahui lokasinya, dan arcanya sebagai Jina pun tidak pernah ditemukan. Candi pendharmaan Raden Wijaya di Simping yang oleh F.D.K. Bosch diidentifikasi sebagai Candi Sumberjati, didasari oleh penelusuran rute perjalanan ziarah raja Hayam Wuruk ke arah utara menuju Surabhana (Surawana) melalui Plasa menunju Simping, dan peninggalan candi yang ada di sekitar itu adalah candi Sumberjati.
Dari candi ini diperoleh sebuah arca Harihara Krtarajasa yang semula diduga berasal dari Ngrimbi. Namun menurut Nágarakrtágama pupuh 47:3 raja Krtarajasa diarcakan sebagai Siwa (Saiwapratista) di Simping dan meninggal dunia pada tahun 1309. Keterangan ini menjadi acuan temuan di Candi Sumberjati, yaitu arca Siwa dalam bentuk Harihara. Harihara adalah salah satu manifestasi Siwa dalam bentuk persatuan Siwa (Hara) dan Wisnu (Hari).
Raja Jayanagara
Jayanagara diangkat menjadi raja pada usia yang sangat belia dan meninggal di usia muda sehingga masa pemerintahannya memang singkat. Semasa berkuasa Raja Jayanagara bersikap otoriter sehingga muncul berbagai pergolakan yang menggoyang pemerintahannya. Sampai kini belum diketahui letak candi dan arca pendharmaan-nya sebagai Wisnu dan Amogasiddhi.
Sri Rajapatni Gayatri
Rajapatni adalah salah satu putri Krtanagara, raja Singhasari terakhir yang juga menjadi istri Raden Wijaya. Dari sang raja ini ia tidak mempunyai generasi penerus. Ia berhak atas tahta namun Rajaptni lebih memilih menjadi petapa.
Dalam kitab Nágarakrtágama diceritakan dengan jelas upacara Sraddha yang dilakukan 12 tahun sesudah meninggalnya Rajapatni. Disebutkan bahwa Hayam Wuruk (cucu Rajapatni) dan seluruh kerabatnya sangat menghormati Rajapatni dan tampaknya ia merupakan tokoh yang terkenal dan dicintai seluruh kerabat keraton.
Candi pendharmaan Rajapatni adalah Bhayalango. Arcanya dalam bentuk Prajnaparamita, Dewi Kebijaksanaan Ilahi, salah satu dewi tertinggi dalam agama Budha. Desa Bayanglo di daerah Tulungagung masih mempunyai sisa-sisa candi dan arca, jadi mungkin candi di Bayalangu inilah pendharmaan Rajapatni yang disebutkan dalam Nágarakrtágama.
Dalam candi Bayalango ini hanya tertinggal bagian alas-batur saja, tidak ada struktur tubuh dan atap candi; mungkin dulu bangunan candinya dibuat dari bahan yang tidak tahan lama. Di atas batur ini terdapat sebuah arca besar dalam sikap duduk bersila dan tangannya bersikap dhyanamudra; sayang bagian kepalanya sudah hilang. Arca ini menggambarkan Prajnaparamita, yang cocok dengan apa yang disebutkan dalam Nágarakrtágama tentang arca Rajapatni.
Arca Prajnaparamita Bayalango mengenakan pakaian dan perhiasan yang raya, seperti kalung dan gelang bahu. Karena poisisi arca ini duduk, motif kainnya kurang begitu jelas. Pengerjaan pahatan arca ini sangat halus, menunjukkan hasil karya seni yang bermutu tinggi.
Arca pendharmaan tidak menggambarkan wujud fisik tokoh yang diarcakan karena tidak dimaksudkan untuk upacara penguburan. Bahkan tujuan utama pelaksanaan upacara sradha yang diikuti pendirian arca dan bangunan penyimpanannya merupakan upacara pelepasan roh dari ikatan keduniawian. Dengan upacara tersebut maka roh si mati tidak lagi menjadi pirata, yaitu roh yang berkeliaran di dunia bawah yang dapat mengganggu mahluk lain, melainkan menjadi pitara, yaitu roh leluhur yang sudah berbahagia di khayangan para dewa yang dulu dipuja semasa hidupnya.
Ciri-ciri khusus yang selama ini dianggap sebagai ciri “arca perwujudan”—kaku dan matanya tertutup—sebenarnya tidak menggambarkan tokoh yang sudah meninggal, melainkan menggambarkan roh tokoh tersebut. Oleh karena itu arca-arca yang demikian tidak disebut sebagai arca perwujudan melainkan “arca leluhur” meskipun mempunyai ciri kedewaan.
Ciri kedewaan ini menggambarkan roh yang sudah menjadi bhatara, setingkat dewa. Arca dari masa Jawa Timur ini dapat dikelompokkan ke dalam arca leluhur. Arca-arca ini tidak mendapat pengaruh India, namun merupakan hasil tradisi khas masyarakat Jawa Kuno.
Sumber tulisan, http://www.majapahit-kingdom.com/cms/index.php?option=com_content&task=view&id=24&Itemid=10
Dalam kitab Nágarakrtágama disebutkan bahwa ada sembilan orang tokoh, raja dan pejabat pemerintah yang dibuatkan arca dan candi pendharmaan sesudah tokoh tersebut 12 tahun meninggal dunia. Tiga orang di antaranya berasal dari Majapahit, yakni;
1. Raja Krtarajasa Jajawardhana yang didharmakan di Antahpura, diarcakan sebagai Jina di Simping sebagai arca Siwa.
2. Raja Jayanagara didharmakan di dalam pura dan diarcakan sebagai Wisnu di Shila Ptak dan Bubat, dan sebagai Amogasiddi di Sukhalila.
3. Sri Rajapatni Gayatri didharmakan dan diarcakan sebagai Pranaparamita di Bhayalango.
Raja Krtarajasa
Arca Harihara, dewa gabungan Siwa dan Wisnu sebagai penggambaran Kertarajasa.
Berlokasi semula di Candi Simping - Blitar.
(Koleksi Museum Nasional Republik Indonesia.)
Raja Krtarajasa Jayawardhana atau Raden Wijaya adalah raja pertama dan pendiri Kerajaan Majapahit. Tempat pendaharmaannya adalah di Antahpura, tidak diketahui lokasinya, dan arcanya sebagai Jina pun tidak pernah ditemukan. Candi pendharmaan Raden Wijaya di Simping yang oleh F.D.K. Bosch diidentifikasi sebagai Candi Sumberjati, didasari oleh penelusuran rute perjalanan ziarah raja Hayam Wuruk ke arah utara menuju Surabhana (Surawana) melalui Plasa menunju Simping, dan peninggalan candi yang ada di sekitar itu adalah candi Sumberjati.
Dari candi ini diperoleh sebuah arca Harihara Krtarajasa yang semula diduga berasal dari Ngrimbi. Namun menurut Nágarakrtágama pupuh 47:3 raja Krtarajasa diarcakan sebagai Siwa (Saiwapratista) di Simping dan meninggal dunia pada tahun 1309. Keterangan ini menjadi acuan temuan di Candi Sumberjati, yaitu arca Siwa dalam bentuk Harihara. Harihara adalah salah satu manifestasi Siwa dalam bentuk persatuan Siwa (Hara) dan Wisnu (Hari).
Raja Jayanagara
Jayanagara diangkat menjadi raja pada usia yang sangat belia dan meninggal di usia muda sehingga masa pemerintahannya memang singkat. Semasa berkuasa Raja Jayanagara bersikap otoriter sehingga muncul berbagai pergolakan yang menggoyang pemerintahannya. Sampai kini belum diketahui letak candi dan arca pendharmaan-nya sebagai Wisnu dan Amogasiddhi.
Sri Rajapatni Gayatri
Rajapatni adalah salah satu putri Krtanagara, raja Singhasari terakhir yang juga menjadi istri Raden Wijaya. Dari sang raja ini ia tidak mempunyai generasi penerus. Ia berhak atas tahta namun Rajaptni lebih memilih menjadi petapa.
Dalam kitab Nágarakrtágama diceritakan dengan jelas upacara Sraddha yang dilakukan 12 tahun sesudah meninggalnya Rajapatni. Disebutkan bahwa Hayam Wuruk (cucu Rajapatni) dan seluruh kerabatnya sangat menghormati Rajapatni dan tampaknya ia merupakan tokoh yang terkenal dan dicintai seluruh kerabat keraton.
Candi pendharmaan Rajapatni adalah Bhayalango. Arcanya dalam bentuk Prajnaparamita, Dewi Kebijaksanaan Ilahi, salah satu dewi tertinggi dalam agama Budha. Desa Bayanglo di daerah Tulungagung masih mempunyai sisa-sisa candi dan arca, jadi mungkin candi di Bayalangu inilah pendharmaan Rajapatni yang disebutkan dalam Nágarakrtágama.
Dalam candi Bayalango ini hanya tertinggal bagian alas-batur saja, tidak ada struktur tubuh dan atap candi; mungkin dulu bangunan candinya dibuat dari bahan yang tidak tahan lama. Di atas batur ini terdapat sebuah arca besar dalam sikap duduk bersila dan tangannya bersikap dhyanamudra; sayang bagian kepalanya sudah hilang. Arca ini menggambarkan Prajnaparamita, yang cocok dengan apa yang disebutkan dalam Nágarakrtágama tentang arca Rajapatni.
Arca Prajnaparamita Bayalango mengenakan pakaian dan perhiasan yang raya, seperti kalung dan gelang bahu. Karena poisisi arca ini duduk, motif kainnya kurang begitu jelas. Pengerjaan pahatan arca ini sangat halus, menunjukkan hasil karya seni yang bermutu tinggi.
Arca pendharmaan tidak menggambarkan wujud fisik tokoh yang diarcakan karena tidak dimaksudkan untuk upacara penguburan. Bahkan tujuan utama pelaksanaan upacara sradha yang diikuti pendirian arca dan bangunan penyimpanannya merupakan upacara pelepasan roh dari ikatan keduniawian. Dengan upacara tersebut maka roh si mati tidak lagi menjadi pirata, yaitu roh yang berkeliaran di dunia bawah yang dapat mengganggu mahluk lain, melainkan menjadi pitara, yaitu roh leluhur yang sudah berbahagia di khayangan para dewa yang dulu dipuja semasa hidupnya.
Ciri-ciri khusus yang selama ini dianggap sebagai ciri “arca perwujudan”—kaku dan matanya tertutup—sebenarnya tidak menggambarkan tokoh yang sudah meninggal, melainkan menggambarkan roh tokoh tersebut. Oleh karena itu arca-arca yang demikian tidak disebut sebagai arca perwujudan melainkan “arca leluhur” meskipun mempunyai ciri kedewaan.
Ciri kedewaan ini menggambarkan roh yang sudah menjadi bhatara, setingkat dewa. Arca dari masa Jawa Timur ini dapat dikelompokkan ke dalam arca leluhur. Arca-arca ini tidak mendapat pengaruh India, namun merupakan hasil tradisi khas masyarakat Jawa Kuno.
Sumber tulisan, http://www.majapahit-kingdom.com/cms/index.php?option=com_content&task=view&id=24&Itemid=10
Anusapati
Bhatara Anusapati adalah raja kedua Kerajaan Tumapel (kemudian terkenal dengan Kerajaan Singasari), yang memerintah pada tahun 1227 - 1248 Masehi (versi Nagarakretagama), atau 1247 - 1249 (versi Pararaton).
Versi Pararaton
Menurut Pararaton, Anusapati adalah putra pasangan Tunggul Ametung dan Ken Dedes. Ayahnya dibunuh oleh Ken Arok sewaktu dirinya masih berada dalam kandungan Ken Dedes. Ken Arok kemudian menikahi Ken Dedes dan mengambil alih jabatan Tunggul Ametung sebagai akuwu Tumapel. Kemudian pada tahun 1222 M Ken Arok mengumumkan berdirinya Kerajaan Tumapel. Ia bahkan berhasil meruntuhkan Kerajaan Kadiri di bawah pemerintahan Kertajaya.
Anusapati yang telah tumbuh dewasa merasa kurang disayangi oleh Ken Arok dibanding saudara-saudaranya yang lain, anak Ken Dedes dari Ken Arok. Setelah mendesak ibunya (Ken Dedes), akhirnya ia pun mengetahui bahwa sesungguhnya ia merupakan anak kandung Tunggul Ametung yang mati dibunuh Ken Arok.
Anusapati juga berhasil mendapatkan keris buatan Mpu Gandring yang dulu digunakan Ken Arok untuk membunuh ayahnya. Dengan menggunakan keris itu, pembantu Anusapati yang berasal dari Desa Batil berhasil membunuh Ken Arok saat sedang makan. Anusapati ganti membunuh pembantunya tersebut untuk menghilangkan jejak. Kepada semua orang ia mengumumkan bahwa pembantunya telah gila dan mengamuk hingga menewaskan raja.
Sepeninggal Ken Arok tahun 1247, Anusapati naik takhta. Pemerintahannya dilanda kegelisahan karena cemas akan ancaman balas dendam anak-anak Ken Arok. Puri tempat tinggal Anusapati pun diberi pengawalan ketat, bahkan dikelilingi parit dalam. Meski demikian, Tohjaya putra Ken Arok dari selir bernama Ken Umang tidak kekurangan akal. Suatu hari ia mengajak Anusapati keluar mengadu ayam. Anusapati menurut tanpa curiga karena hal itu memang kegemarannya. Saat Anusapati asyik menyaksikan ayam bertarung, tiba-tiba Tohjaya menusuknya dengan menggunakan keris Mpu Gandring. Anusapati pun tewas seketika. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1249.
Sepeninggal Anusapati, Tohjaya naik takhta. Namun pemerintahannya hanya berlangsung singkat karena ia kemudian tewas pada tahun 1250 akibat pemberontakan Ranggawuni putra Anusapati.
Versi Nagarakretagama
Menurut Nagarakretagama, Anusapati adalah putra dari Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra, pendiri Kerajaan Tumapel. Dengan kata lain, ia adalah putra Ken Arok, karena Nagarakretagama tidak pernah menyebut adanya tokoh Tunggul Ametung.
Dikisahkan pula bahwa Bhatara Anusapati memerintah sejak tahun 1227 menggantikan ayahnya. Pemerintahannya berjalan tenang. Seluruh tanah Jawa aman dan tunduk kepadanya. Anusapati akhirnya meninggal tahun 1248 dan digantikan putranya yang bernama Wisnuwardhana (alias Ranggawuni). Untuk menghormati arwah Anusapati didirikan candi di Kidal, di mana ia dipuja sebagai Siwa.
Misteri Kematian
Nama Anusapati hanya terdapat dalam Pararaton dan Nagarakretagama. Naskah Pararaton ditulis ratusan tahun sesudah zaman Tumapel dan Majapahit. Sedangkan Nagarakretagama ditulis pada pertengahan masa Dyah Hayam Wuruk (1365).
Dalam beberapa hal, uraian Nagarakretagama cenderung lebih dapat dipercaya daripada Pararaton, karena waktu penulisannya jauh lebih awal. Jika dalam Pararaton disebutkan Anusapati mati karena dibunuh Tohjaya, maka menulis Anusapati mati secara wajar.
Ada dua dugaan mengapa Nagarakretagama tidak menceritakan pembunuhan Anusapati.
• Pertama, karena Nagarakretagama merupakan naskah pujian untuk keluarga Hayam Wuruk. Pembunuhan Anusapati yang merupakan leluhur Hayam Wuruk dianggap sebagai aib.
• Kedua, mungkin Anusapati memang benar-benar mati secara wajar, bukan karena dibunuh oleh Tohjaya.
Nama Anusapati memang tidak pernah dijumpai dalam prasasti apa pun, sedangkan nama Tohjaya ditemukan dalam prasasti Mula Malurung tahun 1255 (hanya selisih tujuh tahun setelah kematian Anusapati). Dalam prasasti itu tokoh Tohjaya disebutkan menjadi raja Kadiri menggantikan adiknya yang bernama Guningbhaya. Jadi, pemberitaan Pararaton bahwa Tohjaya adalah raja Tumapel atau Singasari adalah keliru. Berdasarkan prasasti tersebut, tokoh Tohjaya mungkin memang tidak pernah membunuh Anusapati sesuai pemberitaan Nagarakretagama. Jika Tohjaya benar-benar melakukan kudeta disertai pembunuhan, maka sasarannya pasti bukan terhadap Anusapati, melainkan terhadap Guningbhaya.
Kepustakaan
Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
R.M. Mangkudimedja. 1979. Serat Pararaton Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Slamet Muljana. 2006. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: LkiS.
Sumber
http://www.wacananusantara.org/
Versi Pararaton
Menurut Pararaton, Anusapati adalah putra pasangan Tunggul Ametung dan Ken Dedes. Ayahnya dibunuh oleh Ken Arok sewaktu dirinya masih berada dalam kandungan Ken Dedes. Ken Arok kemudian menikahi Ken Dedes dan mengambil alih jabatan Tunggul Ametung sebagai akuwu Tumapel. Kemudian pada tahun 1222 M Ken Arok mengumumkan berdirinya Kerajaan Tumapel. Ia bahkan berhasil meruntuhkan Kerajaan Kadiri di bawah pemerintahan Kertajaya.
Anusapati yang telah tumbuh dewasa merasa kurang disayangi oleh Ken Arok dibanding saudara-saudaranya yang lain, anak Ken Dedes dari Ken Arok. Setelah mendesak ibunya (Ken Dedes), akhirnya ia pun mengetahui bahwa sesungguhnya ia merupakan anak kandung Tunggul Ametung yang mati dibunuh Ken Arok.
Anusapati juga berhasil mendapatkan keris buatan Mpu Gandring yang dulu digunakan Ken Arok untuk membunuh ayahnya. Dengan menggunakan keris itu, pembantu Anusapati yang berasal dari Desa Batil berhasil membunuh Ken Arok saat sedang makan. Anusapati ganti membunuh pembantunya tersebut untuk menghilangkan jejak. Kepada semua orang ia mengumumkan bahwa pembantunya telah gila dan mengamuk hingga menewaskan raja.
Sepeninggal Ken Arok tahun 1247, Anusapati naik takhta. Pemerintahannya dilanda kegelisahan karena cemas akan ancaman balas dendam anak-anak Ken Arok. Puri tempat tinggal Anusapati pun diberi pengawalan ketat, bahkan dikelilingi parit dalam. Meski demikian, Tohjaya putra Ken Arok dari selir bernama Ken Umang tidak kekurangan akal. Suatu hari ia mengajak Anusapati keluar mengadu ayam. Anusapati menurut tanpa curiga karena hal itu memang kegemarannya. Saat Anusapati asyik menyaksikan ayam bertarung, tiba-tiba Tohjaya menusuknya dengan menggunakan keris Mpu Gandring. Anusapati pun tewas seketika. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1249.
Sepeninggal Anusapati, Tohjaya naik takhta. Namun pemerintahannya hanya berlangsung singkat karena ia kemudian tewas pada tahun 1250 akibat pemberontakan Ranggawuni putra Anusapati.
Versi Nagarakretagama
Menurut Nagarakretagama, Anusapati adalah putra dari Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra, pendiri Kerajaan Tumapel. Dengan kata lain, ia adalah putra Ken Arok, karena Nagarakretagama tidak pernah menyebut adanya tokoh Tunggul Ametung.
Dikisahkan pula bahwa Bhatara Anusapati memerintah sejak tahun 1227 menggantikan ayahnya. Pemerintahannya berjalan tenang. Seluruh tanah Jawa aman dan tunduk kepadanya. Anusapati akhirnya meninggal tahun 1248 dan digantikan putranya yang bernama Wisnuwardhana (alias Ranggawuni). Untuk menghormati arwah Anusapati didirikan candi di Kidal, di mana ia dipuja sebagai Siwa.
Misteri Kematian
Nama Anusapati hanya terdapat dalam Pararaton dan Nagarakretagama. Naskah Pararaton ditulis ratusan tahun sesudah zaman Tumapel dan Majapahit. Sedangkan Nagarakretagama ditulis pada pertengahan masa Dyah Hayam Wuruk (1365).
Dalam beberapa hal, uraian Nagarakretagama cenderung lebih dapat dipercaya daripada Pararaton, karena waktu penulisannya jauh lebih awal. Jika dalam Pararaton disebutkan Anusapati mati karena dibunuh Tohjaya, maka menulis Anusapati mati secara wajar.
Ada dua dugaan mengapa Nagarakretagama tidak menceritakan pembunuhan Anusapati.
• Pertama, karena Nagarakretagama merupakan naskah pujian untuk keluarga Hayam Wuruk. Pembunuhan Anusapati yang merupakan leluhur Hayam Wuruk dianggap sebagai aib.
• Kedua, mungkin Anusapati memang benar-benar mati secara wajar, bukan karena dibunuh oleh Tohjaya.
Nama Anusapati memang tidak pernah dijumpai dalam prasasti apa pun, sedangkan nama Tohjaya ditemukan dalam prasasti Mula Malurung tahun 1255 (hanya selisih tujuh tahun setelah kematian Anusapati). Dalam prasasti itu tokoh Tohjaya disebutkan menjadi raja Kadiri menggantikan adiknya yang bernama Guningbhaya. Jadi, pemberitaan Pararaton bahwa Tohjaya adalah raja Tumapel atau Singasari adalah keliru. Berdasarkan prasasti tersebut, tokoh Tohjaya mungkin memang tidak pernah membunuh Anusapati sesuai pemberitaan Nagarakretagama. Jika Tohjaya benar-benar melakukan kudeta disertai pembunuhan, maka sasarannya pasti bukan terhadap Anusapati, melainkan terhadap Guningbhaya.
Kepustakaan
Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
R.M. Mangkudimedja. 1979. Serat Pararaton Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Slamet Muljana. 2006. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: LkiS.
Sumber
http://www.wacananusantara.org/
Animisme-Shamanisme Orang Laut
Sistem Kepercayaan Orang Laut di Kepulauan Riau
wacana nusantara
Religi yang mengatur perilaku orang laut mengandung konsep dasar animisme-shamanisme (Sopher, 1977: 279, 294), tetapi tidak meliputi semua aspek kehidupan mereka. Keyakinan mengenai hal-hal yang bersifat gaib mempengaruhi perilaku menanggapi roh-roh, kekuatan-kekuatan gaib, hari baik dan naas, hantu-hantu, mambang dan peri, dan sekaligus mencerminkan kekhawatiran mereka terhadap berbagai ancaman dunia gaib yang dapat merugikan atau mencelakakan kehidupan mereka.
Dunia roh tempa tinggal para hantu, mambang dan peri, identik dengan tempat-tempat tertentu. Hampir semua orang laut yakin bahwa roh Datuk Kemuning dan istrinya, yaitu saka (leluhur) datuk-moyang orang laut, bersemayam di Gunung Daik (Lingga). Roh-roh para anggota keluarga berada di tanjung, di pantai, kuala, suak, atau di bukit-bukit berbatu. Agar mereka aman melewati tempat-tempat tersebut, orang laut selalu memberi pemakan (sesaji), atau mereka minum air laut sedikit di tempat tersebut untuk menandakan bahwa mereka adalah “orang sendiri”, dan karena itu mereka berharap agar mereka tidak diganggu.
Orang laut juga percaya akan hantu-hantu penunggu sesuatu tempat, mambang dan peri, yakni makhluk-makhluk halus penghuni tempat-tempat yang dianggap angker dan dapat mencelakakan orang.
Hantu selalu mereka bayangkan sebagai manusia, yang mereka sebut “orang tanah”, “orang tanjung”, “orang lekuk”, dan lain-lainnya, di samping sebutan-sebutan seperti “hantu laut”, “hantu batu”, “hantu jeram”, “hantu sungai”, dan sebagainya. Hantu-hantu tersebut di atas memang berasal dari dunia makhluk hantu. Selain itu, ada hantu yang merupakan penjelmaan manusia seperti hantu polong (hantu orang Melayu, karena menurut anggapan orang laut, hanya orang Melayu saja yang mau mempelajari dan mengamalkan “ilmu pengasih”. Ia adalah hantu pencekik leher, yang menjelma sebagai manusia yang mengamalkan “ilmu pengasih”, yaitu berusaha memikat korbannya agar is sendiri senantiasa tampak menarik.
Hantu penjelmaan manusia lainnya adalah pontianak (hantu mati anak), yaitu hantu penjelmaan wanita yang meninggal dunia sewaktu melahirkan, yang terutama mengganggu pria. Kemudian orang laut masih mengenal hantu dukang, atau hantu pengisap darah, yang merupakan penjelmaan dari bayi yang lahir tanpa nyawa (karena keguguran, lahir mati, dan sebagainya).
Orang laut juga percaya akan kekuatan gaib, yang antara lain bersumber pada benda-benda seperti buntat, batu akik, akar bahar, keris, dan sebagainya, dan pada benda-benda yang bersumber pada manusia. Bomoh (dukun) dianggap memiliki kekuatan gaib, yang dapat digunakan untuk tujuan baik maupun buruk, mencelakakan lawan, atau menghalau serangan lawan, serta menyembuhkan penyakit yang berasal dari perbuatan manusia maupun karena tersampuk (“kemasukan” atau diganggu) roh, hantu, dan sebagainya. Dengan kekuatan gaibnya, seorang bomoh dianggap mampu mengatasi gejala-gejala alam yang merugikan manusia, seperti menenangkan ombak dan badai.
Kesempatan orang untuk menjadi bomoh tak terbatas pada pria; wanita pun dapat menjadi bomoh yang sama besar peran dan pengaruhnya seperti bomoh pria. Antara bomoh yang satu dengan lain dapat timbul persaingan untuk memperebutkan pengaruh, yang kadang-kadang mereka lakukan secara terbuka dengan becoba (mengadu kekuatan gaib). Kekuatan gaib dapat diwariskan kepada sanak keluarga, tetapi dapat juga diajarkan kepada orang lain. Sebelum pengetahuan itu diteruskan, harus dipertegas dahulu hubungan antara keduanya, yaitu bomoh sebagai buru, dan orang yang menerima pengetahuan itu sebagai muridnya, yang selanjutnya merupakan hubungan antara orangtua dan anak, yang diikat oleh prinsip-prinsip hubungan timbal-balik. Dengan adanya hubungan ini ada syarat untuk memberi “asam garam” atau imbalan atas pengetahuan yang diajarkan. Pemberian “asam garam” ini berupa pemberian hadian-hadian seperti sandang, uang, bahkan jaminan hidup.
Kepustakaan
Koentjaraningrat, dkk. 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat. 2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
_____ . 1985. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
_____ . 1987. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Universitas Indonesia UI-Press.
Mutakin, A. dan Pasya, G.K. 2000. Masyarakat Indonesia dalam Dinamika. Bandung. Buana Nusa.
SumberTulisan:
uun-halimah.blogspot.com
wacana nusantara
Religi yang mengatur perilaku orang laut mengandung konsep dasar animisme-shamanisme (Sopher, 1977: 279, 294), tetapi tidak meliputi semua aspek kehidupan mereka. Keyakinan mengenai hal-hal yang bersifat gaib mempengaruhi perilaku menanggapi roh-roh, kekuatan-kekuatan gaib, hari baik dan naas, hantu-hantu, mambang dan peri, dan sekaligus mencerminkan kekhawatiran mereka terhadap berbagai ancaman dunia gaib yang dapat merugikan atau mencelakakan kehidupan mereka.
Dunia roh tempa tinggal para hantu, mambang dan peri, identik dengan tempat-tempat tertentu. Hampir semua orang laut yakin bahwa roh Datuk Kemuning dan istrinya, yaitu saka (leluhur) datuk-moyang orang laut, bersemayam di Gunung Daik (Lingga). Roh-roh para anggota keluarga berada di tanjung, di pantai, kuala, suak, atau di bukit-bukit berbatu. Agar mereka aman melewati tempat-tempat tersebut, orang laut selalu memberi pemakan (sesaji), atau mereka minum air laut sedikit di tempat tersebut untuk menandakan bahwa mereka adalah “orang sendiri”, dan karena itu mereka berharap agar mereka tidak diganggu.
Orang laut juga percaya akan hantu-hantu penunggu sesuatu tempat, mambang dan peri, yakni makhluk-makhluk halus penghuni tempat-tempat yang dianggap angker dan dapat mencelakakan orang.
Hantu selalu mereka bayangkan sebagai manusia, yang mereka sebut “orang tanah”, “orang tanjung”, “orang lekuk”, dan lain-lainnya, di samping sebutan-sebutan seperti “hantu laut”, “hantu batu”, “hantu jeram”, “hantu sungai”, dan sebagainya. Hantu-hantu tersebut di atas memang berasal dari dunia makhluk hantu. Selain itu, ada hantu yang merupakan penjelmaan manusia seperti hantu polong (hantu orang Melayu, karena menurut anggapan orang laut, hanya orang Melayu saja yang mau mempelajari dan mengamalkan “ilmu pengasih”. Ia adalah hantu pencekik leher, yang menjelma sebagai manusia yang mengamalkan “ilmu pengasih”, yaitu berusaha memikat korbannya agar is sendiri senantiasa tampak menarik.
Hantu penjelmaan manusia lainnya adalah pontianak (hantu mati anak), yaitu hantu penjelmaan wanita yang meninggal dunia sewaktu melahirkan, yang terutama mengganggu pria. Kemudian orang laut masih mengenal hantu dukang, atau hantu pengisap darah, yang merupakan penjelmaan dari bayi yang lahir tanpa nyawa (karena keguguran, lahir mati, dan sebagainya).
Orang laut juga percaya akan kekuatan gaib, yang antara lain bersumber pada benda-benda seperti buntat, batu akik, akar bahar, keris, dan sebagainya, dan pada benda-benda yang bersumber pada manusia. Bomoh (dukun) dianggap memiliki kekuatan gaib, yang dapat digunakan untuk tujuan baik maupun buruk, mencelakakan lawan, atau menghalau serangan lawan, serta menyembuhkan penyakit yang berasal dari perbuatan manusia maupun karena tersampuk (“kemasukan” atau diganggu) roh, hantu, dan sebagainya. Dengan kekuatan gaibnya, seorang bomoh dianggap mampu mengatasi gejala-gejala alam yang merugikan manusia, seperti menenangkan ombak dan badai.
Kesempatan orang untuk menjadi bomoh tak terbatas pada pria; wanita pun dapat menjadi bomoh yang sama besar peran dan pengaruhnya seperti bomoh pria. Antara bomoh yang satu dengan lain dapat timbul persaingan untuk memperebutkan pengaruh, yang kadang-kadang mereka lakukan secara terbuka dengan becoba (mengadu kekuatan gaib). Kekuatan gaib dapat diwariskan kepada sanak keluarga, tetapi dapat juga diajarkan kepada orang lain. Sebelum pengetahuan itu diteruskan, harus dipertegas dahulu hubungan antara keduanya, yaitu bomoh sebagai buru, dan orang yang menerima pengetahuan itu sebagai muridnya, yang selanjutnya merupakan hubungan antara orangtua dan anak, yang diikat oleh prinsip-prinsip hubungan timbal-balik. Dengan adanya hubungan ini ada syarat untuk memberi “asam garam” atau imbalan atas pengetahuan yang diajarkan. Pemberian “asam garam” ini berupa pemberian hadian-hadian seperti sandang, uang, bahkan jaminan hidup.
Kepustakaan
Koentjaraningrat, dkk. 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat. 2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
_____ . 1985. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
_____ . 1987. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Universitas Indonesia UI-Press.
Mutakin, A. dan Pasya, G.K. 2000. Masyarakat Indonesia dalam Dinamika. Bandung. Buana Nusa.
SumberTulisan:
uun-halimah.blogspot.com
Angklung: Alat Musik Tradisional Asli Jawa Barat, Indonesia
Pendahuluan
Alat Musik Angklung
Angklung merupakan sebuah alat musik tradisional terkenal yang dibuat dari bambu dan merupakan alat musik asli Jawa Barat, Indonesia. Dulunya, angklung memegang bagian penting dari aktivitas upacara tertentu, khususnya pada musim panen. Suara angklung dipercaya akan mengundang perhatian Dewi Sri (Nyi Sri Pohaci) yang akan membawa kesuburan terhadap tanaman padi para petani dan akan memberikan kebahagian serta kesejahteraan bagi umat manusia.
Angklung yang tertua di dalam sejarah yang masih ada disebut Angklung Gubrag dibuat di Jasinga, Bogor, Indonesia dan usianya telah mencapai 400 tahun. Sekarang ini, beberapa angklung tersebut disimpan di Museum Sri Baduga, Bandung, Indonesia.
Dengan berjalannya waktu, Angklung bukan hanya dikenal di seluruh Nusantara, tetapi juga merambah ke berbagai negara di Asia. Pada akhir abad ke-20, Daeng Soetigna menciptakan angklung yang didasarkan pada skala suara diatonik. Setelah itu, angklung telah digunakan di dalam bisnis hiburan sejak alat musik ini dapat dimainkan secara berpadu dengan berbagai macam alat musik lainnya. Pada tahun 1966, Udjo Ngalagena, seorang siswa dari Tuan Daeng Soetigna mengembangkan angklung berdasarkan skala suara alat musik Sunda, yaitu salendro, pelog, dan madenda.
Macam-macam Angklung
1. Angklung Kanekes
Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka Badui) digunakan terutama karena hubungannya dengan upacara padi, bukan semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Angklung ditabuh ketika orang Kanekes menanam padi; ada yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu, Badui Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, angklung masih bisa ditampilkan di luar ritus padi dan tetap memunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup angklung dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.
Dalam sajian hiburan, angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain: "Lutung Kasarung", "Yandu Bibi", "Yandu Sala", "Ceuk Arileu", "Oray-orayan", "Dengdang", "Yari Gandang", "Oyong-oyong Bangkong", "Badan Kula", "Kokoloyoran", "Ayun-ayunan", "Pileuleuyan", "Gandrung Manggu", "Rujak Gadung", "Mulung Muncang", "Giler", "Ngaranggeong", "Aceukna", "Marengo", "Salak Sadapur", "Rangda Ngendong", "Celementre", "Keupat Reundang", "Papacangan", dan "Culadi Dengdang".
Para penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat Badui Dalam, mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan pamali (pantangan, tabu), tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual.
Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel. Roel yang terdiri dari dua buah angklung dipegang oleh seorang. Nama-nama bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan ketuk. Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak tiga buah. Di Kajeroan, kampung Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di Kajeroan, Kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan ketuk.
Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang Kajeroan (Tangtu, Badui Jero). Kajeroan terdiri dari tiga kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua orang bisa membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung di Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga kampung tersebut.
2. Angklung Dogdog Lojor
Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan Sukabumi, Bogor, dan Lebak). Meski kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena kaitannya dengan acara ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.
Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh adat lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan prajurit keraton Pajajaran dalam baresan pangawinan (prajurit bertombak). Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak terbuka akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian dogdog lojor adalah dua buah dogdog lojor dan empat buah angklung besar. Keempat buah angklung ini memunyai nama, yang terbesar dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking, dan inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah enam orang. Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya: "Bale Agung", "Samping Hideung", "Oleng-oleng Papanganten", "Si Tunggul Kawung", "Adulilang", dan "Adu-aduan". Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis dogdog dan angklung cenderung tetap.
3. Angklung Gubrag
Angklung gubrag terdapat di Kampung Cipining, Kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung). Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa Kampung Cipining mengalami musim paceklik.
4. Angklung Badeng
Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan angklung sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Diduga badeng telah digunakan masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang berhubungan dengan ritual penanaman padi. Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya berkembang sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau ke-17. Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen, dan Nursaen belajar agama Islam ke Kerajaan Demak. Setelah pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan kesenian badeng.
Angklung yang digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu dua angklung roel, satu angklung kecer, empat angklung indung dan angklung bapa, dua angklung anak, dua buah dogdog, dua buah terbang atau gembyung, serta satu kecrek. Teksnya menggunakan bahasa Sunda yang bercampur dengan bahasa Arab. Dalam perkembangannya sekarang digunakan pula bahasa Indonesia. Isi teks memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik, serta menurut keperluan acara. Dalam pertunjukannya selain disajikan lagu-lagu, disajikan pula atraksi kesaktian, seperti mengiris tubuh dengan senjata tajam. Lagu-lagu badeng: "Lailahaileloh", "Ya’ti", "Kasreng", "Yautike", "Lilimbungan", dan "Solaloh".
5. Buncis
Buncis merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di antaranya terdapat di Baros (Arjasari, Bandung). Pada mulanya buncis digunakan pada acara-acara pertanian yang berhubungan dengan padi. Tetapi pada masa sekarang buncis digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini berhubungan dengan semakin berubahnya pandangan masyarakat yang mulai kurang mengindahkan hal-hal berbau kepercayaan lama. Tahun 1940-an dapat dianggap sebagai berakhirnya fungsi ritual buncis dalam penghormatan padi, karena sejak itu buncis berubah menjadi pertunjukan hiburan. Sejalan dengan itu tempat-tempat penyimpanan padi pun (leuit, lumbung) mulai menghilang dari rumah-rumah penduduk, diganti dengan tempat-tempat karung yang lebih praktis, dan mudah dibawa ke mana-mana. Padi pun sekarang banyak yang langsung dijual, tidak disimpan di lumbung. Dengan demikian kesenian buncis yang tadinya digunakan untuk acara-acara ngunjal (membawa padi) tidak diperlukan lagi.
Nama kesenian buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu yang terkenal di kalangan rakyat, yaitu "cis kacang buncis nyengcle ...". Teks tersebut terdapat dalam kesenian buncis, sehingga kesenian ini dinamakan buncis.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis: dua angklung indung, dua angklung ambrug, satu angklung panempas, dua angklung pancer, satu angklung enclok, tiga buah dogdog (satu talingtit, satu panembal, dan satu badublag). Dalam perkembangannya kemudian ditambah dengan tarompet, kecrek, dan goong. Angklung buncis berlaras salendro dengan lagu vokal bisa berlaras madenda atau degung. Lagu-lagu buncis di antaranya: "Badud", "Buncis", "Renggong", "Senggot", "Jalantir", "Jangjalik", "Ela-ela", "Mega Beureum". Sekarang lagu-lagu buncis telah menggunakan pula lagu-lagu dari gamelan, dengan penyanyi yang tadinya laki-laki pemain angklung, kini oleh wanita khusus untuk menyanyi.
Dari beberapa jenis musik bambu di Jawa Barat (angklung) di atas, adalah beberapa contoh saja tentang seni pertunjukan angklung, yakni: angklung buncis (Priangan/Bandung), angklung badud (Priangan Timur/Ciamis), angklung bungko (Indramayu), angklung gubrag (Bogor), angklung ciusul (Banten), angklung dog dog lojor (Sukabumi), angklung badeng (Malangbong, Garut), dan angklung padaeng yang identik dengan angklung nasional dengan tangga nada diatonis, yang dikembangkan sejak tahun 1938. Angklung khas Indonesia ini berasal dari pengembangan angklung Sunda. Angklung Sunda yang bernada lima (salendro atau pelog) oleh Daeng Sutigna alias Si Etjle (1908—1984) diubah nadanya menjadi tangga nada Barat (solmisasi) sehingga dapat memainkan berbagai lagu lainnya. Hasil pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-siswa sekolah dan dimainkan secara orkestra besar.
Kepustakaan
Kurnia, Ganjar. 2003. Deskripsi Kesenian Jawa Barat. Bandung: Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat.
http://www.angklung-udjo.co.id/sau/angklung.php (20 Maret 2009)
Sumber tulisan:
http://kalakayjasinga.blogspot.com/2009/04/angklung-alat-musik-tradisional-asli.html
Sumber Foto:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj02ptV3MJ75HvJtpSUGPzEUD4R8PU6fwU6dz8MtqpTNfuqb5dN4TRy0OS0STT7CZaSfi28SvUG6cmdUTlgn4ud7pH2lRzEMtFFcYRbOgPwwvRCaEofTM-RY0O_EBlgIAB7deMm9tSGvnM/s320/angklungbaduy.jpg
http://www.datasunda.org/pl/images/s_art_art_seni/dogdog_lojor/dogdog_lojor_02.jpg
http://www.datasunda.org/pl/images/s_art_art_seni/buncis/buncis-03.jpg
http://www.kp-sindangbarang.com/great/userfiles/image/angklung.jpg
Sumber utama dan gambar bisa dilihat diSini
Alat Musik Angklung
Angklung merupakan sebuah alat musik tradisional terkenal yang dibuat dari bambu dan merupakan alat musik asli Jawa Barat, Indonesia. Dulunya, angklung memegang bagian penting dari aktivitas upacara tertentu, khususnya pada musim panen. Suara angklung dipercaya akan mengundang perhatian Dewi Sri (Nyi Sri Pohaci) yang akan membawa kesuburan terhadap tanaman padi para petani dan akan memberikan kebahagian serta kesejahteraan bagi umat manusia.
Angklung yang tertua di dalam sejarah yang masih ada disebut Angklung Gubrag dibuat di Jasinga, Bogor, Indonesia dan usianya telah mencapai 400 tahun. Sekarang ini, beberapa angklung tersebut disimpan di Museum Sri Baduga, Bandung, Indonesia.
Dengan berjalannya waktu, Angklung bukan hanya dikenal di seluruh Nusantara, tetapi juga merambah ke berbagai negara di Asia. Pada akhir abad ke-20, Daeng Soetigna menciptakan angklung yang didasarkan pada skala suara diatonik. Setelah itu, angklung telah digunakan di dalam bisnis hiburan sejak alat musik ini dapat dimainkan secara berpadu dengan berbagai macam alat musik lainnya. Pada tahun 1966, Udjo Ngalagena, seorang siswa dari Tuan Daeng Soetigna mengembangkan angklung berdasarkan skala suara alat musik Sunda, yaitu salendro, pelog, dan madenda.
Macam-macam Angklung
1. Angklung Kanekes
Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka Badui) digunakan terutama karena hubungannya dengan upacara padi, bukan semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Angklung ditabuh ketika orang Kanekes menanam padi; ada yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu, Badui Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, angklung masih bisa ditampilkan di luar ritus padi dan tetap memunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup angklung dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.
Dalam sajian hiburan, angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain: "Lutung Kasarung", "Yandu Bibi", "Yandu Sala", "Ceuk Arileu", "Oray-orayan", "Dengdang", "Yari Gandang", "Oyong-oyong Bangkong", "Badan Kula", "Kokoloyoran", "Ayun-ayunan", "Pileuleuyan", "Gandrung Manggu", "Rujak Gadung", "Mulung Muncang", "Giler", "Ngaranggeong", "Aceukna", "Marengo", "Salak Sadapur", "Rangda Ngendong", "Celementre", "Keupat Reundang", "Papacangan", dan "Culadi Dengdang".
Para penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat Badui Dalam, mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan pamali (pantangan, tabu), tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual.
Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel. Roel yang terdiri dari dua buah angklung dipegang oleh seorang. Nama-nama bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan ketuk. Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak tiga buah. Di Kajeroan, kampung Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di Kajeroan, Kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan ketuk.
Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang Kajeroan (Tangtu, Badui Jero). Kajeroan terdiri dari tiga kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua orang bisa membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung di Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga kampung tersebut.
2. Angklung Dogdog Lojor
Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan Sukabumi, Bogor, dan Lebak). Meski kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena kaitannya dengan acara ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.
Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh adat lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan prajurit keraton Pajajaran dalam baresan pangawinan (prajurit bertombak). Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak terbuka akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian dogdog lojor adalah dua buah dogdog lojor dan empat buah angklung besar. Keempat buah angklung ini memunyai nama, yang terbesar dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking, dan inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah enam orang. Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya: "Bale Agung", "Samping Hideung", "Oleng-oleng Papanganten", "Si Tunggul Kawung", "Adulilang", dan "Adu-aduan". Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis dogdog dan angklung cenderung tetap.
3. Angklung Gubrag
Angklung gubrag terdapat di Kampung Cipining, Kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung). Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa Kampung Cipining mengalami musim paceklik.
4. Angklung Badeng
Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan angklung sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Diduga badeng telah digunakan masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang berhubungan dengan ritual penanaman padi. Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya berkembang sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau ke-17. Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen, dan Nursaen belajar agama Islam ke Kerajaan Demak. Setelah pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan kesenian badeng.
Angklung yang digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu dua angklung roel, satu angklung kecer, empat angklung indung dan angklung bapa, dua angklung anak, dua buah dogdog, dua buah terbang atau gembyung, serta satu kecrek. Teksnya menggunakan bahasa Sunda yang bercampur dengan bahasa Arab. Dalam perkembangannya sekarang digunakan pula bahasa Indonesia. Isi teks memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik, serta menurut keperluan acara. Dalam pertunjukannya selain disajikan lagu-lagu, disajikan pula atraksi kesaktian, seperti mengiris tubuh dengan senjata tajam. Lagu-lagu badeng: "Lailahaileloh", "Ya’ti", "Kasreng", "Yautike", "Lilimbungan", dan "Solaloh".
5. Buncis
Buncis merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di antaranya terdapat di Baros (Arjasari, Bandung). Pada mulanya buncis digunakan pada acara-acara pertanian yang berhubungan dengan padi. Tetapi pada masa sekarang buncis digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini berhubungan dengan semakin berubahnya pandangan masyarakat yang mulai kurang mengindahkan hal-hal berbau kepercayaan lama. Tahun 1940-an dapat dianggap sebagai berakhirnya fungsi ritual buncis dalam penghormatan padi, karena sejak itu buncis berubah menjadi pertunjukan hiburan. Sejalan dengan itu tempat-tempat penyimpanan padi pun (leuit, lumbung) mulai menghilang dari rumah-rumah penduduk, diganti dengan tempat-tempat karung yang lebih praktis, dan mudah dibawa ke mana-mana. Padi pun sekarang banyak yang langsung dijual, tidak disimpan di lumbung. Dengan demikian kesenian buncis yang tadinya digunakan untuk acara-acara ngunjal (membawa padi) tidak diperlukan lagi.
Nama kesenian buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu yang terkenal di kalangan rakyat, yaitu "cis kacang buncis nyengcle ...". Teks tersebut terdapat dalam kesenian buncis, sehingga kesenian ini dinamakan buncis.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis: dua angklung indung, dua angklung ambrug, satu angklung panempas, dua angklung pancer, satu angklung enclok, tiga buah dogdog (satu talingtit, satu panembal, dan satu badublag). Dalam perkembangannya kemudian ditambah dengan tarompet, kecrek, dan goong. Angklung buncis berlaras salendro dengan lagu vokal bisa berlaras madenda atau degung. Lagu-lagu buncis di antaranya: "Badud", "Buncis", "Renggong", "Senggot", "Jalantir", "Jangjalik", "Ela-ela", "Mega Beureum". Sekarang lagu-lagu buncis telah menggunakan pula lagu-lagu dari gamelan, dengan penyanyi yang tadinya laki-laki pemain angklung, kini oleh wanita khusus untuk menyanyi.
Dari beberapa jenis musik bambu di Jawa Barat (angklung) di atas, adalah beberapa contoh saja tentang seni pertunjukan angklung, yakni: angklung buncis (Priangan/Bandung), angklung badud (Priangan Timur/Ciamis), angklung bungko (Indramayu), angklung gubrag (Bogor), angklung ciusul (Banten), angklung dog dog lojor (Sukabumi), angklung badeng (Malangbong, Garut), dan angklung padaeng yang identik dengan angklung nasional dengan tangga nada diatonis, yang dikembangkan sejak tahun 1938. Angklung khas Indonesia ini berasal dari pengembangan angklung Sunda. Angklung Sunda yang bernada lima (salendro atau pelog) oleh Daeng Sutigna alias Si Etjle (1908—1984) diubah nadanya menjadi tangga nada Barat (solmisasi) sehingga dapat memainkan berbagai lagu lainnya. Hasil pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-siswa sekolah dan dimainkan secara orkestra besar.
Kepustakaan
Kurnia, Ganjar. 2003. Deskripsi Kesenian Jawa Barat. Bandung: Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat.
http://www.angklung-udjo.co.id/sau/angklung.php (20 Maret 2009)
Sumber tulisan:
http://kalakayjasinga.blogspot.com/2009/04/angklung-alat-musik-tradisional-asli.html
Sumber Foto:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj02ptV3MJ75HvJtpSUGPzEUD4R8PU6fwU6dz8MtqpTNfuqb5dN4TRy0OS0STT7CZaSfi28SvUG6cmdUTlgn4ud7pH2lRzEMtFFcYRbOgPwwvRCaEofTM-RY0O_EBlgIAB7deMm9tSGvnM/s320/angklungbaduy.jpg
http://www.datasunda.org/pl/images/s_art_art_seni/dogdog_lojor/dogdog_lojor_02.jpg
http://www.datasunda.org/pl/images/s_art_art_seni/buncis/buncis-03.jpg
http://www.kp-sindangbarang.com/great/userfiles/image/angklung.jpg
Sumber utama dan gambar bisa dilihat diSini
Anatomi Pranata Ekonomi pada Masa Jawa Kuno
Secara umum pelaku ekonomi pada masa Jawa kuno dalam beberapa keterangan yang ada terbagi ke dalam empat katagori, yaitu pegawai pemungut pajak, pengrajin dan pekerja seni, pedagang, serta petani dan petugas pertanian.
Pemungut Pajak
Sebagai pejabat kerajaan, pemungut pajak ditata dengan rapi dari tingkat desa sampai tingkat pusat. Ditingkat pusat, terdapat tiga kelompok pejabat yang hampir bersama-sama, sang mana katrini, yang terdiri dari pengangkur, tawan, dan tirip. Ketiga pejabat ibi bertanggungjawab atau melakukannya atas rakai. Di bawah pejabat ini terdapat wadwa, parujar, pangurang, pihujang, dan kalang. Dilihat salam susunan hirarki jabatan, tiga serangkai pangkur-tawan-tirip sepertinya termasuk kedalam pejabat pusat sebagaimana tercermin dalam nama-namanya menunjukan nama watek, bukan nama desa.
Kitab Nawanatya yang menyebutkan susunan pemerintahan penting seperti rakai kanuruhan, fungsi utamanya adalah sebagai kepala protocol kerajaan dalam tatacara upacara kerajaan. Selain itu ia juga harus mengurus pedagang-pedagang asing, menyembut dan memenuhi segala kebutuhan tamu-tamu raja. Maka untuk itu rakai kanuruhan harus mengetahui ‘semua bahasa’ dikatakan juga ia bisa memungut uang dari pedagang asing itu, oleh karena itu pejabat ini memiliki kewenangan untuk memungut pajak dari para pedagang asing.
Pejabat lain yang masih samar kedudukannya adalah Mangilala Drwya haji arti harfiyahnya adalah ‘mengambil milik raja” orang yang masuk kedalam pejabat ini ditugaskan untuk memungut pajak atas perintah raja.
Para Perajin dan Pekerja Seni
Pengetahuan dan penamaan sepesifikasi dari pekerja seni banyak diketahui dari pengaturan pajak yang dibebankan kepada mereka atau dari barang-barang yang mereka hasilkan. Mereka yang termasuk golongan ini dalam prasasti-prasasti dikenal dengan berbagai istilah diantranya adalah merka yang diduga sevbagai kelompok pengajin adalah angukir (pengukir/pemahat), andyun (pembuat tempayan), angendi (pembuat kendi), apande salwir ning apande (segala macam penempa logam), undhagi (tukang kayu), angapus (pembuat benang atau tali), amaranggi (pembuat hiasan pada benda-benda terbuat dari kayu), anghapu (pembuat kapur), anghanam-anam/agawi kisi, agawi runggi (pembuat keranjang), anghareng (pembuat arang).
Sedangkan mereka yang termasuk kategori pekerja seni adalah anglukis (pelukis), awayang (pemain wayang), men-men (pemain pertunjukan kelling), ijo-ijo (pemain lawak), amidu (penyanyi), amancagah (pembawa berita), anggoda (penggoda, penari ronggeng), dan arketan (pemain topeng). Di samping mereka terdapat jenis-jenis profesi lain seperti amahang/manwring/manambu/mangubar, mangala (tukang celup, kadang-kadang dengan warna-warna tertentu); angula (pembuat gula); dan jalagraha (pengangkut air) (Sedyawati 1994:292)
Pedagang
Data mengenai para pedagang dalam prasasti biasanya dikatakan dengan pengaturan mengenai batas-batas barang yang tidak dikenai pajak dan yang kena pajak. Petunjuk mengenai kemunghkinan adanya kelompok-kelompok pedagang dapat diketahui dari jenis-jenis barang yang merekaperdagangkan atau cara-caranya barang-barang dagangan tersebut diangkut. Mengenaia jenis barang-barang dagangan ini terdapat tidak kurang dari 31 macam. Meskipun demikian tidak berarti setiap pedagang mempunyai spesialisasi untuk jenis barang dagangan tertentu. Daftar jenis barang tersebut dapat dikelompokan menjadi empat macam, yakni jenis makanan dan bumbu-bumbuan, jenis sandang, perlengkapan umum dan hewan.
Termasuk dalam kelompok makanan dan bumbu-bumbuan terdiri dari bawang (bawang), bras (beras), garam/wuyah (garam), gula, inga (minyak), pipakan/kapulaga (jahe, tanaman jahe); wwahan/pucang sireh (buah-buahan terutama pinang), pja (ikan laut/asin).
Termasuk golongan sandang adalah wasana (pakaian), amahang/kasumbha/pamaja (bahan pewarna), kapas, lawe (benang). Kategori perlengkapan umum adalah galuhan (batu permata), gangsa (perunggu), anganam (keranjang); labeh (kulit penyu), makacapuri (kotak sirih); mangawari (permata), masayang/tamwaga (peralatan tembaga), tambra (lempeng tembaga), timah, wsi (besi).
Termasuk dalam kategori hewan adalah hewan besar yang terdiri dari kbo (kerbau), sapi, wdus (kambing), celeng (babi), dan unggas terutama andah (itik). Sebagaian barang-barang di atsa dapat diangkut dengan berbgai cara, yakni dipikul, dinaikan diatsa punggung kuda, diangkut denga gerobak, atau dinaikan diatas perahu.
Diluar itu terdapat sekelompok orang yang melakukan usaha dalam bentuk jasa pelayanan khususnya pelayanan angkutan, baik menggunakan tenaga hewan, misalnya kuda (atitih) maupun alat angkut lain seperti gerobak (galungan) atau pedati (mapadati), dan perahu (parahu).
Petani dan Petugas Pertanian
Dalam sumber-sumber prasasti sebutan bagi petani selalu dikaitkan dengan wilayah tempatnya hidup. Istilah wanua atau thani mengacu kepada suatu wilayah dimana para petani atau penduduk dsa tinggal. Sebutan untuk penduduknya adalah anak wanua atau anak thani. Dalam prasasti-prasasti banyak yang menyinggung permasalaha pertanian diantranya dalah adanya yang menyebutkan macam-macam jenis tanah yang dapat didayahgunakan oleh para petani, diantaranay yang paling sering disbutkan adalah sawah (sawah), gaga (ladang), kbuan (kebun), renek (rawa). Dari pengelompokan tersebut kitanya terdapat sedikit petunjuk bahwa diantra para petani tersebut dapat dikelompokan berdasarkan kepemilikan tanah dan lahan garapannya.
Pada masa majapahit muncul istialah baruyang berkaitan dengan urusan pertanian, misalnya ambekel tuwuh (pengurus hasil bumi), asedahan thani (petugas yang berhubungan dengan masalah tanah dan pajak), angucap gawe thani (kepala kegiatan wilayah).
Sebagai bagian dari tatanan masyarakat kerajaan, anak wanua/thani menjalankan fungsi utama sebgai pemasok utama dari perekonomian kerajaan. Dari segi kependududkan, kita tidak memiliki cukup data untuk menjelaskan jumlah dan tingkat kepadatannya. Namun, dapat diyakini bahwa sebagai keseluruhan petani merupakan pterbesar dari seluruh warga kerajaan. Wilayah inti petani di jawa Timur berada disekitar lembah sungai Solo dan Brantas.
Kepustakaan
Muljana, Slamet. (1983). Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit. Jakarta: Inti Idayu Press.
Muljana, SLamet (1979). Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhatara Karya Aksara.
Muljana, Slamet. (2005.) Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. Yogyakarta: LKiS. Pelangi Aksara
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. (2008). Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka
Rahardjo, Supratikno. (2002). Peradaban Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu.Raffles, Thomas Stamford (2008). The History of Java. Yogyakarta: Narasi
Saputra, H Karsono dkk. 2002. Indonesian Heritage: Sejarah Awal. Jakarta: Buku Antar Bangsa.
Saputra, H Karsono dkk. 2002. Indonesian Heritage: Manusia dan Lingkungan. Jakarta: Buku Antar Bangsa.
Sumber
http://www.wacananusantara.org
Pemungut Pajak
Sebagai pejabat kerajaan, pemungut pajak ditata dengan rapi dari tingkat desa sampai tingkat pusat. Ditingkat pusat, terdapat tiga kelompok pejabat yang hampir bersama-sama, sang mana katrini, yang terdiri dari pengangkur, tawan, dan tirip. Ketiga pejabat ibi bertanggungjawab atau melakukannya atas rakai. Di bawah pejabat ini terdapat wadwa, parujar, pangurang, pihujang, dan kalang. Dilihat salam susunan hirarki jabatan, tiga serangkai pangkur-tawan-tirip sepertinya termasuk kedalam pejabat pusat sebagaimana tercermin dalam nama-namanya menunjukan nama watek, bukan nama desa.
Kitab Nawanatya yang menyebutkan susunan pemerintahan penting seperti rakai kanuruhan, fungsi utamanya adalah sebagai kepala protocol kerajaan dalam tatacara upacara kerajaan. Selain itu ia juga harus mengurus pedagang-pedagang asing, menyembut dan memenuhi segala kebutuhan tamu-tamu raja. Maka untuk itu rakai kanuruhan harus mengetahui ‘semua bahasa’ dikatakan juga ia bisa memungut uang dari pedagang asing itu, oleh karena itu pejabat ini memiliki kewenangan untuk memungut pajak dari para pedagang asing.
Pejabat lain yang masih samar kedudukannya adalah Mangilala Drwya haji arti harfiyahnya adalah ‘mengambil milik raja” orang yang masuk kedalam pejabat ini ditugaskan untuk memungut pajak atas perintah raja.
Para Perajin dan Pekerja Seni
Pengetahuan dan penamaan sepesifikasi dari pekerja seni banyak diketahui dari pengaturan pajak yang dibebankan kepada mereka atau dari barang-barang yang mereka hasilkan. Mereka yang termasuk golongan ini dalam prasasti-prasasti dikenal dengan berbagai istilah diantranya adalah merka yang diduga sevbagai kelompok pengajin adalah angukir (pengukir/pemahat), andyun (pembuat tempayan), angendi (pembuat kendi), apande salwir ning apande (segala macam penempa logam), undhagi (tukang kayu), angapus (pembuat benang atau tali), amaranggi (pembuat hiasan pada benda-benda terbuat dari kayu), anghapu (pembuat kapur), anghanam-anam/agawi kisi, agawi runggi (pembuat keranjang), anghareng (pembuat arang).
Sedangkan mereka yang termasuk kategori pekerja seni adalah anglukis (pelukis), awayang (pemain wayang), men-men (pemain pertunjukan kelling), ijo-ijo (pemain lawak), amidu (penyanyi), amancagah (pembawa berita), anggoda (penggoda, penari ronggeng), dan arketan (pemain topeng). Di samping mereka terdapat jenis-jenis profesi lain seperti amahang/manwring/manambu/mangubar, mangala (tukang celup, kadang-kadang dengan warna-warna tertentu); angula (pembuat gula); dan jalagraha (pengangkut air) (Sedyawati 1994:292)
Pedagang
Data mengenai para pedagang dalam prasasti biasanya dikatakan dengan pengaturan mengenai batas-batas barang yang tidak dikenai pajak dan yang kena pajak. Petunjuk mengenai kemunghkinan adanya kelompok-kelompok pedagang dapat diketahui dari jenis-jenis barang yang merekaperdagangkan atau cara-caranya barang-barang dagangan tersebut diangkut. Mengenaia jenis barang-barang dagangan ini terdapat tidak kurang dari 31 macam. Meskipun demikian tidak berarti setiap pedagang mempunyai spesialisasi untuk jenis barang dagangan tertentu. Daftar jenis barang tersebut dapat dikelompokan menjadi empat macam, yakni jenis makanan dan bumbu-bumbuan, jenis sandang, perlengkapan umum dan hewan.
Termasuk dalam kelompok makanan dan bumbu-bumbuan terdiri dari bawang (bawang), bras (beras), garam/wuyah (garam), gula, inga (minyak), pipakan/kapulaga (jahe, tanaman jahe); wwahan/pucang sireh (buah-buahan terutama pinang), pja (ikan laut/asin).
Termasuk golongan sandang adalah wasana (pakaian), amahang/kasumbha/pamaja (bahan pewarna), kapas, lawe (benang). Kategori perlengkapan umum adalah galuhan (batu permata), gangsa (perunggu), anganam (keranjang); labeh (kulit penyu), makacapuri (kotak sirih); mangawari (permata), masayang/tamwaga (peralatan tembaga), tambra (lempeng tembaga), timah, wsi (besi).
Termasuk dalam kategori hewan adalah hewan besar yang terdiri dari kbo (kerbau), sapi, wdus (kambing), celeng (babi), dan unggas terutama andah (itik). Sebagaian barang-barang di atsa dapat diangkut dengan berbgai cara, yakni dipikul, dinaikan diatsa punggung kuda, diangkut denga gerobak, atau dinaikan diatas perahu.
Diluar itu terdapat sekelompok orang yang melakukan usaha dalam bentuk jasa pelayanan khususnya pelayanan angkutan, baik menggunakan tenaga hewan, misalnya kuda (atitih) maupun alat angkut lain seperti gerobak (galungan) atau pedati (mapadati), dan perahu (parahu).
Petani dan Petugas Pertanian
Dalam sumber-sumber prasasti sebutan bagi petani selalu dikaitkan dengan wilayah tempatnya hidup. Istilah wanua atau thani mengacu kepada suatu wilayah dimana para petani atau penduduk dsa tinggal. Sebutan untuk penduduknya adalah anak wanua atau anak thani. Dalam prasasti-prasasti banyak yang menyinggung permasalaha pertanian diantranya dalah adanya yang menyebutkan macam-macam jenis tanah yang dapat didayahgunakan oleh para petani, diantaranay yang paling sering disbutkan adalah sawah (sawah), gaga (ladang), kbuan (kebun), renek (rawa). Dari pengelompokan tersebut kitanya terdapat sedikit petunjuk bahwa diantra para petani tersebut dapat dikelompokan berdasarkan kepemilikan tanah dan lahan garapannya.
Pada masa majapahit muncul istialah baruyang berkaitan dengan urusan pertanian, misalnya ambekel tuwuh (pengurus hasil bumi), asedahan thani (petugas yang berhubungan dengan masalah tanah dan pajak), angucap gawe thani (kepala kegiatan wilayah).
Sebagai bagian dari tatanan masyarakat kerajaan, anak wanua/thani menjalankan fungsi utama sebgai pemasok utama dari perekonomian kerajaan. Dari segi kependududkan, kita tidak memiliki cukup data untuk menjelaskan jumlah dan tingkat kepadatannya. Namun, dapat diyakini bahwa sebagai keseluruhan petani merupakan pterbesar dari seluruh warga kerajaan. Wilayah inti petani di jawa Timur berada disekitar lembah sungai Solo dan Brantas.
Kepustakaan
Muljana, Slamet. (1983). Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit. Jakarta: Inti Idayu Press.
Muljana, SLamet (1979). Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhatara Karya Aksara.
Muljana, Slamet. (2005.) Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. Yogyakarta: LKiS. Pelangi Aksara
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. (2008). Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka
Rahardjo, Supratikno. (2002). Peradaban Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu.Raffles, Thomas Stamford (2008). The History of Java. Yogyakarta: Narasi
Saputra, H Karsono dkk. 2002. Indonesian Heritage: Sejarah Awal. Jakarta: Buku Antar Bangsa.
Saputra, H Karsono dkk. 2002. Indonesian Heritage: Manusia dan Lingkungan. Jakarta: Buku Antar Bangsa.
Sumber
http://www.wacananusantara.org
Alun-alun sebagai Identitas Kota Jawa, Dulu dan Sekarang
ABSTRAK
Setiap orang yang berkeliling ke kota-kota di P. Jawa mulai dari Jawa Barat sampai ke Jawa Timur pasti menjumpai alun-alun pada pusat kota lamanya. Konsep penataan alun-alun pada kota-kota di Jawa ini sebenarnya sudah ada sejak jaman prakolonial dulu. Jadi alun-alun sebenarnya berpotensi untuk menjadi salah satu identitas bagi kota-kota di P. Jawa. Hal ini penting mengingat sekarang kita sedang dilanda krisis identitas baik dalam bidang arsitektur maupun perencanaan kota. Tapi sayang nya alun-alun di kota-kota sekarang keadaannya sangat menyedihkan sekali se olah-olah seperti ‘hidup segan matipun engan’. Hal ini mungkin disebabkan karena kurang sadarnya masyarakat akan konsep tata ruang kota Jawa dimasa lampau. Tulisan ini mencoba untuk mencari sejarah alunalun di masa lampau, barangkali bisa dipakai sebagai salah satu pertimbangan untuk menghidupkan kembali alun-alun kota.
ABSTRACT
Anyone going around Java, from one city to another, will certainly come across ‘alun-alun’ in the center of each downtown. The concept of ‘alun-alun has actually existed since the precolonial period. Considering the identity crisis – in both the architecture and city planning – that we are facing now, we can say that ‘alun-alun is actually potential to show the identity of the cities in Java. Unfortunately its existence is in a very poor condition. This might happen because people are not fully aware of the concept of ‘Java city planning’ in the past. This paper is meant to look for the history of ‘alun-alun’ in the past with the purpose of reviving the ‘alun-alun kota’.
PENDAHULUAN.
Apakah sebenarnya alun-alun itu? Apa fungsi sebenarnya di masa lampau? Mengapa alun-alun itu selalu terdapat di hampir setiap kota di P. Jawa? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini selalu muncul dan perlu diketahui sebelum kita bisa menentukan sikap lebih lanjut tentang nasib alun-alun tersebut untuk masa mendatang.
Di dalam buku “Encyclopedie van Nederlandsch Indie” (Paulus, 1917:31), terdapat penjelasan tentang ‘alun-alun’ sebagai berikut :
“Di hampir setiap tempat kediaman Bupati, seorang kepala distrik di Jawa, orang selalu menjumpai adanya sebuah lapangan rumput yang luas, yang dikelilngi oleh pohon beringin di tengahnya. Lapangan inilah yang dinamakan ‘alun-alun’. Di kota-kota bekas kerajaan kuno (seperti Surakarta dan Yogyakarta), mempunyai dua buah ’alun-alun’, sebuah terletak di Utara Kraton dan sebuah lagi terletak disebelah Selatan Kraton. Di permukaan alun-alun tersebut tidak boleh ada rumput tumbuh dan diatasnya ditutup dengan pasir halus. Di bagian Selatan dari alun-alun tersebut terdapat pintu masuk yang menuju ketempat kediaman Raja atau Bupati, dimana disana berdiri sebuah pendopo. Pegawai negeri atau orang-orang lain yang ingin bertemu dengan raja atau Bupati menunggu waktunya disana untuk dipanggil, jika Raja merestui untuk menerima kedatangan mereka. Oleh sebab itu pendopo tersebut kadang-kadang dinamakan juga Paseban (asal kata seba). Pada masa lampau di alun-alun tiap hari Sabtu atau Senin (Seton atau Senenan) diadakan permainan Sodoran (pertandingan diatas kuda dengan menggunakan tombak yang ujungnya tumpul), atau pertandingan macan secara beramai-ramai yang dinamakan ‘rampog macan’. Pada waktu pertunjukan ini raja duduk di Siti Inggil, tempat yang paling tinggi dimuka pintu Kraton. Pada tempat-tempat Bupati terdapat panggung untuk melihat tontonan tersebut. Di Jawa Barat juga terdapat alun-alun kecil di depan rumah kepala desa, tapi alun-alun tersebut tidak dikelilingi oleh pohon beringin. Mesjid seringkali terdapat disebelah Barat dari alun-alun”
Kehadiran alun-alun sudah ada sejak jaman prakolonial. Meskipun dari dulu sampai sekarang bentuk phisik alun-alunnya sendiri tidak banyak mengalami perubahan, tapi konsep yang mendasari bentuk phisiknya sejak jaman prakolonial sampai sekarang telah mengalami banyak perubahan. Konsep inilah yang sebetulnya menentukan fungsi dan kehadiran laun-alun dalam suatu kota di Jawa. Uraian dibawah ini mencoba untuk menlusuri konsep yang mendasari kehadiran alun-alun di masa lampau, sebagai pertimbangan untuk menghidukan kembali alun-alun yang sekarang masih banyak terdapat pada kota-kota di Jawa, tapi keadannya seperti ‘hidup segan matipun enggan’.
Perlu dipikirkan disini bahwa persoalan dan kegagalan yang terjadi dalam proses pembangunan seringkali bersumber dari keinginan membentuk suatu masyarakat baru tanpa mengenal lebih dulu nilai-nilai tradisional masa lalu.
ALUN-ALUN PADA JAMAN PRAKOLONIAL DI JAWA.
Dimasa lalu sejak jaman Mojopahit sampai Mataram (abad 13 s/d 18), alun-alun selalu menjadi bagian dari suatu komplek Kraton. Kraton dalam masyarakat tradisional masa lalu merupakan pusat pemerintahan dan sekaligus merupakan pusat kebudayaan. Sebagai pusat pemerintahan dimana raja tinggal, maka Kraton dianggap sebagai miniatur dari makrokosmos1. Komplek Kraton biasanya diberi pagar yang terpisah dari daerah lainnya pada suatu ibukota kerajaan, Batas pagar ini tidak selalu ditafsirkan melalui sistim pertahanan, tapi dapat ditentukan juga dari aspek kepercayaan/keagamaan. Untuk itu kita harus mengerti dulu hubungan antara kepercajaan/keagamaan dengan kota/komplek Kraton.
Manusia yang religius seperti halnya mayarakat agraris yang religius di Jawa ini biasanya membagi ruang menjadi dua jenis, ruang yang homogen atau sakral (disucikan) disatu pihak dan ruang yang inhomogen atau yang tidak teratur (bisa disebut profan) dilain pihak. Di alam sakral segalanya teratur, baik tingkah laku manusia maupun struktur bangunannya. Sedang di ruang yang inhomogen semuanya tidak teratur, karena tidak/belum disucikan (Eliade, 1959:20-65).
Wilayah Kraton selalu dianggap sebagai wilayah yang homogen (Sakral), yang teratur atau harus diatur. Manifestasi dari keinginan inilah yang melahirkan konsepsi ruang dari susunan sebuah Kraton. Seperti dijelaskan di depan bahwa Kraton dianggap sebagai miniatur dari makrokosmos. Manifestasinya adalah sebagai berikut: tempat tinggal raja yang biasa disebut sebagai ‘dalem ageng’ diibaratkan sebagai puncak Mahameru (atau gunung Semeru di Jawa). Disinlah kekuasaan dan wibawa raja dirasakan sangat besar. Di daerah lingkaran di luarnya disebut ‘negara agung’ (negara besar), batas luarnya adalah pelataran dalam. Disini kekuasan raja masih terasa besar. Di luar ‘negara agung’ dinamakan kawasan ‘mancanegara’ (luar daerah). Ini sudah agak diluar, tapi belum keluar dari batas teras Kraton. Di tempat inilah biasanya raja menerima tamu. Diluarnya lagi disebut Pasisir. Batas luarnya sudah mencapai Siti Inggil, bangunan di batas alun-alun dengan Kraton. Di Pesisir raja makin jarang muncul, hanya beberapa kali dalam setahun misalnya bila ada perayaan tertentu. Daerah paling luar disebut ‘sabrang’ (daerah seberang). Didaerah inilah bangsal pertemuan untuk para Bupati ditempatkan. Jadi jelaslah disini meskipun tempatnya paling luar tapi ‘alun-alun’ masih terletak di dalam komplek tembok/pagar Kraton2.
Di dalam Kraton Majapahit seperti dilukiskan oleh Prapanca dalam Negarakretagama3, di sebelah Utara dari komplek Kraton terdapat dua alun-alun. Masing-masing dinamakan Bubat (terkenal sebagai tempat pertarungan sengit antara utusan kerajaan pajajaran dengan pasukan Gajah Mada), yang luasnya kira-kira 1 km2, dengan lebar kurang lebih 900.00 M dan alun-alun Utara yang disebut sebagai Waguntur.
Meskipun keterangan Prapanca dalam Negarakretagama kurang begitu jelas, tapi masih bisa ditangkap betapa pentingnya peran alun-alun sebagai bagian dari pusat kota. Fungsi kedua alun-alun ini agak berbeda. Lapangan Bubat lebih bersifat profan . Pesta rakyat yang diadakan setiap tahun sekali pada bulan caitra (Maret/April) diselenggarakan di lapangan Bubat. Pada 3-4 hari terakhir pertunjukan dan permainan diselenggarakan dengan kehadiran dari raja. Fungsi lapangan Waguntur lebih sakral. Lapangan ini terletak di dalam pura raja Majapahit, yang digunakan untuk lapangan upacara penobatan atau resepsi kenegaraan. Di lapangan Waguntur ini terdapat Siti Inggil, serta komplek pemujaan (kuil Siwa) yang terletak di sebelah Timur dari lapangan Waguntur. Ini lebih mirip dengan alun-alun Lor Kraton Yogyakarta atau Surakarta, hanya komplek pemujaan pada alun-alun Lor diganti dengan mesjid yang letaknya di sebelah Barat dari alun-alun.
Model yang masih bisa kita lihat sebagai prototype alun-alun kota di Jawa pada jaman yang lebih muda adalah alun-alun Yogyakarta dan Surakarta bekas perpecahan kerajaan Mataram dimasa lampau. Baik di Yogyakarta maupun di Surakarta terdapat dua buah alun-alun yaitu alun-alun Lor dan Kidul4. Di masa lalu alun-alun Lor berfungsi menyediakan persyaratan bagi berlangsungnya kekuasaan raja. Alun-alun Kidul berfungsi untuk menyiapkan suatu kondisi yang menunjang kelancaran hubungan kraton dengan universum. Alun-alun Kidul dapat juga melambangkan kesatuan kekuasaan sakral antara raja dan para bangsawan yang tinggal disekitar alun-alun.
Alun-alun Lor Yogyakarta pada masa lalu berbentuk ruang luar segi empat berukuran 300x265 meter. Di tengahnya terdapat dua buah pohon beringin dan di sekelilingnya terdapat 64 pohon beringin yang ditanam dengan jarak sedemikian rupa sehingga harmoni dengan bangunan disekitarnya. Permukaan alun-alun ini ditutupi oleh pasir halus. Dua buah pohon beringin ditengah alun-alun tersebut dikelilingi oleh pagar segi empat. Orang Jawa menyebutnya sebagai ‘Waringin Kurung’. Nama Waringin berasal dari dua suku kata “wri” dan “ngin”. “Wri” berasal dari kata “wruh” yang berarti mengetahui, melihat. “Ngin” berarti memikir, tindakan penjagaan masa depan (Pigeaud, 1940:180). Kedua kata tersebut melambangkan kematangan manusia yang arief bijaksana, karena orang Jawa berangapan bahwa kegiatan bijaksana berasal dari kosmos. Pohon beringin dengan demikian melambangkan kesatuan dan harmoni antara manusia dengan universum. Kesatuan ini tidak timbul dengan sendirinya. Pohon beringin melambangkan langit dan permukaan tanah yang persegi empat didalam pagar kayu mengartikan tugas manusia untuk mengatur kehidupan di bumi dan di alam, supaya harmoni dengan hukum universum (Pigeaud, 1940:180).
Alun-alun jaman Mataram juga digunakan oleh warga (rakyat biasa) untuk bertemu langsung dengan raja, guna meminta pertimbangan atau sesuatu kasus perselisihan. Orang harus memakai pakaian dan penutup kepala putih dan harus duduk menunggu diantara kedua pohon beringin sampai diperbolehkan menghadap raja. Perbuatan seperti ini disebut “pepe”.
Di sebelah Barat alun-alun terdapat mesjid. Di halaman mesjid tersebut terdapat dua buah bangsal terbuka untuk dua buah perlengkapan gamelan. Yang satu disebut “Kyai Sekati” dan yang lain disebut “Nyai Sekati”. Keduanya dimainkan bergantian dimainkan hanya pada 3 upacara keagamaan, yaitu: Garebeg Maulud, Garebeg Sawal dan Garebeg Besar. Di seberang mesjid terdapat bangunan yang disebut ‘Pamonggangan” tempat untuk menyimpan gamelan yang lain. Dahulu pada jaman Mataram, setiap hari Sabtu sore (di luar Kasultanan diadakan pada hari Senin sehingga sering disebut Seton atau Senenan) diadakan pertunjukan ‘Sodoran’5 di alun-alun. Gamelan tersebut dimainkan sewaktu ada pertunjukan itu. Di sebelah bangunan “Pamonggangan” tersebut terdapat sebuah kadang harimau dan binatang buas lainnya. Pada hari Sabtu sore selain pertunjukan Sodoran kadang-kadang juga diadakan pertunjukan perkelahian antara banteng dan harimau, yang selalu diakhiri dengan kemenangan banteng. Lambang kekuasaan raja adalah banteng (dalam bahasa Jawa disebut Maesa), sedangkan lambang kekacauan adalah harimau (dalam bahsa Jawa disebut Simo). Pada jaman penjajahan banteng sering dilambangkan dengan orang Jawa dan harimau sebagai orang Belanda. Dalam pertunjukan ini banteng menang, dan orang Belanda ikut bertepuk tangan, karena mereka tidak mengerti !
Ada juga dipertunjukkan membunuh harimau (simbol kekacauan), secara beramai-ramai, yang dinamakan ‘rampog macan”. Jadi alun-alun yang pada mulanya merupakan pelataran sakral yang melambangkan harmoni antara langit yang dilambangkan sebagai pohon beringin dan bumi yang dilambangkan sebagai pasir halus, dimasa ini telah bertambah artinya.
Kesimpulanya alun-alun pada jaman prakolonial bisa berfungsi sebagai (Santoso, 1984) :
1. Lambang berdirinya sistim kekuasaan raja terhadap rakyatnya.
2. Tempat semua upacara keagamaan yang penting (adanya hubungan penting antara Kraton-Mesjid dan Alun-Alun).
3. Tempat pertunjukan kekuasaan militeris yang bersifat profane
ALUN-ALUN PADA JAMAN KOLONIAL
Untuk menjelaskan peran alun-alun pada jaman kolonial, disini dicoba untuk melihatnya dari sudut susunan pemerintahan, karena hubungannya yang sangat erat sekali. Salah satu unsur yang dikagumi orang mengenai kolonialisme Belanda di Indonesia adalah sistim pemerintahannya yang tidak langsung (indirect rule). Pemerintah kolonial Belanda dalam memerintah Nusantara selain menggunakan pejabat resmi seperti Gubernur Jenderal, Residen, Asisten Residen, Kontrolir dan sebagainya, juga menggunakan pejabat Pribumi untuk berhubungan langsung dengan rakyat, seperti Bupati, Patih, Wedana, Camat dan lainnya. Unsur pemerintahan Pribumi ini biasanya disebut sebagai Pangreh Praja (yang berkuasa atas kerajaan - orang Belanda memakai istilah ‘Inlandsch Bestuur’). Supaya lebih jelas dibawah ini diberikan diagram sitim pemerintahan Belanda sampai th. 1902.
Dalam sistim pemerintahan ‘Inlandsch Bestuur’ pejabat Pribumi yang tertinggi adalah ‘Regent’ atau biasa disebut sebagai Bupati, yang membawahi sebuah Kabupaten. Siapa sebenarnya Bupati ini pada jaman kolonial? Di dalam sistim pemerintahan Mataram terdapat 4 macam daerah yaitu (Kartodirjo, 1987:11) :
1. Daerah Inti yang disebut Negara atau Kuthagara.
2. Negara Agung.
3. Mancanegara
4. Pasisir.
Daerah Macanegara dan Pasisir, penguasanya dinamakan Bupati. Mereka adalah raja di daerahnya (Kartodirjo, 1987:12). Pada th. 1746 daerah Pasisir jatuh ketangan Kompeni, maka Bupati-Bupati nya menjadi Bupati Kompeni. Bupati Pesisir ini menjadi semacam ‘leverancier’ Kompeni. Mereka menyediakan barangbarang serta tenaga manusia untuk Kompeni. Para Bupati ini dengan leluasa mengembangkan kehidupan istana dengan meniru raja-raja Mataram di lingkungan masing-masing. Pada abad ke 19 setelah runtuhnya VOC, pemerintahan di Nusantara diserahkan kepada pemerintah kolonial Belanda. Para Bupati ini kemudian disebut sebagai Bupati Gubermen, yang menjadi pegawai yang digaji oleh pemerintah kolonial. Lalu apa hubungannya antara sistim pemerintahan ini dengan alun-alun?
Rumah Bupati di Jawa selalu dibangun untuk menjadi miniatur Kraton di Surakarta dan Yogyakarta. Di depan rumah Bupati juga terdapat pendopo yang berhadapan langsung dengan alun-alun, yang sengaja diciptakan oleh para Bupati untuk bisa menjadi miniatur dari Kraton Surakarta atau Yogyakarta. Bahkan di alun-alun di pusat kota Kabupaten ini juga diadakan perayaan semacam: sodoran, grebegan dan sebagainya. Rupanya pemerintah Kolonial Belanda melihat unsur phisik tradisional ini sebagai suatu potensi yang baik untuk dikembangkan dalam sistim pemerintahan tidak langsung (indirect rule) yang diterapkan di Nusantara ini.
Dalam sistim pemerintahan kolonial, Jawa dibagi menjadi 3 Propinsi, 18 Karesidenan yang masing-masing dibawahi oleh soerang residen, serta 66 Kabupaten yang masing-masing dikuasi secara bersama oleh seorang Asisten Residen (orang Belanda) dan seorang Bupati (Pribumi). Pada pusat kota Kabupaten inilah dibakukan semacam lambang pemerintahan bersama antara Asisten Residen dengan Bupati dalam bentuk phisik. Ujudnya adalah bentuk phisik tradisional berupa rumah Bupati dengan pendopo didepannya. Di depan rumah Bupati tersebut terdapat alun-alun yang ditumbuhi oleh dua buah atau kadang-kadang sebuah pohon beringin.
Rumah Bupati terletak disebelah Selatan alun-alun, di sebelah Barat terdapat mesjid Agung sesuai dengan kraton Yogyakarta atau Surakarta. Di sebelah Utara alun-alun yang berhadapan dengan rumah Bupati sekarang diletakkan kantor Asisten Residen Belanda, yang mengingatkan kita pada benteng Vastenburg dan Vredenburg di hadapan Kraton Yogyakarta dan Surakarta. Di sekitar alun-alun juga terdapat pasar, stasiun bus, serta daerah pertokoan yang Alun-alun terletak tidak jauh dari bangunan pemerintahan dan alun-alunnya. Model alun-alun inilah yang kemudian berkembang sebagai prototype identitas kota Jawa pada jaman kolonial.
Sifat sakral alun-alun di jaman kolonial kemudian berkembang lebih merakyat, pada jaman kolonial ini menjadi semacam ‘civic space’. Bahkan pada akhir jaman kolonial berkembang menjadi semacam ‘plaza’ di Eropa.
ALUN-ALUN PASCA JAMAN KOLONIAL
Setelah kemerdekaan, alun-alun masih menjadi unsur yang cukup dominan di kota-kota Kabupaten sampai sekarang. Pada jaman pra kolonial antara alunalun, kraton dan mesjid mempunyai konsep keselarasan yang jelas. Maksudnya komplek tersebut memang merupakan ujud dari konsep keselarasan antara mikrokosmos dan makrokosmos, yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa. Oleh sebab itu meskipun terdapat transformasi bentuk alun-alun dari jaman Mojopahit sampai Mataram, tapi terlihat adanya kontinuitas konsep pemikiran tentang penataannya. Pada jaman kolonial kelihatan adanya diskontinuitas tentang pemikiran konsep penataan alun-alun. Tapi secara halus Belanda berhasil membuat konsep baru dalam penataan alun-alun kota untuk disesuaikan dengan sistim pemerintahannya pada waktu itu. Sehingga muncul istilah kota-kota “Indisch”, karena munculnya kebudayaan ‘Indisch’, yaitu percampuran antara kebudayaan Jawa dan Kebudayaan Belanda6.
Pada awal abad ke 20, terjadi ‘westernisasi’ kota-kota di Nusantara. Kebudayaan ‘Indisch’, yang pada abad ke 19 berkembang subur di Nusantara, kelihatan menghilang, disapu oleh kebudayaan Barat modern yang dibawa oleh para pendatang baru pada awal abad ke 20. Sejak awal abad ke 20 inilah mulai kelihatan rusaknya alun-alun sebagai ciri khas kota-kota di Jawa.
Sesudah kemerdekaan Indonesia nasib alun-alun kota bertambah parah lagi. Banyak pengambil keputusan atau kebijakan pembangunan kota ragu-ragu atau bahkan tidak mengerti mau difungsikan untuk apa alun-alun ini. Banyak alun-alun yang sekarang digunakan untuk tempat olah raga sepak bola, tenis, basket, ada pula yang sekarang difungsikan sebagai taman kota. Bahkan banyak yang sekarang tidak jelas fungsinya, karena pusat kotanya sudah bergeser ke lain lokasi. Yang paling tragis lagi ada alun-alun kota yang diincar investor untuk dibeli karena letaknya yang strategis di pusat kota. Semuanya ini sebagai akibat belum adanya suatu konsensus budaya yang jelas secara nasional, untuk bisa dipakai sebagai pegangan dalam menangani alun-alun yang ada sekarang, sehingga wajar kalau timbul kebingungan dalam menangani pembangunan nya. Jadi seperti apa yang dilihat sekarang pada alun-alun kota, ingin meninggalkan pola tradisional, tapi belum menemukan struktur-struktur baru yang mantap. Sesudah jaman pasca kolonial ini alun-alun kelihatan seperti ‘hidup segan matipun enggan’.
KESIMPULAN.
Nasib alun-alun yang tidak menentu sesudah jaman pasca kolonial ini barangkali disebabkan belum adanya suatu konsensus budaya yang dapat diterima oleh semua golongan. Etika keselarasan yang dipakai sebagai sumber konsep untuk mewujudkan alun-alun kota, berakar dalam suatu struktur sosial budaya dan pandangan dunia yang amat berbeda dengan apa yang kita sebut sebagai modernisasi sekarang. Modernisasi bukanlah suatu alternatif terhadap tradisi, tapi keduanya berkaitan secara dialektis. Sikap kreatif yang dijunjung tinggi pada jaman modern ini misalnya, berarti: bergairah untuk memikirkan, mencari, menemukan, menciptakan sesuatu yang baru. Padahal tradisi masa lalu selalu bertitik tolak pada keadaan selaras yang sudah ada, yang perlu dipertahankan, sesuatu yang baru pasti mengacaukan harmoni dan harus ditolak. Terhadap keadaan yang harmonis dan baik, yang baru mesti merupakan ancaman. Karena itu pemikiran tradisional masa lalu yang berdasarkan keselarasan ditantang untuk menunjukkan bagaimana dalam kerangkanya kreativitas dapat diminati sebagai sesuatu yang positif. Konsensus misalnya, andaikata terbentuk sifatnya mungkin hanya sementara saja. Adalah tidak mungkin untuk mempertahankan nilai-nilai masa lalu dari arsitektur tradisional sebagai dasar konsesnsus yang berlaku sekarang. Meskipun nilai-nilai dasar dalam arsitektur tradisional tetap dipertahankan, perlu dipikirkan pengembangan yang memadai untuk menghadapai tantangan-tantangan dewasa ini. Pada masa lalu arsitek dan pemberi nilai terletak pada seorang saja (Sultan Yogya yang pertama misalnya adalah sumber nilai yang sekaligus juga arsitek Kraton Yogyakarta). Pada masa kini seorang arsitek adalah pemberi ‘ujud’, dia bukan sumber nilai bagi masyarakatnya. Oleh sebab itu diperlukan pemikiran dan kemauan semua pihak untuk mengatasi masalah ini.
Catatan
1.Kepercayaan tentang kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos (antara jagat raya dan dunia manusia) yang dijumpai dalam hubungan kosmologis dari negara dan kedudukan raja di Asia Tenggara, khususnya di Jawa, yang banyak dijumpai pada ujud :gelar-gelar raja, pengaturan negara, penyuunan tata ruang ibukota, denah-denah Kraton, candi-candi dsb.nya telah banyak dibahas para ahli misalnya dalam buku: Conceptions of State and Kingship in Southeast Asia oleh Robert Heine Geldern, Kraton and Cosmos In Traditional Java oleh Timothy Earl Behren dan sebagaina.
2.Disini jelas adanya perbedaan yang mencolok antara konsep alun-alun dengan Agora di Yunani. Alun-alun pada awalnya dirancang sebagai ‘ruang sakral’. Sedangkan Agora merupakan ruang luar yang bersifat ‘profan’ sebagai pencerminan faham demokrasi yang dianut oleh negara Yunani waktu itu.
3.Negarakretagama ditemukan di P. Lombok pada th. 1902. Sejak itu banyak sejarawan dan ahli-ahli lainnya berusaha untuk merekonstruksi ibukota Majapahit berdasarkan uraian yang dibuat Prapanca. Usaha rekonstruksi ini dilakukan oleh Prof. H. Kern (1905 & 1914), Poerbacaroko (1924), Stutterheim (De Kraton van Majapahit, 1941), Th.G. Pigeaud (1960-1963), dan juga Prof. Slamet Mulyono (1965). Bahkan pada th. 1970 oleh sarjana Perancis Denys Lombard.
4.Di Surakarta alun-alun Lor dan Kidul mempunyai dimensi yang hampir sama luasnya yaitu kurang lebih 300x400 meter. Di Yogyakarta alun-alun Lor mempunyai dimensi yang lebih kecil yaitu 300x265 meter.
5.Sodoran adalah pertujukan adu ketangkasan diatas kuda dengan menggunakan tombak yang ujungnya tumpul. Tentang pertujukan Sodoran bisa ibaca pada buku karangan Rob Nieuwenhuis, yang berjudul ‘Oost Indische Spiegel’, yang dterjemahkan oleh Dick Hartoko, dengan judul “Bianglala Sastra Belanda’, Djambatan, 1985, hal.5-7. Pertujukan Sodoran ini diceritakn oleh R. van Goens utusan V.O.C. pada jaman Mataram.
6.Tentang Kebudayaan ‘Indisch’ di Indonesia, baca tulisan Paline D. Milone, yang berjudul: “Indische Culture and its relationship to urban life”, dalam Comparative Studies in Society & History; vol.9, Jul-Oct., hal.427-436.
KEPUSTAKAAN.
Behrend, Timothy Earl (1982), Kraton and Cosmos In Traditional Java, Tesis M.A., University of Wisconsin-Madison.
Carey, Peter (1986), Asal Usul Perang Jawa, Pustaka Azet, Jakarta.
Coban, James L. (1970), The City Of Java, An Easy In Historical Geography, Ph.D. Thesis, University Of California.
De Kraton van Java Yogyakarta, De Indeeling van den Kraton Mooi Yogyakarta, Uitgave Kalf Buning.
Eliade, Mircea (1959), The Sacred and The Profan, Harcourt Brace & World Inc.
Geldern, Robert Heine (1972), Konsepsi Tentang Negara & Kedudukan Raja Di Asia Tenggara, terjemahan Deliar Noer, CV. Rajawali, Jakarta.
Kartodirdjo, Sartono, et.al. (1987), Perkembangan Peradaban Priyayi, Gajahmada University Press, Yogyakarta.
Milone, Pauline D. (1966-67), Indische Culture And Its Relationship To Urban Life, dalam Comparative Studies In Society & History, vol.9, Jul-Oct, hal.427-436.
Mulyono, Slamet (1965), Menuju Puncak Kemegahan, Sejarah Kerajaan Majapahit, dalam Bab. Negarakretagama Sebagai Sumber Sejarah Kebudayaan Ibukota Majapahit, Jakarta, Balai Pustaka. Hal. 44-46 dan hal.
Nieuwenhuis, Rob (1972) Oost Indische Spiegel, ditulis kembali oleh Dick Hartoko dengan Judul Bianglala Sastra, Bunga Rampai Sastra Belanda Tentang Kehidupan di Indonesia, Djambatan, Jakarta. Hal. 5-7.
Paulus, J. (1917), Encyclopedie van Nederland Indie, Twee Druk, Martinus Nijhoff, S’Gravenhage, NV v/h E.J. Brill , Leiden.
Pigeaud, Th. G. (1940), De Noorder Aloen-Aloen Te Yogyakarta, dalam majalah Jawa, no.3, Mei 1940, hal. 176-184.
Santoso, S. (1981), Dinamika Perkembangan Arsitektur Di Jaman Prakolonial di P. Jawa, dalam majalah Dimensi no.5, 1981, hal. 34-36.
Santoso, S. (1984), Kosep Struktur & Bentuk Kota Jawa s/d Abad ke 18.
Sutherland, Heather (1985), Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi, SinarHarapan, Jakarta.
Tempo, 16 Pebruari 1985, Membangun Keraton Menurut Kawruh Kalang, Hal. 19-20.
Penulis merupakan Staf Pengajar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra.
Sumber tulisan, Dimensi 18/ARS SEPTEMBER 1992 1
Setiap orang yang berkeliling ke kota-kota di P. Jawa mulai dari Jawa Barat sampai ke Jawa Timur pasti menjumpai alun-alun pada pusat kota lamanya. Konsep penataan alun-alun pada kota-kota di Jawa ini sebenarnya sudah ada sejak jaman prakolonial dulu. Jadi alun-alun sebenarnya berpotensi untuk menjadi salah satu identitas bagi kota-kota di P. Jawa. Hal ini penting mengingat sekarang kita sedang dilanda krisis identitas baik dalam bidang arsitektur maupun perencanaan kota. Tapi sayang nya alun-alun di kota-kota sekarang keadaannya sangat menyedihkan sekali se olah-olah seperti ‘hidup segan matipun engan’. Hal ini mungkin disebabkan karena kurang sadarnya masyarakat akan konsep tata ruang kota Jawa dimasa lampau. Tulisan ini mencoba untuk mencari sejarah alunalun di masa lampau, barangkali bisa dipakai sebagai salah satu pertimbangan untuk menghidupkan kembali alun-alun kota.
ABSTRACT
Anyone going around Java, from one city to another, will certainly come across ‘alun-alun’ in the center of each downtown. The concept of ‘alun-alun has actually existed since the precolonial period. Considering the identity crisis – in both the architecture and city planning – that we are facing now, we can say that ‘alun-alun is actually potential to show the identity of the cities in Java. Unfortunately its existence is in a very poor condition. This might happen because people are not fully aware of the concept of ‘Java city planning’ in the past. This paper is meant to look for the history of ‘alun-alun’ in the past with the purpose of reviving the ‘alun-alun kota’.
PENDAHULUAN.
Apakah sebenarnya alun-alun itu? Apa fungsi sebenarnya di masa lampau? Mengapa alun-alun itu selalu terdapat di hampir setiap kota di P. Jawa? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini selalu muncul dan perlu diketahui sebelum kita bisa menentukan sikap lebih lanjut tentang nasib alun-alun tersebut untuk masa mendatang.
Di dalam buku “Encyclopedie van Nederlandsch Indie” (Paulus, 1917:31), terdapat penjelasan tentang ‘alun-alun’ sebagai berikut :
“Di hampir setiap tempat kediaman Bupati, seorang kepala distrik di Jawa, orang selalu menjumpai adanya sebuah lapangan rumput yang luas, yang dikelilngi oleh pohon beringin di tengahnya. Lapangan inilah yang dinamakan ‘alun-alun’. Di kota-kota bekas kerajaan kuno (seperti Surakarta dan Yogyakarta), mempunyai dua buah ’alun-alun’, sebuah terletak di Utara Kraton dan sebuah lagi terletak disebelah Selatan Kraton. Di permukaan alun-alun tersebut tidak boleh ada rumput tumbuh dan diatasnya ditutup dengan pasir halus. Di bagian Selatan dari alun-alun tersebut terdapat pintu masuk yang menuju ketempat kediaman Raja atau Bupati, dimana disana berdiri sebuah pendopo. Pegawai negeri atau orang-orang lain yang ingin bertemu dengan raja atau Bupati menunggu waktunya disana untuk dipanggil, jika Raja merestui untuk menerima kedatangan mereka. Oleh sebab itu pendopo tersebut kadang-kadang dinamakan juga Paseban (asal kata seba). Pada masa lampau di alun-alun tiap hari Sabtu atau Senin (Seton atau Senenan) diadakan permainan Sodoran (pertandingan diatas kuda dengan menggunakan tombak yang ujungnya tumpul), atau pertandingan macan secara beramai-ramai yang dinamakan ‘rampog macan’. Pada waktu pertunjukan ini raja duduk di Siti Inggil, tempat yang paling tinggi dimuka pintu Kraton. Pada tempat-tempat Bupati terdapat panggung untuk melihat tontonan tersebut. Di Jawa Barat juga terdapat alun-alun kecil di depan rumah kepala desa, tapi alun-alun tersebut tidak dikelilingi oleh pohon beringin. Mesjid seringkali terdapat disebelah Barat dari alun-alun”
Kehadiran alun-alun sudah ada sejak jaman prakolonial. Meskipun dari dulu sampai sekarang bentuk phisik alun-alunnya sendiri tidak banyak mengalami perubahan, tapi konsep yang mendasari bentuk phisiknya sejak jaman prakolonial sampai sekarang telah mengalami banyak perubahan. Konsep inilah yang sebetulnya menentukan fungsi dan kehadiran laun-alun dalam suatu kota di Jawa. Uraian dibawah ini mencoba untuk menlusuri konsep yang mendasari kehadiran alun-alun di masa lampau, sebagai pertimbangan untuk menghidukan kembali alun-alun yang sekarang masih banyak terdapat pada kota-kota di Jawa, tapi keadannya seperti ‘hidup segan matipun enggan’.
Perlu dipikirkan disini bahwa persoalan dan kegagalan yang terjadi dalam proses pembangunan seringkali bersumber dari keinginan membentuk suatu masyarakat baru tanpa mengenal lebih dulu nilai-nilai tradisional masa lalu.
ALUN-ALUN PADA JAMAN PRAKOLONIAL DI JAWA.
Dimasa lalu sejak jaman Mojopahit sampai Mataram (abad 13 s/d 18), alun-alun selalu menjadi bagian dari suatu komplek Kraton. Kraton dalam masyarakat tradisional masa lalu merupakan pusat pemerintahan dan sekaligus merupakan pusat kebudayaan. Sebagai pusat pemerintahan dimana raja tinggal, maka Kraton dianggap sebagai miniatur dari makrokosmos1. Komplek Kraton biasanya diberi pagar yang terpisah dari daerah lainnya pada suatu ibukota kerajaan, Batas pagar ini tidak selalu ditafsirkan melalui sistim pertahanan, tapi dapat ditentukan juga dari aspek kepercayaan/keagamaan. Untuk itu kita harus mengerti dulu hubungan antara kepercajaan/keagamaan dengan kota/komplek Kraton.
Manusia yang religius seperti halnya mayarakat agraris yang religius di Jawa ini biasanya membagi ruang menjadi dua jenis, ruang yang homogen atau sakral (disucikan) disatu pihak dan ruang yang inhomogen atau yang tidak teratur (bisa disebut profan) dilain pihak. Di alam sakral segalanya teratur, baik tingkah laku manusia maupun struktur bangunannya. Sedang di ruang yang inhomogen semuanya tidak teratur, karena tidak/belum disucikan (Eliade, 1959:20-65).
Wilayah Kraton selalu dianggap sebagai wilayah yang homogen (Sakral), yang teratur atau harus diatur. Manifestasi dari keinginan inilah yang melahirkan konsepsi ruang dari susunan sebuah Kraton. Seperti dijelaskan di depan bahwa Kraton dianggap sebagai miniatur dari makrokosmos. Manifestasinya adalah sebagai berikut: tempat tinggal raja yang biasa disebut sebagai ‘dalem ageng’ diibaratkan sebagai puncak Mahameru (atau gunung Semeru di Jawa). Disinlah kekuasaan dan wibawa raja dirasakan sangat besar. Di daerah lingkaran di luarnya disebut ‘negara agung’ (negara besar), batas luarnya adalah pelataran dalam. Disini kekuasan raja masih terasa besar. Di luar ‘negara agung’ dinamakan kawasan ‘mancanegara’ (luar daerah). Ini sudah agak diluar, tapi belum keluar dari batas teras Kraton. Di tempat inilah biasanya raja menerima tamu. Diluarnya lagi disebut Pasisir. Batas luarnya sudah mencapai Siti Inggil, bangunan di batas alun-alun dengan Kraton. Di Pesisir raja makin jarang muncul, hanya beberapa kali dalam setahun misalnya bila ada perayaan tertentu. Daerah paling luar disebut ‘sabrang’ (daerah seberang). Didaerah inilah bangsal pertemuan untuk para Bupati ditempatkan. Jadi jelaslah disini meskipun tempatnya paling luar tapi ‘alun-alun’ masih terletak di dalam komplek tembok/pagar Kraton2.
Di dalam Kraton Majapahit seperti dilukiskan oleh Prapanca dalam Negarakretagama3, di sebelah Utara dari komplek Kraton terdapat dua alun-alun. Masing-masing dinamakan Bubat (terkenal sebagai tempat pertarungan sengit antara utusan kerajaan pajajaran dengan pasukan Gajah Mada), yang luasnya kira-kira 1 km2, dengan lebar kurang lebih 900.00 M dan alun-alun Utara yang disebut sebagai Waguntur.
Meskipun keterangan Prapanca dalam Negarakretagama kurang begitu jelas, tapi masih bisa ditangkap betapa pentingnya peran alun-alun sebagai bagian dari pusat kota. Fungsi kedua alun-alun ini agak berbeda. Lapangan Bubat lebih bersifat profan . Pesta rakyat yang diadakan setiap tahun sekali pada bulan caitra (Maret/April) diselenggarakan di lapangan Bubat. Pada 3-4 hari terakhir pertunjukan dan permainan diselenggarakan dengan kehadiran dari raja. Fungsi lapangan Waguntur lebih sakral. Lapangan ini terletak di dalam pura raja Majapahit, yang digunakan untuk lapangan upacara penobatan atau resepsi kenegaraan. Di lapangan Waguntur ini terdapat Siti Inggil, serta komplek pemujaan (kuil Siwa) yang terletak di sebelah Timur dari lapangan Waguntur. Ini lebih mirip dengan alun-alun Lor Kraton Yogyakarta atau Surakarta, hanya komplek pemujaan pada alun-alun Lor diganti dengan mesjid yang letaknya di sebelah Barat dari alun-alun.
Model yang masih bisa kita lihat sebagai prototype alun-alun kota di Jawa pada jaman yang lebih muda adalah alun-alun Yogyakarta dan Surakarta bekas perpecahan kerajaan Mataram dimasa lampau. Baik di Yogyakarta maupun di Surakarta terdapat dua buah alun-alun yaitu alun-alun Lor dan Kidul4. Di masa lalu alun-alun Lor berfungsi menyediakan persyaratan bagi berlangsungnya kekuasaan raja. Alun-alun Kidul berfungsi untuk menyiapkan suatu kondisi yang menunjang kelancaran hubungan kraton dengan universum. Alun-alun Kidul dapat juga melambangkan kesatuan kekuasaan sakral antara raja dan para bangsawan yang tinggal disekitar alun-alun.
Alun-alun Lor Yogyakarta pada masa lalu berbentuk ruang luar segi empat berukuran 300x265 meter. Di tengahnya terdapat dua buah pohon beringin dan di sekelilingnya terdapat 64 pohon beringin yang ditanam dengan jarak sedemikian rupa sehingga harmoni dengan bangunan disekitarnya. Permukaan alun-alun ini ditutupi oleh pasir halus. Dua buah pohon beringin ditengah alun-alun tersebut dikelilingi oleh pagar segi empat. Orang Jawa menyebutnya sebagai ‘Waringin Kurung’. Nama Waringin berasal dari dua suku kata “wri” dan “ngin”. “Wri” berasal dari kata “wruh” yang berarti mengetahui, melihat. “Ngin” berarti memikir, tindakan penjagaan masa depan (Pigeaud, 1940:180). Kedua kata tersebut melambangkan kematangan manusia yang arief bijaksana, karena orang Jawa berangapan bahwa kegiatan bijaksana berasal dari kosmos. Pohon beringin dengan demikian melambangkan kesatuan dan harmoni antara manusia dengan universum. Kesatuan ini tidak timbul dengan sendirinya. Pohon beringin melambangkan langit dan permukaan tanah yang persegi empat didalam pagar kayu mengartikan tugas manusia untuk mengatur kehidupan di bumi dan di alam, supaya harmoni dengan hukum universum (Pigeaud, 1940:180).
Alun-alun jaman Mataram juga digunakan oleh warga (rakyat biasa) untuk bertemu langsung dengan raja, guna meminta pertimbangan atau sesuatu kasus perselisihan. Orang harus memakai pakaian dan penutup kepala putih dan harus duduk menunggu diantara kedua pohon beringin sampai diperbolehkan menghadap raja. Perbuatan seperti ini disebut “pepe”.
Di sebelah Barat alun-alun terdapat mesjid. Di halaman mesjid tersebut terdapat dua buah bangsal terbuka untuk dua buah perlengkapan gamelan. Yang satu disebut “Kyai Sekati” dan yang lain disebut “Nyai Sekati”. Keduanya dimainkan bergantian dimainkan hanya pada 3 upacara keagamaan, yaitu: Garebeg Maulud, Garebeg Sawal dan Garebeg Besar. Di seberang mesjid terdapat bangunan yang disebut ‘Pamonggangan” tempat untuk menyimpan gamelan yang lain. Dahulu pada jaman Mataram, setiap hari Sabtu sore (di luar Kasultanan diadakan pada hari Senin sehingga sering disebut Seton atau Senenan) diadakan pertunjukan ‘Sodoran’5 di alun-alun. Gamelan tersebut dimainkan sewaktu ada pertunjukan itu. Di sebelah bangunan “Pamonggangan” tersebut terdapat sebuah kadang harimau dan binatang buas lainnya. Pada hari Sabtu sore selain pertunjukan Sodoran kadang-kadang juga diadakan pertunjukan perkelahian antara banteng dan harimau, yang selalu diakhiri dengan kemenangan banteng. Lambang kekuasaan raja adalah banteng (dalam bahasa Jawa disebut Maesa), sedangkan lambang kekacauan adalah harimau (dalam bahsa Jawa disebut Simo). Pada jaman penjajahan banteng sering dilambangkan dengan orang Jawa dan harimau sebagai orang Belanda. Dalam pertunjukan ini banteng menang, dan orang Belanda ikut bertepuk tangan, karena mereka tidak mengerti !
Ada juga dipertunjukkan membunuh harimau (simbol kekacauan), secara beramai-ramai, yang dinamakan ‘rampog macan”. Jadi alun-alun yang pada mulanya merupakan pelataran sakral yang melambangkan harmoni antara langit yang dilambangkan sebagai pohon beringin dan bumi yang dilambangkan sebagai pasir halus, dimasa ini telah bertambah artinya.
Kesimpulanya alun-alun pada jaman prakolonial bisa berfungsi sebagai (Santoso, 1984) :
1. Lambang berdirinya sistim kekuasaan raja terhadap rakyatnya.
2. Tempat semua upacara keagamaan yang penting (adanya hubungan penting antara Kraton-Mesjid dan Alun-Alun).
3. Tempat pertunjukan kekuasaan militeris yang bersifat profane
ALUN-ALUN PADA JAMAN KOLONIAL
Untuk menjelaskan peran alun-alun pada jaman kolonial, disini dicoba untuk melihatnya dari sudut susunan pemerintahan, karena hubungannya yang sangat erat sekali. Salah satu unsur yang dikagumi orang mengenai kolonialisme Belanda di Indonesia adalah sistim pemerintahannya yang tidak langsung (indirect rule). Pemerintah kolonial Belanda dalam memerintah Nusantara selain menggunakan pejabat resmi seperti Gubernur Jenderal, Residen, Asisten Residen, Kontrolir dan sebagainya, juga menggunakan pejabat Pribumi untuk berhubungan langsung dengan rakyat, seperti Bupati, Patih, Wedana, Camat dan lainnya. Unsur pemerintahan Pribumi ini biasanya disebut sebagai Pangreh Praja (yang berkuasa atas kerajaan - orang Belanda memakai istilah ‘Inlandsch Bestuur’). Supaya lebih jelas dibawah ini diberikan diagram sitim pemerintahan Belanda sampai th. 1902.
Dalam sistim pemerintahan ‘Inlandsch Bestuur’ pejabat Pribumi yang tertinggi adalah ‘Regent’ atau biasa disebut sebagai Bupati, yang membawahi sebuah Kabupaten. Siapa sebenarnya Bupati ini pada jaman kolonial? Di dalam sistim pemerintahan Mataram terdapat 4 macam daerah yaitu (Kartodirjo, 1987:11) :
1. Daerah Inti yang disebut Negara atau Kuthagara.
2. Negara Agung.
3. Mancanegara
4. Pasisir.
Daerah Macanegara dan Pasisir, penguasanya dinamakan Bupati. Mereka adalah raja di daerahnya (Kartodirjo, 1987:12). Pada th. 1746 daerah Pasisir jatuh ketangan Kompeni, maka Bupati-Bupati nya menjadi Bupati Kompeni. Bupati Pesisir ini menjadi semacam ‘leverancier’ Kompeni. Mereka menyediakan barangbarang serta tenaga manusia untuk Kompeni. Para Bupati ini dengan leluasa mengembangkan kehidupan istana dengan meniru raja-raja Mataram di lingkungan masing-masing. Pada abad ke 19 setelah runtuhnya VOC, pemerintahan di Nusantara diserahkan kepada pemerintah kolonial Belanda. Para Bupati ini kemudian disebut sebagai Bupati Gubermen, yang menjadi pegawai yang digaji oleh pemerintah kolonial. Lalu apa hubungannya antara sistim pemerintahan ini dengan alun-alun?
Rumah Bupati di Jawa selalu dibangun untuk menjadi miniatur Kraton di Surakarta dan Yogyakarta. Di depan rumah Bupati juga terdapat pendopo yang berhadapan langsung dengan alun-alun, yang sengaja diciptakan oleh para Bupati untuk bisa menjadi miniatur dari Kraton Surakarta atau Yogyakarta. Bahkan di alun-alun di pusat kota Kabupaten ini juga diadakan perayaan semacam: sodoran, grebegan dan sebagainya. Rupanya pemerintah Kolonial Belanda melihat unsur phisik tradisional ini sebagai suatu potensi yang baik untuk dikembangkan dalam sistim pemerintahan tidak langsung (indirect rule) yang diterapkan di Nusantara ini.
Dalam sistim pemerintahan kolonial, Jawa dibagi menjadi 3 Propinsi, 18 Karesidenan yang masing-masing dibawahi oleh soerang residen, serta 66 Kabupaten yang masing-masing dikuasi secara bersama oleh seorang Asisten Residen (orang Belanda) dan seorang Bupati (Pribumi). Pada pusat kota Kabupaten inilah dibakukan semacam lambang pemerintahan bersama antara Asisten Residen dengan Bupati dalam bentuk phisik. Ujudnya adalah bentuk phisik tradisional berupa rumah Bupati dengan pendopo didepannya. Di depan rumah Bupati tersebut terdapat alun-alun yang ditumbuhi oleh dua buah atau kadang-kadang sebuah pohon beringin.
Rumah Bupati terletak disebelah Selatan alun-alun, di sebelah Barat terdapat mesjid Agung sesuai dengan kraton Yogyakarta atau Surakarta. Di sebelah Utara alun-alun yang berhadapan dengan rumah Bupati sekarang diletakkan kantor Asisten Residen Belanda, yang mengingatkan kita pada benteng Vastenburg dan Vredenburg di hadapan Kraton Yogyakarta dan Surakarta. Di sekitar alun-alun juga terdapat pasar, stasiun bus, serta daerah pertokoan yang Alun-alun terletak tidak jauh dari bangunan pemerintahan dan alun-alunnya. Model alun-alun inilah yang kemudian berkembang sebagai prototype identitas kota Jawa pada jaman kolonial.
Sifat sakral alun-alun di jaman kolonial kemudian berkembang lebih merakyat, pada jaman kolonial ini menjadi semacam ‘civic space’. Bahkan pada akhir jaman kolonial berkembang menjadi semacam ‘plaza’ di Eropa.
ALUN-ALUN PASCA JAMAN KOLONIAL
Setelah kemerdekaan, alun-alun masih menjadi unsur yang cukup dominan di kota-kota Kabupaten sampai sekarang. Pada jaman pra kolonial antara alunalun, kraton dan mesjid mempunyai konsep keselarasan yang jelas. Maksudnya komplek tersebut memang merupakan ujud dari konsep keselarasan antara mikrokosmos dan makrokosmos, yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa. Oleh sebab itu meskipun terdapat transformasi bentuk alun-alun dari jaman Mojopahit sampai Mataram, tapi terlihat adanya kontinuitas konsep pemikiran tentang penataannya. Pada jaman kolonial kelihatan adanya diskontinuitas tentang pemikiran konsep penataan alun-alun. Tapi secara halus Belanda berhasil membuat konsep baru dalam penataan alun-alun kota untuk disesuaikan dengan sistim pemerintahannya pada waktu itu. Sehingga muncul istilah kota-kota “Indisch”, karena munculnya kebudayaan ‘Indisch’, yaitu percampuran antara kebudayaan Jawa dan Kebudayaan Belanda6.
Pada awal abad ke 20, terjadi ‘westernisasi’ kota-kota di Nusantara. Kebudayaan ‘Indisch’, yang pada abad ke 19 berkembang subur di Nusantara, kelihatan menghilang, disapu oleh kebudayaan Barat modern yang dibawa oleh para pendatang baru pada awal abad ke 20. Sejak awal abad ke 20 inilah mulai kelihatan rusaknya alun-alun sebagai ciri khas kota-kota di Jawa.
Sesudah kemerdekaan Indonesia nasib alun-alun kota bertambah parah lagi. Banyak pengambil keputusan atau kebijakan pembangunan kota ragu-ragu atau bahkan tidak mengerti mau difungsikan untuk apa alun-alun ini. Banyak alun-alun yang sekarang digunakan untuk tempat olah raga sepak bola, tenis, basket, ada pula yang sekarang difungsikan sebagai taman kota. Bahkan banyak yang sekarang tidak jelas fungsinya, karena pusat kotanya sudah bergeser ke lain lokasi. Yang paling tragis lagi ada alun-alun kota yang diincar investor untuk dibeli karena letaknya yang strategis di pusat kota. Semuanya ini sebagai akibat belum adanya suatu konsensus budaya yang jelas secara nasional, untuk bisa dipakai sebagai pegangan dalam menangani alun-alun yang ada sekarang, sehingga wajar kalau timbul kebingungan dalam menangani pembangunan nya. Jadi seperti apa yang dilihat sekarang pada alun-alun kota, ingin meninggalkan pola tradisional, tapi belum menemukan struktur-struktur baru yang mantap. Sesudah jaman pasca kolonial ini alun-alun kelihatan seperti ‘hidup segan matipun enggan’.
KESIMPULAN.
Nasib alun-alun yang tidak menentu sesudah jaman pasca kolonial ini barangkali disebabkan belum adanya suatu konsensus budaya yang dapat diterima oleh semua golongan. Etika keselarasan yang dipakai sebagai sumber konsep untuk mewujudkan alun-alun kota, berakar dalam suatu struktur sosial budaya dan pandangan dunia yang amat berbeda dengan apa yang kita sebut sebagai modernisasi sekarang. Modernisasi bukanlah suatu alternatif terhadap tradisi, tapi keduanya berkaitan secara dialektis. Sikap kreatif yang dijunjung tinggi pada jaman modern ini misalnya, berarti: bergairah untuk memikirkan, mencari, menemukan, menciptakan sesuatu yang baru. Padahal tradisi masa lalu selalu bertitik tolak pada keadaan selaras yang sudah ada, yang perlu dipertahankan, sesuatu yang baru pasti mengacaukan harmoni dan harus ditolak. Terhadap keadaan yang harmonis dan baik, yang baru mesti merupakan ancaman. Karena itu pemikiran tradisional masa lalu yang berdasarkan keselarasan ditantang untuk menunjukkan bagaimana dalam kerangkanya kreativitas dapat diminati sebagai sesuatu yang positif. Konsensus misalnya, andaikata terbentuk sifatnya mungkin hanya sementara saja. Adalah tidak mungkin untuk mempertahankan nilai-nilai masa lalu dari arsitektur tradisional sebagai dasar konsesnsus yang berlaku sekarang. Meskipun nilai-nilai dasar dalam arsitektur tradisional tetap dipertahankan, perlu dipikirkan pengembangan yang memadai untuk menghadapai tantangan-tantangan dewasa ini. Pada masa lalu arsitek dan pemberi nilai terletak pada seorang saja (Sultan Yogya yang pertama misalnya adalah sumber nilai yang sekaligus juga arsitek Kraton Yogyakarta). Pada masa kini seorang arsitek adalah pemberi ‘ujud’, dia bukan sumber nilai bagi masyarakatnya. Oleh sebab itu diperlukan pemikiran dan kemauan semua pihak untuk mengatasi masalah ini.
Catatan
1.Kepercayaan tentang kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos (antara jagat raya dan dunia manusia) yang dijumpai dalam hubungan kosmologis dari negara dan kedudukan raja di Asia Tenggara, khususnya di Jawa, yang banyak dijumpai pada ujud :gelar-gelar raja, pengaturan negara, penyuunan tata ruang ibukota, denah-denah Kraton, candi-candi dsb.nya telah banyak dibahas para ahli misalnya dalam buku: Conceptions of State and Kingship in Southeast Asia oleh Robert Heine Geldern, Kraton and Cosmos In Traditional Java oleh Timothy Earl Behren dan sebagaina.
2.Disini jelas adanya perbedaan yang mencolok antara konsep alun-alun dengan Agora di Yunani. Alun-alun pada awalnya dirancang sebagai ‘ruang sakral’. Sedangkan Agora merupakan ruang luar yang bersifat ‘profan’ sebagai pencerminan faham demokrasi yang dianut oleh negara Yunani waktu itu.
3.Negarakretagama ditemukan di P. Lombok pada th. 1902. Sejak itu banyak sejarawan dan ahli-ahli lainnya berusaha untuk merekonstruksi ibukota Majapahit berdasarkan uraian yang dibuat Prapanca. Usaha rekonstruksi ini dilakukan oleh Prof. H. Kern (1905 & 1914), Poerbacaroko (1924), Stutterheim (De Kraton van Majapahit, 1941), Th.G. Pigeaud (1960-1963), dan juga Prof. Slamet Mulyono (1965). Bahkan pada th. 1970 oleh sarjana Perancis Denys Lombard.
4.Di Surakarta alun-alun Lor dan Kidul mempunyai dimensi yang hampir sama luasnya yaitu kurang lebih 300x400 meter. Di Yogyakarta alun-alun Lor mempunyai dimensi yang lebih kecil yaitu 300x265 meter.
5.Sodoran adalah pertujukan adu ketangkasan diatas kuda dengan menggunakan tombak yang ujungnya tumpul. Tentang pertujukan Sodoran bisa ibaca pada buku karangan Rob Nieuwenhuis, yang berjudul ‘Oost Indische Spiegel’, yang dterjemahkan oleh Dick Hartoko, dengan judul “Bianglala Sastra Belanda’, Djambatan, 1985, hal.5-7. Pertujukan Sodoran ini diceritakn oleh R. van Goens utusan V.O.C. pada jaman Mataram.
6.Tentang Kebudayaan ‘Indisch’ di Indonesia, baca tulisan Paline D. Milone, yang berjudul: “Indische Culture and its relationship to urban life”, dalam Comparative Studies in Society & History; vol.9, Jul-Oct., hal.427-436.
KEPUSTAKAAN.
Behrend, Timothy Earl (1982), Kraton and Cosmos In Traditional Java, Tesis M.A., University of Wisconsin-Madison.
Carey, Peter (1986), Asal Usul Perang Jawa, Pustaka Azet, Jakarta.
Coban, James L. (1970), The City Of Java, An Easy In Historical Geography, Ph.D. Thesis, University Of California.
De Kraton van Java Yogyakarta, De Indeeling van den Kraton Mooi Yogyakarta, Uitgave Kalf Buning.
Eliade, Mircea (1959), The Sacred and The Profan, Harcourt Brace & World Inc.
Geldern, Robert Heine (1972), Konsepsi Tentang Negara & Kedudukan Raja Di Asia Tenggara, terjemahan Deliar Noer, CV. Rajawali, Jakarta.
Kartodirdjo, Sartono, et.al. (1987), Perkembangan Peradaban Priyayi, Gajahmada University Press, Yogyakarta.
Milone, Pauline D. (1966-67), Indische Culture And Its Relationship To Urban Life, dalam Comparative Studies In Society & History, vol.9, Jul-Oct, hal.427-436.
Mulyono, Slamet (1965), Menuju Puncak Kemegahan, Sejarah Kerajaan Majapahit, dalam Bab. Negarakretagama Sebagai Sumber Sejarah Kebudayaan Ibukota Majapahit, Jakarta, Balai Pustaka. Hal. 44-46 dan hal.
Nieuwenhuis, Rob (1972) Oost Indische Spiegel, ditulis kembali oleh Dick Hartoko dengan Judul Bianglala Sastra, Bunga Rampai Sastra Belanda Tentang Kehidupan di Indonesia, Djambatan, Jakarta. Hal. 5-7.
Paulus, J. (1917), Encyclopedie van Nederland Indie, Twee Druk, Martinus Nijhoff, S’Gravenhage, NV v/h E.J. Brill , Leiden.
Pigeaud, Th. G. (1940), De Noorder Aloen-Aloen Te Yogyakarta, dalam majalah Jawa, no.3, Mei 1940, hal. 176-184.
Santoso, S. (1981), Dinamika Perkembangan Arsitektur Di Jaman Prakolonial di P. Jawa, dalam majalah Dimensi no.5, 1981, hal. 34-36.
Santoso, S. (1984), Kosep Struktur & Bentuk Kota Jawa s/d Abad ke 18.
Sutherland, Heather (1985), Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi, SinarHarapan, Jakarta.
Tempo, 16 Pebruari 1985, Membangun Keraton Menurut Kawruh Kalang, Hal. 19-20.
Penulis merupakan Staf Pengajar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra.
Sumber tulisan, Dimensi 18/ARS SEPTEMBER 1992 1
Alat Tulang: Sebuah Kebudayaan Masyarakat Prasejarah
Dua hal yang sangat menentukan kehidupan manusia pada zaman berburu adalah alat-alat seperti alat dari tulang dan api. Pembuatan peralatan dari tulang merupakan bagian tersendiri yang makin lama-makin maju ke arah penyempurnaan, baik bentuk maupun fungsinya. Alat-alat yang digunakan pada masa ini, termasuk alat dari tulang, ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dalam perburuan. Peralatan yang terbuat dari tulang ternyata tidak hanya ditemukan di Indonesia, namun banyak ditemukan di luar Indonesia.
Perkembangan Kebudayaan Alat Tulang
Raymond Dart berpendapat bahwa alat yang pertama kali digunakan oleh Australopithecus bukan dari batu, melainkan dari kayu maupun tulang. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya data di situs perburuan yang menunjukkan adanya fragmen tulang Australopithecus yang memunyai konteks temuan dengan tulang singa dan alat-alat berupa lancipan tulang serta tanduk. Diperkirakan alat tersebut berfungsi sebagai penusuk karena bagian distalnya yang meruncing, diperkeras dengan pembakaran. Selain itu, juga ditemukan fragmen tulang kaki yang berfungsi sebagai alat pemukul.
Di luar Indonesia
Tradisi pembuatan alat tulang dan tanduk nampaknya merupakan hal yang bersifat universal. Di Eropa Barat pernah berkembang alat-alat dari tulang pada masa Paleolitik Akhir di situs Magdaleine (Dordogne, Prancis) yang kemudian disebut kebudayaan Magdalenian. Ciri-ciri kebudayaan ini juga nampak di situs Creswell Crags (disebut Kebudayaan Creswellian). Di Asia daratan tradisi alat tulang dan tanduk muncul di daerah Tonkin. Tradisi ini bercampur dengan tradisi kapak Sumatra yang agak kasar. Selain itu, di wilayah Hoabinh juga terdapat temuan artefak tulang di situs-situs gua, yang jumlahnya lebih sedikit apabila dibandingkan dengan temuan kapak genggam Sumatra, sebaran alat tulang juga ditemukan di Da But (Vietnam Utara). Di Indonesia cukup banyak situs yang mengandung tradisi alat tulang dan tanduk.
Di Indonesia
Di kawasan Asia Timur, Asia Tenggara, khususnya Indonesia tidak begitu cepat mengalami perubahan dalam hal peralatan hidup baik fungsi, bahan, dan bentuknya. Keterlambatan perkembangan peralatan yang terbuat dari batu dan tulang ini, mungkin disebabkan oleh terlalu banyaknya menggunakan peralatan dari kayu sehingga tidak memfokuskan kepada peralatan dari tulang dan tanduk, selain karena keadaan alam yang ikut menjadikan manusia sulit mengembangkan peralatan.
Api menjadi salah satu sumber kehidupan manusia, baik pada masa berburu dan meramu. Api pertama kali dikenal manusia sebagai gejala alam di sekelilingnya, yang disebabkan percikan gunung api, kebakaran padang rumput dan hutan yang kering karena halilintar, atau penggosongan dahan-dahan kering di waktu angin bertiup, nyala api yang tersembul dari tempat-tempat yang mengandung gas bumi. Api ini sangat berguna bagi manusia, seperti untuk perlindungan dari binatang buas, menerangi, maka mulai sejak itu api mulai dipelihara.
Pembuatan alat tulang pada masa Plestosen sementara ini hanya diketahui dari Ngandong sebagai unsur yang ditemukan dalam konteks Pithecanthropus soloensis dan alat-alat lain yang diperbuat tanduk, serpih, dan batu-batu bundar.
Alat-alat tulang berupa sudip dan mata tombak yang bergerigi pada kedua belah sisinya, panjangnya 9,5 cm. Alat tulang ini ada hubungannya dengan Pithecanthropus soloensis. Alat-alat dari tanduk menjangan memperlihatkan bagian yang diruncingkan. Dari ikan pari ditemukan pula dan mungkin digunakan sebagai mata tombak. Kegunaan batu-batu bulat dan kelompok penemuan Ngandong diduga sebagai batu pelempar yang diikatkan pada tali untuk memburu hewan buruan.
Tradisi alat tulang dan tanduk tampak dilanjutkan pada kala pasca-Plestosen dalam kehidupan di gua-gua. Di Gua Sampung ditemukan sejumlah besar sudip tulang dan alat-alat tanduk yang diupam. Perkakas tanduk digunakan sebagai pencukil atau belati. Sejauh yang diketahui saat ini, persebaran alat tulang dan tanduk terdapat di Kalimantan Selatan, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Bali, dan Nusa TenggaraTimur.
Kehidupan Sosial
Pada masa Plestosen, manusia di Indonesia sangat tergantung kepada kondisi alam. Daerah-daerah yang menjadi tempat tinggal mereka harus memungkinkan untuk hidup atau harus menyediakan bahan yang mampu menopang hidup manusia. Oleh karena itu, tempat tinggal mereka itu cukup mengandung air dan makanan, terutama tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh binatang. Tempat-tempat seperti ini biasanya berupa padang rumput, semak belukar, dan hutan yang kecil berdekatan dengan sungai dan danau. Di sekitar inilah manusia membuat pemukiman atau tempat tinggal mereka bersama kelompoknya. Mereka menetap dalam jangka waktu tertentu sampai cadangan makanan di tempat mereka tinggal habis, dan setelah itu biasanya mereka pergi untuk mencari tempat baru yang bisa mendukung mereka untuk hidup.
Manusia hidup berkelompok dan membekali diri untuk menghadapi lingkungan di sekitarnya. Apa yang mereka hadapi bukan hanya dari binatang buas, tetapi juga kondisi alam yang tidak setabil. Kondisi alam yang liar ini menjadi salah satu penghambat perkembangan penduduk. Selain tantangan dari alam, mereka juga harus menghadapi tantangan dari dalam: kematian anak-anak waktu kelahiran. Kematian waktu melahirkan menjadi penghambat perkembangan jumlah anggota kelompoknya.
Segala upaya manusia lakukan untuk keberhasilan memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka melakukan perburuan, dengan menggunakan alat-alat yang masih sederhana. Alat dari batu dan alat-alat dari tulang menjadi menjadi salah satu senjata mereka untuk melakukan perburuan. Perburuan dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil, dan hasilnya dibagi bersama-sama.
Kelompok berburu tersusun dari kelurga kecil: yang laki-laki melakukan perburuan, yang perempuan mengumpulkan makanan dan mengurusi anak-anak. Peranan perempuan ini sangat penting sekali dalam memilih tanaman yang dapat dimakan dan mengajarkannya kepada anak-anaknya. Kewajiban-kewajiban seperti inilah yang membuat perempuan tidak ikut perburuan di daerah luas, dan sedikit banyak mengurangi gerak berpindah-pindah kelompok. Dengan lingkuangan yang terbatas, perempuan sangat memahami profesinya sebagai seorang ibu dalam keluarga. Dia sangat memahami tentang seluk-beluk tumbuh-tumbuhan, meningkatkan cara penyimpanan makanan, dan mendidik anak-anak dalam mempersiapkan diri mengenal alam.
Kepustakaan
Daeng.J, Mans. 2005. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Poesponegoro, M.D. dkk. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid I. Jakarta: Balai Pustaka.
Soekmono. 1990. Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 1. Kanisius
Soejono, R.P. (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Supriatna, Nana. 2004. Prakondisi Terbentuknya Identitas Kebangsaan. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional
Sumber serta Gambar bisa dilihat di Sini
Perkembangan Kebudayaan Alat Tulang
Raymond Dart berpendapat bahwa alat yang pertama kali digunakan oleh Australopithecus bukan dari batu, melainkan dari kayu maupun tulang. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya data di situs perburuan yang menunjukkan adanya fragmen tulang Australopithecus yang memunyai konteks temuan dengan tulang singa dan alat-alat berupa lancipan tulang serta tanduk. Diperkirakan alat tersebut berfungsi sebagai penusuk karena bagian distalnya yang meruncing, diperkeras dengan pembakaran. Selain itu, juga ditemukan fragmen tulang kaki yang berfungsi sebagai alat pemukul.
Di luar Indonesia
Tradisi pembuatan alat tulang dan tanduk nampaknya merupakan hal yang bersifat universal. Di Eropa Barat pernah berkembang alat-alat dari tulang pada masa Paleolitik Akhir di situs Magdaleine (Dordogne, Prancis) yang kemudian disebut kebudayaan Magdalenian. Ciri-ciri kebudayaan ini juga nampak di situs Creswell Crags (disebut Kebudayaan Creswellian). Di Asia daratan tradisi alat tulang dan tanduk muncul di daerah Tonkin. Tradisi ini bercampur dengan tradisi kapak Sumatra yang agak kasar. Selain itu, di wilayah Hoabinh juga terdapat temuan artefak tulang di situs-situs gua, yang jumlahnya lebih sedikit apabila dibandingkan dengan temuan kapak genggam Sumatra, sebaran alat tulang juga ditemukan di Da But (Vietnam Utara). Di Indonesia cukup banyak situs yang mengandung tradisi alat tulang dan tanduk.
Di Indonesia
Di kawasan Asia Timur, Asia Tenggara, khususnya Indonesia tidak begitu cepat mengalami perubahan dalam hal peralatan hidup baik fungsi, bahan, dan bentuknya. Keterlambatan perkembangan peralatan yang terbuat dari batu dan tulang ini, mungkin disebabkan oleh terlalu banyaknya menggunakan peralatan dari kayu sehingga tidak memfokuskan kepada peralatan dari tulang dan tanduk, selain karena keadaan alam yang ikut menjadikan manusia sulit mengembangkan peralatan.
Api menjadi salah satu sumber kehidupan manusia, baik pada masa berburu dan meramu. Api pertama kali dikenal manusia sebagai gejala alam di sekelilingnya, yang disebabkan percikan gunung api, kebakaran padang rumput dan hutan yang kering karena halilintar, atau penggosongan dahan-dahan kering di waktu angin bertiup, nyala api yang tersembul dari tempat-tempat yang mengandung gas bumi. Api ini sangat berguna bagi manusia, seperti untuk perlindungan dari binatang buas, menerangi, maka mulai sejak itu api mulai dipelihara.
Pembuatan alat tulang pada masa Plestosen sementara ini hanya diketahui dari Ngandong sebagai unsur yang ditemukan dalam konteks Pithecanthropus soloensis dan alat-alat lain yang diperbuat tanduk, serpih, dan batu-batu bundar.
Alat-alat tulang berupa sudip dan mata tombak yang bergerigi pada kedua belah sisinya, panjangnya 9,5 cm. Alat tulang ini ada hubungannya dengan Pithecanthropus soloensis. Alat-alat dari tanduk menjangan memperlihatkan bagian yang diruncingkan. Dari ikan pari ditemukan pula dan mungkin digunakan sebagai mata tombak. Kegunaan batu-batu bulat dan kelompok penemuan Ngandong diduga sebagai batu pelempar yang diikatkan pada tali untuk memburu hewan buruan.
Tradisi alat tulang dan tanduk tampak dilanjutkan pada kala pasca-Plestosen dalam kehidupan di gua-gua. Di Gua Sampung ditemukan sejumlah besar sudip tulang dan alat-alat tanduk yang diupam. Perkakas tanduk digunakan sebagai pencukil atau belati. Sejauh yang diketahui saat ini, persebaran alat tulang dan tanduk terdapat di Kalimantan Selatan, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Bali, dan Nusa TenggaraTimur.
Kehidupan Sosial
Pada masa Plestosen, manusia di Indonesia sangat tergantung kepada kondisi alam. Daerah-daerah yang menjadi tempat tinggal mereka harus memungkinkan untuk hidup atau harus menyediakan bahan yang mampu menopang hidup manusia. Oleh karena itu, tempat tinggal mereka itu cukup mengandung air dan makanan, terutama tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh binatang. Tempat-tempat seperti ini biasanya berupa padang rumput, semak belukar, dan hutan yang kecil berdekatan dengan sungai dan danau. Di sekitar inilah manusia membuat pemukiman atau tempat tinggal mereka bersama kelompoknya. Mereka menetap dalam jangka waktu tertentu sampai cadangan makanan di tempat mereka tinggal habis, dan setelah itu biasanya mereka pergi untuk mencari tempat baru yang bisa mendukung mereka untuk hidup.
Manusia hidup berkelompok dan membekali diri untuk menghadapi lingkungan di sekitarnya. Apa yang mereka hadapi bukan hanya dari binatang buas, tetapi juga kondisi alam yang tidak setabil. Kondisi alam yang liar ini menjadi salah satu penghambat perkembangan penduduk. Selain tantangan dari alam, mereka juga harus menghadapi tantangan dari dalam: kematian anak-anak waktu kelahiran. Kematian waktu melahirkan menjadi penghambat perkembangan jumlah anggota kelompoknya.
Segala upaya manusia lakukan untuk keberhasilan memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka melakukan perburuan, dengan menggunakan alat-alat yang masih sederhana. Alat dari batu dan alat-alat dari tulang menjadi menjadi salah satu senjata mereka untuk melakukan perburuan. Perburuan dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil, dan hasilnya dibagi bersama-sama.
Kelompok berburu tersusun dari kelurga kecil: yang laki-laki melakukan perburuan, yang perempuan mengumpulkan makanan dan mengurusi anak-anak. Peranan perempuan ini sangat penting sekali dalam memilih tanaman yang dapat dimakan dan mengajarkannya kepada anak-anaknya. Kewajiban-kewajiban seperti inilah yang membuat perempuan tidak ikut perburuan di daerah luas, dan sedikit banyak mengurangi gerak berpindah-pindah kelompok. Dengan lingkuangan yang terbatas, perempuan sangat memahami profesinya sebagai seorang ibu dalam keluarga. Dia sangat memahami tentang seluk-beluk tumbuh-tumbuhan, meningkatkan cara penyimpanan makanan, dan mendidik anak-anak dalam mempersiapkan diri mengenal alam.
Kepustakaan
Daeng.J, Mans. 2005. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Poesponegoro, M.D. dkk. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid I. Jakarta: Balai Pustaka.
Soekmono. 1990. Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 1. Kanisius
Soejono, R.P. (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Supriatna, Nana. 2004. Prakondisi Terbentuknya Identitas Kebangsaan. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional
Sumber serta Gambar bisa dilihat di Sini
Alat Transportasi Laut
Alat transportasi pada masa kuno masih sangat sederhana. Di sungai, danau atau laut digunakan perahu dalam berbagai ukuran dan model, terbuat dari bahan kayu bambu dan lain-lain, transportasi di darat digunakan gajah, onta, kuda, keledai, sapi dan kerbau, baik secara langsung ataupun dengan menarik kendaraan berupa kereta, gerobak atau sejenisnya.
Di Candi Borobudur ada relief-relief perahu, anara lain berupa perahu cadik. Ini sangat menarik perhatian karena di tengah gambaran kehidupan agama Buddha dipahatkan pula perahu cadik, suatu jenis perahu rakyat yang menjadi alat perhubungan antar pulau di wilayah Nusantara pada masa silam.
Pada masa lampau pernah terjadi migrasi, yaitu perpindahan penduduk dari satu negeri ke negeri lain. Orang India dan Cina datang ke Indonesia dengan berbagai maksud, umumnya untuk berdagang. Perjalanan mereka ke Indonesia menggunakan perahu, baik perahu India, perahu Cina, perahu Eropa ataupun perahu Asia Tenggara.
Perahu Cadik Borobudur
Konstruksi badan perahu cadik tidak berbeda dengan lainnya. Yang berbeda hanya cadik-nya, yaitu alat pengapung di kanan-kiri perahu yang fungsinya menjaga keseimbangan. Dengan tambahan cadik tersebut perahu tidak mudah tenggelam akibat hantaman gelombang laut. Keselamatan adalah tujuan utama pembuatan perahu. Karena ketangguhan perahu cadik maka jenis perahu ini banyak digunakan di zamannya.
Di Candi Borobudur dipahatkan 11 gambar perahu (lihat Th. van Erp 1923). Bentuk-bentuk perahu ini oleh van Erp dibagi menjadi tiga golongan:
1. Kano atau sampan sederhana yang dibuat dari sebatang kayu yang dilubangi;
2. Kano tersebut dengan tambahan dinding papan, tetapi tanpa cadik;
3. Sama dengan kano nomor 2, namun ditambah dengan cadik.
Sementara itu van der Heide mengelompokkan perahu-perahu ini berdasarkan tiang layar dan cadiknya ke dalam lima golongan (lihat van der Heide 1927).
Mengenai perahu-perahu cadik itu dapat digambarkan demikian. Badannya dari kayu yang kuat dan di atas dinding dipasang pagar pengaman yang kokoh. Jika tidak ada angin maka perahu ini dikayuh lewat bawah pagar. Di anjungan dan buritan ada papan kayu besar seolah-olah sebagai lanjutan dari luas perahu. Perahu digerakkan dengan dua layar. Layar besar ditambatkan pada tiang utama, sedangkan layar kecil ditambatkan pada tiang ke dua yang letaknya dekat buritan.
Cadik perahu dipasang pada masing-masing sisi perahu. Di candi Borobudur ditemukan lima relief perahu cadik, empat relief pertama dipahatkan pada dinding utama lorong pertama deretan bawah no. 53, 86, 88 dan 108. Satu relief lagi dipahatkan pada dinding utama lorong kedua deret bawah no. 41. Lima perahu cadik ini badannya serupa, tetapi tidak sama, demikian pula bentuk cadiknya. Pada relief no. 53 cadiknya berupa dua balok kayu yang diikat di tiga tempat dalam posisisejajar dengan badan perahu, lalu dua balok sejajar ini dirangkai dengan tiga balok yang keluar dari tiga tempat di badan perahu.
Pada relief no. 86 cadiknya terdiri atas empat balok kayu; tiap dua balok diikat sendiri, lalu dua pasang ikatan balok ini dirangkai oleh tiga balok yang keluar dari badan perahu di tiga tempat. Pada relief no. 88 cadiknya juga terdiri atas empat balok kayu yang langsung dirangkai dengan balok yang keluar dari badan perahu di tiga tempat.
Pada relief no. 88 cadiknya juga terdiri atas empat balok kayu yang langsung dirangkai dengan balok yang keluar dari badan perahu di tiga tempat. Pada relief no. 41 cadiknya terdiri atas tiga balok sejajar (dua balok yang disebelah luar berdekatan) yang langsung dirangkai dengan tiga balok yang keluar dari badan perahu di tiga tempat. Model cadik pada relief no. 41 ini sama dengan cadik pada relief no. 108.
Kemudi, Perahu dan Awaknya
Perahu yang tergolong besar tidak dapat dikemudikan dengan memegang dayung di samping perahu. Kemudian besar ditempatkan di buritan yang khusus untuk kemudi. Satu awak perahu bertugas memegang kemudi selama dilakukan pelayaran.
Perahu-perahu cadik yang digambarkan pada relief lorong pertama tanpa atap: hanya relief no. 41 di lorong ke-dua digambarkan ada bagian yang diberi tutup yang mencakup sekitar seperempat bagian dari panjang perahu.
Penumpang perahu tidak diketahui, tetapi jumlah awak perahu yang bekerja ditampakkan dalam relief. Pada relief no. 53 berawak enam orang: pada relief no. 86 berawak 17 orang, sedangkan pada relief no. 88 berawak 10 orang. menariknya pada relief no. 88 ini seorang awaknyadi gambarkan sedang buang air besar di luar buritan perahu sambil berpegangan pada balok kayu yang menjulur ke luar. Adapun awak perahu cadik no. 108 berawak sembilan orang.
Ukuran panjang dan lebar perahu cadik tidak diketahui. Awak perahu yang tampak dalam relief tidak dapat dijadikan skala karena relief bukan gambar perspektif, melainkan gambar imajinatif.
Perahu Nusantara Lain
Di wilayah Nusantara dikenal berbagai macam bentuk perahu, antara lain perahu pinisi dari Bugis, perahu mayang dari Cirebon, perahu sampan dari Betawi, perahu jonggolan dari Semarang an Surabaya, perahu sekong dari Pasuruan dan perahu j ukung dari Bali dan Lombok, Perahu sekong dan jukung juga dipasang cadik.
Pada relief Borobudur juga dipahatkan perahu tanpa cadik, tetapi tidak dapat diidentifikasikan nama-namanya. Perahu biasa tersebut digambarkan pada balustrade lorong ke-empat deretan atas no. 54, pada balustrade lorong pertama deret no. 193 dan pada dinding utama lorong pertama deret bawah no. 108. Perahu-perahu ini digambarkan dengan satu layar saja.
Perahu Sriwijaya
Di kawasan Asia Tenggara sejak masa Sriwijaya di abad VII M sudah digunakan berbagai perahu. Prasasti Kedukan Bukit bertahun 605 Saka atau 683 M, yang ditemukan di tepi kota Palembang menyebutkan suatu ekspedisi kerajaan Sriwijaya yang dilakukan oleh Dapunta Hyang menggunakan perahu dan lainnya berjalan kaki lewat jalan darat.
Ada tiga tempat temuan perahu kuna, yaitu di Kolam Pinisi (1989). Sungai Buah dari Samirejo (1988), semuanya dekat kota Palembang. Temuan perahu di situs Kolam Pinisi dan Samirejo dibuat dengan “teknik papan-ikat dan kupingan-pengikat”, dalam istilah asing disebut: “swen-plank and lashed-lug technique”, Teknik pembuatan perahu demikian berkembang di Asia Tenggara sehingga sering disebut: “teknik tradisi Asia Tenggara”. Sisa perahu di Samirejo disebut telah diperiksa di laboratorium dengan metode Carbon 14 dan menghasilkan keterangan bahwa sisa perahu tersebut berasal dari tahun 610-775 M.
Keterangan prasasti Sriwijaya dan temuan artepak perahu di sekitar Palembang ini menunjukkan bahwa jauh sebelum perahu cadik Borobudur dipahatkan, telah banyak perahu lain dipergunakan sebagai sarana perhubungan di Asia Tenggara. Mungkin sekali masyarakat Kepulauan Riau yang disebut Orang Laut yang hidupnya di atas perahu, terus ikut berperan dalam mengembangkan armada laut bagi Kerjaan-kerajaan yang pernah tampil di Selat Malaka, termasuk kerajaan Sriwijaya.
Sumber
http://www.wacananusantara.org
Di Candi Borobudur ada relief-relief perahu, anara lain berupa perahu cadik. Ini sangat menarik perhatian karena di tengah gambaran kehidupan agama Buddha dipahatkan pula perahu cadik, suatu jenis perahu rakyat yang menjadi alat perhubungan antar pulau di wilayah Nusantara pada masa silam.
Pada masa lampau pernah terjadi migrasi, yaitu perpindahan penduduk dari satu negeri ke negeri lain. Orang India dan Cina datang ke Indonesia dengan berbagai maksud, umumnya untuk berdagang. Perjalanan mereka ke Indonesia menggunakan perahu, baik perahu India, perahu Cina, perahu Eropa ataupun perahu Asia Tenggara.
Perahu Cadik Borobudur
Konstruksi badan perahu cadik tidak berbeda dengan lainnya. Yang berbeda hanya cadik-nya, yaitu alat pengapung di kanan-kiri perahu yang fungsinya menjaga keseimbangan. Dengan tambahan cadik tersebut perahu tidak mudah tenggelam akibat hantaman gelombang laut. Keselamatan adalah tujuan utama pembuatan perahu. Karena ketangguhan perahu cadik maka jenis perahu ini banyak digunakan di zamannya.
Di Candi Borobudur dipahatkan 11 gambar perahu (lihat Th. van Erp 1923). Bentuk-bentuk perahu ini oleh van Erp dibagi menjadi tiga golongan:
1. Kano atau sampan sederhana yang dibuat dari sebatang kayu yang dilubangi;
2. Kano tersebut dengan tambahan dinding papan, tetapi tanpa cadik;
3. Sama dengan kano nomor 2, namun ditambah dengan cadik.
Sementara itu van der Heide mengelompokkan perahu-perahu ini berdasarkan tiang layar dan cadiknya ke dalam lima golongan (lihat van der Heide 1927).
Mengenai perahu-perahu cadik itu dapat digambarkan demikian. Badannya dari kayu yang kuat dan di atas dinding dipasang pagar pengaman yang kokoh. Jika tidak ada angin maka perahu ini dikayuh lewat bawah pagar. Di anjungan dan buritan ada papan kayu besar seolah-olah sebagai lanjutan dari luas perahu. Perahu digerakkan dengan dua layar. Layar besar ditambatkan pada tiang utama, sedangkan layar kecil ditambatkan pada tiang ke dua yang letaknya dekat buritan.
Cadik perahu dipasang pada masing-masing sisi perahu. Di candi Borobudur ditemukan lima relief perahu cadik, empat relief pertama dipahatkan pada dinding utama lorong pertama deretan bawah no. 53, 86, 88 dan 108. Satu relief lagi dipahatkan pada dinding utama lorong kedua deret bawah no. 41. Lima perahu cadik ini badannya serupa, tetapi tidak sama, demikian pula bentuk cadiknya. Pada relief no. 53 cadiknya berupa dua balok kayu yang diikat di tiga tempat dalam posisisejajar dengan badan perahu, lalu dua balok sejajar ini dirangkai dengan tiga balok yang keluar dari tiga tempat di badan perahu.
Pada relief no. 86 cadiknya terdiri atas empat balok kayu; tiap dua balok diikat sendiri, lalu dua pasang ikatan balok ini dirangkai oleh tiga balok yang keluar dari badan perahu di tiga tempat. Pada relief no. 88 cadiknya juga terdiri atas empat balok kayu yang langsung dirangkai dengan balok yang keluar dari badan perahu di tiga tempat.
Pada relief no. 88 cadiknya juga terdiri atas empat balok kayu yang langsung dirangkai dengan balok yang keluar dari badan perahu di tiga tempat. Pada relief no. 41 cadiknya terdiri atas tiga balok sejajar (dua balok yang disebelah luar berdekatan) yang langsung dirangkai dengan tiga balok yang keluar dari badan perahu di tiga tempat. Model cadik pada relief no. 41 ini sama dengan cadik pada relief no. 108.
Kemudi, Perahu dan Awaknya
Perahu yang tergolong besar tidak dapat dikemudikan dengan memegang dayung di samping perahu. Kemudian besar ditempatkan di buritan yang khusus untuk kemudi. Satu awak perahu bertugas memegang kemudi selama dilakukan pelayaran.
Perahu-perahu cadik yang digambarkan pada relief lorong pertama tanpa atap: hanya relief no. 41 di lorong ke-dua digambarkan ada bagian yang diberi tutup yang mencakup sekitar seperempat bagian dari panjang perahu.
Penumpang perahu tidak diketahui, tetapi jumlah awak perahu yang bekerja ditampakkan dalam relief. Pada relief no. 53 berawak enam orang: pada relief no. 86 berawak 17 orang, sedangkan pada relief no. 88 berawak 10 orang. menariknya pada relief no. 88 ini seorang awaknyadi gambarkan sedang buang air besar di luar buritan perahu sambil berpegangan pada balok kayu yang menjulur ke luar. Adapun awak perahu cadik no. 108 berawak sembilan orang.
Ukuran panjang dan lebar perahu cadik tidak diketahui. Awak perahu yang tampak dalam relief tidak dapat dijadikan skala karena relief bukan gambar perspektif, melainkan gambar imajinatif.
Perahu Nusantara Lain
Di wilayah Nusantara dikenal berbagai macam bentuk perahu, antara lain perahu pinisi dari Bugis, perahu mayang dari Cirebon, perahu sampan dari Betawi, perahu jonggolan dari Semarang an Surabaya, perahu sekong dari Pasuruan dan perahu j ukung dari Bali dan Lombok, Perahu sekong dan jukung juga dipasang cadik.
Pada relief Borobudur juga dipahatkan perahu tanpa cadik, tetapi tidak dapat diidentifikasikan nama-namanya. Perahu biasa tersebut digambarkan pada balustrade lorong ke-empat deretan atas no. 54, pada balustrade lorong pertama deret no. 193 dan pada dinding utama lorong pertama deret bawah no. 108. Perahu-perahu ini digambarkan dengan satu layar saja.
Perahu Sriwijaya
Di kawasan Asia Tenggara sejak masa Sriwijaya di abad VII M sudah digunakan berbagai perahu. Prasasti Kedukan Bukit bertahun 605 Saka atau 683 M, yang ditemukan di tepi kota Palembang menyebutkan suatu ekspedisi kerajaan Sriwijaya yang dilakukan oleh Dapunta Hyang menggunakan perahu dan lainnya berjalan kaki lewat jalan darat.
Ada tiga tempat temuan perahu kuna, yaitu di Kolam Pinisi (1989). Sungai Buah dari Samirejo (1988), semuanya dekat kota Palembang. Temuan perahu di situs Kolam Pinisi dan Samirejo dibuat dengan “teknik papan-ikat dan kupingan-pengikat”, dalam istilah asing disebut: “swen-plank and lashed-lug technique”, Teknik pembuatan perahu demikian berkembang di Asia Tenggara sehingga sering disebut: “teknik tradisi Asia Tenggara”. Sisa perahu di Samirejo disebut telah diperiksa di laboratorium dengan metode Carbon 14 dan menghasilkan keterangan bahwa sisa perahu tersebut berasal dari tahun 610-775 M.
Keterangan prasasti Sriwijaya dan temuan artepak perahu di sekitar Palembang ini menunjukkan bahwa jauh sebelum perahu cadik Borobudur dipahatkan, telah banyak perahu lain dipergunakan sebagai sarana perhubungan di Asia Tenggara. Mungkin sekali masyarakat Kepulauan Riau yang disebut Orang Laut yang hidupnya di atas perahu, terus ikut berperan dalam mengembangkan armada laut bagi Kerjaan-kerajaan yang pernah tampil di Selat Malaka, termasuk kerajaan Sriwijaya.
Sumber
http://www.wacananusantara.org
Langganan:
Postingan (Atom)