Senin, 08 Maret 2010
KELAS DALAM PERSEMAIAN KEBUDAYAAN
Peran sebagai apakah yang selalu ada dalam sinetron, film, atau drama tradisional di Indonesia? Yang pasti bukan perampok, pendekar, pengusaha, anak sekolah. Majikan dan Pembantu rumah tangga, merupakan peran yang selalu ada dalam setiap sinetron, film, maupun drama tradisional. Dalam drama tradisional, kethoprak misalnya, hampir setiap lakon selalu ada peran majikan (bendoro) dan pembantu rumah tangga (Batur). Dalam sinetron-sinetron terbaru, misalnya Cahaya, Azizah, atau sintron-sinetron lain peran majikan dan pembantu selalu ada. Dalam film yang bertema cinta sekalipun, seperti Eifel I am in Love, atau Ada Apa dengan Cinta, kedua peran ini tidak pernah hilang.
Film, sinetron, drama (baik modern maupun tradional) merupakan salah satu bentuk dari kesenian. Kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan menjadi media untuk menggambarkan kondisi sosial yang sedang terjadi. Ide-ide yang muncul, sebagai ruh dari kesenian, berlatar belakang kondisi sosial yang terjadi. Secara tidak langsung kondisi sosial dan gagasan atau ide-ide sebuah kelompok atau bangsa dapat dilihat melalui dari kesenian yang menjadi miliknya. Berkaitan dengan kebudayaan, ada apa dengan peran dmajikan dan pembantu rumah tangga tersebut?
Kebudayaan dan Kelas
Sebelum kita melangkah lebih jauh untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, ada baiknya kita melihat beberapa konsep kebudayaan. Sebagai batasannya kita akan melihat konsep yang dipaparkan oleh Matthew Arnold (1822-1888) dan Raymond William (1921-1988). Ada kemiripan yang unik diantara kedua tokoh tersebut. Diantaranya adalah umur hidup yang hampir sama, berasal dari negara yang sama, namun berasal dari kalangan yang berbeda. Keunikan yang terakhir ini sedikit banyak mempengaruhi konsep pemikiran keduanya. Matthew Arnold merupakan pelopor berdirinya English Studies, sedangkan Raymond William merupakan salah satu pelopor dalam Birmingham centre. Kedua lembaga ini merupakan pusat kajian kebudayaan (culture studies) di Inggris.
Dalam konsepnya tentang kebudayaan Matthew Arnold (1822-1888) mengatakan bahwa kebudayaan adalah suatu keinginan besar, keinginan terpuji dan unggul. Sebuah peristiwa yang lebih besar dimana membuat seseorang merasa bahagia, menang. Hal ini belum menjadi hal yang menyenangkan hingga semua menjadi manusia yang sempurna. Diketahui bahwa manusia belum sempurna hingga keterbukaan dan perbedaan kelompok manusia bersentuhan dengan hal yang terpuji dan unggul. Untuk itu manusia harus bekerja dengan keinginan terpuji dan unggul, kemudian bahwa manusia harus memiliki dasar yang kuat, harus memiliki perasaan yang terpuji dan unggul untuk semua yang mungkin. Arnold menjelaskan bagaimana hal tersebut menjadi saat yang membahagiakan dari kemanusiaan, menjadi tanda jaman baru kehidupan manusia, bagaimana itu menjadi peghias dari kesusasteraan dan seni, dan semua kekuatan kreativitas dari kecerdasan pikiran, ketika warga Negara berpikir dan hidup bahagia, ketika seluruh masyarakat dalam bertindak menggunakan pikiran, perasaan keindahan, kecerdasan dan kegembiraan. Hanya itu yang menjadikan pikiran dan keindahan menjadi nyata; rasa manis yang nyata, dan keramahan yang nyata. Banyak orang akan mencoba mempengaruhi massa, bagaimana mereka menyebutnya, sebuah persiapan makanan intelektual dan menyesuaikan diri saat mereka berfikir tepat pada kondisi nyata massa. Kesusasteraan Popular merupakan contoh dari pekerjaan massa. Banyak orang akan mencoba untuk mempengaruhi massa dengan sekumpulan gagasan dan keputusan dari profesi atau kelompoknya. Organisasi religius dan politik memberikan contoh cara ini terhadap massa. Namun kebudayaan lain, kebudayaan tidak mencoba untuk menggurui kelas di bawahnya, kebudayaan tidak mencoba untuk memenangkan satu mazhab dari dirinya dengan membuat keputusan dan semboyan. Kebudayaan melihat untuk menjauhi pengelompokan, untuk berbuat yang terbaik dari pemikiran dan pengetahuan di dunia yang dipilih dimanapun untuk membuat seluruh manusia hidup dalam suasana yang terpuji dan unggul, dimanapun mereka melaksanakan gagasan, dilaksanakan bebas oleh mereka sendiri, melestarikan dan tidak melepaskannya.
Hal di atas adalah”social idea”, dan manusia dari kebudayaan merupakan rasul dari persamaan hak. Manusia hebat dari kebudayaan adalah manusia yang memiliki semangat untuk berbaur, untuk membuat semangat, membawa sesuatu dari satu komunitas ke komunitas lain, pengetahuan terbaik, gagasan terbaik dari waktunya, yang mengabdikan diri untuk membebaskan pengetahuan dari semua yang bersifat memaksa, tidak beradab, sukar, tidak jelas, professional, eksklusif; untuk memanusiakannya (humanis); untuk membuat efisien,ramah, dan mudah dipelajari di luar kelompok; menemukan pemikiran dan pengetahuan terbaik serta sumber yang benar dengan terpuji dan unggul.
Pandangan Arnold terhadap kebudayaan saat itu berlatar belakang oleh terhadap kondisi masyarakat Inggris saat itu. Dalam pandangannya bahwa di Inggris (waktu itu) terdapat beberapa kelas (kelompok) masyarakat. Kelas borjuis atau kelompok atas atau oleh Arnold disebut sebagai kolompok Aristocracy, kelas menengah dan buruh, dan kelompok yang tidak terikat keduanya. Sebagai kritik terhadap kebudayaan yang dibawa oleh masing-masing kelompok, Arnold menyamakan kelompok yang pertama itu dengan Barbarian, sedangkan yang kedua dengan Philistines, dan yang ketiga disebut sebagai Populace. Perancang kelompok pertama adalah kalangan kerajaan dan dewan. Sedangkan perancang kelompok kedua merupakan kelompok agamawan, bisnisman dan pembuat uang. Dan perancang kelompok populace adalah masyarakat Inggris yang free, kelompok masyarakat yang tidak terikat keduanya, mau tur, makan, bermain, terserah dimanapun dia suka. Masyarakat dalam kelompok Barbarian, Philistine, maupun Populace memiliki semangat yang sama, yaitu semangat memanusiakan manusia (humanity). Dan secara umum konsep demokrasi dalam bernegara telah menyediakan ruang bagi semangat humanity tersebut. Arnold menyebut budaya pop yang dibawa oleh kelompok-kelompok ini sebagai anarchy. Karena budaya-budaya tersebut dipandangnya cenderung merusak kaidah atau budaya-budaya yang sudah ada.
Arnold berpendapat bahwa “jika seorang manusia tanpa buku atau membaca, atau membaca sesuatu tapi tulisannya memberikan kebebasan dan baru dari pemikiran terbaik dari persediaan ide-ide dan kebiasaan-kebiasaannya, dia telah mendapatkan kebudayaan”. Namun secara umum konsep kebudayaan yang dikemukakan oleh Arnold di atas lebih terfokus pada konstruksi penyatuan kebudayaan nasional yang ideologinya sangat borjuis dan eksklusif, serta bertujuan utama untuk mengkonstruksikan kebudayaan nasional Inggris yang sesuai dengan kebijakan pemerintah Inggris. Dalam konsep Arnold tersebut di atas, jelas terlihat hubungan antara kelas-kelas yang ada dengan negara. Sehingga sebagai kelompok-kelompok masyarakat dalam negara itu (Inggris) sebenarnya telah diberikan ruang dan memiliki arah yang sama dengan konsep yang diberikan Negara.
Sementara itu Williams (1965) menjelaskan, “kita perlu membedakan tiga tingkat kebudayaan, bahkan dalam definisi yang paling umum. Ada kebudayaan yang hidup pada waktu dan tempat tertentu (lived culture) yang hanya bisa dinikmati secara penuh oleh mereka yang hidup pada waktu dan tempat itu pula. Ada kebudayaan yang terekam dalam segala bentuknya, mulai dari karya seni hingga fakta-fakta keseharian: ini disebut kebudayaan suatu periode (culture of the periode). Ada juga faktor yang menghubungkan kebudayaan yang hidup pada suatu waktu tertentu dan kebudayaan di suatu periode, ini disebut kebudayaan tradisi yang terseleksi (culture of the selective tradition)” (dalam Newsletter KUNCI No. 6-7, Mei-Juni 2000).
William memandang bahwa kebudayaan sebagai keseluruhan cara hidup. Baginya kebudayaan sekaligus meliputi seni, nilai, norma-norma, dan benda-benda simbolik dalam hidup sehari-hari, ia merupakan bagian dari totalitas relasi-relasi sosial. Teori kebudayan dengan begitu didefinisikan sebagai studi tentang relasi-relasi antarelemen dalam hidup sosial. William yang berangkat dari kondisi bertentangan kelas yang terjadi di Inggris waktu itu dan pendapat gurunya F.R. Leavis yang memahami kebudayaan sebagai kanon sastra dan seni tinggi, karya-karya besar, dan menganggap film dan karya fiksi populer sebagai candu peradaban ketika William belajar bahasa dan sastra di Trinity College, Cambridge tahun 1939 telah menemukan pemaknaan tersendiri terhadap kebudayaan.
William menganjurkan agar kebudayaan diselidiki dalam beberapa term. Pertama, institusi-institusi yang memproduksi kesenian dan kebudayaan. Kedua, formasi-formasi pendidikan, gerakan, dan faksi-faksi dalam produksi kebudayaan. Ketiga, bentuk-bentuk produksi, termasuk segala manifestasinya. Keempat, identifikasi dan bentuk-bentuk kebudayaan, termasuk kekhususan produk-produk kebudayaan, tujuan-tujuan estetisnya. Kelima, reproduksinya dalam perjalanan ruang dan waktu. Dan keenam, cara pengorganisasiannya.
William mencoba memberikan ruang bagi seluruh kebudayaan yang ada. Baik kebudayaan yang dibawa oleh kelas-kelas maupun kebijakan negara. William tidak memaksakan idea tau gagasannya untuk mengarahkan konsep kebudayaannya pada suatu idea tertentu. Konsepnya lebih terbuka untuk memahami kebudayaan dibandingkan dengan konsep yang dipakai Matthew Arnold yang mencoba mengarahkan konsep kebudayaan pada konsep Negara.
William memandang kebudayaan sebagai kesatuan unsur yang memiliki nilai-nilai universal. Perbedaan kelas yang terjadi merupakan suatu sistem sosial yang saling berkaitan. Bahwa antara kelas-kelas yang ada, kelas borjuis, kerajaan, pekerja atau buruh, merupakan sebuah keterkaitan. Sehingga hubungan dalam bentuk apapun merupakan sebuah sistem sosial yang harus dipahami sebagai sebuah unsur kebudayaan. Kita tidak bisa memahami sebuah kebudayaan hanya dengan memandang dari satu sisi saja. Baik dari sisi kelas atas, tengah, maupun bawah.
Bagaimanakah Indonesia saat ini jika dipandang berdasarkan dua konsep ini?
Laboratorium Kebudayaan
Sejak berdirinya Indonesia telah memakai Demokrasi Pancasila, yang kurang lebih diartikan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. sebuah konsep Negara demokrasi yang dipadukan dengan kondisi lokal bangsa Indonesia yang majemuk. Kekuasaan rakyat terhadap Negara sangat besar. Melalui perwakilan, sebagai perwujudan kekuasaan rakyat diharapkan kekuasaannya mampu mengawal kepentingan rakyat secara umum. Baik pengelolaan sumber daya alam, diserahkan kepada Negara dengan harapan dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyatnya. Rakyat diperlakukan sebagai penguasa tertinggi di sini. Dalam konsep demokrasi pancasila ini rakyat berdiri sama tinggi dan tidak ada perbedaan dalam perlakuan oleh negara.
Namun, untuk dapat mengilustrasikan kondisi Indonesia berdasarkan pandangan kedua tokoh di atas kita perlu mengambil beberapa contoh. Peristiwa bebasnya Adelin Lis tersangka kasus illegal logging, tidak tersentuhnya Mantan Presiden Suharto dalam beberapa kasus korupsi, dan kasus yang tidak jelas penyelesaiannya terhadap para pejabat negara merupakan sebuah bukti kecil adanya sebuah kelompok yang istimewa terhadap lembaga hukum di negara Indonesia. Kejadiannya akan sangat berbeda ketika sekelompok pengemudi becak tertangkap sedang melakukan perjudian. Para pengemudi becak yang tertangkap tersebut akan dengan mudahnya dijatuhi hukuman empat bulan penjara. Belum lagi penertiban terhadap pedagang kaki lima akan sangat berbeda dengan penertiban ijin hotel berbintang maupun perusahaan-perusahaan besar.
Tari Bedoyo Ketawang sampai saat ini tidak diperbolehkan untuk dibawakan oleh masyarakat umum. Tarian tersebut hanya khusus dibawakan di keraton kasunanan Surakarta dan hanya boleh ditarikan oleh keluarga keraton saja. Sementara tarian Reog tidak pernah (tidak boleh) dibawakan dalam keraton. Kemudian bulan Suro (Muharram) hingga saat ini masih dianggap sebagai bulan yang dihindari untuk mengadakan hajatan bagi masyarakat umum. Karena pada bulan tersebut dipakai oleh pihak keraton atau penguasa adat untuk mengadakan hajatan.
Beberapa contoh di atas memberikan gambaran tentang masih adanya kelas dalam masyarakat Indonesia. Secara umum masyarakat Indonesia terbagi dalam tiga kelas, kelas atas, menengah, dan bawah. Hal ini hampir sama dengan pandangan Arnold dan William yang membedakan masyarakat (waktu itu) ke dalam tiga kelas, aristokrasi/atas, middle class/menengah, dan populace/bawah.
Meskipun tidak sedikit juga kebudayaan sebagai bukti keberadaan kelas-kelas tersebut yang telah mengalami perubahan penikmat atau pemakai. Misalnya musik dangdut, yang pada awalnya merupakan representasi dari kelompok masyarakat bawah, sekarang sudah berubah. Banyak pengusaha atau kalangan negarawan juga menikmati musik tersebut.
Seiring dengan perkembangan jaman, kebudayaan diakui sebagai hak asasi manusia. Negara memiliki kewajiban untuk ikut melestarikan kebudayaan-kebudayaan milik masyarakatnya yang berasal dari berbagai golongan, suku, agama, dan ras. Sehingga peran negara lebih kepada penyedia layanan terhadap kebutuhan warganya. Dalam konsep ini kebudayaan negara ditempatkan sebagai fasilitator kebudayaan warganya. Negara tidak memiliki kekuasaan maupun wewenang memaksa kebudayaan kelompok-kelompok masyarakatnya sesuai dengan keinginan negara. Kesepakatan akan hak budaya dijadikan satu dengan hak-hak asasi yang lain (ekonomi, dan sosial). Pengakuan atas hak budaya secara internasional ini dikenal dengan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Kesepakatan ini di Indonesia diratifikasi menjadi Undang-undang No. 11 Tahun 2005.
Selain undang-undang tersebut, Indonesia juga telah menjamin keberlangsungan kebudayaan milik warga negaranya melalui Amandemen UUD 1945 tahun 2000, dan UU No. 5 Tahun 1992 tentang cagar budaya. Melalui peraturan-peraturan tersebut diharapkan setiap warga negara memiliki kebebasan dalam mewujudkan gagasan dan mempertahankan kebudayaan miliknya. Secara tersirat, peraturan-peraturan tersebut juga merupakan norma-norma masyarakat Indonesia yang harus ditaati bersama, sehingga kesenjangan dan perbedaan kelas dapat dihapuskan. Tidak ada lagi kebudayaan kelas atas, menengah maupun bawah.
Dalam hal ini, pandangan Arnold terhadap adanya kelas-kelas di masyarakat masih terjadi di Indonesia. Sebagai contoh, melalui ilustrasi di berbagai sinetron dan
film-film baik di bioskop, maupun televisi-televisi, masih tersaji dengan jelas adanya majikan dan pembantu rumah tangga. Sinetron-sinetron merupakan gambaran yang mudah dilihat kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Namun jika ingin membuktikan keberadaan kelas-kelas secara nyata, kita dapat melihat masih banyak profesi pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga (atau lebih halus disebut sebagai pramuwisma). Bahkan profesi ini diakui oleh pemerintah sebagai salah satu penyumbang devisa negara terbesar. Khususnya pramuwisma yang dipekerjakan di negara lain.
Dalam konsep Arnold terhadap konstruksi penyatuan kebudayaan nasional serta bertujuan utamanya untuk mengkonstruksikan kebudayaan nasional yang sesuai dengan kebijakan pemerintah, secara umum agaknya kurang tepat dipakai saat ini. Karena kebasan terhadap berkembangnya kebudayaan kelompok masyarakat di negara Indonesia telah dijamin keberlangsungannya. Sehingga kekuatan negara untuk mengarahkan kebudayaan-kebudayaan yang ada sangat kecil.
Konsep yang diberikan oleh William lebih tepat untuk dipakai saat ini dalam menyikapi adanya kelas-kelas dalam masyarakat. Saling ketergantungan dan pengakuan keterkaitan keberadaan kelas-kelas tersebut merupakan satu kesatuan sistem sosial dari kebudayaan di Indonesia. Masing-masing unsur tersebut memiliki peran dalam mencapai nilai universal kemanusiaan. Ide-ide atau gagasannya sama, namun proses dan perwujudannya yang membedakan. Di sini peran negara menjadi mediator, fasilitator, dan mobilisator bagi kepentingan seluruh masyarakatnya tanpa membedakan kelas. Meskipun dalam beberapa bidang hal ini masih belum dilaksanakan.
Jika cita-cita ini tercapai, meskipun masih akan ada peran majikan dan pembantu rumah tangga, namun cerita yang disajikan menjadi lain. Pembantu rumah tangga tidak lagi sebagai pihak yang teraniaya, dan majikan bisa sesuka hati memerintah pembantu rumah tangga. Keduanya merupakan sistem social dalam sebuah kelompok yang kebradaannya saling terkait dan membutuhkan satu sama lain. Sehingga ketika satu unsure tidak terpenuhi maka akan terjadi gejolak sosial dalam kelompok tersebut.
Daftar Bacaan:
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Storey, John. 1998. Cultural Theory and Popular Culture, A Reader. Great Britain: T.J. International Ltd.
Sutrisno, Mudji, dan Hendar Putranto. 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Web site Kunci: http://www.kunci.or.id/esai/nws/02/bcccs.htm
_____________: http://www.kunci.or.id/esai/nws/0607/williams.htm
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar