Senin, 28 Juni 2010

Psikopatologi Kolonialisme

Penduduk Singapura pada suatu masa pernah secara kolektif beranggapan bahwa jalan di sepanjang Kota London, di Kerajaan Britania Raya yang agung, dilapisi oleh emas. Para penduduk berkulit kuning itu begitu kagum dengan negeri penakluk lautan dan benua, tempat lahir pendiri negara Singapura, yang berkulit pucat dan bermata biru.

Dalam satu ruangan kelas, di sebuah institut teknologi yang penduduknya berkulit sawo matang, seorang perwakilan perusahaan telekomunikasi dari negeri utara nun jauh, yang penduduknya berkulit pucat dan berambut jagung, berceramah penuh semangat, mereka kagum dengan tingkat penerimaan konsumen di negeri yang penduduknya berkulit sawo matang itu, terhadap setiap produk baru yang mereka luncurkan. Setiap ada produk baru dengan teknologi tambahan yang mereka luncurkan, konsumen selalu antusias menyambutnya, dan anehnya setiap kali harganya turun, turun pula tingkat penjualannya. Si perwakilan perusahaan ini juga bercerita salah satu pengalaman unik mereka, pernah mereka meluncurkan produk yang berteknologi 3G sebagai upaya tes selera konsumen, dan produk 3G langsung diserbu oleh konsumen dengan sangat antusias. Anehnya lagi, pada masa itu,infrastruktur di negara berpenduduk sawo matang itu belum mendukung penggunaan teknologi baru itu, lalu kenapa mereka antusias membelinya jika tak dapat digunakan ? Apakah produk telekomunikasi itu akan fungsional, atau asesoris ? Yah, semakin senanglah perwakilan perusahaan dari negeri berpenduduk pucat dan berambut jagung tadi, mereka membanggakan sebuah negeri yang pasarnya sangat sangat potensial untuk menjadi pasar utama semua produk mereka, yaitu negeri sawo matang. Toh mereka tidak peduli dengan fungsionalitas, mereka hanya butuh asesoris bukan ?

Tahun 1990, di sebuah benua yang disimbolkan berwarna biru, dalam sebuah perebutan bola oleh 22 orang lelaki, seorang berkulit hitam dengan lincah mengecoh sang kiper dan membuat gol. Dia bergoyang merayakan kemenangannya, dia berharap bahwa akan ada suatu masa, dimana kaumnya, manusia- manusia berkulit hitam, akan mampu mengalahkan kaum kulit pucat, untuk berebut bola. 20 tahun kemudian, di benua yang semua wilayahnya pernah diklaim dikuasai oleh kaum kulit pucat, walaupun penduduknya sebagian besar berkulit hitam, terjadi momen besar dalam rangka mencari yang terbaik dalam soal perebutan bola oleh tim berisi 11 lelaki, dari seluruh dunia. Namun, kaum si lelaki berkulit hitam tadi nampaknya tak bisa bicara banyak. Mereka cukup menjadi penyelenggara dan penonton di benua mereka sendiri, bukan pemenang, mereka kalah budaya.

Kembali ke negara yang penduduknya mayoritas sawo matang, mereka beranggapan bahwa di dalam tanah yang mereka injak itu, ada harta luar biasa besarnya, dan mereka merasa dirinya sudah kaya. Nun jauh di wilayah negara itu, yang penduduknya berkulit hitam, sebuah perusahaan milik manusia berkulit pucat, menggali gunung emas terbesar di dunia, dan mereka bilang itu bukan emas, tapi tembaga! Di pulau yang mayoritas penduduknya tinggal di situ, sebuah perusahaan milik manusia berkulit pucat lain, berebut sumber energi yang tak akan habis, panas bumi. Penduduk berkulit sawo matang selalu diajari bahwa mereka harus merasa kaya, karena adanya harta karun terpendam di tanah yang sekarang sedang mereka injak, tapi cukuplah dengan merasa kaya, karena kekayaan sesungguhnya dinikmati oleh manusia lain nun jauh, yang membuai mereka seolah- olah mereka masih kaya. Manusia- manusia berkulit pucat itu lebih mengetahui apa dan berapa harta yang ada di dalam tanah, mereka mampu mengolahnya, dan penduduk berkulit sawo matang itu, tidak tahu sama sekali, apa dan berapa yang dimaksud dengan harta karun terpendam, untuk mengolahnya, apalagi menikmatinya.

Bolehlah sebuah kaum mengklaim bahwa mereka telah merdeka, secara politik. Namun, efek kolonialisme yang bertahan jangka panjang adalah sifat inferioritas, rendah diri. Rasa kagum secara kolektif yang terdapat dalam satu kumpulan orang terhadap pencapaian prestasi sekumpulan orang lain ternyata berbanding lurus dengan rasa rendah diri dan ketidakmampuan untuk berdiri di atas kaki mereka sendiri, menentukan akan kemana mereka melangkah . Kolonialisme, yang secara substansial adalah penguasaan sekelompok kaum dengan akumulasi pengetahuan lebih banyak, terhadap sekumpulan kaum lain, yang tidak mendapat akses pengetahuan, membuat efek reproduksi budaya, imitasi status sosial, berikut destruksi identitas, dan ujung- ujungnya adalah perluasan pasar hasil produksi. Adalah sebuah keanehan manakala suatu kaum bangga berstatus sebagai pasar potensial terbesar, tanpa merasa terdorong untuk memproduksi sesuatu dan mampu memperdagangkannya, padahal mengakunya punya sumber daya alam berlimpah, ah!

Obat, solusi dari psikopatologi kolonialisme, adalah kemauan penguasaan atas pengetahuan, episteme maupun techne.Pengetahuan itu adalah tentang diri mereka sendiri, maupun segala sesuatu di luar dirinya. Teknik itu adalah strategi untuk membuat pengetahuan menjadi lebih memperadabkan sesama manusia.

Terinspirasi Oleh :

Frantz Omar Fanon, The Wretched of the Earth
Kishore Mahbubani, Can Asian Think ?



Mau dapat uang Gratis, dapat kan di http://roabaca.com/forum/index.php/topic,87.0.html

Tidak ada komentar: