A. PENDAHULUAN
Aji ning diri soko lathi, aji ning rogo soko busono adalah pepatah berbahasa Jawa yang mempunyai arti kehormatan diri datang karena mampu menjaga ucapan, kehormatan badan datang karena mampu berbusana (dengan baik). Kalimat tersebut belum diketahui siapa pengucapnya dan kapan pertama kali diucapkan, tapi satu hal yang pasti berasal dari penuturan masyarakat masa lampau yang hidup saat tanah Jawa diperintah dengan sistem kerajaan. Pengertian pepatah yang tertulis di atas dapat dijadikan indikasi bahwa kebutuhan atas penghargaan diri sangat tinggi terutama legalisasi pengakuan status tertentu oleh masyarakat luas.
Priyayi dan kawula atau darah biru dan balung kèrè merupakan istilah kastanisasi dari zaman kerajaan yang masih terdengar hingga kini, dan secara praktek masih dilaksanakan oleh pihak-pihak yang anti pemerataan. Status priyayi dan darah biru pada masanya menjadi impian setiap anak manusia yang lahir di tanah Jawa karena pengistimewaan oleh masyarakat berstatus di bawahnya (dengan jumlah lebih banyak daripada populasi priyayi) akan mengiringi setiap gerak langkah. Diistimewakan adalah manusiawi karena setiap individu menyukai pelayanan atau mendapatkan sesuatu yang nyaman dan nikmat tanpa berusaha.
Busana atau pakaian adalah kulit luar yang mampu menunjukkan identitas individu atau kelompok. Busana dapat menutupi kekurangan seseorang dalam berbagai hal sehingga tampak setara dengan kelas tertentu dan menjadi transportasi efektif bagi pihak-pihak yang menginginkan status ‘diakui’ sebagai orang terhormat serta alat untuk menggolongkan masyarakat sebagai golongan elit atau golongan sulit (secara ekonomi). Selain cermin identitas, status, dan hierarki juga menunjukkan gender, memiliki nilai simbolik, ekspresi gaya hidup tertentu, mencerminkan sejarah, hubungan kekuasaan, serta perbedaan dalam pandangan sosial, politik dan religius.
Pakaian sebagai sarana diskriminasi dan hegemoni sejak masa kolonial. Belanda membuat tata aturan berpakaian untuk memudahkan pengaturan dan pengendalian terhadap bangsa jajahannya, membedakan antara kulit putih dan pribumi, serta antara pribumi satu dengan yang lain. setiap suku wajib mengenakan pakaian sukunya masing-masing. Mereka tidak diizinkan bertempat tinggal di luar daerah yang telah ditentukan oleh penguasa Belanda.
Pakaian Belanda terlarang dikenakan pribumi dan pakaian golongan priyayi (ningrat) tidak diperkenankan dipakai oleh jelata. Cara berbusana dapat dikatakan sebagai kulit sosial dan kebudayaan sehingga peristiwa ‘kastanisasi’ terus muncul dengan kemasan baru yang selalu berubah dan berbeda sesuai sifat dinamis kebudayaan. Setelan safari untuk pegawai negeri sipil dimulai pada zaman orde baru hingga pasca reformasi adalah pakaian untuk mengontrol kekuasaan oleh pemerintah Indonesia yang berkuasa melalui seragam (Nordholt, 2005: v-vi).
Disadari atau tidak, kaidah-kaidah berpakaian menjadi sarana dalam membentuk dan mereproduksi berbagai kelompok masyarakat, dalam pengertian bahwa ikatan yang terjalin di antara kelompok-kelompok ini menjadi terlihat jelas sehingga sangat sulit dilintasi. Negara-negara maupun kelompok-kelompok kepentingan telah menggunakan aturan-aturan berpakaian untuk menciptakan penampilan yang kuat dalam kontrol sosial, kebangsaan, atau solidaritas kelompok. Negara-negara lamamaupun baru telah membangun esprit de corps mereka dengan mencukur, memberi pakaian, memberi vaksin, dan menghitung warga negara mereka, sebagaimana kelas-kelas atas, kelompok-kelompok etnis, gerakan-gerakan keagamaan, dan asosiasi-asosiasi politik cemdering memakai kesadaran diri di atas kulit mereka (Hobsbawm et. al dalam Nordholt, 2005: 2).
Pada upacara kebesaran yang diselenggarakan oleh keraton Surakarta Hadiningrat motif kain batik dan sistem pemakaiannya diatur sesuai dengan pangkat dan kedudukan pemakai. Raja mengenakan busana terdiri dari makutha panunggul atau kuluk, baju beskap sikepan ageng, memakai kampuh atau dodot dengan batik bermotif parang, mengenakan celana panjang dari bahan cindhe sutra tenun dan alas kaki terumpah. Para sentana dan abdi dalem mengenakan busana sesuai dengan pangkat dan kedudukan. Aturan berbusana tersebut telah ditetapkan dengan seksama sebagai tradisi busana keraton yang harus dipatuhi oleh pemakainya.
B. LANDASAN TEORI
Pakaian sering digunakan untuk menunjukkan status sosial. Orang melakukan penilaian terhadap nilai dan status orang lain, berdasarkan pakaiannya yang dikenakan. Status merupakan hasil perkembangan berbagai sumber, misalnya dari jabatan, keluarga, jenis kelamin, gender, dan usia. Nilai sosial dapat berubah, yang tetap adalah nilai sosial yang diwariskan (ascribed). Nilai sosial yang berubah disebut pencapaian (achieved). Status karena jabatan contohnya adalah kolektor, pejabat pemerintah, dan dosen. Status keluarga didapat dari tingkat senioritas berdasarkan usia. Status jenis kelamin, gender, usia, bahkan perkawinan mudah diubah karena ‘pencapaian’, terutama di negara Barat.
Pakaian digunakan untuk mendefinisikan peran sosial yang dimiliki seseorang. Pakaian diambil sebagai tanda bagi seseorang untuk menjalankan peran tertentu, sehingga berperilaku sesuai tuntutan ‘pakaian’ tersebut. Pakaian yang berbeda menunjang kelancaran interaksi sosial atau memberi tekanan. Pakaian yang digunakan oleh dokter, perawat, pasien, dan pengunjung, menunjukkan peran orang yang memakainya.
Interaksi sosial dikendalikan oleh peraturan. Peraturan adalah ketetapan perihal larangan dan himbauan melakukan hak maupun kewajiban. Peraturan mengatur perilaku sosial dalam realitas yang terstruktur. Ia memaksakan sistem ketertiban pada semua bentuk interaksi sosial. Dalam tingkat tertinggi, peraturan secara simultan memanifestasikan dan memperkuat otoritas (Lull, 1998: 50-51, 62).
Cara melihat relasi antara status sosial dan pakaian adalah ketika pakaian membuat ketimpangan dalam interaksi sosial tampak alamiah atau pantas. Perbedaan pakaian antar individu merupakan pembenaran secara paksa terhadap perlakuan yang berbeda antara mereka.
Kekuasaan erat kaitannya dengan status sosial. Pakaian adalah elemen penting yang terkait dengan kekuasaan. Roach dan Eicher dalam Banard menyebutkan bahwa “pakaian sudah sejak lama memiliki tempat di istana kekuasaanâ€. Sebagai contoh mereka menulis tentang Napoleon yang memperkenalkan kembali jenis-jenis busana simbol-simbol negara dan rezim lama untuk mendukung legitimasi kekaisarannya. Kekuasaan di sini berjlan dengan operasi dan legitimasi negara; dan pakaian digunakan sebagai cara untuk mengukuhkannya (Barnard, 2004: 87-90, 92-93). Pengukuhan semacam itu adalah kulturalisme sebagai bentuk pemantapan kelas secara jelas, melalui status sosial dalam masyarakat, layaknya pakaian kelas buruh dan kelas pekerja di Inggris (Storey, 1998: 33).
C. PEMBAHASAN
Kain batik dari lingkup keraton Surakarta memiliki motif beragam dan masing-masing memiliki makna serta cerita yang menarik. Pada masa lampau kain bermotif parang, seperti parang rusak, parang klithik, parang kusuma, dan lain-lain hanya boleh dikenakan oleh raja dan keturunannya. Sidomukti dikenakan saat upacara perkawinan oleh mempelai sebagai pengharapan agar selanjutnya dapat menjadi orang yang bermartabat, sejahtera dan bahagia. Orang tua mengenakan motif cakar pada malam midodareni, yang mempunyai makna sebagai pengharapan dan tanda siap melepas putra-putri mereka untuk hidup berumah tangga serta cèkèr-cèkèr atau mencari nafkah sendiri. Motif truntum dikenakan pada acara pernikahan dengan makna supaya pasangan dapat memupuk kasih sayang senantiasa. Motif truntum adalah ciptaan permaisuri HB II karena di tinggal bertapa cukup lama sehingga beliau merasa kesepian. Saat malam hari memandang bintang bertaburan di langit, perasaan rindu dan galau memunculkan emosi kemudian dieskpresikan pada sehelai kain dengan pola seperti bintang (Kalinggo Honggopuro, 2002: 86). Malam pertama pengantin memakai semen bondét, dari kata bahasa Jawa bundhet yang berarti terikat, bermakna supaya kedua mempelai semakin menyatu; pengantin pria memakai klabang antub sebagai simbol kejantanan (Soedibyo Mooryati, 2003: xxi-xxii). Motif-motif tersebut adalah sebagian yang digunakan pada upacara pernikahan adat Jawa gaya Surakarta, sekaligus sebagai gambaran bahwa batik merupakan budaya bangsa yang adiluhung, bukan pada teknik tetapi makna dan kedalaman filosofis mulai dari proses perencanaan hingga pemakaiannya.
Sejak Indonesia merdeka terjadi perubahan tata sosial di lingkungan keraton Surakarta termasuk tata busana dengan alasan demi kepraktisan. Busana keluarga dan abdi dalem tidak lagi memakai kampuh tapi sikepan ageng, sikepan cekak, dan beskap yang cara pemakaiannya tidak rumit. Kini peranan keraton Surakarta di bidang politik telah terhapus, kecuali keraton Kasultanan Yogyakarta yang memiliki status daerah istimewa dan masih digunakan sebagai mercusuar warganya. Keraton sebagai sumber budaya Jawa atau dalam bidang kebudayaan masih berperan aktif lewat penyelenggaraan upacara-upacara adat tradisinya terutama prosesi yang bertalian dengan daur hidup seperti upacara kelahiran, khitanan, perkawinan, mitoni atau tujuh bulan usia kehamilan, peringatan ulang tahun raja, upacara wisuda, dan sebagainya boleh diselenggarakan kalangan masyarakat luar keraton. Sifat tertutup keraton berganti dengan keterbukaan terutama bidang kebudayaan disebabkan faktor politik dan faktor perubahan sikap ‘para pewaris tahta’ ke arah modern. Ritualisme, upacara, dan etiket berada secara sentral dalam gaya hidup kelompok, oleh karena pada kesempatan itu ada perealisasian hubungan-hubungan sosial dan politik. Upacara disertai pesta, pertunjukkan kebesaran, kesenian dan kenikmatan. Semua itu bukan sekedar ornamentasi melainkan berfungsi melambangkan makna hidup, kekuasaan, kekayaan, dan kewibawaan. Perayaan disertai upacara merupakan momentum puncak gaya hidup kelompok tertentu termasuk golongan elit, pejabat dan ningrat. Perayaan pada umumnya menjadi indikator atau kriteria derajat, status penyelenggara serta menjadi tempat mempertaruhkan kewibawaan atau prestige (Sartono Kartodirdjo et. al., 1987: 55).
Mayoritas sumber pustaka jika membahas busana terutama batik di lingkungan keraton Surakarta akan ditampilkan dokumentasi berupa foto-foto dengan kualitas bagus dan lengkap pada zaman Paku Buwono X (raja keraton Surakarta yang ke sepuluh). PB X mementingkan simbol-simbol budaya sehingga semua terdokumentasi dengan detail. Secara administratif PB X adalah raja yang berkuasa di keraton dan wilayahnya, tapi bukan orang merdeka sepenuhnya. Surat-surat masuk dan keluar yang ditujukan untuk raja harus diseleksi lewat residen, tidak terkecuali yang menyangkut urusan keluarga. Ia terikat beragam bentuk aturan dan menjadi tawanan di keratonnnya sendiri. PB X adalah kaki tangan Belanda sehingga terdapat dualisme birokrasi di Kasunanan Surakarta. Belanda membawahi Kasunanan, namun secara praktek tetap berkuasa atas perkara sipilk dan hukum pada batas tertentu. PB X mengembangkan lebih banyak politik simbolis daripada politik substantif. Dalam folklore Jawa dituliskan ‘Susuhunan Paku Buwono X dalah raja Jawa terbesar yang telah menghabiskan kemuliaan, kemuktian dan kewibawaan untuk dirinya sendiri, sehingga tidak tersisa sedikitpun untuk raja-raja sesudahnya’. Tulisan itu terbukti ketika PB XII diturunkan dari tahta pada 1946 oleh rakyat sebagai akibat Revolusi, dan Surakarta dijadikan karesidenan biasa. Salah satu simbol yang diciptakan menyangkut soal pakaian.
Ada aturan tentang pakaian yang harus dikenakan oleh raja, sentana, abdi dalem, dan rakyat biasa. Raja adalah puncak keindahan, kemahalan, dan kemewahan (Darsiti Soeratman dalam Kuntowijoyo, 2004: 23). Peraturan-peraturan keraton sengaja dibuat untuk memuliakan Sampeyan Dalem. Orang biasa yang masuk keraton harus buka baju, barang-barang yang dibawa di atas kepala harus diturunkan sampai pundak dan disangga, dan orang tidak boleh memakai payung atau tudung meskipun di alun-alun. Peraturan soal pakaian begitu rinci, termasuk kuluk, kain, dan keris, sehingga tidak seorang pun diperkenankan melanggar. Pakaian untuk abdi dalem metengan atau polisi harus pakai bebed dan kuluk. Pada tahun 1912 ada berita bahwa dalam rangka memajukan kerajinan lurik, pakaian mereka diganti dengan kain lurik. Selain keharusan ada juga larangan. Larangan berlaku pula untuk orang asing seperti orang Cina, Bugis, dan Bali, misalnya tidak boleh pakai payung di alun-alun kecuali sedang hujan. Peraturan tersebut tidak berlaku bagi orang Eropa dan berlaku sejak pemerintahan PB IV hingga PB X (Kuntowijoyo, 2004: 25).
Mooryati Soedibyo dalam bukunya Busana Keraton Surakarta Hadiningrat menuliskan bahwa pranata busana dibuat dan dilaksanakan oleh pihak keraton berdasarkan tanggungjawab untuk menjaga harmoni dalam situasi pertemuan yang dihadiri banyak orang dari berbagai kalangan dan status sosial. Simbol berupa busana adalah sign yang menjadi rambu dalam tindak komunikasi. Simbol yang disistemasisasikan secara baku dan tertib serta kesepakatan untuk bersama-sama menaati sistem tersebut akan menjamin terhindarnya konflik-konflik terbuka. Pranata tersebut juga mampu mencegah terlanggarnya etika dan norma-norma yang menjadi tradisi dalam masyarakat tradisional-feodal yang kompleks (2003: 91-92).
Batik juga mendapat peran kurang lebih sebagai bagian dari busana tersebut. Motif larangan yang berjumlah tujuh macam diduga adalah salah satu perangkat untuk memantabkan posisi elit sang raja dan pengikutnya, untuk meredam pemberontakkan karena dari ‘jarak jauh’ sekalipun penguasa dapat mengawasi (memata-matai) aktifitas rakyatnya dan dapat mencegah perbuatan yang merugikan posisi raja sebelum hal tersebut dilakukan.
Uraian di atas menggambarkan serpihan pengertian kebudayaan sebagai suatu paket berisikan asumsi-asumsi yang sebagian besar tak disadari. Suatu sistem yang disadari terdapat perbedaan dan pertentangan internal serta sebuah bangunan yang utuh, jekas, dan tak berubah. Penjelasan tekstual atau pewacanaan tentangnya sangat tendensisus karena ditentukan oleh kepentingan tertentu, pergumulan kelas tertentu dan sebagainya (Kompas, 23 Juli 2006: 28).
D. SIMPULAN
Busana dan kain batik adalah alat legalisasi kekuasaan elit dari zaman kerajaan hingga kini dengan transformasi kemasan menyesuaikan ruang dan waktu. Penampilan luar merupakan sarana kamuflase instan dan efektif yang mampu mengelabui mata yang terbiasa dengan citra visual produk dan artefak budaya.
Tata aturan dalam berbusana dan penetapan motif batik untuk acara tertentu adalah pengendali tubuh dengan kemasan filosofis dengan uraian panjang. Kini kain batik berada dalam tahap diselamatkan karena mampu memicu konflik yang menyangkut harga diri bangsa. Namun penyelamatan itu belum pada skala besar hanya lingkup kecil, diantaranya peraturan berpakaian batik meskipun tiruan; karena kain yang layak disebut batik asli adalah melalui proses tulis menggunakan canting dan cap bukan cetak mesin atau printing. Perbedaan status melalui busana dan batik tetap bisa dilihat dengan mata telanjang hingga kini melalui bahan dan pembuatnya, misalnya orang yang memakai batik berbahan sutra kualitas nomor satu dan dibuat oleh Iwan Tirta akan dihakimi secara istimewa dibanding memakai batik bahan katun kualitas nomor dua dengan harga grosir di pasar Klewer.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Sugiharto. Kebudayaan: Beban dan Peluang. Kompas. 23 Juli 2006.
Barnard, Malcolm. 1996. Fashion Sebagai Komunikasi (edisi terjemahan oleh Idy Subandi Ibrahim dan Yosal Iriantara). Yogyakarta: Jalasutra.
Kalinggo Honggopuro. 2002. Bathik sebagai Busana dalam Tatanan dan Tuntunan. Surakarta: Yayasan Peduli Karaton Surakarta Hadiningrat.
Kuntowijoyo. 2004. Raja, Priyayi dan Kawula. Yogjakarta: Ombak.
Lull, James. 1998. Media, Komunikasi, Kebudayaan (edisi terjemahan A. Setiawan Abadi). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Nordholt, Henk Schulte et. al. 2005. Outward Appearences: Trend, Identitas, Kepentingan. Yogyakarta: PT. LkiS Pelangi Aksara.
Sartono Kartodirdjo, et. al. 1987. Perkembangan Peradaban Priyayi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Soedibyo, Mooryati. 2003. Busana Keraton Surakarta Hadiningrat. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Storey, John. 1998. Cultural Theory And Populer Culture: A Reader. British: Great Britain.
Oleh: Desy Nur Cahyanti, S.Sn.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar