Senin, 08 Maret 2010

KEBUDAYAAN DALAM RENGKUHAN PASAR


Pengantar

Larung Joko Tingkir yang digelar setiap tahun di Bengawan Solo senantiasa dipenuhi oleh pengunjung. Tidak hanya orang-orang yang berkepentingan untuk mengikuti ritual ini, namun juga orang-orang yang sengaja datang hanya untuk menonton dilangsungkannya ritual ini. Banyaknya pengunjung yang datang tersebut seringkali dimanfaatkan oleh sebagian orang yang mempunyai naluri bisnis yang besar untuk mengais rupiah. Baik dengan sekedar menjual air minum, makanan ringan, hingga jasa penitipan kendaraan. Tidak terasa perputaran uang dalam event tersebut cukup besar.

Hal itu tentunya berimbas kepada lahan-lahan atau fasilitas-fasilitas publik di sekitar lokasi tersebut. Melihat animo masyarakat yang demikian besar untuk menyaksikan ritual tersebut, pemerintah daerah selaku penyedia layanan, mau tidak mau harus turun tangan. Di satu sisi, pemerintah daerah berkewajiban untuk menjaga kelancaran rirual tersebut, di sisi yang lain pemerintah daerah juga berkewajiban untuk menjaga ketertiban, keamanan, dan kenyamanan masyarakatnya ketika menyaksikan event tersebut. Semua pengaturan dan kenyamanan dari kedua belah pihak (pelaksana ritual dan pengunjung) ini berujung pada penyediaan sarana dan prasarana. Yang pada akhirnya akan kembali kepada penyediaan anggaran. Sehingga pemerintah daerah sebagai fasilitator berupaya untuk menjembatani pengeloaan anggaran secara lebih teratur. Dari situlah kemudian muncul upaya menjadikan Upacara Larung Joko Tingkir itu menjadi salah satu daya tarik wisata.

Selain upacara Larung Joko Tingkir, di Kota Surakarta terdapat banyak ritual-ritual yang kemudian dijadikan daya tarik wisata. Misalnya, Sekaten, Jamasan Pusaka (baik Kasunanan maupun Mangkunegaran), Boyong Kedaton, Apem Sewu, Khaul Para Kyai di Solo, dan masih banyak lagi. Hampir semua ritual tersebut selalu mengumpulkan masyarakat. Baik yang hendak mengikuti maupun yang hanya sekedar menonton. Dan pada akhirnya kejadiannya sama dengan apa yang terjadi pada upacara Larung Joko Tingkir, perputaran dan pengelolaan sumber daya.

Kejadian seperti ini tidak hanya terjadi di Kota Solo. Hampir di semua tempat di penjuru negeri ini, ketika melibatkan masyarakat banyak, memanfaatkan fasilitas-fasilitas atau area publik, dan rutin dilaksanakan, maka pemerintah akan turun tangan untuk mengaturnya. Dari urusan yang hanya mengatur ketertiban jalan, ketertiban orang berjualan, keamanan, hingga penyediaan sarana-dan sarana bagi kenyamanan pengunjung.

Seiring dengan jalannya waktu, seringkali esensi dari ritual-ritual tersebut perlahan-lahan berubah. Yang semula lebih besar digunakan untuk kepentingan ritual, akhirnya justru yang terjadi kepentingan pengunjunglah yang diutamakan. Misalnya saja yang terjadi pada Larung Joko Tingkir. Semakin jarang pengunjung yang benar-benar menggali makna yang terkandung di dalamnya. Yang dicari pengunjung lebih kepada hiburannya. Sehingga saat ini, Larung Joko Tingkir sering menggunakan bintang tamu yang diharapkan akan menyedot pengunjung lebih banyak. Dengan semakin banyak pengunjung yang datang, maka perputaran uang yang terjadi di tempat tersebut semakin banyak juga. Sehingga diharapkan oleh pemerintah daerah akan mendapatkan laba dari pengelolaan area publik tersebut lebih besar juga.

Melihat fenomena tersebut di atas perlu kita pertanyakan, mengapa spiritualitas dalam kebudayaan tersebut telah berubah menjadi mesin pencetak uang? Untuk menjawab pertanyaan tersebut memerlukan penelitian yang mendalam. Namun makalah ini akan mencoba memberikan gambaran singkat terhadap fenomena tersebut.

MENGINTIP KONSEP KEBUDAYAAN


joko-tingkir.jpgKebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjoroningrat, 1990: 180). Menurut Koentjoroningrat ada tiga wujud kebudayaan sebagai suatu sistem dari ide-ide dan konsep-konsep dari wujud kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpola. Pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma peraturan dan sebagainya. Wujud ini adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala-kepala. Atau dengan pekataan lain, dalam alam pikiran warga masyarakat di mana kubudayaan bersangkutan itu hidup. Kalau warga masyarakat tadi menyatakan gagasan meeka tadi dalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal sering berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat bersangkutan.

Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud ini merupakan wujud kebudayaan yang disebut sistem sosial . Yaitu mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain dari detik ke detik, hari ke hari, dan tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, system social ini bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, di foto, dan didokumentasi.

Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ini merupakan wujud kebudayaan sebagai wujud fisik, dan tidak memerlukan banyak penjelasan. Karena berupa seluruh total hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya manusia dalam masyarakat. Sifatnya konkret dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto.

Ketiga wujud tersebut di atas dalam kehidupan masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Kebudayaan ideal dan sistem sosial mengatur dan memberikan arah kepada tindakan dan karya manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun tindakan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang semakin lama seakin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya sehingga mempengaruhi pola-pola perbuatannya, bahkan juga cara berpikirnya.

Berangkat dari pengertian di atas, ada tiga hal yang menjadi kata kunci dalam memahami sebuah kebudayaan yaitu ide (mantefak), sistem sosial (sosiofak), dan wujud fisik (artefak).

Sedangkan dalam setiap kebudayaan manusia Koentjoroningrat (1990:203-204) berpendapat bahwa terdapat tujuh unsur-unsur universal. (1) Bahasa, (2) Sistem Pengetahuan, (3) Organisasi Sosial, (4) Sistem peralatan hidup dan tekhnologi, (5) Sistem mata pencaharian hidup, (6) sistem religi, (7) Kesenian. Tiap-tiap unsur kebudayaan universal tersebut menjelma dalam ketiga wujud kebudayaan di atas, yaitu yang berupa sistem budaya , sistem sosial dan unsur-unsur kebudayaan fisik. Tiap-tiap unsur tersebut dapat diperinci ke dalam unsur-unsurnya yang lebih kecil sampai beberapa kali (Koentjoroningrat, 1990:207-208).

KEBUDAYAAN DALAM KEPENTINGAN PASAR


Larung Joko Tingkir merupakan contoh sebuah unsur dari kebudayaan masyarakat Kota Solo. Jika kita melihat konsep kebudayaan yang dipaparkan Koentjoroningrat di atas, maka Larung Joko Tingkir dan beberapa ritual yang saya sebutkan di atas, masuk ke dalam sistem religi. Dimana di dalamnya terdapat upaya-upaya pencapaian spiritualitas masyarakat Kota Solo. Di dalam sistem religi tersebut terdapat idea tau gagasan, sistem sosial, dan wujud fisiknya.

Ide dari ritual-ritual tersebut adalah keinginan pencapaian spiritualitas tertinggi. Adanya pembaca doa, pelaksana ritual, pengikut ritual, dan pembagian kerja serta hubungan antara masing-masing aspek di dalamnya menunjukkan bahwa dalam ritual-ritual tersebut terdapat sistem sosial yang terbangun. Sedangkan wujud dari keinginan pencapaian spiritualitas tertinggi adalah ritual upacaranya.

Kebudayaan merupakan sebuah identitas sebuah kelompok masyarakat atau bangsa. Melalui kebudayaan, suatu kelompok akan dikenal oleh masyarakat lain. Sebagai identitas tentunya kebudayaan juga menjadi pembeda antara pemilik kebudayaan dengan kelompok masyarakat lain. Sehingga masing-masing kelompok ketika melakukan komunikasi akan menjadi lebih mudah. Salah satu identitas tersebut dapat dipahami dan diketahui melalui upacara-upacara ritual. Upacara-upacara ritual tersebut akan menunjukkan siapakah pemilik upacara tersebut, bagaimanakah spiritualitas pemiliknya, bagaimanakah sistem sosialnya, bagaimanakah sistem mata pencahariannya, dan lain sebagainya. Dengan kata lain upacara-upacara ritual tersebut merupakan identitas masyarakat Kota Solo.

Sebagai sebuah bangsa atau kelompok, masyarakat Indonesia memiliki unsur-unsur kebudayaan sendiri. Salah satu unsurnya adalah organisasi sosial. Di dalam organisasi sosial yang terbangun dalam kebudayaan bangsa Indonesia, pemerintah baik dari pusat hingga daerah merupakan bagiannya. Dalam masing-masing unsur kebudayaan bangsa Indonesia terdapat pranata-pranata yang disepakati bersama. Pranata-pranata inilah yang kemudian dilaksanakan bersama untuk menjalankan kehidupan bangsa tersebut sebagai sebuah kelompok masyarakat. Kota Surakarta sebagai bagian dari bangsa Indonesia juga berkewajiban untuk menjalankan pranata sosial yang sudah terbangun. Salah satu wujud pranata tersebut adalah peraturan peundang-undangan. Peraturan perundang-undangan atau pranata tersebut juga mengatur banyak hal yang terkait dengan pelaksanaan sistem sosial di dalamnya. Salah satunya di Kota Solo.

Amanat dari pranata sosial yang disepakati mengatur tentang bagaimana agar komunikasi antar kelompok dalam masyarakatnya terbangun dengan baik, tidak saling berbenturan, dapat bekerja sama antara yang satu dengan yang lain, saling memahami, tidak saling menganggu, sejahtera, dan lain sebagainya. Pemerintah merupakan satu organisasi sosial yang bertugapranata social yang sudah disepakati. Dari pranata-pranata social ini diturunkan kembali kedalam aturan-atauran yang lebih kecil. Misalnya, ketika menggunakan fasilitas publik maka kepentingan anggota masyarakat lain juga harus dipikirkan agar tidak ada pihak yang dirugikan dalam penggunaan fasilitas tersebut. Hal inilah yang kemudian menginisiasi munculnya retribusi, pajak (meskipun sebagian orang ada juga yang menyamakan dengan upeti), sumbangan dan lain-lain.

Namun, tidak ada satu hal yang bebas dari kepentingan. Homo ludens protensioso, begitu pepatah latin menyebutkan. Bahwa setiap orang yang berbuat sesuatu itu pasti memiliki maksud tertentu. Begitupun dengan pelaksanaan retribusi tersebut, pada akhirnya hukum ekonomi jugalah yang berlaku. Mengeluarkan biaya sekecil-kecilnya dan mendapatkan laba yang sebesar-besarnya. Berapa banyak biaya yang telah dikeluarkan oleh pemerintah atau kelompok dalam melaksanakan sebuah ritual, maka harus bisa ditutup dengan pemasukan yang didapatkan. Apabila hukum ekonomi ini dihubungkan dengan anggaran. Antara pemasukan dan pengeluaran dihitung dengan alat tukar, maka yang akan terjadi adalah konsep jual beli. Lantas bagaimana esensi spiritualitas ritualnya?

Secara tidak langsung sebenarnya hukum ekonomi juga terdapat dalam ritual-ritual tersebut. Namun, ukuran yang dipakai di dalamnya bukanlah alat tukar jual beli. Bahwa ketika manusia melepaskan sesuatu, minimal akan berharap mendapatkan sesuatu juga, walaupun dalam bentuk lain. Misalnya, jika melaksanakan suatu ibadah maka akan diampuni dosanya, jika memberi satu akan mendapatkan seribu, dan masih banyak lagi contohnya. Hanya saja esensi spiritualitasnya masih terbangun didalamnya. Unsur pokoknya adalah penyerahan sepenuhnya kepada Yang Agung terhadap apa yang telah dilakukan. Sehingga dengan ritual tersebut akan mendapatkan sesuatu dari Yang Agung tersebut. Jika aspek tersebut diubah ke dalam nilai alat tukar maka yang akan terjadi adalah menurunnya nilai sprititualitas. Dari penyerahan kepada Yang Agung, kepada pendapatan yang diperoleh.

Penutup

Dari uraian singkat di atas, kita mendapatkan sedikit gambaran tentang mengapa spiritualitas dalam kebudayaan tersebut telah berubah menjadi mesin pencetak uang? Yaitu karena menurunnya nilai spiritualitas pemilik kebudayaan tersebut. Sehingga ukuran yang dipakai dalam setiap upacara ritual adalah pendapatan yang diperoleh. Selain itu, dengan perbandingan antara pelaku ritual dengan penonton yang sangat jomplang (tidak seimbang), lebih banyak penontonnya, maka akan mempengaruhi aspek-aspek yang mengikuti upacara tersebut. Dari sini kita juga dapat berpikir tentang bagaimana melestarikan kebudayaan yang menjadi milik kita agar tidak hanya menjadi asset wisata, akan tetapi juga sebagai media peningkatan spiritualitas bersama. Perlu mulai dipikirkan untuk melibatkan penonton dalam setiap upacara-upacara ritual yang akan dilakukan. Sehingga penonton akan menjadi pelaku yang mau tidak mau akan bersama-sama melakukan upacara ritual. Dan peningkatan spiritualitaspun akan didapatkan bersama-sama. Konsep tontonan yang menjadi tuntunan, bukan tuntunan yang menjadi tontonan perlu digalakkan kembali.


Sumber
Oleh: Setyo Dwi Herwanto, S.S.

Tidak ada komentar: