Surat Ulu merupakan kumpulan beberapa aksara yang berkerabat di Sumatra sebelah selatan. Yang termasuk kelompok Surat Ulu adalah aksara Kerinci, aksara Rejang-Rencong, dan aksara Lampung. Istilah “kaganga” diciptakan oleh Mervyn A. Jaspan (1926-1975), antropolog di University of Hull di Inggris dalam buku Folk Literature of South Sumatra, Redjang Ka-Ga-Nga texts (Canberra, The Australian National University, 1964) untuk merujuk kepada Surat Ulu.
Jaspan menggunakan istilah Kaganga berdasarkan tiga huruf pertama dalam urutan dalam sistem Surat Ulu. Surat Ulu sendiri merupakan istilah asli yang dipakai oleh masyarakat di Sumatra sebelah selatan. Disebut Surat Ulu karena yang kelompok yang menggunakan aksara ini berada di kawasan ulu (pegunungan) Sumatra, khususnya di Kerinci, Bengkulu, Sumatra Selatan, dan Lampung.
Aksara Surat Ulu diperkirakan berkembang dari aksara Pallawa dan Kawi yang digunakan oleh Kerajaan Sriwijaya. Contohnya dapat kita lihat pada Prasasti Kota Kapur di Kota Kapur, Bangka Barat. Aksara ini berkerabat dengan Batak, yang sama-sama diturunkan dari proto aksara Sumatra, yang berhulu ke aksara India. Diperkirakan, dahulu seluruh Pulau Sumatra, dari Aceh di ujung utara sampai Lampung di ujung selatan, menggunakan aksara yang berkerabat dengan kelompok Surat Ulu ini.
Aksara Kaganga ini secara garis besar ada tiga jenis: aksara Kerinci, aksara Melayu Pertengahan atau aksara Rencong Rejang, dan aksara Lampung. Wilayah penggunaan aksara Surat Ulu terbentang di seluruh bagian selatan Sumatra. Ragam bahasa yang dipergunakan adalah dialek “Melayu Pertengahan”, Lampung, dan Rejang. Bahasa Kerinci mungkin merupakan dialek Melayu atau Rejang.
Mula-mulanya, para peneliti Belanda memakai istilah aksara Rencong untuk merujuk pada aksara-aksara yang beredar di kawasan selatan Sumatra ini. Menurut sebuah sumber, aksara ini telah digunakan sebelum abad ke-3 M. Orang-orang Melayu Kuno menulisnya di atas kulit-kulit kayu, kulit binatang, daun-daun rontal, kepingan-kepingan logam, bambu, tanduk kerbau, dan kulit kayu, juga batu.
Kebanyakan teks-teks naskah Surat Ulu menceritakan kepahlawanan, hukum, surat resmi untuk mengesahkan hak kepemilikan tanah tradisional, mantra, sihir, guna-guna, obat-obatan, hingga syair mistik Islam. Ada pula syair percintaan, yang dikenal sebagai bandung atau hiwang di Lampung dan juarian di Rencong. Syair percintaan yang berbentuk dialog ini ditulis pada keping atau lembar bambu—disebut gelumpai—diikat jadi satu dengan tali melalui lubang di ujung satu serta diberi nomor berdasarkan urutan abjad. Ada pula yang menorehkannya pada tabung bambu dan kulit kayu berlipat.
Ketika berhadapan dengan teks Al Quran, mereka mendapati aksara Surat Ulu tidak sesuai dengan sistem bunyi aksara Arab, aksara tersebut tak mampu merekam bunyi kosa kata baru dari Al Quran dan Hadis dengan tepat. Jadi, daripada mencipta atau menambah huruf baru pada aksara Rencong, mereka memilih untuk meninggalkan aksara tersebut. Sebaliknya, mereka bereksperimen dengan huruf-huruf Arab dalam mengeja bahasa Melayu. Lahirlah jenis tulisan baru, yaitu Jawi, yang berasaskan huruf-huruf Arab dengan beberapa huruf tambahan dan digunakan dalam dunia persuratan bahasa Melayu. Walau begitu, Surat Ulu tetap digunakan di Minangkabau, Sumatra Selatan, dan Bengkulu hingga abad ke-18, sebelum Belanda berhasil menaklukkan wilayah-wilayah tersebut.
Aksara Rencong-Renjang dan Aksara Kerinci
Aksara Rencong-Rejang dan aksara Kerinci tak banyak perbedaan. Secara geografis, wilayah Rejang-Lebong terletal di Provinsi Bengkulu, sedangkan Kerinci terletak di Provinsi Jambi. Dari bentuknya, kedua aksara ini hampir sama, hanya jumlah aksara yang berbeda. Untuk aksara Kerinci, hanya ada satu naskah beraksara ini yang berada di luar Indonesia.
Rencong adalah kata Melayu yang berarti “serong”. Maka dari itu, tampilan grafis aksara ini miring atau serong. Ada yang berpendapat bahwa aksara ini diciptakan oleh orang-orang Melayu dengan meniru bentuk-bentuk cabang, ranting, potongan kayu, dan bentuk aliran sungai. Ada pula yang mengatakan, salah satunya sarjana Belanda bernama Petrus Voorhoeve, bahwa aksara ini merupakan turunan aksara Pallawa yang disederhanakan bentuknya. Penyederhanaan ini terlihat dari bentuknya yang bersudut daripada garis melengkung, untuk menyesuaikan dengan media tulis bambu atau tanduk tempat aksara ditorehkan. Disebutkan pula bahwa ada pengaruh Arab pada aksara-aksara Sumatra Selatan.
Berikut tabel aksara Rencong berikut contohnya bila menghadapi penanda vokal/diakritik, penanda-penanda lain, dan penanda mati/bunuh.
Untuk lebih detailnya, berikut tabel penanda vokal atau diakritik, penanda bunuh/mati, dan penanda-penanda lainnya dalam sistem aksara Rencong.
Aksara Rencong (dan juga aksara-aksara Sumatra dan Jawa) masih memperlihatkan ciri kesukataannya dari Indianya, di mana setiap huruf mewakili pembuka suku kata konsonan-vokal. Artinya, vokalnya adalah a, vokal lain dibedakan oleh diakritik yang ditempatkan sebelum, sesudah, di bawah, atau di atas huruf konsonannya.
Ada pun di bawah ini tabel aksara Kerinci.
Aksara Lampung serta Bahasanya
Dari semua aksara Surat Ulu, aksara Lampung lain sendiri. Aksara ini telah dibahas oleh Prof. Karel Frederik Holle, Tabel van Oud en Nieuw Indische Alphabetten (Batavia, 1882), dan walau selintas disinggung juga oleh Prof. Johannes Gijsbertus de Casparis, Indonesian Palaeography: A History of Writing in Indonesia (Leiden, 1975). Prof. K.F.Holle berpendapat, cuma sedikit suku-suku di Nusantara yang memiliki aksara sendiri, dan sebagian besar suku-suku tidak memiliki aksara, dan baru mengenal aksara setelah menerima Islam, yaitu huruf Arab-Melayu.
Aksara Lampung terdiri dari dua puluh huruf: ka–ga–nga–pa–ba–ma–ta–da–na–ca–ja–nya–ya–a –la–ra–sa–wa–ha–gha. Aksara Lampung ditulis dan dibaca dari kiri ke kanan. Aksara ini terdiri dari huruf induk, anak huruf, anak huruf ganda dan gugus konsonan, juga terdapat lambang, angka, dan tanda baca.
Bentuk, nama, dan urutan huruf induk bisa dilihat pada tabel di bawah.
Bentuk tulisan yang masih berlaku di daerah Lampung pada dasarnya berasal dari aksara Pallawa, India Selatan, yang diperkirakan masuk ke Pulau Sumatra semasa kejayaan Kerajaan Sriwijaya. Macam-macam tulisannya fonetik berjenis suku kata yang merupakan huruf hidup seperti dalam aksara Arab, dengan menggunakan penanda fathah di baris atas dan kasrah di baris bawah, tetapi tidak memakai penanda dammah di baris depan melainkan di belakang. Masing-masing tanda memunyai nama tersendiri. Dengan begitu, aksara Lampung dipengaruhi dua unsur, yakni aksara Pallawa dan huruf Arab.
Aksara Lampung memiliki banyak kesamaan dengan aksara Batak, Bugis, dan Sunda Kuno. Tetapi bukan berarti yang satu meniru yang lain, melainkan aksara-aksara tersebut memang bersaudara, sama-sama diturunkan dari aksara India. Persis sama halnya dengan aksara Latin dan aksara Rusia yang sama-sama diturunkan dari aksara Yunani, yang pada mulanya berasal dari aksara Phoenisia. Jadi di dunia ini tidak ada aksara yang murni, sebab pembauran antarbudaya di muka bumi berlangsung sepanjang masa.
Berikut contoh naskah aksara Lampung dari kulit kayu lipat.
Karya-karya ilmiah tentang bahasa dan aksara Lampung semuanya memakai “r” untuk menuliskan huruf atau fonem ke-16 aksara Lampung. Gelar (adok) dan nama tempat harus dituliskan dengan ejaan r, meski dibaca mendekati bunyi kh, misalnya Pangiran Raja Purba, Batin Sempurna Jaya, Radin Surya Marga, Minak Perbasa, Kimas Putera, Marga Pertiwi. Penulisan “radu rua rani mak ratong” merupakan ejaan baku, sedangkan penulisan “khadu khua khani mak khatong” tidaklah baku.
Sementara itu, penelitian ilmiah tentang bahasa dan aksara Lampung dipelopori oleh Prof. Dr. Herman Neubronner van der Tuuk melalui artikel “Een Vergelijkende Woordenlijst van Lampongsche Tongvallen” dalam jurnal ilmiah Tijdschrift Bataviaasch Genootschap (TBG), volume 17, 1869, hal. 569-575, serta artikel “Het Lampongsch en Zijne Tongvallen”, dalam TBG, volume 18, 1872, hal. 118-156, kemudian diikuti oleh penelitian Prof. Dr. Charles Adrian van Ophuijsen melalui artikel “Lampongsche Dwerghertverhalen” dalam jurnal Bijdragen Koninklijk Instituut (BKI), volume 46, 1896, hal. 109-142. Juga Dr. Oscar Louis Helfrich pada 1891 menerbitkan kamus Lampongsch-Hollandsche Woordenlijst. Lalu ada tesis Ph.D. dari Dale Franklin Walker pada Universitas Cornell, Amerika Serikat, yang berjudul A Grammar of the Lampung Language (1973).
Menurut Prof. C.A. van Ophuijsen, bahasa Lampung tergolong bahasa tua dalam rumpun Melayu-Austronesia, sebab masih banyak melestarikan kosakata Austronesia purba, seperti: apui, bah, balak, bingi, buok, heni, hirung, hulu, ina, ipon, iwa, luh, pedom, pira, pitu, telu, tuha, tutung, siwa, walu, dsb. Prof. H.N. van der Tuuk meneliti kekerabatan bahasa Lampung dengan bahasa-bahasa Nusantara lainnya. Bahasa Lampung dan bahasa Sunda memiliki kata awi (bambu), bahasa Lampung dan bahasa Sumbawa memiliki kata punti (pisang), bahasa Lampung dan bahasa Batak memiliki kata bulung (daun). Hal ini membuktikan bahwa bahasa-bahasa Nusantara memang satu rumpun, yaitu rumpun Austronesia yang meliputi kawasan dari Madagaskar sampai pulau-pulau di Pasifik.
Kepustakaan
McGlynn, John H. dkk. 2002. Indonesian Heritage 10 (Bahasa dan Sastra). Jakarta: Buku Antar Bangsa.
Anshory, Irfan. 2009. “Bahasa dan Aksara Lampung” dalamhttp://irfananshory.blogspot.com/2009/12/bahasa-dan-aksara-lampung.html
http://rejang-lebong.blogspot.com/2009/04/history-of-rencong-script.html
http://edukasi.kompasiana.com/2009/12/30/mengenal-tulisan-kagana/
1 komentar:
nice
Posting Komentar