Di suatu hari—bayangkan saja menggunakan imajinasi—di awal abad ke-5 M, Raja Tarumanagara yang bernama Maharaja Purnawarman berdiri gagah dan wibawa, tampak megah dan agung. Hari itu, ia hendak meresmikan sebuah proyek besar: penggalian sebuah kanal sepanjang 12 km (6.122 busur) yang dinamai Gomati yang melewati ibukota.
Proyek besar? Ya, penggalian kanal yang memakan waktu “hanya 21 hari” itu dimaksudkan untuk menghindari banjir yang kerap mengganggu wilayah Tarumanagara dan mengatasi masalah kekeringan selama kemarau. Kanal baru itu melintasi tanah kediaman kakek Purnawarman yang bernama Rajadirajaguru Jayasinghawarman, yang memerintah Taruma antara tahun 358-382 M. Tak lupa, pada peresmian itu (yang ditatah pada batu berbentuk bulat-telur) Sang Purnawarman menghadiahi para brahmana 1.000 ekor sapi sebagai raja hormat. Puaslah rupanya hati raja ini melihat bahwa di tahun ke-22 masa pemerintahannya, ia telah berbuat apa yang dibutuhkan rakyatnya.
Pun, dari batu peresmian itu (disebut Prasasti Tugu, ditemukan di Desa Tugu, Koja, Jakarta Utara) diperoleh berita lain: sebelum membuat kanal Gomati, Purnawarman membuat kanal bernama Chandrabaga yang mengalir melintasi istananya lalu menuju laut di utara (Laut Jawa). Tak diketahui rentang waktu antara penggalian Chandrabaga dengan penggalian Gomati; yang jelas dua proyek itu atas titah Purnawarman, yang memerintah Tarumanagara selama 39 tahun, dari 395-434 M. Melihat kurun waktu ia memerintah, dapat ditafsir bahwa penggalian Gomati dilakukan pada 412 M, yang dimulai pada “tanggal 8 paro-terang bulan Caitra”.
Dari Prasasti Tugu kita tahu persis: wilayah Jakarta-Bekasi-Karawang memang selalu dilanda banjir sejak abad ke-5 dan sebelumnya. Kini, 16 abad kemudian, kita sendiri mengalami—bukan sekadar tahu—banjir yang selalu datang tak diundang, entah itu dari luapan Citarum, Ciliwung, atau sungai-sungai lain. Dan upaya manusia dalam menanggulanginya merupakan hasil budi, budaya. Bila pemerintahan Purnawarman membuat Gomati, pemerintahan Ir. Juanda masa Presiden Soekarno membuat waduk Jatiluhur di Purwakarta—waduk terbesar di Indonesia. Masyarakat Taruma merasakan manfaat kali Chandrabaga, rakyat Indonesia nyaman dengan waduk Cirata. Luapan air dapat diatasi—untuk sementar.
Sebuah proyek nasional tentu harus dicatat, untuk diingat, atau dirayakan kembali oleh generasi penerus. Purnawarman membuat prasasti-prasasti yang berisi tentang kehebatan dirinya: sebagai manusia sempurna, raja yang mengayomi rakyat, jelmaan Wisnu yang perisainya tak tembus senjata musuh, dan penguasa negara yang ditakuti oleh negara-negara tetangga. Raja itu tahu belaka keadaan tanahnya : banjir akan terus hadir, maka itu dibuat kanal. Namun ia tak tahu bahwa kini banjir makin melanda, meluas, menghantam tanah mana saja, padahal bendungan dan waduk yang luasnya beribu-ribu hektar telah dibangun, padahal teknologi sudah sedemikian digitalnya. Sungguh, ia pun takkan menyangka bahwa masyarakat di abad ke-21 ternyata bebal-bebal—baik pejabat maupun jelata, yang selalu tak tuntas dalam berpikir, nyaman dengan sebatas menduga-duga.
Tak adil memang bila membandingkan teknologi terakota (bata merah) yang dibangun oleh Kerajaan Taruma (ingat situs Batujaya, Karawang) dengan teknologi diciptakan warga Indonesia kini—meski keduanya diwujudkan dalam kerangka kesejahteraan sosial. Tapi, membanding adalah mencoba untuk sejengkal lebih maju. Mengetahui latar belakang adalah mempersiapkan masa yang datang. Bila cermin di kamar rusak, masih ada air jernih untuk melihat. Kejernihan akan memperlihatkan segala sesuatunya: kekotoran, kecurangan, kemunafikan, sekaligus renungan.
Dan sekali lagi, ujar-ujar G. B. Shaw terbukti; Sejarah menyatakan, bahwa manusia tidak pernah belajar dari Sejarah.
Salam Nusantara!
Sumber
http://www.wacananusantara.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar