ABSTRAK
Manuskrip La Galigo adalah warisan orang Bugis. Ia pada intinya mengandungi empat aspek: keagamaan, kitab suci, tradisi dan kesenian. Sebelum menganut Islam, orang Bugis mempercayai ajaran daripada La Galigo bahwa Dewa tertinggi mereka adalah Patotoqé yang bermukim di Boting langiq dan Dewi Sinauq Toja yang bermukim di Buri Liu. Kepercayaan itu telah melahirkan upacara dan tradisi yang sampai kini masih dapat ditemui dalam kebudayaan orang Bugis. Penjaga dan penyelamat La Galigo adalah Bissu dan Sanro. Kalau Bissu adalah pendeta banci yang berfungsi sebagai penghubung antara manusia dengan dewa, maka Sanro pula adalah pengamal yang berada di belakang layar dan bertugas menyediakan peralatan dan bahan-bahan serta alat upacara.
Hampir setiap upacara biasa manusia, penurunan padi, naik rumah dan sebagainya selalu ada Sanro dan Bissu. Gambaran itu memperlihatkan kaitan La Galigo dengan agama, tradisi dan kesenian. Kenyataan ini memperlihatkan betapa rumitnya kesenian tradisi itu. Di dalamnya terdapat kuasa dalaman yang bersangkut paut dengan sukma pemilik kesenian itu. Oleh itu, orang yang ingin mengusung kesenian sakral di luar konteksnya tanpa memperhitungkan kesakralannya dan perasaan pendukungnya, akan mendapati sukma ini akan kehilangan auranya, dan yang tertinggal cuma onggokan kreativiti yang tidak berjiwa.
Kata kunci: La Galigo, sumber maklumat, kebudayaan, orang Bugis
ABSTRACT
The La Galigo manuscript is the priceless inheritance for Buginese. It includes of four aspects as its essence. They are religion, sacred book, tradition and art, Before Islam came, Buginese believed La Galigo as a view of life whorshiping the highest God namely Patotoqé who stays in Botting langiq and also Dewi Sinauq Toja who stays in Buri Liu. This faith has spawn ceremonies and traditions that persist in Buginese culture until nowadays. The guardian and savior of La Galigo are Bissu and Sanro. If Bissu is a transvestite priest who has a duty to connect human life to the god, then Sanro is a behind-the screen practitioner who provides all the equipment needed for the ceremony. Almost in every human traditional ceremony, including harveting of grain and entering a new house, Sanro and Bissu are there. This shows La Galigo has strong connection with religion, tradition and art. It also reflects the complexity of the traditional art. There is an inner power which involves spirit of the owner.
Thus, those people who want to perform the sacred art beyond the context without considering the sanctity and feeling of the owners wouldl loose the aura of art and what remains is an unspirit creativity.
Key words: La Galigo, information sources, Buginese, culture
PENDAHULUAN
Tulisan ini coba mengulas unsur-unsur agama yang bersangkut-paut dengan tradisi dan kesenian yang menyertai karya-karya sastera klasik, termasuk La Galigo di Sulawesi Selatan, Kisah La Galigo dimulai ketika Patotoqé (Sang pencipta) di Boting langiq (kerajaan langit) menurunkan puteranya La Togéq Langiq, bergelar Batara Guru setelah turun di dunia, ke bumi untuk mengisi dunia tengah yang kosong. Pada saat ia diturunkan ke bumi, seluruh alam menyambutnya dengan member semangat kepada Batara Guru sebagai ucap selamat berpisah kepada dunia langit dan selamat datang ke dunia tengah, dunia manusia. Ia ditempatkan di sebuah bambu dan meluncurlah ia di atas bumi atas nama sabda dewata. Di dalam bambu betung, tempat ia berbaring, ia diusung oleh kilat yang sabung menyabung, angin bertiup kencang mengayunkannya turun, guntur menggelegar membelah langit memberinya jalan, pelangi berdiri tegak menyambutnya, dan awan berjejer melindunginya. Hal yang sama juga berlaku ketika Wé Nyiliq Timoq, puteri Guru Ri Selleng (Dewa bawah laut) dan Sinauq Toja, calon isteri yang masih bersepupu dengan La Togeq Langiq, akan dimunculkan dari kerajaan Buri Liu (kerajaan Bawah laut). Ia diusung di atas busa air, diiringi ombak yang bergemuruh, dinaungi awan, serta angin dan guntur menggelegar. Kesemua gerak geri alam itu ibarat majlis untuk menyambutnya.
Yang ingin saya nyatakan dari peristiwa luar biasa itu adalah untuk menjelaskan bahawa anak dewa itu telah meletakkan dasar kehidupan. Dengan kehidupan itulah orang Bugis memaknakan dunia ke dalam satu tatanan yang harmoni, antara manusia dengan alam dan antara dunia bawah dan dunia atas. Lewat konsep harmoni itulah orang Bugis menjalani kehidupannya tidak hanya di darat, tetapi juga di laut. Belayar dan mengembara untuk mencari tempat yang lebih damai adalah proses pencarian jati diri dengan keharmonisan yang tertata secara alami seperti sebuah simfoni abadi.
Menurut kepercayaan itu, maka sejak saat itu kehidupan manusia berlangsung di dunia tengah, Alé Kawaq (batang tubuh dunia). Anak manusia pun beranak dan bercucu meramaikan dunia dengan isinya seperti contoh kehidupan yang telah digariskan Sang Patotoqé. Begitulah asal usul dunia diciptakan seperti yang dikisahkan dalam kisah tua, epik La Galigo yang berdasarkan ribuan halaman manuskripnya dan jalinan perwatakannya yang berbelit-belit Kern (1939: 1) dan Sirtjo Koolhof (1995: 1) menempatkannya sebagai karya terpanjang di dunia, kerana ia lebih panjang daripada epik India, Mahabarata dan Ramayana serta epik Yunani Homerus.
DATANGNYA ISLAM KE SULAWESI SELATAN
Menjelang abad ke-16 muncullah perkembangan baru dalam buku sejarah tentang perjalanan orang Bugis setelah rasminya mereka menganut Islam sebagai agama rasmi kerajaan Bugis/Makassar. Islam masuk ke wilayah ini tidak melewati perang, tetapi jendela kebudayaan. Itulah sebabnya sehingga kini perkembangan ajaran Islam di Sulawesi Selatan adalah sebegitu cepat dan teratur.
Hal itu juga disebabkan banyaknya ajaran Bugis adalah sejalan dengan ajaran Islam: yang fitrah dan universal. Meskipun begitu, sisa-sisa agama lama orang Bugis tidak dapat dihakis begitu sahaja oleh ugama Islam. Dalam bab Bugis Religion yang termuat dalam buku The Encyclopedia of Religion, Mircea Eliade (1983), antara lain berkata bahawa meskipun orang Bugis telah menjadi Muslim dan beriman, tetapi mereka masih mengekalkan sebahagian tradisi yang bersumberkan elemen pra-Islam, seperti Bissu dan kitab suci La Galigo.
Pelbagai ajaran Islam dan Bugis yang mengandungi jiwa dan unsur yang sama telah diadaptasikan dan didialogkan yang kemudiannya memancarkan warna-warni kebudayaan Islam dengan wajah Bugis, atau kebudayaan Bugis dengan wajah Islam.
Tidaklah hairan kalau kita menemui doa Bissu yang menyebut Patotoqé sebagai Dewata Séuawaé (dewata yang tunggal) yang disesuaikan daripada konsep Allah yang Maha Esa, wahal dalam La Galigo, Dewa tidaklah tunggal, kerana ia beranak-pinak atau sebaliknya. Selain itu, kita juga menemui konsep siriq yang kemudian diadaptasikan dengan konsep jihad. Kemuncak kepada kesemua itu adalah dikukuhkannya Islam dalam sistem Pangngaderreng di Sulawesi Selatan yang merupakan falsafah hidup orang Bugis, tidak kira sama ada sebagai individu mahupun sebagai anggota masyarakat. Ada lima unsur
yang saling mengukuhkan konsep Pangngaderreng ini:
1. wariq (sistem protokoler kerajaan),
2. adeq (adat-istiadat),
3. bicara (sistem hukum),
4. rapang (pengambilan keputusan berdasarkan perbandingan), dan
5. saraq (syariat Islam).
Empat unsur yang pertama itu dipegang Pampawa Adeq (pelaksana adat), sedangkan yang terakhir dipegang Paréwa Saraq (perangkat syariat). Oleh kerana itu, bila kita memetakan kehidupan beragama masyarakat Bugis dewasa ini, maka dapat dilihat dalam tiga wajah sekaligus, pertama, Islam militan, yang menjalankan syariat Islam secara konsisten dan benar, kedua, sinkritisme, penganut Islam yang konsisten menjalankan syariat Islam, tetapi masih melaksanakan tradisi yang berkaitan ajaran lama mereka, ketiga, penganut agama To ri olo (To Lotang, To Kajang, Toraja), yang terbahagi kepada dua:
1. Penganut Islam KTP yang masih setia melaksanakan ajaran leluhur mereka, pelaksanaan syariat Islam hanya sebatas pada upacara kematian.
2. Penganut To Ri Olo murni, ini kemudian dimasukkan pemerintah sebagai agama Hindu, seperti yang terjadi pada kepercayaan To Lotang.
Sementara itu, dalam kepercayaan Aluq To Doloq di Toraja, dengan sebahagian penduduknya beragama Kristen, juga terdapat perkembangannya seperti Islam di atas, yakni ada penganut Kristen setia, sinkritisme dan penganut agama Aluq To Doloq murni.
LA GALIGO SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMA
TRADISIONIL ORANG BUGIS
Sebagai kitab suci dan sumber agama bagi penganut agama To ri Olo orang Bugis, La Galigo mewariskan sejumlah tradisi yang saling kait-mengait dengan pelbagai upacara suci dan sakral. Dalam upacara suci dan sakral itu selalu diiringi pemotongan haiwan dan pembacaan sureq La Galigo. Menurut Tol, tidak ada pembacaan teks La Galigo tanpa diiringi ritual. Sebelum dibaca harus ada persembahan sajian, dupa atau pemotongan ayam atau kambing. Membaca salah satu fragmen La Galigo boleh menyembuhkan penyakit, tolak bala dan sebagainya (1990:10).
Begitulah juga dengan upacara, mappano bine (upacara menidurkan benih padi) menjelang tanam padi, maccéraq tasiq upacara persembahan dewa laut, ménréq baruga upacara peresmian balai rung tempat berlangsungnya upacara keduniaan; mattemu taung mengunjungi dan menziarahi kuburan leluhur mereka dan lain-lain. Semua upacara itu dibarengi pelbagai kesenian dan pembacaan episod La Galigo yang episodnya disesuaikan dengan isi dan upacara yang berlangsung. Kesenian yang mengiringinya antara lain séré bissu (joget bissu) maggiriq (para bissu menari sambil menusuk badannya dengan badik) massureq (membaca La galigo), maggenrang (bermain gendang), massuling lontaraq (meniup suling diiringi nyanyian La Galigo), mallae-lae dan sebagainya.
Seluruh rangkaian upacara ini dilaksanakaan dalam tiga komponen yang saling melengkapi. Pertama, Bissu, pendeta banci yang bertugas memimpin upacara ritual. Menurut Fachruddin, istilah Bissu mempunyai persamaan dengan istilah Biksyu dalam agama Budha. Ini membuktikan adanya pengaruh agama Budha yang kurang mendalam di Sulawesi Selatan (1983:30). Penampilan Bissu itu mirip banci. Penampilan fizik seperti itu dimaksudkan agar mereka dapat melepaskan diri dari tuntutan biologi terhadap lawan jenisnya (Nurhayati Rahman 1998:54). Dengan demikian, hubungan Bissu dengan para dewa tidak pernah putus. Menurut Hooykaas, selain berperanan para bissu zaman dahulu juga sebagai pendeta agama juga berupaya menjaga puteri-puteri raja, khususnya ketika mereka sedang mandi atau mengganti pakaian (Nurhayati 2006: 56).
Umumnya Bissu adalah laki-laki; namun terdapat juga wanita tetapi bilangannya sedikit. Bissu mempunyai bahasa mereka sendiri untuk berkomunikasi sesame mereka, dan berkomunikasi dengan Tuhan. Selain itu, Sanro, pula adalah pengamal di belakang layar dengan tugas utama menyiapkan seluruh perlengkapan upacara. Selain itu, Passureq, adalah pembaca dan penembang La Galigo.
Pendek kata, Bissu, sanro, passureq dan dewan adat adalah empat orang Bugis yang memelihara dan mengawal La Galigo yang berada di garda paling depan. Mereka mempertaruhkan apa sahaja demi kesucian ajaran La Galigo. Oleh sebab itu, mereka pernah ditangkap, bahkan dibunuh pada zaman DI-TII (Darul Islam - Tentera Islam Indonesia) yang berkecamuk di Sulawesi Selatan. Mereka pernah dipaksa menjadi Hindu atau dirazia melalui “operasi tobat” di zaman Orde Baru. Adalah tidak benar kalau La Galigo diterlantarkan orang Bugis seperti yang banyak dilangsir pelbagai media selama ini.
REVITALISASI KESENIAN LA GALIGO
Bukan semua tradisi yang lama harus diterima sebagai sumber ajaran dan nilai yang mutlak. Ini disebabkan ada yang lama itu sudah tidak lagi sesuai dengan kehidupan kini. Namun, tidak sedikit daripada nilai yang lama itu tetap diperlukan untuk menghadapi cabaran masa depan, lebih-lebih lagi arus globalisasi yang bukan sahaja sangat komplek, tetapi juga mengaburkan batasbatas identiti bangsa. Begitulah yang dapat kita lihat dalam La Galigo yang menyimpan banyak kearifan lokal yang perlu dijaga kelangsungannya. Tradisi membaca La Galigo sudah mulai hilang di kalangan generasi muda ekuran pergantian media komunikasi, baik audio mahupun audio-visual. Begitu juga dengan kesenian tradisi membaca La Galigo dan kesenian lain yang mengandungi nilai yang tinggi, yang sesuai dan masih diperlukan untuk mengisi jiwa nurani yang kosong. Nilai La Galigo akan tetap hidup seperti asalnya sampai bila-bila juga, meskipun dengan warna dan situasi yang berbeda.
Sementara itu, tradisi penurunan seni dan kebudayaan lain yang berkaitan La Galigo nyaris terputus pada generasi muda sekarang. Dalam penyelidikan yang kami lakukan tentang pentingnya revitalisasi kesenian di Sulawesi Selatan yang difokuskan pada seni tradisi yang berhubungan La Galigo, kami menemui dua sebab tradisi itu terancam, malahan mengalami kepunahan di Kabupaten Pangkep, Barru, Wajo dan Luwu. Pertama, ancaman luaran dari serbuan teknologi maklumat dari pusat ke daerah tanpa pilihan, terutamanya muzik pop dan dangdut. Kini, muzik baratlah yang menjadi hiburan dan rujukan utama generasi muda dalam setiap majlis dan perayaan mereka. Hal ini menjadi lebih parah lagi dengan sistem pendidikan dan kebijakan pemerintah yang tidak menghirau kelangsungan seni tradisi. Huruf lontaraq, misalnya, yang menjadi asas seni tradisi pembacaan La Galigo (massureq/masselléyang) sudah tidak dapat dibaca generasi muda. Kedua, ancaman dalaman dari pemilik tradisi seni yang sebahagian besar, tetua adatnya menabukan untuk mengajar seni, khususnya yang bersifat sakral kepada generasi muda. Ketua adat sangat khuatir apabila mengajar generasi muda, maka pantang larang yang sudah digariskan oleh leluhur sejak dahulu itu tidak lagi diberi perhatian.
Banyak seniman tradisi sudah uzur. Usia mereka rata-rata 55 – 70 tahun. Jika boleh hidup 5 tahun lagi, maka dalam masa 5 tahun mendatang tradisi di Sulawesi Selatan akan hilang ditelan masa. Oleh itu, diperlukan tindakan segera untuk menyelamatkannya. Program revitaliasi kesenian amat diperlukan untuk menghidupkan tradisi yang sudah mengalami ancaman dan kepunahan itu dengan mengisinya semangat dan roh kembali.
KETERKAITAN ANTARA UGAMA TRADISI DAN SENI DALAM LA GALIGO
Yang dipaparkan di atas menyatakan bahawa agama, tradisi dan kesenian dalam La Galigo itu sudah membentuk suatu rangkaian dan sistem yang structural dan fungsional. Karya La Galigo sendiri adalah teks sastera dengan lima suku kata pada setiap larik sehingga ribuan bait, dengan alurnya yang datar, kilas balik dan pembayangan, kerumitan sifat perwatakannya, dan temanya yang rumit itu telah membuat orang susah memahami bagaimana karya sastra lama ini memiliki semua dimensi sastra modern. Itulah yang membuatnya dipandang sebagai karya agung. Ia juga dianggap sebagai karya suci oleh Koentjaraningrat yang mengatakan juga:
Sastra suci atau mitos merupakan endapan seluruh cita-cita, anggapan, pandangan hidup dan kepercayaan orang-orang dalam masyarakat yang bersangkutan. Itulah sebabnya prinsip-prinsip yang ada dalam mitos juga merupakan prinsip-prinsip yang menjadi pedoman untuk sebagian besar aktivitas kehidupan masyarakat dan kebudayaan padatempat-tempat mitos itu hidup. Dalam mencari prinsip-prinsip mitos orang akan dapat pula menentukan prinsip-prinsip dalam masyarakatnya (1985: 240).
Meskipun sekarang kedudukan La Galigo sudah tertekan oleh pengaruh agama Islam, pemodenan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun sisa kebudayaan lama orang Bugis yang terkandung dalam ajaran La Galigo itu masih tetap ditemui dalam kebudayaan orang Bugis masa sekarang. Ini ternyata di beberapa desa yang kami kaji baru-baru ini, terutamanya di Bungoro dan Buloé. Dalam itu, kami dapati ada orang memerlukan untuk najenneki timunna (mensucikan mulutnya) sebelum menyebut nama Sawérigading (tokoh utama dalam La Galigo). Mattulada sengaja tidak memasukkannya sebagai sastera Bugis, kerana bimbang akan menyinggung perasaan orang Bugis yang masih menganggapnya sebagai teks keagamaan dan sakral (1985: 19). Menurut Matthes, ia masih menjumpai orang Bugis yang mengharapkan kuasa ghaib pada syair-syair La Galigo ketika berkunjung ke Kabupaten Sidenreng Rappang tahun 1852, sehingga apabila ada orang sakit, maka ia diminta untuk membaca beberapa syair La Galigo sebagai permohonan doa (Kern 1939: 9) Kita juga perlu berhati-hati ketika menghadapi pelbagai kitab suci lainnya, meskipun teksnya ditulis dalam bahasa sastera yang tinggi, tetapi tidak ada penganut ugama tersebut yang ingin menganggapnya sebagai karya sastera.
Oleh itu apabila kita ingin mentransformasikan karya ini ke dalam bentuk seni yang lain, termasuk teater, aspek kesakralan dan keterkaitannya dengan kepercayaan hendaklah diberi perhatian utama. Ada dua syarat diperlukan ketika ingin mengangkat karya sastera seperti La Galigo ke pentas teater. Pertama. kalau memakai judul La Galigo, kita harus mengikuti alur ceritanya dengan disertai interpretasi yang mampu menempatkannya dan menangkap seluruh sukma karya yang bersangkutan. Ini tentu sahaja adalah unik bila diberi sentuhan artistik dan interpretasi panggung yang modern. Kedua, kalau tidak sama dengan alur cerita dan khayalan seniman, kita tidak boleh menggunakan judul La Galigo, dan terpaksa menggunakan judul yang lain, elok disebut sebagai “terinspirasi dari cerita La Galigo”
PENUTUP
Perbincangan di atas menyatakan bahawa La Galigo, malahan hampir kesemua seni tradisional di Sulawesi Selatan, ada kaitannya dengan agama, tradisi dan kesenian. Hal ini menunjukkan rumitnya kesenian tradisional, maka tidaklah mudah seperti yang dibayangkan. Ini disebabkan di dalamnya terdapat kuasa dalaman yang bersangkut paut dengan sukma pemilik seni itu. Oleh itu, bila ingin mengangkat sebuah kesenian sakral di luar konteksnya tanpa memperhitungkan kesakralannya dan perasaan pendukungnya, sukma itu akan hilang auranya. Yang tertinggal hanyalah sebuah onggokan kreativiti yang tidak berjiwa.
Sumangeq dan ininnawa begitulah orang Bugis menyebut “sukma” dan “hati nurani” dari prinsip-prinsip hidup yang diwarisinya dari La Galigo. Melalui sumangeq dan ininnawa itulah mereka mengarungi seribu dunia dan menerjemahkannyanya ke dalam kehidupan dunia kekinian. Kuruq sumangeq Puang Ponratu, rini sumangeq to ri langiqmu
RUJUKAN
Ambo Enre, Fachruddin. 1983. Ritumpanna Welerengnge: Telaah Filologis SebuahEpisode Sastra Bugis Klasik Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Eliade, Mircea (ed). 1983. Bugis Religion DLM The Encyclopedia of Religion. New York: MC. Millan
Kern, R. A. 1939. Catalogus van de Boegineesche tot de I La Galigocyclus Behoorende Handschriften der Leidsche Universiteitsbibliotheek. Leiden: Universiteitsbibliotheek.
Koentjaraningrat. 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
_________. 1992. Dutana Sawerigading: Een Scene uit de I La Galigo. Skripsi, Universitas Leiden.
. 1995. Pengantar dalam La Galigo Jilid I. Jakarta: Djambatan.
Lathief, Halilintar, 2003. Seni Rakyat: Dari Pergumulan ke Pergumulan. DLM Sinergi Agama dan Budaya Lokal. Ed: Mthoyib dkk. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Mattulada. 1985. La Toa: Satu Lukisan Analitis Antropologi Politik Orang Bugis. Yogyakarta: Gajah Mada Press.
Paeni, Mukhlis (ed). 1985. Migrasi. Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin.
Pelly, Usman. 1990. Pasang Surut Perahu Bugis Pinisi. DLM Dinamika Bugis-Makassar. Ujung Pandang: PLPIIS-YIIS.
Pelras, Christian. 1996. Renungan tentang Kesinambungan Identitas Bugis dari Masa ke Masa. Seminar Sejarah Sulawesi Selatan, Arsip Nasional, Makassar.
Purwasito, Andrik. 2003. Komunikasi Multikultural. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Rahman, Nurhayati 1998. Pelayaran Sawérigading ke Tanah Cina: Analisis Filologi dan Semiotik La Galigo. Jakarta: Universitas Indonesia.
______________. 2006. Cinta, Laut dan Kekuasaan. DLM Karya La Galigo. Makassar: La Galigo Press.
______________. 2007a. Revitalisasi Kebudayaan di Sulawesi Selatan. DLM Pemetaan Ilmu di Alam Melayu: Memperkenalkan Nusantara Timur, Penyunting: James T. Collins dan Chong Shin. Bangi: Institut Alam dan Tamadun Melayu.
______________. 2007b. Ekspresi Islam dalam Sistem Pangngaderreng di Sulawesi Selatan, Seminar Internasional Empat Abad Islam Melembaga di Sulawesi Selatan, Makassar, 7 – 9 September 2007.
Tol, Roger. 1987. The Heroic Fall of Bone, 1905: the Toloq Rumpaqna Bone by Arung Manajeng. Paper Presented to the Second International Workshop on Indonesian Studies, Leiden, 2 – 6 November 1987.
_________.1990. Een Haan in Oorlog: Toloqna Arung La Buaja: Een Twintigste-eeuws Buginess Heldendicht van de hand van I Mallaq Daeng Mabela Arng manajeng. Dordrecht/Providence: Foris.
Sumber Tulisan:
http://www.sarionline.ukm.my/SARI%2026/Agama,%20Tradisi%20dan%20kesenian%20dlm%20Manuskrip%20La%20Galigo.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar