Ada kebiasaan yang berkembang pada masyarakat Jawa Kuno (masa Jawa Timur) untuk membuatkan arca dewa bagi raja yang sudah meninggal dunia. Arca itu kemudian disimpan di dalam suatu candi yang merupakan pendharmaan (pengabdian) raja tersebut yang dinamakan dhinarma. Tradisi seperti ini tidak dikenal di India. Tradisi ini merupakan kelanjutan dari pemujaan yang telah berakar jauh dalam kebudayaan Indonesia.
Dalam kitab Nágarakrtágama disebutkan bahwa ada sembilan orang tokoh, raja dan pejabat pemerintah yang dibuatkan arca dan candi pendharmaan sesudah tokoh tersebut 12 tahun meninggal dunia. Tiga orang di antaranya berasal dari Majapahit, yakni;
1. Raja Krtarajasa Jajawardhana yang didharmakan di Antahpura, diarcakan sebagai Jina di Simping sebagai arca Siwa.
2. Raja Jayanagara didharmakan di dalam pura dan diarcakan sebagai Wisnu di Shila Ptak dan Bubat, dan sebagai Amogasiddi di Sukhalila.
3. Sri Rajapatni Gayatri didharmakan dan diarcakan sebagai Pranaparamita di Bhayalango.
Raja Krtarajasa
Arca Harihara, dewa gabungan Siwa dan Wisnu sebagai penggambaran Kertarajasa.
Berlokasi semula di Candi Simping - Blitar.
(Koleksi Museum Nasional Republik Indonesia.)
Raja Krtarajasa Jayawardhana atau Raden Wijaya adalah raja pertama dan pendiri Kerajaan Majapahit. Tempat pendaharmaannya adalah di Antahpura, tidak diketahui lokasinya, dan arcanya sebagai Jina pun tidak pernah ditemukan. Candi pendharmaan Raden Wijaya di Simping yang oleh F.D.K. Bosch diidentifikasi sebagai Candi Sumberjati, didasari oleh penelusuran rute perjalanan ziarah raja Hayam Wuruk ke arah utara menuju Surabhana (Surawana) melalui Plasa menunju Simping, dan peninggalan candi yang ada di sekitar itu adalah candi Sumberjati.
Dari candi ini diperoleh sebuah arca Harihara Krtarajasa yang semula diduga berasal dari Ngrimbi. Namun menurut Nágarakrtágama pupuh 47:3 raja Krtarajasa diarcakan sebagai Siwa (Saiwapratista) di Simping dan meninggal dunia pada tahun 1309. Keterangan ini menjadi acuan temuan di Candi Sumberjati, yaitu arca Siwa dalam bentuk Harihara. Harihara adalah salah satu manifestasi Siwa dalam bentuk persatuan Siwa (Hara) dan Wisnu (Hari).
Raja Jayanagara
Jayanagara diangkat menjadi raja pada usia yang sangat belia dan meninggal di usia muda sehingga masa pemerintahannya memang singkat. Semasa berkuasa Raja Jayanagara bersikap otoriter sehingga muncul berbagai pergolakan yang menggoyang pemerintahannya. Sampai kini belum diketahui letak candi dan arca pendharmaan-nya sebagai Wisnu dan Amogasiddhi.
Sri Rajapatni Gayatri
Rajapatni adalah salah satu putri Krtanagara, raja Singhasari terakhir yang juga menjadi istri Raden Wijaya. Dari sang raja ini ia tidak mempunyai generasi penerus. Ia berhak atas tahta namun Rajaptni lebih memilih menjadi petapa.
Dalam kitab Nágarakrtágama diceritakan dengan jelas upacara Sraddha yang dilakukan 12 tahun sesudah meninggalnya Rajapatni. Disebutkan bahwa Hayam Wuruk (cucu Rajapatni) dan seluruh kerabatnya sangat menghormati Rajapatni dan tampaknya ia merupakan tokoh yang terkenal dan dicintai seluruh kerabat keraton.
Candi pendharmaan Rajapatni adalah Bhayalango. Arcanya dalam bentuk Prajnaparamita, Dewi Kebijaksanaan Ilahi, salah satu dewi tertinggi dalam agama Budha. Desa Bayanglo di daerah Tulungagung masih mempunyai sisa-sisa candi dan arca, jadi mungkin candi di Bayalangu inilah pendharmaan Rajapatni yang disebutkan dalam Nágarakrtágama.
Dalam candi Bayalango ini hanya tertinggal bagian alas-batur saja, tidak ada struktur tubuh dan atap candi; mungkin dulu bangunan candinya dibuat dari bahan yang tidak tahan lama. Di atas batur ini terdapat sebuah arca besar dalam sikap duduk bersila dan tangannya bersikap dhyanamudra; sayang bagian kepalanya sudah hilang. Arca ini menggambarkan Prajnaparamita, yang cocok dengan apa yang disebutkan dalam Nágarakrtágama tentang arca Rajapatni.
Arca Prajnaparamita Bayalango mengenakan pakaian dan perhiasan yang raya, seperti kalung dan gelang bahu. Karena poisisi arca ini duduk, motif kainnya kurang begitu jelas. Pengerjaan pahatan arca ini sangat halus, menunjukkan hasil karya seni yang bermutu tinggi.
Arca pendharmaan tidak menggambarkan wujud fisik tokoh yang diarcakan karena tidak dimaksudkan untuk upacara penguburan. Bahkan tujuan utama pelaksanaan upacara sradha yang diikuti pendirian arca dan bangunan penyimpanannya merupakan upacara pelepasan roh dari ikatan keduniawian. Dengan upacara tersebut maka roh si mati tidak lagi menjadi pirata, yaitu roh yang berkeliaran di dunia bawah yang dapat mengganggu mahluk lain, melainkan menjadi pitara, yaitu roh leluhur yang sudah berbahagia di khayangan para dewa yang dulu dipuja semasa hidupnya.
Ciri-ciri khusus yang selama ini dianggap sebagai ciri “arca perwujudan”—kaku dan matanya tertutup—sebenarnya tidak menggambarkan tokoh yang sudah meninggal, melainkan menggambarkan roh tokoh tersebut. Oleh karena itu arca-arca yang demikian tidak disebut sebagai arca perwujudan melainkan “arca leluhur” meskipun mempunyai ciri kedewaan.
Ciri kedewaan ini menggambarkan roh yang sudah menjadi bhatara, setingkat dewa. Arca dari masa Jawa Timur ini dapat dikelompokkan ke dalam arca leluhur. Arca-arca ini tidak mendapat pengaruh India, namun merupakan hasil tradisi khas masyarakat Jawa Kuno.
Sumber tulisan, http://www.majapahit-kingdom.com/cms/index.php?option=com_content&task=view&id=24&Itemid=10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar