Selasa, 30 Maret 2010

Alat Tulang: Sebuah Kebudayaan Masyarakat Prasejarah

Dua hal yang sangat menentukan kehidupan manusia pada zaman berburu adalah alat-alat seperti alat dari tulang dan api. Pembuatan peralatan dari tulang merupakan bagian tersendiri yang makin lama-makin maju ke arah penyempurnaan, baik bentuk maupun fungsinya. Alat-alat yang digunakan pada masa ini, termasuk alat dari tulang, ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dalam perburuan. Peralatan yang terbuat dari tulang ternyata tidak hanya ditemukan di Indonesia, namun banyak ditemukan di luar Indonesia.

Perkembangan Kebudayaan Alat Tulang
Raymond Dart berpendapat bahwa alat yang pertama kali digunakan oleh Australopithecus bukan dari batu, melainkan dari kayu maupun tulang. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya data di situs perburuan yang menunjukkan adanya fragmen tulang Australopithecus yang memunyai konteks temuan dengan tulang singa dan alat-alat berupa lancipan tulang serta tanduk. Diperkirakan alat tersebut berfungsi sebagai penusuk karena bagian distalnya yang meruncing, diperkeras dengan pembakaran. Selain itu, juga ditemukan fragmen tulang kaki yang berfungsi sebagai alat pemukul.

Di luar Indonesia
Tradisi pembuatan alat tulang dan tanduk nampaknya merupakan hal yang bersifat universal. Di Eropa Barat pernah berkembang alat-alat dari tulang pada masa Paleolitik Akhir di situs Magdaleine (Dordogne, Prancis) yang kemudian disebut kebudayaan Magdalenian. Ciri-ciri kebudayaan ini juga nampak di situs Creswell Crags (disebut Kebudayaan Creswellian). Di Asia daratan tradisi alat tulang dan tanduk muncul di daerah Tonkin. Tradisi ini bercampur dengan tradisi kapak Sumatra yang agak kasar. Selain itu, di wilayah Hoabinh juga terdapat temuan artefak tulang di situs-situs gua, yang jumlahnya lebih sedikit apabila dibandingkan dengan temuan kapak genggam Sumatra, sebaran alat tulang juga ditemukan di Da But (Vietnam Utara). Di Indonesia cukup banyak situs yang mengandung tradisi alat tulang dan tanduk.

Di Indonesia
Di kawasan Asia Timur, Asia Tenggara, khususnya Indonesia tidak begitu cepat mengalami perubahan dalam hal peralatan hidup baik fungsi, bahan, dan bentuknya. Keterlambatan perkembangan peralatan yang terbuat dari batu dan tulang ini, mungkin disebabkan oleh terlalu banyaknya menggunakan peralatan dari kayu sehingga tidak memfokuskan kepada peralatan dari tulang dan tanduk, selain karena keadaan alam yang ikut menjadikan manusia sulit mengembangkan peralatan.


Api menjadi salah satu sumber kehidupan manusia, baik pada masa berburu dan meramu. Api pertama kali dikenal manusia sebagai gejala alam di sekelilingnya, yang disebabkan percikan gunung api, kebakaran padang rumput dan hutan yang kering karena halilintar, atau penggosongan dahan-dahan kering di waktu angin bertiup, nyala api yang tersembul dari tempat-tempat yang mengandung gas bumi. Api ini sangat berguna bagi manusia, seperti untuk perlindungan dari binatang buas, menerangi, maka mulai sejak itu api mulai dipelihara.

Pembuatan alat tulang pada masa Plestosen sementara ini hanya diketahui dari Ngandong sebagai unsur yang ditemukan dalam konteks Pithecanthropus soloensis dan alat-alat lain yang diperbuat tanduk, serpih, dan batu-batu bundar.

Alat-alat tulang berupa sudip dan mata tombak yang bergerigi pada kedua belah sisinya, panjangnya 9,5 cm. Alat tulang ini ada hubungannya dengan Pithecanthropus soloensis. Alat-alat dari tanduk menjangan memperlihatkan bagian yang diruncingkan. Dari ikan pari ditemukan pula dan mungkin digunakan sebagai mata tombak. Kegunaan batu-batu bulat dan kelompok penemuan Ngandong diduga sebagai batu pelempar yang diikatkan pada tali untuk memburu hewan buruan.

Tradisi alat tulang dan tanduk tampak dilanjutkan pada kala pasca-Plestosen dalam kehidupan di gua-gua. Di Gua Sampung ditemukan sejumlah besar sudip tulang dan alat-alat tanduk yang diupam. Perkakas tanduk digunakan sebagai pencukil atau belati. Sejauh yang diketahui saat ini, persebaran alat tulang dan tanduk terdapat di Kalimantan Selatan, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Bali, dan Nusa TenggaraTimur.

Kehidupan Sosial
Pada masa Plestosen, manusia di Indonesia sangat tergantung kepada kondisi alam. Daerah-daerah yang menjadi tempat tinggal mereka harus memungkinkan untuk hidup atau harus menyediakan bahan yang mampu menopang hidup manusia. Oleh karena itu, tempat tinggal mereka itu cukup mengandung air dan makanan, terutama tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh binatang. Tempat-tempat seperti ini biasanya berupa padang rumput, semak belukar, dan hutan yang kecil berdekatan dengan sungai dan danau. Di sekitar inilah manusia membuat pemukiman atau tempat tinggal mereka bersama kelompoknya. Mereka menetap dalam jangka waktu tertentu sampai cadangan makanan di tempat mereka tinggal habis, dan setelah itu biasanya mereka pergi untuk mencari tempat baru yang bisa mendukung mereka untuk hidup.

Manusia hidup berkelompok dan membekali diri untuk menghadapi lingkungan di sekitarnya. Apa yang mereka hadapi bukan hanya dari binatang buas, tetapi juga kondisi alam yang tidak setabil. Kondisi alam yang liar ini menjadi salah satu penghambat perkembangan penduduk. Selain tantangan dari alam, mereka juga harus menghadapi tantangan dari dalam: kematian anak-anak waktu kelahiran. Kematian waktu melahirkan menjadi penghambat perkembangan jumlah anggota kelompoknya.

Segala upaya manusia lakukan untuk keberhasilan memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka melakukan perburuan, dengan menggunakan alat-alat yang masih sederhana. Alat dari batu dan alat-alat dari tulang menjadi menjadi salah satu senjata mereka untuk melakukan perburuan. Perburuan dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil, dan hasilnya dibagi bersama-sama.

Kelompok berburu tersusun dari kelurga kecil: yang laki-laki melakukan perburuan, yang perempuan mengumpulkan makanan dan mengurusi anak-anak. Peranan perempuan ini sangat penting sekali dalam memilih tanaman yang dapat dimakan dan mengajarkannya kepada anak-anaknya. Kewajiban-kewajiban seperti inilah yang membuat perempuan tidak ikut perburuan di daerah luas, dan sedikit banyak mengurangi gerak berpindah-pindah kelompok. Dengan lingkuangan yang terbatas, perempuan sangat memahami profesinya sebagai seorang ibu dalam keluarga. Dia sangat memahami tentang seluk-beluk tumbuh-tumbuhan, meningkatkan cara penyimpanan makanan, dan mendidik anak-anak dalam mempersiapkan diri mengenal alam.

Kepustakaan
Daeng.J, Mans. 2005. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Poesponegoro, M.D. dkk. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid I. Jakarta: Balai Pustaka.
Soekmono. 1990. Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 1. Kanisius
Soejono, R.P. (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Supriatna, Nana. 2004. Prakondisi Terbentuknya Identitas Kebangsaan. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional



Sumber serta Gambar bisa dilihat di Sini

Tidak ada komentar: