Oleh : Agus Aris Munandar
Universitas Indonensia
Abstrak :Universitas Indonensia
Meskipun Indonesia merupakan kawasan maritim dan agraris namun keterlibatan Indonesia dalam perdagangan internasional berlangsung bertahap beriringan dengan perkembangan dan terbentukanya jaringan pelayaran yang terbentuk secara berantai. Dengan cara ini berbagai pertanian Indonesia secara bertahap menjadi komoditas internasional pada abad XIII, yaitu rempah-rempah. Apalagi setelah berbagai masalah internal masing-masing kerajaan dapat diselesaikan. Aktivitas itu mengalami perkembangan pesat pada abad XIV-XVI, dan mencapai puncaknya pada abad-abad berikutnya hingga mengundangdan melibatkan bangsa-bangsa dari Barat. Sejak itu Indonesia baik secara agraris maupun maritim terlibat dalam jaringan perdagangan internasional secara penuh. Dalam intensitas demikian salah satu instrumen yang sangat diperlukan adalah kapal.
Indonesia, agraris-maritim, dan perdagangan internasional.
Dalam berbagai sumber yang tersedia tentang Majapahit, dapat diketahui bahwa kerajaan tersebut memang merupakan kerajaan yang bertumpu kepada aktivitas pertanian. Banyak prasasti yang membicarakan tentang penetapan sima atau daerah perdikan, yaitu daerah yang dilarang dimasuki oleh para penikmat kekayaan raja (mangilala drwya haji) istilah yang ditujukan bagi para pejabat atau pegawai kerajaan yang dibayar oleh raja. Berdasarkan nama-nama jabatan para pegawai kerajaan saja dapat diketahui bahwa kerajaan-kerajaan Jawa Kuno sejak zaman Mataram di Jawa bagian tengah hingga era Majapahit di Jawa bagian timur adalah kerajaan agraris. Jabatan-jabatan seperti wilang thani (petugas sensus penduduk desa), air haji (penjaga mata air milik raja), pulung padi (pemungut pajak padi), pangalasan (petugas kehutanan), pawdus (petugas peternakan kambing), pakbo (petugas peternakan kerbau), papuyuh (penangkap burung buyuh), patangkalan (petugas pencacah tanam-tanaman penting), dan lain sebagainya, menunjukkan bahwa pejabat-pejabat tersebut banyak bergerak di bidang agraris.
Kerajaan Majapahit didirikan oleh Kertarajasa Jayawarddhana dalam tahun 1293 M, sebenarnya merupakan kelanjutan dari Singhasari. Sebagaimana diketahui dari kitab Pararaton dan didukung oleh berita kakawin Nagarakrtagama, pendiri Singhasari adalah Ken Angrok yang bergelar Sri Ranggah Rajasa Bhattara Sang Amurwabhummi. Ken Angrok adalah seorang anak desa, ibunya adalah petani yang bernama Ken Endok yang diperkosa oleh Dewa Brahma (sang pencipta) di ladang Lalateng, demikian menurut Pararaton memberikan legitimasi bahwa Ken Angrok memang punya kelebihan sebagai anak dewa. Dengan demikian Ken Angrok sebenarnya anak orang biasa yang karena kejadian-kejadian luar biasa ia dapat menjadi orang nomor satu di Tumapel dan akhirnya mendirikan Singhasari menggantikan peranan raja-raja. Kadiri yang sudah mulai pudar di awal abad ke-13. Raja-raja Singhasari dan Majapahit sebenarnya anggota satu dinasti, yaitu Rajasawangsa, mereka mempunyai leluhur yang sama, yaitu Ranggah Rajasa alias Ken Angrok.
Dalam perkembangannya baik Singhasari (abad ke-13 M) ataupun Majapahit (abad ke-14 s.d 15 M) lebih banyak disibukkan dengan urusan internal di wilayah Jawa Timur. Menurut prasasati Mula-Malurung (1255 M) terdapat beberapa negara daerah yang rajanya dibawah pemerintahan Krtanagara atau Nararyya Murddhaja. Nagara atau kota-kota di daerah tersebut adalah Morono, Lwa, Lamajang, Hring, Kadiri dan Glang-glang yang semuanya berada di wilayah Jawa bagian timur. Hanya satu wilayah Singhasari yang berada di luar Jawa, yaitu Pulau Madura dengan ibu kotanya di Sungeneb/Sumenep (Munandar 1986 : 4-5). Semua negara daerah di Jawa bagian timur itu sejatinya berada di sekitar pedalaman yang subur, di sekitar daerah aliran Sungai Brantas, di lereng-lereng gunung, dan dataran persawahan yang luas membentang.
Negara daerah Singhasari yang jelas memiliki lahan aktivitas yang subur adalah Lamajang (Lumajang) di selatan Gunung Semeru, Kadiri dan Lwa di daerah aliran Sungai Brantas, dan Glang-glang di wilayah Wurawan berada di sebelah barat Gunung Wilis. Adapun Singhasari sendiri berada di dataran tinggi Malang yang subur untuk sawah dan bercocok tanam palawija, sayur mayur, dan buah-buahan hingga dewasa ini. Dalam masa Majapahit jumlah negara daerah tersebut semakin banyak, menurut uraian Prasasti Waringin Pitu (1369 Saka/1447M) yang dikeluarkan oleh raja Wijayaparakramawarddhana (Dyah Krtawijaya) terdapat sekitar 14 negara daerah yang berada di wilayah inti Majapahit, yaitu Jawa bagian timur. Negara daerah zaman Majapahit tersebut adalah (1) Daha, (2)Jagaraga, (3) Kahuripan, (4) Tanjungpura, (5) Pajang, (6) Kembang Jenar, (7)Wengker, (8) Kabalan, (9) Tumapel, (10) Singapura, (11) Matahun, (12)Wirabhumi, (13) Keling, dan (14) Kalinggapura (Yamin 1962: 193-199). Pada masa Majapahit sudah terdapat negara daerah yang berada di daerah pantai utara Jawa bagian timur selain di pedalamannya juga. Hal itu menunjukan bahwa hubungan Majapahit dengan daerah-daerah lain di luar Jawa semakin berkembang, perhatian Majapahit pada daerah luar Jawa meningkat karena berbagai argumen internal atau pun eksternal. Perhatian ke luar Jawa itu tentunya merupakan aktivitas maritim dengan berbagai sistemnya.
Dalam hal kegiatan agraris penduduk Majapahit tetap melaksanakannya, walaupun menjelang keruntuhannya masyarakat Majapahit selalu terganggu oleh berbagai peperangan perebutan kekuasaan. Kedua aspek kehidupan itulah yang akan diperbincangkan lebih lanjut dalam kajian ini, karena Majapahit memang mempunyai bukti-bukti sebagai kerajaan agraris yang maritim, artinya Majapahit juga meluaskan cakrawala kekuasaannya tidak semata-mata di dalam Pulau Jawa, namun juga keluar Jawa.
Setelah panen menjelang musim kemarau, Rajasanagara (Hayam Wuruk) mengadakan perjalanan ke daerah Jawa Timur yang menjadi inti wilayah Majapahit pada tahun-tahun tertentu dalam masa pemerintahannya. Menurut uraian Nagarakrtagama Hayam Wuruk dan rombongannya dalam tahun 1353 mengadakan perjalanan ke daerah Pajang, tahun 1354 perjalanan ke pantai Lasem. Pada tahun 1357 Hayam Wuruk mengadakan perjalanan menuju ke pantai selatan, dan di tahun yang sama terjadi peristiwa Pasunda-Bubat.
Tahun 1359 Hayam Wuruk melakukan perjalanan ke Lamajang yang merupakan rute paling panjang. Perjalanan ke Lamajang inilah yang diuraikan secara panjang lebar dalam Nagarakrtagama. Tahun 1360 perjalanan ke Tarib dan Sampur. Tahun 1361 perjalanan ke Rabut Palah (kompleks Candi Panataran), merupakan candi kerajaan Majapahit. Tahun 1362 Hayam Wuruk memenuhi titah ibunya untuk mengadakan upacara sraddha bagi neneknya Rajapatni Gayatri. Merupakan upacara yang meriah dan diakhiri dengan meletakkan arca
Prajñaparamita di Candi Prajñaparamitapuri di Bhayanglango. Tahun 1363 Hayam Wuruk mengadakan perjalanan ke Simping (Sumberjati), meresmikan bangunan candi yang konon baru dipindahkan ke lokasi baru. Candi tersebut dibangun untuk memuliakan eyang Hayam Wuruk, yaitu Raden Wijaya (Krtarajasa Jayawarddhana).
Pada setiap perjalanan tersebut Hayam Wuruk selalu dinyatakan oleh Mpu Prapanca melewati kampung-kampung, dan pesawahan penduduk. Dalam Nagarakrtagama mengesankan bahwa kehidupan masyarakat Majapahit pada waktu itu sangat sejahtera, rakyat di desa-desa berdesak-desak di tepi jalan untuk menonton rombongan rajanya lewat. Di tempat-tempat penghentian dalam perjalanan tersebut Hayam Wuruk dan rombongannya selalu disambut dengan suka cita oleh penduduk setempat, makanan disediakan cukup berlimpah, dan bermacam hiburan yang ada dipertunjukkan kepada rombongan raja Hayam Wuruk.
Berdasarkan catatan musafir Cina bernama Ma Huan yang berkunjung ke Majapahit dalam masa akhir pemerintahan Hayam Wuruk, dapat diketahui bahwa kehidupan masyarakat dan perekonomian Majapahit masa itu relatif maju. Catatan Ma Huan menguraikan antara lain sebagai berikut : Di Majapahit udaranya terus menerus panas, seperti musim panas di kita (Cina), panen padi 2 kali setahun, padinya kecil-kecil, berasnya berwarna putih. Di sana juga ada buah jarak dan karapodang (kuning), tetapi tidak ada tanaman gandum. Kerajaan itu menghasilkan kayu sepang, kayu cendana, intan, besi, buah pala, cabe merah panjang, tempurung penyu baik yang masih mentah ataupun yang sudah dimasak. Burungnya aneh-aneh, ada nuri sebesar ayam dengan aneka warna merah, hijau, dan sebagainya. Beo yang semuanya dapat diajari berbicara seperti orang,kakatua, merak, dan lainnya lagi. Hewan yang mengagumkan adalah kijang dan kera putih, ternaknya adalah babi, kambing, sapi, kuda, ayam, itik, keledai dan angsa. Buah-buahannya adalah bermacam-macam pisang, kelapa, tebu, delima, manggis, langsap, semangka, dan sebagainya. Bunga penting adalah teratai.
Penduduk di pantai utara di kota-kota pelabuhan seperti Gresik, Tuban, Surabaya, dan Canggu kebanyakan menjadi pedagang. Kota-kota pelabuhan tersebut banyak dikunjungi oleh pedagang asing yang berasal dari Arab, India, Asia Tenggara, dan Cina. Ma Huan memberitakan bahwa di kota-kota pelabuhan tersebut banyak orang Cina dan Arab menetap, penduduk anak negeri datang ke kota-kota tersebut untuk berdagang
Laporan Ma Huan selanjutnya menyatakan bahwa ibu kota Majapahit berpenduduk sekitar 200-300 keluarga, suatu angka cukup besar untuk zaman itu. Penduduk telah memakai kain dan baju, kaum lelaki berambut panjang dan diuraikan, sedangkan perempuannya bersanggul. Setiap laki-laki mulai yang anak yang berumur 3 tahun ke atas, baik orang berada atau orang kebanyakan, mereka mengenakan keris dengan pegangannya yang diukir indah-indah, terbuat dari emas, cula badak, atau gading. Kerapkali apabila mereka bertengkar, maka dengan cepat masing-masing telah siap dengan kerisnya. Pantangan bagi penduduk Jawa adalah memegang kepala orang lain, karena hal itu merupakan penghinaan dan akan menimbulkan perkelahian berdarah.
Mereka duduk di rumahnya tidak menggunakan bangku, tidur tanpa memakai ranjang, dan makan tanpa memakai sumpit. Sepanjang hari mereka senang memakan sirih, baik laki-laki atau pun perempuan, apabila ada tamu datang yang disuguhkan bukannya teh, melainkan siring dan pinang. Atas titah raja, orang Majapahit juga senang mengadakan pertandingan dengan menggunakan tombak bambu. Apabila ada yang meninggal karena tertusuk tombak bambu itu si pemenang wajib memberikan uang kepada keluarga korban. Apabila bulan terang, terutama purnama, mereka senang bermain bersama. Para perempuan membentuk kelompok sebanyak 20 sampai 30 orang. Seorang wanita memimpin di depan dan mereka semua bergandengan tangan berjalan di bawah bulan purnama. Wanita pemimpin menyanyikan lagu-lagu yang kemudian diikuti oleh seluruh rombongannya. Mereka berkunung ke rumah-rumah orang kaya atau para pejabat kerajaan, mereka mendapat hadiah berupa uang logam tembaga, emas atau hadiah lainnya. Kesenian lain yang populer adalah bentuk cerita Wayang Beber, yaitu kisah wayang yang dilukiskan pada kain yang direntangkan (beber) kemudian sang dalang menceritakan adegan-adegan yang digambarkan tersebut.
Para pedagang pribumi umumnya sangat kaya, mereka suka membeli batu-batu perhiasan yang bermutu, barang pecah belah dari porselin Cina dengan gambar bunga-bungaan berwarna hijau. Mereka juga membeli minyak wangi,kain sutra, katun yang baik dengan motif hiasan ataupun yang polos, mereka membayar dengan uang tembaga Majapahit, uang tembaga Cina dari dinasti apapun laku di kerajaan Majapahit (Groeneveldt 2009: 67-9).
Majapahit mengembangkan kegiatan agraris adalah hal yang sudah wajar, karena kerajaan itu berada di Pulau Jawa yang subur. Jika dicermati secara lebih mendalam, terdapat beberapa alasan konsepsual-religius yang agaknya dijadikan referensi oleh raja dan masyarakat Klasik sejak zaman Mataram hingga Kadiri mengembangkan kerajaan bercorak agraris. Alasan itu antara lain sebagai berikut :
1.Konsepsi keagamaan: baik ajaran Hinduisme menyatakan bahwa daratan adalah tempat penting, tempat itu dinamakan Jambhudwipa, sebagai lokasi bermukimnya manusia. Dengan demikian kerajaan-kerajaan yang bercorak Hinduisme di Jawa lebih mementingkan inward looking dan tidak memperhatikan daerah-daerah di luar Jambhudipa (Jawadwipa).
2. Dalam konsep makro kosmos Hinduisme dinyatakan bahwa di tengah Jambhudwipa terdapat Gunung Mahameru sebagai pusat alam semesta dan axis mundi antara ketiga dunia (bhurloka, bhuwarloka, dan swarloka). Di bagian kaki gunung itu adalah tempat tinggal manusia, di lerengnyabermukim orang-orang suci dan para pertapa, dan di bagian puncak gunungMahameru terdapat sorga atau kota-kota tempat bersemayamnya para dewa dinamakan Sudarsana. Maka dari itu banyak kerajaan yang bernafaskan Hinduisme selalu mendekatkan diri kepada gunung dan dan dataran tinggi yang dipercaya sebagai jelmaan dari Gunung Mahameru pusat alam semesta. Dalam konsep ini daerah tepian pantai, laut atau lautan dianggap daerah yang nista dan kotor, tempat tinggal roh-roh jahat, para raksasa, dan makhluk-makhluk rendah lainnya. Oleh karena itu perhatian kepada laut, pelayaran dilaut dan menjelajah lautan bukan aktivitas yang disenangi oleh para pemelukagama Hindu
3. Terdapat mitos Agastya yang menyatakan adanya larangan bagi para pendeta Hindu untuk berlayar menyeberangi lautan. Oleh karena dalam mitologinya Agastya dipercaya menghirup air laut sehingga kering (oleh karena itu dinamakan Rsi Kumbhayoni, arcanya selalu digambarkan berperut buncit), barulah Agastya berjalan kaki dari Jambhudwipa ke pulau-pulau lain di selatan India hingga ke Nusantara. Di Nusantara Agastya dipuja sebagai pendeta suci murid Siwa yang berjasa menyebarkan Hindu-saiwa. Dalam pada itu terdapat juga faktor-faktor eksternal yang menjadikan kerajaan-kerajaan kuno di Jawa dalam masa klasik belum mengembangkan kekuatan lautnya. Faktor-faktor itu antara lain adalah :
a. Jalur perdagangan laut antara abad ke-7 s.d 12 belum terlalu ramai, walau pun hubungan lewat laut antara India, Cina, dan wilayah Asia Tenggara telah lama terjadi. Sebenarnya peningkatan perdagangan laut mulai terjadi dalam abad ke-13 dan berangsur-angsur semakin ramai dalam abad ke-14 hingga masuknya bangsa-bangsa barat.
b. Rempah-rempah belum dikenal sebagai sumber komoditi yang laku diperdagangkan, karena itu para pedagang asing dari Barat belum banyak yang berkunjung ke Nusantara
c. Belum banyak bandar niaga yang berkembang di pulau-pulau Nusantara, hal ini terjadi seiring dengan belum banyaknya jumlah penduduk masa itu.
Demikian beberapa faktor yang menjadi mungkin menjadi penyebab kerajaan-kerajaan di Jawa dalam masa Hindu-Buddha, sejak Mataram kuno hingga Kadiri (abad ke-7 s.d 12 M) belum memperhatikan benar aktivitas di laut. Hal itu tercermin juga dalam berbagai karya sastra Jawa Kuno sezaman, uraian karya sastra tersebut hampir seluruhnya bernuansakan dataran, tempat istana-istana berada, lereng, pegunungan, hutan, dan gunung. Tidak ada karya sastra Jawa Kuno yang mempunyai uraian agak rinci tentang laut, pelayaran di laut perahu, atau pun tentang kemampuan navigasi laut orang Jawa Kuno.
Jadi seakan-akan kegiatan di laut itu luput dari perhatian para pujangga penyusun kitab-kitab susastra Jawa Kuno. Hanya satu kitab Jawa Tengahan yang menuturkan perjalan di laut, itupun perjalanan mitos yang dilakukan Bhima untuk mencari air Amerta, kitab itu adalah Nawaruci. Uraian perjalanan Bhima di laut tersebut bukanlah perjalanan biasa di laut, namun lebih menunjukkan metafora perjalanan batin seseorang untuk bertemu dengan pengejawantahan Superhuman being. Dengan demikian tidak dapat dijadikan referensi khusus dalam kajian maritim masa Jawa Kuno.
Dalam Prasasti Gondosuli (OJO III) yang berangka tahun 769 Saka/847 M disebutkan adanya pejabat yang berjuluk dang puhawa(ng) Glis. Istilah dang puhawang dalam masa kemudian di Jawa diucapkan dengan ”dampoawang” yang artinya nakhoda kapal besar, saudagar kaya, atau pemimpin perjalanan
dengan kapal di laut. Dang sebenarnya setara dengan sang, yaitu kata sandang bagi seseorang yang dihormati, adapun kata puhawang dari kata pu + hawan memiliki kata dasar hawan atau hawang. Pu menunjuk kata sandang juga berarti ”dihormati, dimuliakan” dan hawan artinya jalan, kendaraan, alat/cara untuk mencapai sesuatu (Zoetmulder 1995, I : 345). Uraian Prasasti Gondosuli (ditemukan di lereng utara Gunung Sumbing) yang menggunakan bahasa Melayu Kuno menyiratkan adanya seorang saudagar kaya atau nakhoda besar dari daerah Malayu (Sumatra) yang akhirnya mendarat dan bermukim di pedalaman Jawa bagian tengah.
Dapat ditafsirkan bahwa dalam masa itu terjadi hubungan laut antara Sumatra dengan Jawa. Inskripsi berbahasa Melayu Kuno lainnya yang ditemukan di Jawa Tengah adalah Prasasti Sojomerto (sekitar tahun 700 M). Dengan adanya temuan tersebut penafsiran telah ada hubungan antara Jawa dan Sumatra semakin menguat, dan dapat dipastikan hubungan itu terjadi melalui jalur laut, artinya telah dikenal perahu-perahu. Jejak kapal besar dalam era Syailendra abad ke-8 s.d 10 sudah banyak dikaji oleh para ahli lewat penggambaran relief di Candi Borobudur. Kapal Borobudur tersebut bahkan telah
dibuat replikanya dan dilayarkan ke laut. Dengan demikian pelayaran di laut lepas ketika pusat kerajaan di Jawa bagian tengah masih berdiri sudah barang tentu telah dikenal, namun perhatian terhadap pengembangan perahu-perahu besar untuk meluaskan pengaruh Kerajaan Mataram hingga luar Jawa belum ada buktinya, kecuali interpretasi adanya hubungan antara Sriwijaya dan Mataram
dalam abad ke-9 M.
Dalam masa yang sama sebagaimana disebutkan dalam prasasti-prasasti Jawa Kuno dikenal pula kata hawan. Perkembangan selanjutnya mengartikan kata hawan/ng sebagai kendaraan perahu. Uraian prasasti-prasasti Jawa kuno menyebutkan kata hawan berarti perahu atau kapal. Misalnya dinyatakan dalam Prasasti Kubu (827 Saka/905 M): ”mwaK ikanaK rama i kubu-kubu... an pinaka hawan ing wai” (”kemudian rama di Kubukubu... bagaikan perahu di sungai”).Prasasti lainnya yang menyebutkan hawan adalah Telang I (825 S/903 M): ”makamitana ikanaK kamulan muaK prahu umantassakna sang mahawan pratidina” (”alasannya, di sana [ada] kamulan dan perahu yang mendarat dan dikendarai setiap hari”) Dalam Prasasti Mantyasih I (829 S/907 M) dinyatakan juga ”ikanaK patih rumaksa ikanaK hawan” (”di sana patih memelihara perahu”).Hal itu menunjukkan bahwa perahu sebagai kendaraan dikenal di pedalaman Jawa, namun prasasti-prasasti dan karya sastra tidak memberitakan adanya ekspedisi ke luar Jawa dalam era Syailendrawangsa. Sehingga dapat dikemukakan bahwa Kerajaan Mataram kuno belum mengembangkan pengaruhnya hingga luar Jawa, artinya dunia maritim masih belum diperhatikan dengan baik, keculai di masa mendatang ditemukan bukti-bukti baru. Adalah Kerajaan Singhasari yang dapat ditafsirkan mulai memperluas wawasan wilayahnya hingga ke luar Jawa. Interpretasi tersebut diperoleh berdasarkan berita kitab Pararaton yang didukung oleh peninggalan arkeologis berupa arca yang ditulisi prasasti (Prasasti Amoghapasa bertarikh 1208 Saka/1286 M) yang dikeluarkan oleh Krtanagara. Sebagaimana telah diketahui dalam sejarah Singhasari, menurut berita Cina Krtanagara pernah didatangi Meng-chi utusan dari Kublai Khan agar Jawa menghamba kepada kaisar dinasti Yuan tersebut. Krtanagara tidak terima dan marah, lalu melukai wajah utusan Kubhilai Khan, dan memerintahkan Meng-chi agar segera enyah dari Pulau Jawa. Krtanagara segera mengirimkan sejumlah besar tentara Singhasari ke Suwarnabhumi dengan maksud Suwarnabhumi mengakui kekuasaan Singhasari dan dapat membendung kekuasaan Kubhilai Khan ke arah Selat Malaka dan
kepulauan Asia Tenggara. Pamalayu tersebut, demikian kitab Pararaton menyatakan berhasil dengan gemilang, raja Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa dihadiahi arca Amoghapasa oleh Krtanagara.
Hubungan dengan Malayu tersebut seakan-akan terputus tiba-tiba, karena dalam tahun 1292 Krtanagara, terbunuh dalam serangan mendadak yang dilancarkan oleh pasukan Jayakatwang yang datang dari Gelang-gelang dan berkubu di wilayah Kadiri. Dalam masa-masa awal pembangunan Majapahit sudah pasti Raden Wijaya dan para pejabat tingginya belum lagi memperhatikan daerah Nusantara, walaupun mereka telah berhasil armada dinasti Yuan untuk kembali ke negeri asalnya. Begitupun dalam masa pemerintahan Jayanagara perhatian terhadap wilayah pulau lain belum nyata benar karena pemberontakan-pemberontakan masih acapkali terjadi di Majapahit.
Agaknya hubungan dengan Cina dalam masa Jayanagara tetap berlangsung, menurut berita Cina antara tahun 1325 sampai 1328 telah datang beberapa utusan dari Jawa ke Cina. Utusan Jawa itu dipimpin oleh Seng-chia-liyeh, sedangkan raja Jawa masa itu disebut dengan Cha-ya-na-ko-nai (Jayanagara) (Sumadio 1984:431). Dalam masa Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwarddhani Majapahit mulai melebarkan pengaruhnya ke Bali. Menurut sumber-sumber Bali yang sangat berperanan dalam penguasaan Bali adalah Gajah Mada, tentara Majapahit menyerang Bali dipimpin oleh Gajah Mada dan Pu Aditya (Adityawarman). Armada Majapahit mendarat di pantai utara, timur, dan daerah pantai selatan Bali, mereka lalu melakukan perjalanan darat menyerang ibu kota Bali Kuno yang mungkin berkedudukan di wilayah Gianyar sekarang. Setelah melalui pertempuran panjang, akhirnya Pulau Bali dapatdikuasai oleh tentara Majapahit dan bernaung di bawah panji-panji kebesaran Majapahit.
Tokoh Gajah Mada selalu saja dihubungkan dengan sumpahnya yang terkenal, sumpah yang membuat ia melakukan berbagai upaya untuk dapat membuktikannya. Mungkin saja apa yang diucapkan oleh Gajah Mada di hadapan penguasa dan para pembesar Majapahit dalam suatu paseban lengkap itu dapat dianggap sebagai pernyataan politik, atau suatu tujuan pemerintahan yang harus dicapai agar Majapahit jaya dan disegani di seluruh Nusantara.
Masa itu (abad ke-14 M) di wilayah Asia Tenggara bermunculan beberapa kerajaan yang mencoba meluaskan hegemoninya. Di wilayah Asia Tenggara daratan berdiri kerajaan Ayut’ia (Ayudhya), kerajaan ini berkembang di wilayah Menam Tengah dan Selatan, pengaruhnya mengarah ke Semenanjung Melayu yang secara tradisional selalu berhubungan dengan Asia Tenggara kepulauan. Ayut’ia juga sudah berkuasa atas wilayah Tenasserim dan Tavoy yang berada dalam wilayah Myanmar. Dalam pada itu kerajaan Khmer yang berpusatkan di Angkor kedudukannya menjadi terancam akibat munculnya kerajaan Ayudhya di Siam tersebut (Hall 1988: 158).
Wilayah Champa berhasil membebaskan diri dari kekuasaan Khmer pada sekitar akhir abad ke-13, namun di waktu yang bersamaan muncul ancaman dari kekuatan dinasti Yuan (Mongol) yang berkuasa di Cina. Oleh karena itu para penguasa Champa menerima ajakan raja-raja Jawa untuk bersekutu membendung serangan orang-orang Tartar tersebut. Persekutuan itu seakan-akan tidak berarti setelah Raja Jawa (Singhasari) Krtanagara terbunuh tiba-tiba oleh serangan Jayakatwang. Jawa akhirnya diserang oleh tentara Kubhilai Khan tahun 1292, setelah mengalahkan Kadiri tentara Cina itu diusir kembali oleh Raden Wijaya dengan kawan-kawan, kemudian berdirilah Majapahit. Hubungan antara Champa dan Majapahit terus berlangsung dengan baik terutama di bawah pemerintahan Raja Jayasimhavarman di Champa. Hubungan-hubungan antara Champa dengan Majapahit mungkin berlanjut terus hingga Raja Che Bo Nga (1360-1390 M) dan Raja Indrawarman V (1400-1441 M) (Groslier 2002 : 320). Masa pemerintahan Raja Che Bo Nga di Champa hampir bersamaan waktunya dengan era kejayaan Majapahit dalam periode pemerintahan Hayam Wuruk (1351-1389 M). Agaknya hubungan kedua kerajaan tersebut berlangsung akrab, di situs Trowulan bekas kota Majapahit, banyak ditemukan boneka tanah liat bakar yang menggambarkan figur dengan wajah Asiatic Mongoloid. mungkin figur-figur itu dimaksudkan sebagai orang-orang Asia Tenggara daratan (Champa dan Siam) yang banyak berkunjung dan berniaga di kota Majapahit. Bahkan sampai sekarang terdapat kuburan kuno yang dinamakan oleh penduduk setempat dengan Makam Putri Campa, mungkin tokoh tersebut memang berasal dari Campa yang akhirnya pindah bermukim di Majapahit hingga akhir hayatnya.
Tanah Birma (Myanmar) pada masa itu tengah kacau, kekuasaan kerajaan cukup lemah, pemberontakan kerapkali terjadi. Raja Binya Oe terpaksa memindahkan ibu kotanya yang semula di Martaban, lalu dalam tahun 1363 pindah ke Donwun. Telah dikemukakan bahwa di Siam (Muang Thai) memerintah para raja Sukodaya (Sukothai), kota Ayodyapura didirikan dalam sekitar tahun 1350 oleh raja yang berjuluk Darmaraja II. Dalam pada itu Setelah Kubhilai Khan meninggal tahun 1294, maka kekuasaan dinasti Yuan mulai merosot di Cina. Sepeninggal Kubhilai Khan memerintah sekurangnya 10 raja dinasti Yuan di Cina yang tidak berpengaruh dan tidak mengesankan, malah pemberontakan demi pemberontakan orang-orang Cina terus terjadi merongrong kekuasaan raja-raja Mongol. Pada akhirnya dalam tahun 1368, seorang jendral Cina bernama Tsyu Yuan Tsyang (Hung Wu) berhasil mengenyahkan orang-orang Mongol dari dari daratan Cina, muncullah dinasti Baru di Cina, yaitu Ming (1368-1644 M) (Yamin 1977 : 64). Perkembangan sezaman di Cina dan Asia Tenggara daratan itulah sedikit banyak turut mempengaruhi Kerajaan Majapahit yang sedang dibangun oleh para rajanya yang didukung oleh Mahapatihnya, yaitu Gajah Mada.
Kakawin Nagarakrtagama yang digubah oleh Mpu Prapanca dalam masa kejayaan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk, menyatakan adanya beberapa negara mitra satata di luar Nusantara, selain berbagai daerah Nusantara yang diakui telah mengakui panjí-panji kebesaran Majapahit. Pupuh 15 Nagarakrtagama menyatakan sebagai berikut;
“… tuhun/ taŋ syańkāyodyapura kimutaŋ darmmānāgarī, marûtma mwaŋ riŋ rajapura nuniweh sinhanagari, ri campa kambojanyat i yawana mitreka satata”. (“…kemudian Syangkayodyapura, lalu Darmmanagari, Marutma, dengan Rajapura, termasuk Singanagari, Campa, Kamboja, dan Yawana itulah negara-negara sahabat”)
Kerajaan-kerajaan yang disebutkan dalam Nagarakrtagama sebagai negara sahabat tersebut, berkembang di wilayah Asia Tenggara daratan, ada yang berada di Thailand (Syangkayodyapura dan Darmmanagari), di Myanmar (Marutma dan Rajapura), Di Kamboja dan wilayah Vietnam sekarang (Champa dan Yawana).
Semua kerajaan itu berkembang bersamaan waktunya dengan Majapahit di Jawa bagian timur. Para petinggi Majapahit sangat mungkin menyadari sekali akan hal itu, oleh karena itu Majapahit berupaya membendung pengaruh kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara daratan agar jangan sampai menyebar di kepulauan Nusantara. Nusantara sudah semestinya milik kerajaan yang tumbuh di pulau-pulau itu, kali ini Majapahitlah yang pantas mengembangkan pengaruhnya di pulau-pulau Nusantara, bukan kerajaan-kerajaan daratan Asia Tenggara.
Maka Gajah Mada pun mengangkat sumpah di pertemuan lengkap para pejabat tinggi Majapahit, di balairung kedaton tanpa dihadiri Ratu Tribhuwanottungga, demikian yang dapat ditafsirkan dari uraian Pararaton. Gajah Mada lalu berkata: “Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, amun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa” (Padmapuspita 1966 : 38).
Demikian ucapan Gajah Mada ketika ia bersumpah menurut kitab Pararaton. Banyak tafsir dan masalah yang dapat didiskusikan dalam peristiwa “Sumpah Palapa” tersebut. Menurut ucapan sumpah Gajah Mada terdapat 10 wilayah di Nusantara yang harus mengakui kejayaan Majapahit, yaitu Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik. Agaknya penulis Pararaton hanya menyebutkan beberapa daerah yang dianggap penting saja dari sejumlah besar daerah Nusantara yang mengakui kebesaran Majapahit sebagaimana yang termaktub dalam Nagarakrtagama. Sepuluh daerah tersebut tersebar di seluruh wilayah Nusantara, jadi walaupun tidak disebutkan banyak daerah, kesepuluh daerah itu dianggap cukup mewakili wilayah Nusantara yang harus mengakui kebesaran Majapahit. Daerah yang pertama disebut oleh Gajah Mada adalah Gurun, daerah ini terletak di Pulau Lombok, artinya mewakili pulau itu secara keseluruhan, ke-2 Seran adalah daerah kepala burung di Papua, daerah ke-3 Tanjung Pura adalah wilayah penting yang terdapat di Pulau Kalimantan, ke-4 Haru daerah di wilayah pantai timur Sumatra utara, ke-5 Pahang adalah daerah penting di Semenanjung Melayu, ke-6 Dompo terdapat di Sumbawa dekat dengan wilayah Bima, ke-7 Bali, adalah Pulau Bali, ke-8 Sunda, atau Kerajaan Sunda terletak di Jawa bagian barat, ke-9 Palembang, di Sumatra bagian selatan, dan ke-10 adalah Tumasik, adalah nama lama dari Singapura sekarang.
Beberapa daerah yang “dibidik” oleh Gajah Mada tersebut ternyata tempat berkembangnya kerajaan lama, kerajaan terdahulu yang mempunyai sejarah lebih tua daripada Majapahit. Misalnya Bali, dahulu di pulau itu pernah berdiri Kerajaan Balidwipamandala dengan ibu kota Singhadwala milik dinasti Warmadewa (abad ke-8 s.d 10 M). Sunda yang terletak di Jawa bagian barat, dahulu di wilayah itu pernah berdiri kerajaan tertua di Tanah Jawa, yaitu Tarumanagara (sekitar abad ke-4 s.d 6 M). Menyusul Tanjungpura yang terletak di Kalimantan, di pulau itu pernah berdiri kerajaan Kutai kuno dengan rajanya Mulawarmman (abad ke-4 s.d 5 M), dan Palembang di Sumatra selatan bekas tempat kedudukan Kerajaan Sriwijaya yang berkembang dalam abad ke-8 s.d 12 M. Gajah Mada seakan-akan hendak mencari tuah dan kekuatan sakti dari kerajaan-kerajaan yang mendahului Majapahit, selain itu Gajah Mada juga sepertinya hendak meneguhkan bahwa Majapahit adalah pewaris dari kerajaan-kerajaan terdahulu di Nusantara.
Pahang dan Tumasik adalah daerah-daerah penting untuk menyongsong perhubungan laut dengan kekuatan dari Asia Tenggara daratan, dan yang penting sekali adalah untuk menetralisir pengaruh kekuatan politik dari Cina. Haru di Sumatra bagian utara, merupakan salah satu daerah barat Nusantara untuk memudahkan hubungan dengan kerajaan-kerajaan di benua Jambhudwipa (India), adapun Dompo harus dikuasai karena daerah pusat penghasil kayu cendana bermutu tinggi yang sangat diperlukan dalam berbagai ritus keagamaan dan laku dijual keluar Nusantara, sedangkan Seran dan pulau-pulau di sekitarnya (Maluku) adalah penghasil rempah-rempah yang dalam abad ke-14 mulai dicari dan diminati oleh para pedagang Jambhudvipa untuk dijual lagi ke kawasan timur tengah dengan harga yang tinggi.
Dengan demikian Gajah Mada tidak asal saja dalam mengucapkan sumpahnya. Daerah-daerah yang dikatakannya harus berada di bawah kekuasaan Majapahit, adalah daerah pilihan yang mempunyai makna tersendiri bagi Majapahit, jika Majapahit ingin berkembang menguasai Nusantara, maka daerah-daerah itulah yang harus dikuasai lebih dahulu, demikian maksud Gajah Mada. Setelah para penentang pembuktian Sumpah Palapanya lenyap, Gajah Mada beserta tentara Majapahit dan para ksatrya, arya, dan pendukung lainnya mulai “unjuk kekuatan” dengan mengembangkan pengaruh Majapahit ke luar Jawa [timur]. Daerah pertama yang didatangi oleh bala tentara Majapahit adalah Bali, setelah peperangan lama dan melelahkan Bali ditaklukkan, lalu dengan segera Gurun (Pulau Lombok) pun dapat ditaklukkan tentera Majapahit.
Menurut uraian Berita Cina dari dinasti Ming, pada tahun 1377 Suwarnabhumi (Sumatra) diserbu oleh tentara Jawa. Putera mahkota Suwarnabhumi tidak berani naik tahta tanpa bantuan dan persetujuan kaisar Cina, putera mahkota itu takut kepada kekuasaan raja Jawa. Kaisar Cina lalu mengirimkan utusan ke Suwarnabhumi untuk mengantarkan surat persetujuan pengangkatan putra mahkota sebagai raja, namun utusan Cina itu dicegat oleh tentara Jawa dan dibunuh. Kaisar Cina tidak melakukan tindakan apapun terhadap raja Jawa, karena tindakan balasan tidak ada gunanya. Penyerbuan bala tentara Jawa ke Suwarnabhumi itu dikarenakan raja Suwarnabhumi dalam tahun 1373 mengirimkan utusan ke Cina tanpa seizin raja Jawa. Tentu saja pengiriman utasan itu dipandang oleh raja Jawa sebagai pelanggaran terhadap status negara Suwarnabhumi yang sebenarnya menjadi bawahan raja Jawa Majapahit (Groeneveldt 1960 : 69, Muljana 1979 : 142).
Raja Jawa yang dimaksudkan menurut berita Cina itu tentunya raja Majapahit, karena kerajaan itulah yang mempunyai armada laut mengesankan dalam abad ke-14 di kepulauan Nusantara. Menilik angka tahun 1377 waktu tentara Jawa menyerang Suwarnnabhumi, maka dapat dipastikan bahwa yang menjadi raja di Majapahit adalah Hayam Wuruk, karena berdasarkan berbagai sumber tertulis dapat diketahui bahwa raja tersebut memerintah antara tahun 1351-1389 M. Mengenai daerah mana yang diserang oleh tentara Majapahit tersebut, memang tidak dapat diketahui dengan pasti, tetapi ada kemungkinan adalah Kerajaan Sriwijaya di masa senjanya yang berkedudukan Palembang. Dalam berbagai sumber tertulis lokal, berita Cina, dan juga folklore setempat dinyatakan bahwa satu-satu daerah di Sumatra yang akrab dengan kekuasaan Cina adalah Palembang.
Sriwijaya disebut oleh orang-orang Cina dengan Che-li-fo-tsi atau Co-ye. Setelah Sriwijaya runtuh, lama sekali bekas kota Sriwijaya itu dibiarkan tidak mempunyai raja. Para bajak laut Cina sempat berkuasa lama di bekas kota Sriwijaya hingga pada awal abad ke-15 ketika Majapahit sedang mengalami konflik internal, datanglah armada Cina ke bekas kota Sriwijaya untuk memulihkan keadaan. Kemudian mulai tahun 1408 berdirilah sistem pemerintahan baru yang dipimpin oleh orang-orang Cina, kota itu disebut dengan Kyu-kang (Ku-kang), verita Cina lainnya ada yang sudah menamakannya dengan Fa-ri-fong (Palembang) (Boedenani 1976 : 61). Demikianlah maka yang dimaksud dengan penyerbuan tentara Jawa ke Suwarnabhumi, adalah penyerangan tentara Majapahit terhadap kerajaan tua Sriwijaya yang pada waktu itu telah lemah dan banyak berkiblat kepada Cina.
Kejayaan bala tentara Majapahit yang menaklukkan daerah-daerah di luar Jawa juga dicatat oleh Sejarah Melayu. Menurut sumber tersebut tentara Majapahit berhasil mengalahkan Tumasik karena adanya penghianatan salah seorang pembesar Tumasik yang bernama Rajuna Tapa. Berkat peranan Rajuna Tapa itulah tentara Majapahit dengan mudah merebut Tumasik, karena kelemahan-kelemahan Tumasik dapat dimanfaatkan oleh tentara Majapahit. Setelah peperangan usai, dan Tumasik mengakui kewibawaan Majapahit, Rajuna Tapa mendapat kutukan negeri, ia berubah menjadi Batu di tepi sebuah kali di Singapura, rumahnya roboh, dan beras simpanannya menjadi tanah (Muljana1979 : 143).
Berita dari Sejarah Melayu itu menjadi bukti bahwa Sumpah Palapa Gajah Mada memang benar-benar dilaksanakan oleh Majapahit, sebab salah satu daerah Nusantara yang diucapkan Gajah Mada dalam sumpahnya dan yang harus ditaklukkannya adalah Tumasik. Mungkin sekali sejak abad ke-14 Tumasik telah menjadi daerah yang strategis bagi jalur laut yang melalui Selat Malaka ke Laut Cina Selatan dan sebaliknya, oleh karena itu Gajah Mada berpikiran harus dikuasai Majapahit. Terbukti ratusan tahun kemudian, setelah berganti-ganti penguasa Tumasik menjelma menjadi negara-kota yang jaya, yaitu Singapura.
Di wilayah Sumatra bagian utara terdapat beberapa lokasi yang mengala kepada tafsiran bahwa tentara Majapahit waktu menyerang daerah Pasai dipimpin langsung oleh Patih Amangkubhumi Gajah Mada.Dongeng yang beredar di kalangan penduduk setempat menyatakan bahwa sebuah bukit di dekat kota Langsa bernama Manjak Pahit, berasal dari kata Majapahit. Menurut cerita rakyyat setempat tentara Majapahit membuat kubu dan perkemahan di area bukit tersebut sebelum menyerbu kota Tamiang. Rawa yang membentang antara Perlak dan Peudadawa dinamakan penduduk dengan Rawa Gajah, konon nama itu berasal dari nama Gajah Mada. Sang Patih beserta tentara Majapahit pernah memintasi rawa tersebut dalam perjalanan menuju Lhokseumawe dan Lambu air. Di seberang rawa, di daerah pedalaman terdapat Bukit Gajah, dinamakan seperti itu karena setelah perahu-perahun tentara Majapahit itu mendarat di seberang rawa, mereka segera bergerak langsung menuju Bukit Gajah dipimpin oleh Gajah Mada. Adapun bukit yang ada di dekatnya dinamakan Meunta, pengubahan pengucapan dari Mada. Di tempat itulah Patih Mada berkemah mengatur strategi untuk menyerang Pasai. Nama-nama tempat itu berhubungan dengan Majapahit dan Gajah Mada, maka ada kemungkinan penaklukkan Pasai oleh bala tentara Majapahit dalam tahun 1350 dipimpin langsung oleh Mahapatih Gajah Mada (Muljana 1979 : 144). Demikian beberapa sumber tradisi yang terdapat di Sumatra yang masih dikenal hingga sekarang, sumber-sumber tersebut menjelaskan toponimi suatu lokasi yang berhubungan dengan Majapahit atau Gajah Mada. Tentu saja hal itu akan mengingatkan orang bahwa di masa silam pernah ada serangan tentara Majapahit melalu laut yang dipimpin langsung oleh Gajah Mada.
Majapahit juga mengarahkan armada militernya ke pulau-pulau sebelah timur Bali, yaitu Pulau Sumbawa dan pulau lainnya. Peristiwa penyerangan ke Dompo dalam Pararaton disebut Padompo terjadi dalam tahun 1357, setelah meletusnya peristiwa Bubat. Menurut karya historiografi lokal disebutkan adanya kedatangan tokoh cerita wayang yang berasal dari Jawa, yaitu sang Bima dan saudara Pandawa lainnya. Karya itu berjudul “Cerita Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-dewa” dan Hikayat Sang Bima yang telah dialihaksarakan dan diterjemahkan oleh Henri-Chambert-Loir (2004). Uraian kisahnya pun telah dilingkupi dengan berbagai mitos, legenda, dongeng, dan mungkin juga peristiwa sejarah sezaman ketika naskah itu pertama kali digubah dalam abad ke-17 dan 19 (Chambert-Loir 2004: 7)
Henri Chambert-Loir pernah menyatakan bahwa pemberian nama daerah Bima kepada wilayah di timur Dompo di daerah Sumbawa timur itu agaknya diberikan oleh orang asing (sangat mungkin orang Jawa), tidak diketahui alasan orang asing tersebut memberikan nama Bima kepada daerah tersebut, karena penduduk asli sendiri menamakannya dengan Mbojo, untuk “bahasa Bima” disebut dengan nggahi Mbojo dan “orang Bima” disebut doü Mbojo. “Barangkali nama tersebut patut dibubungkan dengan kultus tokoh Bima yang berkembang di Jawa Timur pada akhir Jaman Majapahit”, demikian menurut Chambert-loir (2004 : 69).
Adanya kemungkinan serangan orang-orang Jawa dari Majapahit terhadap daerah Dompo dan Bima ternyata mendapat dukungan dari berbagai tinggalan arkeologis. Selain adanya arca-arca yang bersifat Hindu-saiwa, di daerah tersebut terdapat juga dua prasasti singkat yang dinamakan oleh penduduk dengan Wadu Pa’a (batu pahat) dan Wadu Tunti (batu bertulis). Prasasti Wadu Tunti diperkirakan oleh para ahli berasal dari abad ke-14 M, selain prasasti singkat juga dipahatkan 4 figur relief rendah yang salah satunya menggambarkan Siwa Mahadewa. Adapun Prasasti Wadu Pa’a mempunyai banyak ciri, prasasti tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-6 s.d 7 M karena mengandung beberapa ciri prasasti Sriwijaya, tetapi juga menyimpan ciri prasasti Bali abad ke-11, namun ada juga sebagian karakter yang mirip dengan prasasti-prasasti Jawa Timur dari sekitar tahun 1371 M (Chambert-loir 2004 : 67-69). Kesimpulan yang dapat ditarik dari berita adanya serangan Majapahit ke Dompo dan juga berdasarkan temuan arca-arca serta prasasti yang bercirikan kronologi lebih tua daripada zaman Majapahit adalah bahwa di daerah Dompo telah berkembang kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha. Kerajaan itu agaknya telah lama berkembang dan pengaruhnya dirasakan mengganggu armada dagang Majapahit ke wilayah Nusantara timur, karena itulah perlu segera ditaklukkan oleh tentara Majapahit. Pada waktu serangan tentara Majapahit ke Dompo tersebut, pusat kekuasaan di Bima belum lagi ada, karenanya baik Pararaton maupun Nagarakrtagama menyatakan adanya serangan Majapahit ke Dompo, bukan ke Bima. Setelah Dompo jatuh tentara Majapahit dengan dibantu oleh penduduk setempat yang masih diketuai oleh para ketua adat lalu mendirikan pemukiman baru yang kelak dinamakan dengan Bima. Pemukiman baru itu sengaja didirikan untuk menjaga kelanggengan pengaruh Majapahit di Sumbawa; andaikata Dompo hendak memberontak lagi, maka anak keturunan bangsawan Majapahit dan tentara Majapahit yang telah kawin-mawin dengan penduduk setempat di Bima dapat segera menggempur Dompo kembali.
Dompo disebutkan dalam kakawin Nagarakrtagama pupuh 72, dengan menyatakan bahwa Hayam Wuruk menunjuk pejabat tinggi Tumenggung Wiramandalika untuk urusan mancanagara bernama Pu Nala. Ia adalah orang yang pemberani, pengabdi raja setia, sering mengadakan perjalanan muhibah antara lain ke Dompo (Pigeaud 1960, III : 84). Peristiwa ini disebutkan setelah Gajah Mada Meninggal tahun 1286 S/1364 M, jadi memang Pu Nala ditunjuk oleh Hayam Wuruk untuk menggantikan peranan Gajah Mada dalam bidang “menteri luar negeri” yang bertugas mengelola hubungan dengan daerah-daerah kekuasaan Majapahit di luar Jawa timur (Nusantara). Pu Nala sendiri sebagaimana yang dinyatakan dalam Nagarakrtagama ialah orang yang sering mengadakan perjalanan muhibah ke luar Jawa, antara lain dalam melakukan serangan terhadap Dompo, jadi Pu Nala bukan pemimpin utama penyerangan terhadap Dompo, melainkan salah seorang laksamana Majapahit yang turut serta dalam ekspedisi tersebut. Lalu siapa gerangan laksamana utama yang merancang untuk menaklukkan Dompo ?, sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, tokoh itu tidak lain adalah Gajah Mada sendiri. Gajah Madalah yang memimpin langsung armada Majapahit untuk menaklukkan negeri-negeri jauh ke arah matahari hidup. Dalam Pararaton disebutkan bahwa dalam tahun yang sama dengan Pasunda-Bubat yaitu tahun 1357 M, terjadi pula Padompo (ekspedisi ke Dompo) (Hardjowardojo 1965 : 53). Demikianlah setelah Dompo ditaklukkan tahun 1357, dan Bima didirikan pada tahun-tahun kemudiannya, kakawin Nagarakrtagama yang selesai digubah oleh Mpu Prapanca dalam tahun 1365 M pupuh 14 : 3 menyatakan sebagai berikut;
“sawetan ikanang tanah jawa muwah ya warnanen ri bali makamukya tan badahulu mwang i lwagajah gurun, makamukya sukun/ri taliwang ri dompo sape ri sanghyang api, bima , seram i hutan kadaly apupul”
(“Di sebelah timur Tanah Jawa, termasuk daerah-daerah di Bali, terutama wilayah Badahulu dan Lwa Gajah, Gurun, daerah penting Sukun di Taliwang, Dompo, Sape, Sanghyang Api (Gunung Tambora), Bima, Seram, Hutan Kadali, semuanya bersatu [di bawah panji-panji Majapahit]”).
Maka dapatlah disimpulkan bahwa ekspedisi armada Majapahit ke Dompo berhasil dengan dengan baik, orang-orang Majapahit kemudian mendirikan nagara Bima, dan para pembesar ekspedisi tersebut lalu kembali ke Majapahit termasuk Gajah Mada dan Pu Nala. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, dapat diketahui berbagai sebab sehingga Majapahit walaupun bertumpu kepada aktivitas agraris, tetapi juga mengembangkan perhatiannya kepada dunia maritim. Beberapa alasan internal sehingga Majapahit mengembangkan wawasannya hingga ke luar Jawa (timur) dan didukung dengan aktivitas kemaritiman yang meluas :
1. Konsep keagamaan masa Majapahit telah memadukan ajaran Hindu-saiva dan Buddha Mahayana. Agaknya ajaran Buddha yang menempatkan benua Jambhudwipa di selatan Gunung Mahameru telah membantu membuka wawasan bahwa ada benua-benua lain di sekitar Mahameru (barat, utara, dan selatan) yang harus dikunjungi para pemeluk Buddha (dikenal adanya Buddha Dipaŋkara yang dipuja oleh para pelaut untuk meredakan gelombang dan badai besar di lautan).
2. Majapahit melanjutkan politik Dwipantara yang telah digagas oleh Krtanagara namun diperbaharui lagi oleh Gajah Mada dengan Sumpah Palapanya.
3. Mempunyai pejabat tinggi yang mendukung aktivitas kemaritiman, semisal Gajah Mada dan Pu Nala. Kenyataan yang menarik adalah apabila Hayam Wuruk menurut Nagarakrtagama kerapkali melakukan perjalanan darat berkeliling Jawa bagian timur sebagai daerah inti Majapahit, maka terdapat sejumlah data yang dapat ditafsirkan bahwa Gajah Mada melakukannya di laut. Gajah Mada sangat mungkin seringkali melakukan perjalanan laut ke berbagai wilayah Nusantara untuk membuktikan isi Sumpah Palapanya.
Dalam pada itu terdapat beberapa faktor luar sehingga memaksa Majapahit mengembangkan kekuatan maritimnya :
1. Meningkatnya perhubungan laut di Asia Selatan dan timur, jalur laut tradisional antara Arab, India, dan Cina semakin ramai dilalui para niagawan untuk melakukan transaksi barang dagangannya, akibatnya
2. Meningkatnya perdagangan laut di kawasan Asia Tenggara, karena di kawasan tersebut berdiri beberapa kerajaan besar yang mempunyai wilayah kekuasaan cukup luas.
3. Semakin banyaknya kapal-kapal layar dari pulau-pulau Nusantara dan luar Nusantara yang berlabuh di bandar-bandar Majapahit, seperti di Tuban, Lasem, Gresik, dan Ujung Galuh (Surabaya) membawa kesadaran akan adanya wilayah-wilayah lain di luar Jawa yang juga harus dikuasai oleh Majapahit
Perkara yang secara logis mudah diduga adalah perihal kapal layar atau perahu besar zaman Majapahit yang menjadi armada laut kerajaan tersebut. Sudah pasti Majapahit memiliki banyak perahu besar kecil, kapal layar, jung perang lainnya mengingat pengaruhnya yang menyebar ke seluruh Nusantara, namun hingga kini perahu atau kapal layar itu belum dapat diketahui bentuknya secara pasti. Kesulitan untuk mengungkap bentuk perahu/kapal layar zaman Majapahit tersebut disebabkan adanya keterbatasan data, antara lain :
1. Tidak ada penggambaran relief candi yang cukup memadai perihal perahu besar/kapal layar zaman Majapahit. Hanya ada satu-satu relief ”kapal” yang penggambarannya samar-samar, adapun relief perahu menunjukkan sampan kecil yang dapat dimuati oleh 2 orang. Relief-relief tersebut terdapat di kompleks Candi Panataran.
2. Sumber-sumber tertulis (prasasti dan karya sastra) yang digubah zaman Majapahit lebih banyak menguraikan dunia daratan, hutan, pegunungan, lereng berhutan, istana dan pertapaan, jadi tidak ada yang bertutur tentang dunia pelayaran di laut.
3. Belum banyak tinggalan arkeologis yang merupakan sisa perahu besar atau kapal layar zaman Majapahit.
Data butir 1 dan 2 yang memang sangat terbatas sangat mungkin dikarenakan :
1. Masyarakat sezaman tidak perlu lagi menggambarkan bentuk perahu/kapal layar, karena memang masa itu bentuk dan ukurannya merupakan pengetahuan sehari-hari yang sudah umum, karena itu penggambaran relief perahu Majapahit di candi-candi menjadi langka.
2. Dalam karya sastra yang perlu dinarasikan adalah peristiwa aktivitas tokoh-tokoh di daratan dalam upaya menegakkan kebenaran, melaksananakan ajaran keagamaan atau upaya mencari hakekat yang tertinggi, dan biasanya bertapa di hutan-hutan di lereng gunung simbol Mahameru.
3. Perahu atau kapal layar menggunakan bahan kayu, sehingga sangat mungkin banyak sisa kapal layar zaman Majapahit telah lapuk dan hancur termakan usia sehingga sukar dilacak lagi keberadaannya.
Berikut dikutipkan beberapa karya sastra sezaman atau sedikit lebih muda yang disusun di daerah pantai utara Jawa Timur (Lasem) dan yang digubah di luar Pulau Jawa. Berdasarkan uraiannya dapat diketahui karya sastra tersebut mengacu kepada setting sejarah Majapahit, namun tidak digubah oleh para pujangga besar Majapahit atau anonim; oleh karena itu disebut saja karya sastra minor masa Majapahit.
Uraian karya-karya sastra minor itu ada yang menyinggung tentang perahu layar atau perahu yang dipergunakan era Majapahit. Diharapkan berdasarkan kutipan-kutipan karya sastra minor yang belum banyak dieksplorasi informasinya tentang perahu, dapat dihipotesakan bentuk–bentuk perahu atau kapal kayu yang dipergunakan dalam zaman itu.
Carita Lasem:
”Dhek nalika taun Syaka 1273 sing dadi Ratu aneng Lasem iku asma Dewi Indu, adhik nakdulur misane Prabu Hayam Wuruk ing Wilwatikta..... Para kawula ing Lasem nganti marabi asma Dewi Purnamawulan. Garwane asma Pangeran Rajasawardana, dadi Dhang Puhawang Wilwatika, nguwasani jung-jung peranging plabuhan Kaeringan lan plabuhan Regol ing Lasem...” (Carita Lasem 1920: 10).
Menurut Carita Lasem yang berbahasa Jawa Tengahan, di pelabuhan Lasem dalam tahun 1273 Saka/1351 M banyak bersandar jung-jung perang yang merupakan bagian armada tempur Majapahit. Adapun yang menjadi laksamananya adalah Rajasawardana suami Rani Lasem Dewi Indu.
Sedikit informasi tersebut tetap harus diperhatikan untuk menyusun data perahu/kapal masa Majapahit. Babad Dalem dari Bali mempunyai informasi pula perihal perahu zaman Majapahit, dinyatakannya sebagai berikut:
”Dikisahkan perjalanan utusan (Majapahit) itu dengan menumpang perahu layar dari Bubat, menyalakan lampu menuju Telagorung, melewati Pajarakan ke selatan menuju Pulwayam menyusuri Selat Bali. Tampak pantai Kapurancak...” (Rai Putra 1995: 13).
Informasi yang didapat dari kutipan tersebut adalah adalah perahu layar yang berlampu dalam zaman Majapahit dapat berlayar dari Bubat, artinya menyusuri Sungai Berantas menuju Selat Madura, membelok ke selatan memasuki Selat Bali dan menuju pantai Bali selatan. Perahu dari Majapahit itu sebenarnya sedang menuju ke Samprangan yang dewasa itu menjadi ibu kota Bali dibawah pengaruh Majapahit.
Bagian lain dalam Babad Dalem menyatakan bahwa ketika Raja Bali Smara Kapakisan diundang oleh Hayam Wuruk ke istana Majapahit, maka :
”Dikisahkan raja Bali dalam perjalanan itu menggunakan perahu layar yang dihias dengan tumbuh-tumbuhan melata, meniru hiasan dewa asmara. Setelah itu beliau beliau yang berlayar dalam dua perahu ibarat bunga teratai yang indah, tiang panji-panjinya dihias dengan permata indah bermacam ragam. Kryan Patandakan berlayar di depan raja dengan perahu berwarna putih di sana-sini, Kryan Kubon Tubuh sebagaimana biasa menggunakan perahu berwarna hitam, para mentri yang lain menggunakan perahu sebagai masa-masa lampau, berturut-turut perahunya merupakan iring-iringan” (Rai Putra 1995: 23-24)
Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa terdapat bermacam peringkat perahu, ada yang milik raja, mentri utama yang pengawal raja (berwarna putih), perahu pengawal yang tentunya jung perang (berwarna hitam), dan perahu-perahu para pejabat tinggi lainnya. Perahu layar raja Bali dan pengiringnya sangat mungkin di bagian depannya dihias dengan figur bentuk makara, sebagaimana yang dikenal hingga sekarang pada perahu-perahu nelayan Bali.
Makara adalah binatang mitos berkepala ikan, namun berbelalai seperti gajah, oleh karena itu dalam kebudayaan India dinamakan dengan Gaja-mina. Perahu-perahu itu menurut Babad Dalem, berlayar sangat cepat di laut dan lincah dikendalikan (Rai Putra 1995 : 24).
Dalam uraian Kisah Panji (Angreni) Palembang dinyatakan bahwa setelah Dewi Angreni dibunuh atas perintah raja Koripan, jenazahnya dibawa oleh suaminya Raden Panji untuk berlayar ke laut. Panji seperti hilang ingatan dan mengganggap Dewi Angreni masih hidup dan akan dihiburnya dengan bercengkerama dengan perahu di laut. ”Achirnja ia (Pandji) berkata kepada saudara-saudaranja : ’Kalau kalian kasihan kepadaku, ikutilah aku kemana aku pergi’. Saudara-saudaranja berdjandji. ’Sekarang aku hendak bersampan-sampan’, kata Pandji meneruskan, ’berilah aku perahu’. Prasanta memerintahkan mempersiapkan perahunja jang bernama Indrajala dan memuatinja dengan 600 orang pengajuh. Perahu jang sebuah lagi bernama Djaladara, dengan 400 orang pengajuh. Kedua perahu itu dipersiapkan untuk menempuh laut (Poerbatjaraka 1968: 186).
Kisah Panji diciptakan dan disebarkan dalam zaman Majapahit, oleh karena itu informasi yang terkandung di dalamnya sezaman dengan perkembangan kerajaan itu. Berdasarkan kutipan tersebut dapat diketahui adanya kapal kayu besar yang bisa memuat 600 dan 400 orang pengayuh sekaligus. Walaupun cerita Panji adalah kisah rekaan, namun situasi zaman, kehidupan sosial-budaya, bahkan inti ceritanya bersandarkan pada peristiwa sejarah yang pernah terjadi dalam zaman Majapahit (Munandar 2005). Oleh karena itu berita tentang adanya kapal kayu besar dalam era Manjapahit agaknya dapat dipercaya.
Dalam kisah Panji Angreni selanjutnya diuraikan bahwa rombongan perahu Raden Panji, saudara-saudara, para pengiring dan pengawalnya akhirnya diamuk badai, sebagian besar perahu kecil milik rakyat dan pengiring Raden Panji pecah dan tenggelam, hanya kedua kapal besar itu saja yang bertahan dan terdampar di Pulau Bali (Poerbatjaraka 1968: 187).
Karya sastra lainnya adalah Hikayat Sang Bima digubah oleh seorang dalang yang bernama Wisamarta ialah ”seorang-orang Melayu (yang) datang ke Bima”. Ia memutuskan untuk menulis karya tersebut berdasarkan sebuah cerita setempat dengan tujuan menghibur hati dan menceritakan asal-usul kerajaan Bima ”supaya tahu segala yang belum tahu dan supaya dengar segala yang belum mendengar (Chambert-Loir 2004: 143).
Dalam karya sastra itu disebutkan bahwa Sang Bima (sebenarnya metafora bangsawan Majapahit) beserta adik-adiknya meminta izin kepada Sang Nata di paseban untuk menyerang lawan ke arah matahari hidup (timur) agar termasyur, sebab seluruh Tanah Jawa telah ditaklukkan.
”...tetapi jikalau demikian baiklah kita membawa rakyat Jawa ini supaya kita suruh berbuat perahu akan kenaikan kita. Maka dikerahkan rakyat Jawa itu berbuat jung dan gurab dan pelang dan knt...[teks tidak dapat dibaca] beberapa ratus, dan kenaikan baginda empat bersaudara sebuah seorang gurab, panjangnya 30 depa, bukanya 15 depa. Maka beberapa lamanya baginda menyuruh berbuat perahu, maka sudahlah segala perahu itu dengan segala kelengkapannya” (Chambert-Loir 2004 : 217).
Berdasarkan kutipan tersebut dapat dapat diketahui bahwa ada perahu Jawa (Majapahit) yang disebut gurab panjangnya 30 depa dan lebarnya 15 depa. Ada pula jenis perahu lainnya yaitu jung dan pelang.
Dalam pada itu Hikayat Banjar menyatakan bahwa ketika Negara-Dipa telah berdiri maka dan telah makmur maka banyak pedagang yang datang berniaga di pelabuhannya. Kemudian sang raja berkata: ”Sudah kita berbuat nagri sandiri, manurut tahta astilah tjara nagri Majapahit. Maka pakaian kita samuanja pakaian tjara orang Djawa. Maka chabar tjarita orang tuha-tuha dahulu-dahulu kala: manakala orang nagri itu manurut pakaian orang nagri lain nistjaja datangnya sangsara” (Ras 1968 : 264).
Mengenai perahu orang-orang Nagara-Dipa itu dinyatakan : ”Maka Aria Magatsari mahalukan ke palabuhan itu lawan parahu tanggahan namanja si Tjarang Padap. Panjangnja sapuluh depa, Andjil-andjilnja kumbala radjasa, barkakitir amas bertirai amas. Sulanja basi malila. Pabalahnja barkajuh ampat puluh. Parahu itu dikajuh tangkasnja saparti burung tarbang rupanja. Tubuh parahu itu bartulis galuga pahul dan air mas” (Ras 1968 : 260).
Demikianlah gambaran perahu Nagara-Dipa yang meneruskan cara dan tradisi Majapahit, perahu itu panjangnya 10 depa, haluannya yang membelah air dilapis baja hitam yang awet, tombak di haluan dari besi kuat, berbendera kecil-kecil kain emas, bertirai kain emas mempunyai kayuh 40, tubuh perahu diwarnai merah gelap, biru terang, dan warna emas.
Beberapa kutipan karya sastra minor masa Majapahit tersebut kiranya dapat membantu untuk sekedar membayangkan bagaimana dunia perkapalan dalam zaman Majapahit menurut sumber-sumber lokal sendiri. ”Karya sastra minor” itu dihasilkan di daerah-daerah yang mendapat pengaruh kuat kebudayaan Majapahit, sebelum banyaknya orang-orang Barat berkunjung ke pelabuhan-pelabuhan Nusantara. Pada akhirnya diperoleh beberapa butir pemahaman mengenai perahu/kapal layar hasil interpretasi dari karya sastra minor Majapahit. Pemahaman itu antara lain adalah :
1. Banyak jenis perahu layar yang dikenal dalam era Majapahit, perahu yang jelas berlabuh di pelabuhan Kaeringan dan Regol di Lasem adalah jung-jung perang (Carita Lasem); kemudian ada jenis perahu gurab, pelang, jukung, dan lainnya (Hikayat sang Bima & Hikayat Banjar).
2. Ukurannya perahu bermacam-macam, berdasarkan relief Candi Panataran ada yang berupa sampan yang hanya dikayuh oleh 2 orang agaknya untuk menyusuri kali atau memintas sungai. Ada pula yang berukuran panjang 30 depa dan lebar 15 depa (Hikayat sang Bima), serta ada perahu yangberukuran 10 depa (Hikayat Banjar).
3. Hampir semua karya sastra menyatakan bahwa perahu/kapal-kapal Majapahit itu mempunyai layar (tidak dijelaskan bertiang tunggal atau ganda) (Babad Dalem, Hikayat sang Bima, Hikayat Banjar, Kisah Panji Angreni Palembang, dan Carita Lasem)
4. Kayuh yang dipasang ada yang berjumlah 40 pengayuh (Hikayat Banjar), namun ada pula yang mempunyai 400 sampai 600 pengayuh dalam 1 kapal layar besar (Kisah Panji Angreni Palembang)
5. Mempunyai perlengkapan kapal yang memadai seperti lampu, senjata, tombak di haluan, haluan yang dilapis baja, rumah kapal, dapur, dan gudang (Babad Dalem, Hikayat sang Bima, dan Hikayat Banjar)
6. Perahu/kapal layar itu melaju dengan cepat, tangkas dan mudah dikemudikan
(Babad Dalem & Hikayat Banjar).
7. Kapal layar besar dan penting mempunyai nama yang mengesankan. Dalam Kisah Panji Angreni kedua kapal layar Panji dan para pengiringnya dinamakan dengan Indrajala (raja/penguasa air), Jaladara (menyerupai air atau ”menyatu dengan air”), dalam Hikayat Banjar ada kapal yang dinamakan Tjarang Padap. Perahu/Kapal layar dihias dengan berbagai ornamen melata, ukiran bermacam, tiang utama di lapisi gading, layar putih tinggi, mempunyai payung kebesaran, itulah perahu milik penguasa Bali (Babad Dalem). Hampir semua karya sastra
menyebutkan bahwa dalam kapal itu dilengkapi dengan iringan musik gamelan. Kapal mempunyai warna berbeda, jung perang berwarna hitam, kapal layar lainnya ada yang putih, merah gelap, dan biru-terang.
Beberapa pemahaman tentang perahu/kapal layar zaman Majapahit tersebut didokumentasikan oleh orang-orang yang berada di luar lingkaran inti wilayah Majapahit, seperti Lasem, Bali, Bima, Palembang, dan Banjar, dengan demikian apa yang dideskripsikan mungkin lugas dan netral. Sosok kapal layar Majapahit dinarasikan apa adanya, namun memang tidak ada karya sastra yang memerikan secara lengkap sehingga diperoleh gambaran yang komplit tentang wujud kapal layar Majapahit. Bagaimana pun diharapkan kapal layar Majapahit itu dapat direkonstruksi melalui serpihan data yang ada dari berbagai sumber.
Hal yang menarik adalah adanya penggambaran relief satu-satunya dari kapal layar Majapahit di kompleks Candi Panataran, jadi dapat dipastikan otentik dari masanya. Dalam relief tersebut dipahatkan kapal layar besar, mempunyai rumah kapal di tengah, namun bertiang kaki dua yang menyatu di bagian tengah hingga puncaknya. Kedua kaki tiang itu ditancapkan di bagian tepian dek tengah kapal lalu menyatu menjadi tiang tunggal di bagian atas rumah kapal. Apakah konstruksi kapal dengan tiang layar berkaki dua itu memungkinkan?, ataukah hanya gambaran kisah yang berbau mitos saja, sebab relief itu dipahatkan di kompleks bangunan keagamaan.
Kepustakaan :
Boedenani, H., 1976. Sejarah Sriwijaya. Bandung : Tarate.
Chambert-Loir, Henri, 2004. Kerajaan Bima Dalam Sastra dan Sejarah: Cerita Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-dewa, Hikayat Sang Bima, Syair Kerajaan Bima. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia & École
française d’Extrême-Orient.
Damais, Louis-Charles, 1970. Répertoire Onomastique de L’Epigraphie Javanaise (Jusqu’a Pu Sindok Śrī Iśānawikrama Dharmmotuŋgadewa). Paris: École Française D’Extrême-Orient.
Groeneveldt, W.P.,1960. Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources. Djakarta: Bhratara.
-------------, 2009. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Terjemahan dari judul asli: Notes on The Malay Archipelago and Mallaca Compiled from Chinese Sources. Depok: Komunitas Bambu.
Groslier, Bernard Philippe, 2002. Indocina Persilangan Kebudayaan. Penerjemah Ida Sundari Hoesen. Jakarta-Paris: Kepustakaan Populer Gramedia, École française d’Extrême-Orient, Pusat Penelitian Arkeologi.
Hall, D.G.E., 1988. Sejarah Asia Tenggara. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh I.P.Soewarsha. Surabaya: Usaha Nasional.
Hardjowardojo, Pitono, 1965. Pararaton. Djakarta: Bhratara.
Muljana, Slamet, 1979. Nagarakrtagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara
Munandar, Agus Aris, 1986, ”Prasasti Mula-Malurung: Pelengkap Sejarah Kerajaan Singhasari”, dalam Buku IIa Aspek Sosial Budaya, Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV, Cipanas, 3—9 Maret 1986. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Halaman 1-24.
-------------, 2005. “Bingkai Sejarah yang Menjadi Acuan Kisah Panji”, makalah
dalam Seminar Internasional Jawa Kuna: Mengenang Jasa-jasa Prof.Dr.P.J.Zoetmulder S.J. Kajian Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa Kuna. Diselenggarakan oleh Program Studi Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok 8—9 Juli
Padmapuspita, Ki J., 1966. Pararaton: Teks Bahasa Kawi Terdjemahan Bahasa Indonesia. Jogjakarta: Penerbit Taman Siswa.
Panji Kamzah, R. & Panji Karsono, 1920. Carita (Sejarah) Lasem. Semarang: Pambabar Pustaka.
Pigeaud, Theodore G.Th., 1960—63, Java in The 14th Century A Study in Cultural History: The Nagara kertagama By Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 AD. Volume I—V. The Hague: Martinus Nijhoff.
Rai Putra, I.B., 1995. Babad Dalem. Denpasar: Upada Sastra.
Rass, J.J., 1968. Hikayat Bandjar: A Study in Malay Historiography. The Hague: Martinus Nijhoff.
Sumadio, Bambang (Penyunting jilid), 1984. Sejarah Nasional Indonesia II: Jaman Kuna. Jakarta: Balai Pustaka.
Yamin, H.M., 1962. Tatanegara Majapahit II. Risalah Sapta Parwa. Djakarta: Prapantja.
---------, 1977. Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara. Jakarta: Balai Pustaka.
Zoetmulder, P.J. & S.O.Robson, 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia I. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sumber Tulisan :
http://ariesgoblog.files.wordpress.com/2010/01/agus-arismunandar-majapahit-ker_-agraris-maritim.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar