VIVAnews - Meski berani mengeluarkan investasi besar-besaran untuk mengembangkan bisnis komputasi awan secara global, Fujitsu tampak belum terlalu berambisi untuk menawarkan jasa komputasi awan di pasar Indonesia pada tahun 2011.
Kekhawatiran pelanggan terhadap risiko keamanan disebut-sebut menjadi alasan mengapa komputasi awan sulit diadopsi perusahaan-perusahaan di Tanah Air.
Alasan itu didasarkan pada temuan terbaru Gartner. Lembaga riset independen itu memaparkan sekitar 70 persen perusahaan (dengan jumlah karyawan kurang dari 1.000 orang) belum mau mengadopsi layanan komputasi awan karena alasan keamanan.
“Keamanan menjadi faktor yang paling dominan. Selain itu ada beberapa kendala lain seperti belum terbiasanya aktivitas reporting dan auditing di komputasi awan, sampai kurangnya rasa yakin perusahaan jika jasa itu benar-benar dapat mereduksi biaya,” kata Achmad S. Sofwan, Presiden Direktur Fujitsu Indonesia, pada Fujitsu Media Gathering 2011 di Denpasar, Bali.
“Padahal, tren cloud computing nanti akan membuka kemungkinan munculnya konvergensi. Misalnya, konvergensi semua perangkat yang digunakan oleh user, berperan besar dalam pengelolaan fasilitas publik seperti air, listrik, lalu lintas, perbankan, melalui satu pintu. Ini akan memberikan value yang besar di sisi ekonomi,” ucap Achmad.
Sebagai informasi, di Indonesia, sektor telekomunikasi (telco) menyumbang pendapatan terbesar bagi Fujitsu. Beberapa operator seperti Telkom, Telkomsel, dan XL telah menjadi mitranya. Sektor telco disusul sektor pemerintahan dengan beberapa kantor Departemen, dan manufaktur, terutama perusahaan yang juga berasal dari Jepang.
“Akan tetapi, untuk jasa komputasi awan kami masih akan melihat acceptance pasarnya dulu. Di samping menunggu pasar sampai matang, kami juga akan melihat kesiapan regulasi. Memang selama ini teknologi cloud dikaitkan dengan UU ITE, tapi sampai saat ini belum ada instrumen hukum yang benar-benar jelas mengatur komputasi awan secara menyeluruh,” ucap Achmad.
Jika merujuk pada survei Boston Consulting Group, Indonesia memang bisa dibilang ketinggalan. Survei itu menunjukkan nilai saham perusahaan berbasis teknologi, media dan telekomunikasi dunia yang berbasis di negara berkembang meroket sepanjang 2010.
Laporan Boston Consulting menyebutkan, tujuh dari sepuluh pemain telekomunikasi global, lima dari sepuluh pemain top media dunia, dan empat dari sepuluh pemain top teknologi terbesar dunia, telah memindahkan basis produksinya di India, Taiwan, Meksiko, China, dan negara-negara berkembang lain. Negara-negara ini menjadi pusat inovasi karena sumber tenaga kerja yang murah.
Perusahaan di bidang telekomunikasi berusaha melakukan reorientasi strategi mereka untuk mencapai pertumbuhan yang cepat dari mobile data. Bagi perusahaan teknologi dan telekomunikasi, komputasi awan memegang janji pertumbuhan.
“Industri pelan-pelan akan migrasi ke cloud walaupun dengan private cloud terlebih dulu,” ucap Made Sudharma, Country Head Application Services Fujitsu Indonesia, pada kesempatan yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar