Kamis, 04 Februari 2010

Perempuan di Sarang Penyamun Global

Tim Media Kerja Budaya

Siti Aisah tak kuat menanggung beban hidupnya. November lalu setiba di bandara Soekarno-Hatta perempuan usia 30 tahun yang menjadi buruh migran di Taiwan ini terjun dari ketinggian enam meter. Pendarahan di kepalanya berjalan lebih cepat dari kesigapan petugas kesehatan. Ia meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Dokter yang membuat visum kematian mengatakan Aisah dalam keadaan hamil empat bulan. Orang pun menduga bahwa inilah alasan utamanya untuk nekat bunuh diri setelah setahun lebih tak bertemu suami dan keluarganya. Polisi menemukan uang $1.300 dalam tas bawaannya, bagian dari $3 milyar yang setiap tahun dibawa sekitar satu juta perempuan migran seperti Siti Aisah ke Indonesia, dan dengan bangga diklaim sebagai “devisa negara” oleh para pejabat.

Kebanggaan yang tak pantas tentu saja, karena pemerintah tak pernah menyediakan perlindungan cukup bagi para “pahlawan devisa” ini sekalipun mengutip $20 per kepala saat pemberangkatan. Tak seorang pun dari mereka hadir dalam pemakaman Siti Aisah, mungkin karena kasus seperti itu dianggap sudah biasa. Namanya pun hanya sebentar mampir di halaman suratkabar untuk selanjutnya menghilang bersama ratusan perempuan migran lain yang dalam dua tahun terakhir meninggal dunia, baik karena sakit, dihukum mati, bunuh diri maupun dibunuh oleh orang yang mempekerjakannya. Saat ini diperkirakan ada sekitar satu juta lebih perempuan dari Indonesia yang bekerja di luar negeri sebagai buruh pabrik, bangunan dan perkebunan serta pembantu rumah tangga. Para pengusaha dengan senang hati menyambut mereka karena menjadi tenaga cadangan jika buruh di negerinya sendiri rewel menuntut upah tinggi dan bermacam tunjangan. Kehadiran tenaga murah dari negeri lain menjadi berkah di tengah meningkatnya persaingan dalam lomba mencari untung secara global. Begitu pula dengan rumah tangga kelas menengah yang bisa bebas dari beban kerja domestik sebulan penuh dengan uang yang hanya cukup untuk membayar tenaga profesional dari negerinya sendiri selama beberapa hari saja. Penguasa negara pun ikut bergembira karena banyak pelayanan sosial yang seharusnya mereka berikan kini dikerjakan oleh buruh migran dengan upah rendah.

Tentu saja kenyataan ini tidak pernah muncul dalam laporan resmi pemerintah atau lembaga keuangan internasional karena jenis kegiatan perempuan migran seperti memasak, membersihkan rumah, menjaga anak, mencuci pakaian dan sebagainya yang bisa memakan waktu 10-12 jam sehari tidak dianggap pekerjaan. Apalagi mengakui bahwa tata dunia baru yang dibanggakan sebagai buah keajaiban kapitalisme berdiri di atas penderitaan jutaan perempuan Dunia Ketiga ini.

Nasib mereka yang bekerja di sektor formal atau rumah tangga saat ini tergolong baik di kalangan perempuan migran. Banyak sektor lain yang sungguh suram, seperti industri seks. Di sini ribuan perempuan Indonesia dewasa, remaja dan anak setiap tahun masuk ke dalam pusaran globalisasi perbudakan seksual, dikirim ke pusat-pusat turisme yang tersebar di seluruh dunia, tanpa kenalan apalagi perlindungan dan pembelaan. Kematian, penyakit kelamin menular, ketergantungan obat dan kondisi kesehatan buruk sudah menjadi bagian hidup sehari-hari.

Ada juga sistem yang lebih “sopan dan terhormat” seperti industri istri pesanan yang meraup untung sekitar $7 milyar per tahun. Di sini laki-laki dari negara industri maju dapat memesan perempuan melalui surat atau Internet kepada agen-agen di Dunia Ketiga untuk menjadi istri sementara waktu. Seperti dalam perdagangan barang pada umumnya, jika pelanggan tidak puas maka dengan mudah perempuan yang dipesan bisa dicampakkan selama urusan administrasi dengan para agen beres. Tidak sedikit dari mereka yang kemudian terjun ke industri seks bahkan melalui tangan para “suami kontrak” mereka.

Kondisi kehidupan perempuan migran ini mirip dengan sistem perbudakan yang dianggap punah sekitar 200 tahun lalu. Memang gambaran mandor yang kejam dengan pecut di tangan menyeret budak dekil di tangan lain hampir tak bisa ditemukan lagi. Para pedagang manusia masa kini tampil dengan gaya corporate, berjas dan dasi di ruang kantor mewah, bahkan dengan situs Internet dan layanan kartu kredit untuk mengembangkan usahanya. Rantai besi yang dulu mengalungi kaki dan leher kaum budak sekarang diganti dengan surat hutang dan dokumen imigrasi. Geladak kapal yang dulu memuat ratusan orang pun sudah berubah menjadi lambung pesawat, memberi kesan terhormat kepada para penumpangnya sekalipun keadaan hidupnya tak jauh berbeda.

Tentu ada juga kisah sukses perempuan migran yang pulang dengan uang banyak dan perhiasan, seperti halnya di zaman dulu ada budak-budak yang “dimanusiakan” melalui pernikahan atau penghapusan status di pengadilan. Namun jumlah mereka hanya sedikit, dulu pun sekarang.

Sistem belum berubah begitu pun nasib mayoritas orang yang dihimpit olehnya. Tata dunia baru, globalisasi dan berbagai istilah lain di sini hanya menjadi selubung dari kekuasaan modal yang dilihat Adam Smith lebih dari 200 tahun lalu. Adalah pergulatan sosial yang melahirkan berbagai dimensi baru dan menghidupkan kembali apa yang sudah dianggap punah seperti perdagangan manusia. Sebagian melalui cara-cara lama seperti perang dan kekerasan, sebagian lain melalui kebijakan ekonomi yang sama mematikannya.

Di Indonesia, seperti halnya negara Dunia Ketiga yang lain, alasan utama bagi perempuan untuk bermigrasi mencari kerja adalah kehidupan yang semakin sulit di tanah asal mereka. Tumpukan hutang, tidak adanya tanah atau alat produksi lain yang tersisa dan berbagai tekanan sosial akibat kelangkaan segala mendorong mereka menjual tenaga dan kadang tubuhnya untuk bertahan hidup. Bekerja di luar negeri menjadi semacam berkah dibanding keharusan terjun ke dunia industri dan perdagangan sambil terus menjalankan peran tradisional merawat rumah tangga.

Gambaran umum perempuan dari kalangan rakyat pekerja memang mengenaskan. Dan ini bukan cerita baru. Perdagangan perempuan, diskriminasi upah, kekerasan berbasis gender dan berbagai bentuk aniaya lain terhadap perempuan sudah melekat dalam struktur masyarakat selama ratusan tahun. Hanya bentuk dan tampilan saja yang berganti rupa, sebagian menghilang lalu punah, namun ada pula yang dipercanggih dengan dukungan teknologi, kemampuan mengelola dan berbagai pembenaran ideologis.

Sejak zaman kolonial modal membongkar tatanan masyarakat lama yang tak berorientasi pasar dan keuntungan, lalu menyedot semua kegiatan menyambung hidup ke dalam logikanya. Tapi di sisi lain sistem yang sama terus memelihara nilai-nilai yang mengekang perempuan karena bisa menghasilkan keuntungan berlipat. Betapa tidak, anggapan bahwa perempuan tidak sepantasnya bekerja menjadi dasar untuk tidak memberikan hak-hak yang sama seperti yang diberikan kepada laki, membedakan upahnya karena tidak dianggap kepala keluarga dan berbagai tindak diskriminasi lainnya. Begitu pula dengan nilai yang menempatkan perempuan pada posisi lebih rendah dan harus dilindungi, menjadi dasar untuk menyingkirkan mereka dalam proses mengambil keputusan.

Banyak nilai dan pola penindasan yang masih berlanjut sampai sekarang. Sekalipun Biro Pusat Statistik mencatat sekurangnya ada 13,2% keluarga yang dipimpin oleh perempuan, dunia industri menutup mata dan terus memberlakukan diskriminasi upah. Pada 1999 diperkirakan 34,9% perempuan berusia 10 tahun ke atas bekerja tanpa bayaran sementara jumlah laki-laki dengan status yang sama hanya 9,4%. Sebaliknya ada 39,2% laki-laki dalam kelompok usia itu yang bekerja di sektor formal sebagai buruh sementara untuk perempuan hanya 29,8%. Tugas “pekerja tidak dibayar” tentu tidak lebih ringan dari mereka yang bekerja di sektor formal. Belakangan ini malah semakin banyak kerja rumahan yang mempekerjakan sebuah keluarga dan menghitung anak-anak perempuan mereka sebagai anggota keluarga yang membantu orang tua (dan karena itu tidak perlu dibayar), dengan beban kerja yang sama bahkan lebih berat dari buruh di sektor formal.

Sementara itu reproduksi sosial yang hampir selalu dilakukan perempuan dan memberi sumbangan sangat berarti bagi kelanjutan sistem pun belum dianggap pekerjaan tapi semata-mata kewajiban perempuan memenuhi kodratnya. Nilai inilah yang menyelamatkan perusahaan multi-nasional yang mengeruk keuntungan besar dan pemerintah untuk menghindari dari kewajiban membayar pajak tinggi dan memberikan pe-layanan sosial yang dapat meringankan beban tersebut. Jutaan perempuan setiap hari bekerja keras selama 10-12 jam untuk merawat rumah tangga, dengan beban semakin berat karena pemerintah terus memotong anggaran sosial demi “pertumbuhan ekonomi” yang menjadi doktrin terpenting dalam kehidupan manusia modern.

Ketimpangan tidak hanya dirasakan dan terlihat di lapangan ekonomi. Di negara industri maju hak perempuan untuk terlibat dalam kehidupan politik baru berhasil ditegakkan dalam seratus tahun terakhir, itu pun sebatas penggembira sistem yang didominasi segelintir laki-laki kalangan elite. Sampai saat ini baru ada sebelas perempuan yang menjadi pemimpin dari 181 negara, sebagian di antaranya adalah keturunan dari dinasti politik yang sebelumnya pernah berkuasa. Di samping itu ada sekitar 13% anggota parlemen yang perempuan, umumnya dari partai-partai yang ikut mem-besarkan dan memelihara sistem yang menindas, sehingga tak banyak harapan akan datangnya perbaikan dari pikiran dan perbuatan mereka.

Kedudukan sebagai presiden, pemimpin partai politik atau anggota parlemen tidak dengan sendirinya menjamin bahwa sistem yang dihidupinya lebih menjamin kepentingan perempuan. Di Indonesia rezim Orde Baru dengan segala korupsi dan kekerasannya berada pada puncak kejayaan justru ketika persentase perempuan di DPR mencapai angka tertinggi dalam sejarah. Cukup jelas bahwa persoalannya bukan sekadar jumlah tapi sistem itu sendiri. Mempersoalkan jumlah tanpa mempertanyakan sistem sama saja dengan mengganti aktor dengan aktris untuk skenario yang sama buruknya. Di bidang kesehatan perempuan menderita persoalan berat karena anggaran yang tak memadai untuk perawatan yang sangat dieprlukan perempuan seperti untuk ibu hamil. Tahun 1997 setiap hari ada 1.830 perempuan yang meninggal setiap hari karena pendarahan, keracunan kehamilan dan infeksi. Alih-alih meningkatkan pelayanan, pemerintah dengan anjuran IMF terus memotong dana kesehatan dan menyerahkan pelayanannya ke pihak swasta yang memasang harga tak terjangkau. Hasilnya dalam waktu lima tahun terakhir angka itu diduga meningkat dua kali lipat, setara dengan jumlah korban kecelakaan 12 pesawat setiap harinya. Namun jika kecelakaan pesawat selalu dianggap bencana yang bisa memakan berhalaman suratkabar selama beberapa minggu, maka berita kematian ibu karena melahirkan biasanya lewat begitu saja seperti halnya kematian Siti Aisah dan ratusan perempuan migran lainnya.

Pola kebijakan dan sikap yang sama terlihat dalam pendidikan. Semakin banyak perempuan di masa krisis yang terpaksa meninggalkan sekolah karena kekurangan biaya dan harus membantu orang tua atau keluarganya bertahan hidup. Belajar di sekolah bagi mereka menjadi kemewahan yang tidak patut dan perempuan yang biasanya dikorbankan untuk menyerahkan kesempatan sekolah kepada para “calon kepala keluarga” yang laki-laki. Dengan bekal pendidikan terbatas mereka bergentayangan di daerah industri untuk menjual tenaga kerjanya dengan harga murah. Sebagian lain tersedot ke dalam industri seks dan hiburan yang juga tidak memerlukan tingkat pendidikan terlalu tinggi.

Hubungan yang timpang yang dipelihara selama berabad-abad dan sistem yang dibuat untuk memelihara ketimpangan itu akhirnya menjadi basis bagi meluasnya kekerasan terhadap perempuan. Penyingkiran secara sosial, ekonomi dan politik membuat perempuan senantiasa berada pada posisi rentan terhadap kekerasan, baik yang dilakukan aparat negara, kalangan swasta maupun anggota keluarganya sendiri. Perempuan kemudian seperti masuk ke dalam lingkaran setan penindasan, karena kekerasan terhadap mereka selanjutnya memperkuat ketimpangan tadi, dan menyediakan antara lain barisan tenaga kerja perempuan yang setia dan taat.

Proses pemiskinan dan kekerasan ini terjadi di tengah semarak kampanye kesetaraan yang menghadirkan segelintir perempuan kelas menengah dan atas sebagai “wanita karir” yang memberi contoh pada apa yang mungkin dicapai perempuan di dunia modern. Tapi seperti kisah budak-budak sukses di zaman dulu karena dijadikan istri atau saudara oleh raja tidak berarti berakhirnya perbudakan, maka kehadiran perempuan kelas menengah ini pun tidak menandai berakhirnya penindasan terhadap perempuan.

———————————————–

DAGANG DAGING $40 MILYAR
Industri pornografi termasuk sektor yang pal ing pesat pertumbuhannya di dunia. Sebuah suvery memperkirakan penduduk Amerika Serikat setiap tahun mengeluarkan $8-10 milyar untuk mendapat majalah, kaset video atau akses ke siaran dan situs internet porno. Peredaran majalah seperti Hustler, Penthouse dan Playboy setiap tahunnya mencapai 200 juta eksemplar, melebihi peredaran majalah berita terkenal seperti Time dan Newsweek.

Keuntungan di sektor ini berlipat-lipat karena biaya produksi biasanya sangat rendah. Modal yang diperlukan untuk sebuah film porno misalnya berkisar antara $20.000 sampai $125.000 sementara pendapatannya bisa mencapai $2 juta. Para pemain biasanya dibayar sangat murah karena dianggap murahan dan tidak bermutu. Mereka hidup terikat dalam kontrak dan juga lingkungan yang penuh kekerasan dan obat bius. Linda Marchiano, yang kemudian dikenal sebagai “bintang porno” bahkan ditodong senjata agar mau berperan dalam film Deep Throat.

Industri pornografi pada dasarnya memperkuat kultur kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan. Sebuah survey oleh majalah Women’s Day mengatakan 21% dari 6.000 pembacanya pernah mengalami serangan atau pelecehan seksual sebagai akibat langsung dari konsumsi pornografi. Studi lain mengatakan tontonan pornografi cenderung membuat laki-laki menjadi lebih agresif terhadap perempuan. Sebaliknya kekerasan seksual juga cenderung mendorong perempuan untuk terlibat dalam industri pornografi. Sekitar 70% perempuan dalam industri ini pernah mengalami serangan seksual atau menjadi korban incest semasa kecil.

Dalam beberapa tahun belakangan kecenderungan melibatkan anak-anak dalam industri ini pun semakin besar untuk melayani konsumen pedofilia yang juga semakin meningkat. Sekarang ini sekitar 7% industri pornografi di Amerika Serikat menjual anak-anak berusia 10-15 tahun yang berhubungan sesama mereka atau dengan orang dewasa. Majalah Hustler misalnya rata-rata menampilkan gambar anak sebanyak 14 kali dalam tiap edisinya.

Banyak tafsir yang coba menjelaskan berkembang pesatnya industri pornografi dalam dunia modern. Tapi agaknya alasan utama adalah $40 milyar yang dihasilkan industri ini setiap tahunnya dan perlindungan tidak langsung dari penguasa yang mendapat bagian dari jumlah itu.

[http://mkb.kerjabudaya.org/mkb082002/pokok_082002/pokok_1_082002.html]

Tidak ada komentar: