Selasa, 30 Maret 2010

Alun-alun sebagai Identitas Kota Jawa, Dulu dan Sekarang

ABSTRAK
Setiap orang yang berkeliling ke kota-kota di P. Jawa mulai dari Jawa Barat sampai ke Jawa Timur pasti menjumpai alun-alun pada pusat kota lamanya. Konsep penataan alun-alun pada kota-kota di Jawa ini sebenarnya sudah ada sejak jaman prakolonial dulu. Jadi alun-alun sebenarnya berpotensi untuk menjadi salah satu identitas bagi kota-kota di P. Jawa. Hal ini penting mengingat sekarang kita sedang dilanda krisis identitas baik dalam bidang arsitektur maupun perencanaan kota. Tapi sayang nya alun-alun di kota-kota sekarang keadaannya sangat menyedihkan sekali se olah-olah seperti ‘hidup segan matipun engan’. Hal ini mungkin disebabkan karena kurang sadarnya masyarakat akan konsep tata ruang kota Jawa dimasa lampau. Tulisan ini mencoba untuk mencari sejarah alunalun di masa lampau, barangkali bisa dipakai sebagai salah satu pertimbangan untuk menghidupkan kembali alun-alun kota.


ABSTRACT
Anyone going around Java, from one city to another, will certainly come across ‘alun-alun’ in the center of each downtown. The concept of ‘alun-alun has actually existed since the precolonial period. Considering the identity crisis – in both the architecture and city planning – that we are facing now, we can say that ‘alun-alun is actually potential to show the identity of the cities in Java. Unfortunately its existence is in a very poor condition. This might happen because people are not fully aware of the concept of ‘Java city planning’ in the past. This paper is meant to look for the history of ‘alun-alun’ in the past with the purpose of reviving the ‘alun-alun kota’.


PENDAHULUAN.
Apakah sebenarnya alun-alun itu? Apa fungsi sebenarnya di masa lampau? Mengapa alun-alun itu selalu terdapat di hampir setiap kota di P. Jawa? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini selalu muncul dan perlu diketahui sebelum kita bisa menentukan sikap lebih lanjut tentang nasib alun-alun tersebut untuk masa mendatang.

Di dalam buku “Encyclopedie van Nederlandsch Indie” (Paulus, 1917:31), terdapat penjelasan tentang ‘alun-alun’ sebagai berikut :

“Di hampir setiap tempat kediaman Bupati, seorang kepala distrik di Jawa, orang selalu menjumpai adanya sebuah lapangan rumput yang luas, yang dikelilngi oleh pohon beringin di tengahnya. Lapangan inilah yang dinamakan ‘alun-alun’. Di kota-kota bekas kerajaan kuno (seperti Surakarta dan Yogyakarta), mempunyai dua buah ’alun-alun’, sebuah terletak di Utara Kraton dan sebuah lagi terletak disebelah Selatan Kraton. Di permukaan alun-alun tersebut tidak boleh ada rumput tumbuh dan diatasnya ditutup dengan pasir halus. Di bagian Selatan dari alun-alun tersebut terdapat pintu masuk yang menuju ketempat kediaman Raja atau Bupati, dimana disana berdiri sebuah pendopo. Pegawai negeri atau orang-orang lain yang ingin bertemu dengan raja atau Bupati menunggu waktunya disana untuk dipanggil, jika Raja merestui untuk menerima kedatangan mereka. Oleh sebab itu pendopo tersebut kadang-kadang dinamakan juga Paseban (asal kata seba). Pada masa lampau di alun-alun tiap hari Sabtu atau Senin (Seton atau Senenan) diadakan permainan Sodoran (pertandingan diatas kuda dengan menggunakan tombak yang ujungnya tumpul), atau pertandingan macan secara beramai-ramai yang dinamakan ‘rampog macan’. Pada waktu pertunjukan ini raja duduk di Siti Inggil, tempat yang paling tinggi dimuka pintu Kraton. Pada tempat-tempat Bupati terdapat panggung untuk melihat tontonan tersebut. Di Jawa Barat juga terdapat alun-alun kecil di depan rumah kepala desa, tapi alun-alun tersebut tidak dikelilingi oleh pohon beringin. Mesjid seringkali terdapat disebelah Barat dari alun-alun”

Kehadiran alun-alun sudah ada sejak jaman prakolonial. Meskipun dari dulu sampai sekarang bentuk phisik alun-alunnya sendiri tidak banyak mengalami perubahan, tapi konsep yang mendasari bentuk phisiknya sejak jaman prakolonial sampai sekarang telah mengalami banyak perubahan. Konsep inilah yang sebetulnya menentukan fungsi dan kehadiran laun-alun dalam suatu kota di Jawa. Uraian dibawah ini mencoba untuk menlusuri konsep yang mendasari kehadiran alun-alun di masa lampau, sebagai pertimbangan untuk menghidukan kembali alun-alun yang sekarang masih banyak terdapat pada kota-kota di Jawa, tapi keadannya seperti ‘hidup segan matipun enggan’.

Perlu dipikirkan disini bahwa persoalan dan kegagalan yang terjadi dalam proses pembangunan seringkali bersumber dari keinginan membentuk suatu masyarakat baru tanpa mengenal lebih dulu nilai-nilai tradisional masa lalu.

ALUN-ALUN PADA JAMAN PRAKOLONIAL DI JAWA.
Dimasa lalu sejak jaman Mojopahit sampai Mataram (abad 13 s/d 18), alun-alun selalu menjadi bagian dari suatu komplek Kraton. Kraton dalam masyarakat tradisional masa lalu merupakan pusat pemerintahan dan sekaligus merupakan pusat kebudayaan. Sebagai pusat pemerintahan dimana raja tinggal, maka Kraton dianggap sebagai miniatur dari makrokosmos1. Komplek Kraton biasanya diberi pagar yang terpisah dari daerah lainnya pada suatu ibukota kerajaan, Batas pagar ini tidak selalu ditafsirkan melalui sistim pertahanan, tapi dapat ditentukan juga dari aspek kepercayaan/keagamaan. Untuk itu kita harus mengerti dulu hubungan antara kepercajaan/keagamaan dengan kota/komplek Kraton.

Manusia yang religius seperti halnya mayarakat agraris yang religius di Jawa ini biasanya membagi ruang menjadi dua jenis, ruang yang homogen atau sakral (disucikan) disatu pihak dan ruang yang inhomogen atau yang tidak teratur (bisa disebut profan) dilain pihak. Di alam sakral segalanya teratur, baik tingkah laku manusia maupun struktur bangunannya. Sedang di ruang yang inhomogen semuanya tidak teratur, karena tidak/belum disucikan (Eliade, 1959:20-65).

Wilayah Kraton selalu dianggap sebagai wilayah yang homogen (Sakral), yang teratur atau harus diatur. Manifestasi dari keinginan inilah yang melahirkan konsepsi ruang dari susunan sebuah Kraton. Seperti dijelaskan di depan bahwa Kraton dianggap sebagai miniatur dari makrokosmos. Manifestasinya adalah sebagai berikut: tempat tinggal raja yang biasa disebut sebagai ‘dalem ageng’ diibaratkan sebagai puncak Mahameru (atau gunung Semeru di Jawa). Disinlah kekuasaan dan wibawa raja dirasakan sangat besar. Di daerah lingkaran di luarnya disebut ‘negara agung’ (negara besar), batas luarnya adalah pelataran dalam. Disini kekuasan raja masih terasa besar. Di luar ‘negara agung’ dinamakan kawasan ‘mancanegara’ (luar daerah). Ini sudah agak diluar, tapi belum keluar dari batas teras Kraton. Di tempat inilah biasanya raja menerima tamu. Diluarnya lagi disebut Pasisir. Batas luarnya sudah mencapai Siti Inggil, bangunan di batas alun-alun dengan Kraton. Di Pesisir raja makin jarang muncul, hanya beberapa kali dalam setahun misalnya bila ada perayaan tertentu. Daerah paling luar disebut ‘sabrang’ (daerah seberang). Didaerah inilah bangsal pertemuan untuk para Bupati ditempatkan. Jadi jelaslah disini meskipun tempatnya paling luar tapi ‘alun-alun’ masih terletak di dalam komplek tembok/pagar Kraton2.


Di dalam Kraton Majapahit seperti dilukiskan oleh Prapanca dalam Negarakretagama3, di sebelah Utara dari komplek Kraton terdapat dua alun-alun. Masing-masing dinamakan Bubat (terkenal sebagai tempat pertarungan sengit antara utusan kerajaan pajajaran dengan pasukan Gajah Mada), yang luasnya kira-kira 1 km2, dengan lebar kurang lebih 900.00 M dan alun-alun Utara yang disebut sebagai Waguntur.



Meskipun keterangan Prapanca dalam Negarakretagama kurang begitu jelas, tapi masih bisa ditangkap betapa pentingnya peran alun-alun sebagai bagian dari pusat kota. Fungsi kedua alun-alun ini agak berbeda. Lapangan Bubat lebih bersifat profan . Pesta rakyat yang diadakan setiap tahun sekali pada bulan caitra (Maret/April) diselenggarakan di lapangan Bubat. Pada 3-4 hari terakhir pertunjukan dan permainan diselenggarakan dengan kehadiran dari raja. Fungsi lapangan Waguntur lebih sakral. Lapangan ini terletak di dalam pura raja Majapahit, yang digunakan untuk lapangan upacara penobatan atau resepsi kenegaraan. Di lapangan Waguntur ini terdapat Siti Inggil, serta komplek pemujaan (kuil Siwa) yang terletak di sebelah Timur dari lapangan Waguntur. Ini lebih mirip dengan alun-alun Lor Kraton Yogyakarta atau Surakarta, hanya komplek pemujaan pada alun-alun Lor diganti dengan mesjid yang letaknya di sebelah Barat dari alun-alun.

Model yang masih bisa kita lihat sebagai prototype alun-alun kota di Jawa pada jaman yang lebih muda adalah alun-alun Yogyakarta dan Surakarta bekas perpecahan kerajaan Mataram dimasa lampau. Baik di Yogyakarta maupun di Surakarta terdapat dua buah alun-alun yaitu alun-alun Lor dan Kidul4. Di masa lalu alun-alun Lor berfungsi menyediakan persyaratan bagi berlangsungnya kekuasaan raja. Alun-alun Kidul berfungsi untuk menyiapkan suatu kondisi yang menunjang kelancaran hubungan kraton dengan universum. Alun-alun Kidul dapat juga melambangkan kesatuan kekuasaan sakral antara raja dan para bangsawan yang tinggal disekitar alun-alun.

Alun-alun Lor Yogyakarta pada masa lalu berbentuk ruang luar segi empat berukuran 300x265 meter. Di tengahnya terdapat dua buah pohon beringin dan di sekelilingnya terdapat 64 pohon beringin yang ditanam dengan jarak sedemikian rupa sehingga harmoni dengan bangunan disekitarnya. Permukaan alun-alun ini ditutupi oleh pasir halus. Dua buah pohon beringin ditengah alun-alun tersebut dikelilingi oleh pagar segi empat. Orang Jawa menyebutnya sebagai ‘Waringin Kurung’. Nama Waringin berasal dari dua suku kata “wri” dan “ngin”. “Wri” berasal dari kata “wruh” yang berarti mengetahui, melihat. “Ngin” berarti memikir, tindakan penjagaan masa depan (Pigeaud, 1940:180). Kedua kata tersebut melambangkan kematangan manusia yang arief bijaksana, karena orang Jawa berangapan bahwa kegiatan bijaksana berasal dari kosmos. Pohon beringin dengan demikian melambangkan kesatuan dan harmoni antara manusia dengan universum. Kesatuan ini tidak timbul dengan sendirinya. Pohon beringin melambangkan langit dan permukaan tanah yang persegi empat didalam pagar kayu mengartikan tugas manusia untuk mengatur kehidupan di bumi dan di alam, supaya harmoni dengan hukum universum (Pigeaud, 1940:180).




Alun-alun jaman Mataram juga digunakan oleh warga (rakyat biasa) untuk bertemu langsung dengan raja, guna meminta pertimbangan atau sesuatu kasus perselisihan. Orang harus memakai pakaian dan penutup kepala putih dan harus duduk menunggu diantara kedua pohon beringin sampai diperbolehkan menghadap raja. Perbuatan seperti ini disebut “pepe”.

Di sebelah Barat alun-alun terdapat mesjid. Di halaman mesjid tersebut terdapat dua buah bangsal terbuka untuk dua buah perlengkapan gamelan. Yang satu disebut “Kyai Sekati” dan yang lain disebut “Nyai Sekati”. Keduanya dimainkan bergantian dimainkan hanya pada 3 upacara keagamaan, yaitu: Garebeg Maulud, Garebeg Sawal dan Garebeg Besar. Di seberang mesjid terdapat bangunan yang disebut ‘Pamonggangan” tempat untuk menyimpan gamelan yang lain. Dahulu pada jaman Mataram, setiap hari Sabtu sore (di luar Kasultanan diadakan pada hari Senin sehingga sering disebut Seton atau Senenan) diadakan pertunjukan ‘Sodoran’5 di alun-alun. Gamelan tersebut dimainkan sewaktu ada pertunjukan itu. Di sebelah bangunan “Pamonggangan” tersebut terdapat sebuah kadang harimau dan binatang buas lainnya. Pada hari Sabtu sore selain pertunjukan Sodoran kadang-kadang juga diadakan pertunjukan perkelahian antara banteng dan harimau, yang selalu diakhiri dengan kemenangan banteng. Lambang kekuasaan raja adalah banteng (dalam bahasa Jawa disebut Maesa), sedangkan lambang kekacauan adalah harimau (dalam bahsa Jawa disebut Simo). Pada jaman penjajahan banteng sering dilambangkan dengan orang Jawa dan harimau sebagai orang Belanda. Dalam pertunjukan ini banteng menang, dan orang Belanda ikut bertepuk tangan, karena mereka tidak mengerti !

Ada juga dipertunjukkan membunuh harimau (simbol kekacauan), secara beramai-ramai, yang dinamakan ‘rampog macan”. Jadi alun-alun yang pada mulanya merupakan pelataran sakral yang melambangkan harmoni antara langit yang dilambangkan sebagai pohon beringin dan bumi yang dilambangkan sebagai pasir halus, dimasa ini telah bertambah artinya.

Kesimpulanya alun-alun pada jaman prakolonial bisa berfungsi sebagai (Santoso, 1984) :

1. Lambang berdirinya sistim kekuasaan raja terhadap rakyatnya.
2. Tempat semua upacara keagamaan yang penting (adanya hubungan penting antara Kraton-Mesjid dan Alun-Alun).
3. Tempat pertunjukan kekuasaan militeris yang bersifat profane



ALUN-ALUN PADA JAMAN KOLONIAL
Untuk menjelaskan peran alun-alun pada jaman kolonial, disini dicoba untuk melihatnya dari sudut susunan pemerintahan, karena hubungannya yang sangat erat sekali. Salah satu unsur yang dikagumi orang mengenai kolonialisme Belanda di Indonesia adalah sistim pemerintahannya yang tidak langsung (indirect rule). Pemerintah kolonial Belanda dalam memerintah Nusantara selain menggunakan pejabat resmi seperti Gubernur Jenderal, Residen, Asisten Residen, Kontrolir dan sebagainya, juga menggunakan pejabat Pribumi untuk berhubungan langsung dengan rakyat, seperti Bupati, Patih, Wedana, Camat dan lainnya. Unsur pemerintahan Pribumi ini biasanya disebut sebagai Pangreh Praja (yang berkuasa atas kerajaan - orang Belanda memakai istilah ‘Inlandsch Bestuur’). Supaya lebih jelas dibawah ini diberikan diagram sitim pemerintahan Belanda sampai th. 1902.

Dalam sistim pemerintahan ‘Inlandsch Bestuur’ pejabat Pribumi yang tertinggi adalah ‘Regent’ atau biasa disebut sebagai Bupati, yang membawahi sebuah Kabupaten. Siapa sebenarnya Bupati ini pada jaman kolonial? Di dalam sistim pemerintahan Mataram terdapat 4 macam daerah yaitu (Kartodirjo, 1987:11) :
1. Daerah Inti yang disebut Negara atau Kuthagara.
2. Negara Agung.
3. Mancanegara
4. Pasisir.

Daerah Macanegara dan Pasisir, penguasanya dinamakan Bupati. Mereka adalah raja di daerahnya (Kartodirjo, 1987:12). Pada th. 1746 daerah Pasisir jatuh ketangan Kompeni, maka Bupati-Bupati nya menjadi Bupati Kompeni. Bupati Pesisir ini menjadi semacam ‘leverancier’ Kompeni. Mereka menyediakan barangbarang serta tenaga manusia untuk Kompeni. Para Bupati ini dengan leluasa mengembangkan kehidupan istana dengan meniru raja-raja Mataram di lingkungan masing-masing. Pada abad ke 19 setelah runtuhnya VOC, pemerintahan di Nusantara diserahkan kepada pemerintah kolonial Belanda. Para Bupati ini kemudian disebut sebagai Bupati Gubermen, yang menjadi pegawai yang digaji oleh pemerintah kolonial. Lalu apa hubungannya antara sistim pemerintahan ini dengan alun-alun?

Rumah Bupati di Jawa selalu dibangun untuk menjadi miniatur Kraton di Surakarta dan Yogyakarta. Di depan rumah Bupati juga terdapat pendopo yang berhadapan langsung dengan alun-alun, yang sengaja diciptakan oleh para Bupati untuk bisa menjadi miniatur dari Kraton Surakarta atau Yogyakarta. Bahkan di alun-alun di pusat kota Kabupaten ini juga diadakan perayaan semacam: sodoran, grebegan dan sebagainya. Rupanya pemerintah Kolonial Belanda melihat unsur phisik tradisional ini sebagai suatu potensi yang baik untuk dikembangkan dalam sistim pemerintahan tidak langsung (indirect rule) yang diterapkan di Nusantara ini.

Dalam sistim pemerintahan kolonial, Jawa dibagi menjadi 3 Propinsi, 18 Karesidenan yang masing-masing dibawahi oleh soerang residen, serta 66 Kabupaten yang masing-masing dikuasi secara bersama oleh seorang Asisten Residen (orang Belanda) dan seorang Bupati (Pribumi). Pada pusat kota Kabupaten inilah dibakukan semacam lambang pemerintahan bersama antara Asisten Residen dengan Bupati dalam bentuk phisik. Ujudnya adalah bentuk phisik tradisional berupa rumah Bupati dengan pendopo didepannya. Di depan rumah Bupati tersebut terdapat alun-alun yang ditumbuhi oleh dua buah atau kadang-kadang sebuah pohon beringin.


Rumah Bupati terletak disebelah Selatan alun-alun, di sebelah Barat terdapat mesjid Agung sesuai dengan kraton Yogyakarta atau Surakarta. Di sebelah Utara alun-alun yang berhadapan dengan rumah Bupati sekarang diletakkan kantor Asisten Residen Belanda, yang mengingatkan kita pada benteng Vastenburg dan Vredenburg di hadapan Kraton Yogyakarta dan Surakarta. Di sekitar alun-alun juga terdapat pasar, stasiun bus, serta daerah pertokoan yang Alun-alun terletak tidak jauh dari bangunan pemerintahan dan alun-alunnya. Model alun-alun inilah yang kemudian berkembang sebagai prototype identitas kota Jawa pada jaman kolonial.

Sifat sakral alun-alun di jaman kolonial kemudian berkembang lebih merakyat, pada jaman kolonial ini menjadi semacam ‘civic space’. Bahkan pada akhir jaman kolonial berkembang menjadi semacam ‘plaza’ di Eropa.

ALUN-ALUN PASCA JAMAN KOLONIAL

Setelah kemerdekaan, alun-alun masih menjadi unsur yang cukup dominan di kota-kota Kabupaten sampai sekarang. Pada jaman pra kolonial antara alunalun, kraton dan mesjid mempunyai konsep keselarasan yang jelas. Maksudnya komplek tersebut memang merupakan ujud dari konsep keselarasan antara mikrokosmos dan makrokosmos, yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa. Oleh sebab itu meskipun terdapat transformasi bentuk alun-alun dari jaman Mojopahit sampai Mataram, tapi terlihat adanya kontinuitas konsep pemikiran tentang penataannya. Pada jaman kolonial kelihatan adanya diskontinuitas tentang pemikiran konsep penataan alun-alun. Tapi secara halus Belanda berhasil membuat konsep baru dalam penataan alun-alun kota untuk disesuaikan dengan sistim pemerintahannya pada waktu itu. Sehingga muncul istilah kota-kota “Indisch”, karena munculnya kebudayaan ‘Indisch’, yaitu percampuran antara kebudayaan Jawa dan Kebudayaan Belanda6.

Pada awal abad ke 20, terjadi ‘westernisasi’ kota-kota di Nusantara. Kebudayaan ‘Indisch’, yang pada abad ke 19 berkembang subur di Nusantara, kelihatan menghilang, disapu oleh kebudayaan Barat modern yang dibawa oleh para pendatang baru pada awal abad ke 20. Sejak awal abad ke 20 inilah mulai kelihatan rusaknya alun-alun sebagai ciri khas kota-kota di Jawa.

Sesudah kemerdekaan Indonesia nasib alun-alun kota bertambah parah lagi. Banyak pengambil keputusan atau kebijakan pembangunan kota ragu-ragu atau bahkan tidak mengerti mau difungsikan untuk apa alun-alun ini. Banyak alun-alun yang sekarang digunakan untuk tempat olah raga sepak bola, tenis, basket, ada pula yang sekarang difungsikan sebagai taman kota. Bahkan banyak yang sekarang tidak jelas fungsinya, karena pusat kotanya sudah bergeser ke lain lokasi. Yang paling tragis lagi ada alun-alun kota yang diincar investor untuk dibeli karena letaknya yang strategis di pusat kota. Semuanya ini sebagai akibat belum adanya suatu konsensus budaya yang jelas secara nasional, untuk bisa dipakai sebagai pegangan dalam menangani alun-alun yang ada sekarang, sehingga wajar kalau timbul kebingungan dalam menangani pembangunan nya. Jadi seperti apa yang dilihat sekarang pada alun-alun kota, ingin meninggalkan pola tradisional, tapi belum menemukan struktur-struktur baru yang mantap. Sesudah jaman pasca kolonial ini alun-alun kelihatan seperti ‘hidup segan matipun enggan’.

KESIMPULAN.
Nasib alun-alun yang tidak menentu sesudah jaman pasca kolonial ini barangkali disebabkan belum adanya suatu konsensus budaya yang dapat diterima oleh semua golongan. Etika keselarasan yang dipakai sebagai sumber konsep untuk mewujudkan alun-alun kota, berakar dalam suatu struktur sosial budaya dan pandangan dunia yang amat berbeda dengan apa yang kita sebut sebagai modernisasi sekarang. Modernisasi bukanlah suatu alternatif terhadap tradisi, tapi keduanya berkaitan secara dialektis. Sikap kreatif yang dijunjung tinggi pada jaman modern ini misalnya, berarti: bergairah untuk memikirkan, mencari, menemukan, menciptakan sesuatu yang baru. Padahal tradisi masa lalu selalu bertitik tolak pada keadaan selaras yang sudah ada, yang perlu dipertahankan, sesuatu yang baru pasti mengacaukan harmoni dan harus ditolak. Terhadap keadaan yang harmonis dan baik, yang baru mesti merupakan ancaman. Karena itu pemikiran tradisional masa lalu yang berdasarkan keselarasan ditantang untuk menunjukkan bagaimana dalam kerangkanya kreativitas dapat diminati sebagai sesuatu yang positif. Konsensus misalnya, andaikata terbentuk sifatnya mungkin hanya sementara saja. Adalah tidak mungkin untuk mempertahankan nilai-nilai masa lalu dari arsitektur tradisional sebagai dasar konsesnsus yang berlaku sekarang. Meskipun nilai-nilai dasar dalam arsitektur tradisional tetap dipertahankan, perlu dipikirkan pengembangan yang memadai untuk menghadapai tantangan-tantangan dewasa ini. Pada masa lalu arsitek dan pemberi nilai terletak pada seorang saja (Sultan Yogya yang pertama misalnya adalah sumber nilai yang sekaligus juga arsitek Kraton Yogyakarta). Pada masa kini seorang arsitek adalah pemberi ‘ujud’, dia bukan sumber nilai bagi masyarakatnya. Oleh sebab itu diperlukan pemikiran dan kemauan semua pihak untuk mengatasi masalah ini.

Catatan

1.Kepercayaan tentang kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos (antara jagat raya dan dunia manusia) yang dijumpai dalam hubungan kosmologis dari negara dan kedudukan raja di Asia Tenggara, khususnya di Jawa, yang banyak dijumpai pada ujud :gelar-gelar raja, pengaturan negara, penyuunan tata ruang ibukota, denah-denah Kraton, candi-candi dsb.nya telah banyak dibahas para ahli misalnya dalam buku: Conceptions of State and Kingship in Southeast Asia oleh Robert Heine Geldern, Kraton and Cosmos In Traditional Java oleh Timothy Earl Behren dan sebagaina.

2.Disini jelas adanya perbedaan yang mencolok antara konsep alun-alun dengan Agora di Yunani. Alun-alun pada awalnya dirancang sebagai ‘ruang sakral’. Sedangkan Agora merupakan ruang luar yang bersifat ‘profan’ sebagai pencerminan faham demokrasi yang dianut oleh negara Yunani waktu itu.

3.Negarakretagama ditemukan di P. Lombok pada th. 1902. Sejak itu banyak sejarawan dan ahli-ahli lainnya berusaha untuk merekonstruksi ibukota Majapahit berdasarkan uraian yang dibuat Prapanca. Usaha rekonstruksi ini dilakukan oleh Prof. H. Kern (1905 & 1914), Poerbacaroko (1924), Stutterheim (De Kraton van Majapahit, 1941), Th.G. Pigeaud (1960-1963), dan juga Prof. Slamet Mulyono (1965). Bahkan pada th. 1970 oleh sarjana Perancis Denys Lombard.

4.Di Surakarta alun-alun Lor dan Kidul mempunyai dimensi yang hampir sama luasnya yaitu kurang lebih 300x400 meter. Di Yogyakarta alun-alun Lor mempunyai dimensi yang lebih kecil yaitu 300x265 meter.

5.Sodoran adalah pertujukan adu ketangkasan diatas kuda dengan menggunakan tombak yang ujungnya tumpul. Tentang pertujukan Sodoran bisa ibaca pada buku karangan Rob Nieuwenhuis, yang berjudul ‘Oost Indische Spiegel’, yang dterjemahkan oleh Dick Hartoko, dengan judul “Bianglala Sastra Belanda’, Djambatan, 1985, hal.5-7. Pertujukan Sodoran ini diceritakn oleh R. van Goens utusan V.O.C. pada jaman Mataram.

6.Tentang Kebudayaan ‘Indisch’ di Indonesia, baca tulisan Paline D. Milone, yang berjudul: “Indische Culture and its relationship to urban life”, dalam Comparative Studies in Society & History; vol.9, Jul-Oct., hal.427-436.


KEPUSTAKAAN.
Behrend, Timothy Earl (1982), Kraton and Cosmos In Traditional Java, Tesis M.A., University of Wisconsin-Madison.
Carey, Peter (1986), Asal Usul Perang Jawa, Pustaka Azet, Jakarta.
Coban, James L. (1970), The City Of Java, An Easy In Historical Geography, Ph.D. Thesis, University Of California.
De Kraton van Java Yogyakarta, De Indeeling van den Kraton Mooi Yogyakarta, Uitgave Kalf Buning.
Eliade, Mircea (1959), The Sacred and The Profan, Harcourt Brace & World Inc.
Geldern, Robert Heine (1972), Konsepsi Tentang Negara & Kedudukan Raja Di Asia Tenggara, terjemahan Deliar Noer, CV. Rajawali, Jakarta.
Kartodirdjo, Sartono, et.al. (1987), Perkembangan Peradaban Priyayi, Gajahmada University Press, Yogyakarta.
Milone, Pauline D. (1966-67), Indische Culture And Its Relationship To Urban Life, dalam Comparative Studies In Society & History, vol.9, Jul-Oct, hal.427-436.
Mulyono, Slamet (1965), Menuju Puncak Kemegahan, Sejarah Kerajaan Majapahit, dalam Bab. Negarakretagama Sebagai Sumber Sejarah Kebudayaan Ibukota Majapahit, Jakarta, Balai Pustaka. Hal. 44-46 dan hal.
Nieuwenhuis, Rob (1972) Oost Indische Spiegel, ditulis kembali oleh Dick Hartoko dengan Judul Bianglala Sastra, Bunga Rampai Sastra Belanda Tentang Kehidupan di Indonesia, Djambatan, Jakarta. Hal. 5-7.
Paulus, J. (1917), Encyclopedie van Nederland Indie, Twee Druk, Martinus Nijhoff, S’Gravenhage, NV v/h E.J. Brill , Leiden.
Pigeaud, Th. G. (1940), De Noorder Aloen-Aloen Te Yogyakarta, dalam majalah Jawa, no.3, Mei 1940, hal. 176-184.
Santoso, S. (1981), Dinamika Perkembangan Arsitektur Di Jaman Prakolonial di P. Jawa, dalam majalah Dimensi no.5, 1981, hal. 34-36.
Santoso, S. (1984), Kosep Struktur & Bentuk Kota Jawa s/d Abad ke 18.
Sutherland, Heather (1985), Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi, SinarHarapan, Jakarta.
Tempo, 16 Pebruari 1985, Membangun Keraton Menurut Kawruh Kalang, Hal. 19-20.



Penulis merupakan Staf Pengajar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra.

Sumber tulisan, Dimensi 18/ARS SEPTEMBER 1992 1




Tidak ada komentar: