Senin, 08 Maret 2010

Pengertian dari Cagar Budaya


Benda cagar budaya adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagian atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan; dan benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan (UU No. 5/1992 Pasal 1).

Kejadian-kejadian terhadap benda cagar budaya di Kota Solo, yang menyebut dirinya sebagai kota budaya, adalah fenomena yang sangat menarik untuk menjadi sebuah perenungan dalam melestarikan peninggalan budaya yang kita miliki. Kita memiliki banyak sekali peninggalan budaya yang menjadi sumber ilmu pengetahuan dan saksi keberadaan bangsa ini. Misalnya gedung-gedung bersejarah, monumen, prasasti, naskah lama, candi, situs-situs purbakala, bangunan istana/keraton, dll. Peninggalan-peninggalan itu merupakan sumber ilmu pengetahuan dan sejarah bangsa yang tidak ternilai harganya. Sejarah emas dan kelam tercatat dalam peninggalan-peninggalan itu. Ilmu pengetahuan asli peninggalan nenek moyang, ciri khas sebuah bangsa yang pernah hidup sebelum kita, dan catatan dari masa ke masa tergores di dalamnya. Cagar budaya seringkali dijadikan lambang dan simbol harga diri sebuah bangsa. Bagaimanakah nasib cagar budaya milik kita kini?

Sosialisasi


Pemerintah telah berusaha melindungi cagar budaya dengan mengeluarkan UU No 5/1992. Secara teori UU No 5/1992 cukup kuat sebagai pelindung cagar budaya yang kita miliki terhadap ancaman kerusakan. Realitas memperlihatkan kerusakan dan hilangnya banyak cagar budaya yang kita miliki semakin parah. Meskipun Undang-undang tersebut juga menyebutkan batasan, hak, kewajiban, dan hukumannya bagi orang yang melanggarnya. Namun sampai sekarang masih banyak benda cagar budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia hilang dan rusak. Penjualan terhadap benda purbakala di Sangiran; Penggalian terhadap prasasti batu tulis; penggalian situs Khayangan, Kabupaten wonogiri; dijualnya tanah negara bersitus budaya pada pihak investor; pencurian benda cagar budaya (BCB) di Candi Miri Dusun Nguwot, Kalurahan Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta; merupakan contoh kecil semakin rusak cagar budaya yang kita miliki dan rendahnya perhatian kita terhadap perlindungan dan pengelolaan cagar budaya. Di Kota Solo juga banyak cagar budaya yang hilang atau rusak, bahkan sudah berganti bangunan. Misalnya, benteng Vastenberg, bekas gedung Karesidenan, bekas pelabuhan di pinggir Bengawan Solo, pabrik gula Colomadu, Balekambang, dan masih banyak lagi.

Secara praktis kita belum melihat tindakan tegas dan jelas untuk melaksanakan dan menegakkan Undang-undang tersebut. Pada Pasal 26 UU No.5/1992 disebutkan “Barangsiapa dengan sengaja merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya atau membawa, memindahkan, mengambil, mengubah bentuk dan/atau warna, memugar, atau memisahkan benda cagar budaya tanpa izin dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”. Sangsi yang diajukan dalam UU No 5/1992 tersebut cukup jelas dan tegas. Namun banyak kasus yang melanggar Undang-undang tersebut tapi tidak ada penyelesaian yang jelas. Pertanyaan-pertanyaan sering muncul, salah siapakah ini? Mengapa sampai terjadi? Apakah sengaja atau tidak tahu? Kalau tidak tahu apa sebabnya? Dan masih banyak pertanyaan lain yang terlontar berkaitan dengan kejadian-kejadian itu.
Tidak banyak yang mengetahui -Warga Solo maupun warga Indonesia pada umumnya- jika ditanya tentang apa cagar budaya, apa manfaatnya, apa hak dan kewajiban yang berkaitan dengan cagar budaya itu, bagaimana hukumannya jika menghilangkan, merusak atau memperdagangkannya dengan sengaja. Hanya beberapa pemerhati cagar budaya yang mungkin mengetahuinya. Bisa dipertanyakan juga apakah orang-orang di dinas yang terkait dengan cagar budaya mengetahui bentuk dan isi dari UU No.5/1992 itu. Amat disayangkan jika hal-hal yang penting seperti ini sampai tidak tersosialisasikan. Baik di lingkungan pemerintah maupun pada masyarakat luas. Hasil minimal dengan tersosialisasikannya tentang keberadaaan Undang-undang cagar budaya itu masyarakat luas akan mengetahui cagar budaya yang dimilikinya. Dengan begitu masyarakat akan mudah untuk diajak bekerja sama dalam menjaga dan melestarikannya. Masyarakat akan merasa ikut memiliki dan merasa bertanggungjawab melestarikannya.

Sebuah contoh kecil akibat kurangnya sosialisasi UU cagar budaya yang terjadi di Kota Solo maupun yang lain. Kepala dan pejabat pemerintahan di tingkat terkecil (desa), masih jarang yang mengetahui cagar budaya yang ada di wilayahnya. Padahal itu menjadi salah satu landasan bagi perkembangan kehidupan di wilayahnya. Dengan mngetahui landasan yang mendasari perkembangan masyarakatnya dari masa ke masa, maka langkah yang ditempuh untuk memajukan daerah akan lebih tepat. Karena di situ akan ditemukan tanda-tanda yang selalu ada di setiap masa, baik kesalahan maupun kemajuan. Masyarakatnya dengan enteng membongkar dan menghilangkan cagar budaya yang ada di lingkungannya. Seakan benda itu tidak berguna dan bermanfaat. Bagaimana bisa desa tersebut mau menjalankan programnya tanpa mengetahui landasan atau pondasi yang membangun perkembangan masyarakatnya? Pertanyaan ini bukanlah sebuah kalimat yang membutuhkan jawaban, namun membutuhkan perenungan.

Pernyataan-pernyataan di atas sedikit menunjukkan betapa pentingnya arti sosialisasi bangi keberadaan sebuah undang-undang, dalam hal ini Undang-undang cagar budaya. Banyak cara dilakukan untuk mensosialisasikan keberadaan sebuah perundang-undangan pada masyarakat. Misalnya melalui media-media cetak lokal, media-media elektronik lokal maupun nasional, rapat-rapat pejabat pemerintahan, rapat-rapat warga, penyuluhan-penyuluhan khusus, dan lain-lain. Sosialisasi keberadaan sebuah perundang-undangan juga merupakan hal penting untuk disampaikan di samping masalah lain yang dibahas selama ini.

Benda cagar budaya tidak saja menjadi saksi adanya proses sejarah dan budaya pada masa silam, tetapi merupakan warisan sejarah dan budaya bangsa. Satu satu fungsinya adalah sumber nilai dan informasi sejarah, disamping mencerminkan jati diri dan kepribadian budaya bangsa. Benda cagar budaya penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Belum semua benda cagar budaya dapat dilindungi dan dilestarikan. Dibutuhkan sikap positip segenap lapisan masyarakat, untuk berperan bersama pemerintah melestarikan benda cagar budaya, baik secara preventif, represif maupun partisipatif. Kebudayaan masa lampau itulah tempat berakar dan berpijaknya pandangan hidup dan cita-cita bangsa kita dewasa ini (Panuti Sudjiman, Filologi Melayu, halaman 46).


Perda Cagar Budaya

Dalam pelaksanaannya sebuah undang-undang memerlukan perundang-undangan yang lain untuk menjabarkan dan sebagai petunjuk pelaksanaan serta teknis undang-undang tersebut. Seperti halnya juga UU No 5/1992 ini memerlukan perundang-undangan yang lain untuk mendukung dan menjabarkan pelaksanaannya. Di samping itu dikarenakan jumlah, bentuk,dan macam cagar budaya banyak serta latar belakang masyarakat yang berbeda, maka di masing-masing daerah diperlukan perundang-undangan lain sebagai pendukung pelaksanaan Undang-undang tersebut.

Di Kota Medan telah dikeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 1988 mengenai Perlindungan Bangunan di Kota Medan. Menrujuk Tahun dikeluarkannya, Perda tersebut dikeluarkan justru sebelum Undang-Undang No.5 Tahun 1992 dikeluarkan. Hal ini menunjukkan kepedulian pemerintah Medan pada aset daerahnya yang besar. Dengan dikeluarkannya perda tersebut akan melindungi seluruh bangunan bersejarah yang ada di kota Medan. Meskipun hanya sebatas bangunan, namun ini sudah merupakan langkah preventif pemerintah Kota Medan untuk melindungi salah satu cagar budaya yang ada di kota itu. Sedangkan di Blitar usulan Perda cagar budaya sudah disiapkan dan diusulkan tahun 2001.

Di Kota Solo meskipun baru sampai tahap gagasan pembuatan perda cagar budaya, namun hal ini perlu kita dukung agar secepatnya terealisasi. Hal ini perlu kita lakukan untuk mencegah kerusakan yang lebih parah lagi pada cagar budaya yang ada di kota Solo ini. Dukungan dalam bentuk apapun, akan berguna bagi proses penyusunan raperda cagar budaya. Agar Masyarakat merasa melu handarbeni atas aset budaya masyarakat Solo, maka penyusunan perda cagar budaya itu perlu melibatkan berbagai elemen masyarakat kota Solo. Dari sinilah seluruh lapisan masyarakat akan mulai merasa ikut memiliki dan bersama-sama melestarikan cagar budaya yang menjadi kebanggaan dan ciri khas masyarakat Solo.

Kota Solo sering dijadikan barometer nasional, dalam banyak hal. Politik, ekonomi, seni dan budaya. Ditambah dengan keberadaan dua istana yang benar-benar merupakaan bukti keberadaan sejarah masa lalu dan sumber ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh warga masyarakat Surakarta. Langkah yang telah ditempuh oleh pemerintah kata, harus segera dilanjutkan hingga sampai pengesahan perda cahar budaya kota Solo. Sikap positip pemerintah dan segenap lapisan masyarakat, untuk berperan bersama dalam melestarikan benda cagar budaya, baik secara preventif, represif maupun partisipatif, sangat dibutuhkan. Harapannya semoga di tahun yang akan datang ini segera disusun dan disyahkan perda cagar budaya partisipatif warga masyarakat Solo agar kelak masyarakat Solo dan masyarakat luas masih bisa dan selalu bisa menggali ilmu pengetahuan dari bangsanya sendiri.

Tidak ada komentar: