Imaji saya, tak lama setelah Komite Nobel 2007 memberikan penghargaan Nobel bidang ekonomi kepada Muhammad Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank di Bangladesh, langsung tertuju ke Tanah Air tercinta. Begitu banyak kesamaan statistikal makro ekonomi yang terjadi di Bangladesh dengan Indonesia. Malahan, setelah saya membaca hasil survei BPS 2010, beberapa indikator di negeri ini lebih baik adanya.
Betapa tidak. Jika angka rata-rata keluarga miskin di Bangladesh mencapai hampir 50 persen, survei BPS menunjukkan tingkat kemiskinan Indonesia sebesar 14,15 persen. Demikian pula tingkat kepemilikan rekening bank.
Data World Bank via publikasi Demirguc-Kunt, Beck dan Honohan, pada 2007 juga mengungkapkan dari 50 juta pemilik account bank di Indonesia, sekitar 20-40 persen diantaranya memiliki lebih dari satu rekening.
Angka ini jauh dari yang terjadi di Bangladesh. Dengan jumlah penduduk miskin lebih banyak, memiliki rekening bank di negeri beribukota Dhaka itu, justru dianggap sebuah kemewahan. Bukan budaya menabung.
Situasi inilah yang membuat munculnya potensi besar dalam lembaga pembiayaan mikro (microfinance). Hal ini terbukti, karena dari 25,13 juta nasabah Grameen Bank pada tahun 2008 lalu, mayoritas berasal dari keluarga tidak mampu.
Dari nasabah tersebut, mengacu penelitian kami di Sharing Vision, tercatat jumlah peminjam/debitur aktif tahunan sebesar 10 juta orang sementara penabung aktif berkisar 9 juta nomor rekening.
Jika dibandingkan, angka ini sangat kompetitif dengan yang diraih BRI, perbankan Tanah Air yang sejak lama fokus di microfinance. BRI pada tahun 2008 lalu memiliki peminjam aktif 8 juta serta penabung aktif 13 juta nomor.
Wajar muncul pertanyaan, mengapa kesuksesan Grameen Bank tersebut, seolah-olah tak kunjung merebak dalam genggaman bangsa ini? Jika melihat indikator sekilas, bukankah sepatutnya kita lebih mudah merealisasikan —bahkan melampauinya?
Berdasarkan riset Sharing Vision dan hasil workshop yang kami lakukan dengan M. Sjahjahan, General Manager Grameen Bank (yang juga deputi Muhammad Yunus), di Singapura, 18-19 Juni lalu, ada dua penyebab utama.
Pertama, implementasi teknologi informasi/TI sebagai ruh aktivitas lembaga keuangan, belum optimal dipraktekkan di berbagai institusi pembiayaan Indonesia. Kalaupun diterapkan, masih banyak yang memandang sebagai cost, bukan investasi.
Saya tidak menampik ada yang membangun dengan optimal. Ambil contoh BPR Karyajatnika Sadaya (BPR KS). Bank mikro terbesar di Jabar ini memiliki 17 kantor cabang, 15 kantor kas, dengan nasabah 360.000 orang, plus fasilitas layanan mumpuni.
Microfinance satu ini memiliki electronic data capture for payment dengan mitra lebih dari 7.000 poin, ATM BPR KS (yang terintegrasi dalam jaringan ATM bersama), Internet/SMS/Phone Banking, dan Automatic Deposit Machine.
Akan tetapi, yang terbaik sekalipun di Indonesia, ternyata kalah dibandingkan Grameen Bank. Sebab, investasi TI perbankan tersebut rata-rata mencapai 100 juta dollar AS per tahun! Sebuah nominal yang belum tentu BUMN keuangan Indonesia menerapkannya.
Dengan 2.564 kantor cabang, 268 kantor area, dan 40 kantor wilayah. Grameen Bank menerapkan aplikasi TI bernama MIFOS alias Microfinance Opensource-yang kesehariannya ditunjang baterai cadangan komputer sehubungan listrik yang kerap mati.
Dengan menerapkan strategi web bertajuk based management information system berkode terbuka, cara ini memungkinkan antar cabang di Grameen melakukan operasional secara real time, efisien, dan amat handal.
Selain perangkat lunak terbuka, kantor menyediakan komputer, baterai, dan akses Internet 56 s.d 512 Kbps. Karenanya, seperti ditulis www.mifos.org, MIFOS berhasil diinstalasi sedikitnya di 120 cabang kantor mencakup 280.000 pengguna.
Dengan totalitas inilah, sambung Shajahan, pada posisi Mei 2010, total deposito Grameen Bank sudah mencapai 1.288 miliar dollar AS sementara nilai kredit yang dipinjamkan 875,08 miliar dollar AS.
Kedua, belum adanya regulasi spesifik dari Bank Indonesia yang mengatur pemanfaatan TI bagi BPR/BPRS. Hal ini membuat proses standarisasi dan pengembangan belum terpayungi aturan terarah dari regulator. Situasi ini membuat belum jelasnya produk/layanan berbasis TI apa saja yang dapat diberikan BPR/BPRS. Juga, belum jelasnya jenis laporan ke Bank Indonesia terkait produk/layanan berbasis TI di BPR/BPRS.
Otomatis ketentuan manajemen resiko TI bagi bank perkreditan rakyat sendiri, boleh disebut, belum total. Padahal, secara natural, tingkat kesadaran keamanan sistem BPR sendiri lebih rendah dari bank umum.
Menyitir PBI No.8/2006 yang menyebutkan kegiatan kas di luar kantor dengan menggunakan ATM yang diselenggarakan sendiri BPR, hanya dapat dilakukan dalam wilayah provinsi yang sama dengan kantor induknya.
PBI itu menetapkan kegiatan payment point dengan areal sama terbatasnya. Sementara dalam kebijakan remittance, BPR hanya dapat bertindak sebagai sub agen layanan jasa keuangan pengiriman uang. Itu pun sebatas incoming transfer.
Atas celah-celah regulasi bagi microfinance semacam BPR/BPRS ini, saya menilai laju dan faedah keuangan mikro di Indonesia masih tertahan. Tidak bisa deras dan massif menolong masyarakat seperti diraih Grameen Bank.
Penulis, Dimitri Mahayana adalah pendiri sekaligus chief lembaga riset telekomunikasi dan informasi berbasis di Bandung, Sharing Vision dan Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB.
Sumber
Oleh Dimitri Mahayana
Website yang berhubungan :
Tentang Aku
Sentuhan Rohani
Trik and Tips
Info Pendidikan
Info Kesehatan
Forum Di Web
Puisi-Puisi Ku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar