Kamis, 04 Februari 2010
Pacaran: Benarkah Faktor Utama Hubungan Seksual Pra Nikah Remaja?
Oleh: Laily Hanifah*
“Pacaran tidak harus selalu berakhir dengan pernikahan, karena sekedar mencari kecocokan atau ketidakcocokan. Tetapi pacaran itu seharusnya lepas dari yang namanya hubungan seksual, jadi sebatas membicarkan masalah, tukar pikiran, jalan bareng, lalu pegangan tangan, membelai rambut. Kalau untuk cium bibir di Indonesia saat ini masih dianggap belum layak, entah besok-besok. Tetapi untuk hubungan seksual aku tetap tidak setuju. Jika sudah yakin akan menikah maka hubungan seksual justru tidak perlu dilakukan.”
Pacaran dianggap sebagai pintu masuk hubungan yang lebih dalam lagi, yaitu hubungan seksual pra nikah sebagai wujud kedekatan antara dua orang yang sedang jatuh cinta (De Guzman & Diaz, 1999). Tanpa adanya komitmen yang jelas mengenai batasan pacaran, kadang tanpa disadari atau direncanakan, remaja dapat terbawa untuk melakukan hubungan seksual dengan pacarnya.
Kutipan di halaman depan merupakan salah satu temuan hasil penelitian kualitatif yang dilakukan Penulis di salah satu Youth Center Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia baru-baru ini. Informan dalam penelitian ini seluruhnya 30 orang, yang semuanya mendefinisikan arti pacaran sebagai dua orang berbeda jenis kelamin saling menyukai, atau berkomitmen, kedekatan dua orang yang dilandasi cinta, dan masa penjajakan mencari pasangan hidup.
Menurut informan, hal yang boleh dilakukan saat pacaran yaitu mengirim surat, mengobrol, berpegangan tangan, berciuman, dan untuk informan yang sudah aktif seksual ditambah hubungan seksual. Namun tidak semua informan yang sudah aktif seksual menganggap hubungan seksual harus dilakukan pada setiap proses pacaran.
Sepertinya ada perbedaan pandangan mengenai konsep pacaran diantara laki-laki dan perempuan. Kutipan di awal tulisan merupakan pendapat seorang informan laki-laki yang sudah aktif seksual, namun tetap menganggap bahwa pacaran seharusnya lepas dari hubungan seksual, apalagi jika sudah pasti akan menikah. Pacaran tidak selalu berakhir dengan pernikahan karena sekedar mencari kecocokan atau ketidakcocokan. Temuan tersebut didukung penelitian sebelumnya oleh Saifuddin & Hidayana (1999). Informan laki-laki dalam penelitian itu menganggap pacaran sebagai pengalaman yang tidak selalu harus berakhir dengan pernikahan karena sebagian besar dari mereka masih dalam taraf ingin mencoba-coba dan belum berpikir ke arah pernikahan saat berpacaran. Hal sebaliknya terjadi pada remaja perempuan, yang sebagian besar menganggap pacaran sebaiknya berakhir dengan pernikahan karena memikirkan masa depan mereka.
Adanya perbedaan pandangan tersebut pulalah yang mungkin menyebabkan remaja perempuan tidak berdaya sehingga bersedia menyerahkan diri sepenuhnya kepada pacar laki-lakinya. Padahal, jika memang ternyata tidak ada kecocokan, maka pacar laki-lakinya akan dengan mudahnya meninggalkan pacar perem-puannya walaupun mereka berdua sudah melakukan hubungan seksual. Jika hal itu yang terjadi, sangatlah disayangkan karena pihak perempuanlah yang menanggung kerugian terbesar.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa remaja laki-laki memang cenderung mempunyai perilaku seks yang agresif, terbuka, gigih, terang-terangan, serta lebih sulit menahan diri dibandingkan remaja perempuan (Triratnawati, 1999). Akibatnya, banyak remaja perempuan mendapatkan pengalaman pertama hubungan seksual pra nikah dari pacarnya, seperti yang didapat dari penelitian sebelumnya (Khisbiyah: 1997, Iskandar:1998, Utomo:1998).
Perilaku laki-laki tersebut mungkin sebagai perwujudan nilai jender yang dipercayainya sebagai lebih dominan, yaitu laki-laki harus aktif, berinisiatif, berani, sedangkan perempuan harus pasif, penunggu, dan pemalu. Jika perempuan tidak menyesuaikan diri dengan nilai itu maka ia akan dianggap ‘murahan’. Begitu pula sebaliknya, apabila laki-laki tidak menyesuaikan dengan nilai tersebut, maka ia akan dicap ‘kurang jantan’ (Saifuddin & Hidayana, 1999).
Alasan yang dikemukakan dalam berhubungan seksual biasanya sebagai bukti cinta, sayang, pengikat hubungan, serta berencana untuk menikah dalam waktu dekat. Namun demikian, sering terjadi hubungan seksual pertama tidak selalu diawali dengan permintaan lisan tetapi dengan stimulasi atau rangsangan langsung terhadap pasangannya, sehingga informan perempuan yang pada awalnya menolak, pada saat itu sudah terangsang sehingga tidak mampu menolak lagi.
Dengan demikian, alasan menuruti keinginan pacar untuk berhubungan seksual cukup banyak antara lain sebagai bukti cinta dan sangat mencintai pacar, akan menikah, agar menjadi miliknya sepenuh-nya, dorongan seks, ingin mencoba, takut mengecewakan, takut diputus dan tidak sadar sepenuhnya.
Alasan penolakan yang sering dikemukakan informan perempuan saat diminta untuk berhubungan seks dengan pacarnya adalah takut hamil, yang ternyata merupakan alasan yang tidak cukup kuat untuk dijadikan alasan penolakan untuk hubungan seksual karena bisa dibantah mudah dengan rayuan bahwa jika hanya melakukan sekali tidak akan hamil, pacarnya akan memakai kondom sehingga tidak mungkin hamil, atau jika hamil akan bertanggung jawab. Sedangkan, alasan penolakan lainnya yang ditemukan dalam penelitian ini dan ternyata cukup efektif untuk membuat pacarnya tidak memintanya lagi adalah takut dosa. Apabila alasan tersebut dikemukakan, biasanya pacarnya akan terdiam dan tidak berani menuntutnya lagi. Mungkin karena merasa benar dan diingatkan untuk tidak melanggar norma.
Berbagai alasan yang dikemukakan, baik untuk meminta berhubungan seksual, menuruti permintaan tersebut maupun menolaknya, seharusnya tidak perlu terjadi apabila sejak awal proses pacaran sudah disepakati tentang batasan pacaran yang akan dijalani. Temuan tersebut semakin menguatkan anggapan bahwa tanpa adanya kesepakatan ini, akan sulit bagi pihak yang diminta untuk menolak karena sejak awal memang belum disepakati.
Padahal, apabila sejak awal sudah ditegaskan batasan pacaran, tetapi salah satu pihak tetap ada yang memintanya, maka pasangannya dapat mengingatkan kembali komitmen yang sudah dibentuk dari awal tersebut, sehingga tidak perlu timbul rasa penyesalan atau bersalah dan kasihan terhadap pacarnya yang ia tolak ajakannya. Dengan demikian tidak ada pihak yang dirugikan. Terjadinya hubungan seksual di bawah paksaan bukanlah merupakan hubungan yang sehat karena adanya dominasi satu pihak.
Penulis menyarankan dalam materi kurikulum pendidikan reproduksi remaja yang akan diberikan oleh Departemen Pendidikan Nasional mulai tahun 2002 sebaiknya dilengkapi pula dengan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan remaja mengatakan ‘tidak’ terhadap hubungan seksual pranikah kepada pasangannya jika memang mereka tidak menginginkannya. Pelatihan tersebut juga dapat meningkatkan rasa percaya diri mereka bahwa menolak bukan berarti memutuskan hubungan yang sudah terjalin selama ini, karena adanya permintaan untuk melakukan hubungan seksual sudah menandakan adanya hubungan yang tidak sehat dalam proses pacaran mereka.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar