Minggu, 30 Mei 2010

Perkembangan Alat Tukar dan Pembayaran Kuno di Nusantara

Sebelum muncul teknologi penempaan logam, manusia melakukan transaksi ekonomi melalui benda-benda alami. Barter antarbarang adalah langkah paling awal yang dilakukan manusia untuk memperoleh kebutuhan hidupnya. Di Tana Toraja kini masih terdapat sistem barter saat diadakan upacara kematian.

Begitu kebutuhan hidup makin kompleks dan jumlah manusia makin bertambah, manusia mulai memikirkan cara yang lebih efesien. Penemuan akan logam mulia, emas, mendorong tumbuhnya transaksi yang lebih elegan dan mudah. Nilai barang dipertukarkan dengan nilai emas. Namun, perputaran emas sebagai alat tukar tak serentak terjadi di semua belahan dunia. Di bagian bumi di mana emas jarang ditemukan, otomatis alat tukar pun masih berupa benda alam, seperti kerang kauri; atau benda olahan manusia yang nilainya lebih rendah dari emas, seperti keramik atau perunggu.

Dari semua jenis alat tukar, ada yang menentukan kegunaan mereka sebagai alat pembayaran: mahal. Mahal di sini bisa mengacu pula pada keindahan estetika seperti yang terdapat pada benda perunggu, motif keramik, atau keunikan pada kerang kauri.

Kerang, Perunggu, dan Keramik Cina
Asia Tenggara—yang sejak abad belasan menjadi lintasan kapal-kapal dagang—merupakan jalur persimpangan alat tukar dari berbagai jenis. Lombard mencatat (2008: 158), kerang kauri, yang kebanyakan berasal dari Maladewa dan dari Borneo, terutama diedarkan oleh pelabuhan-pelabuhan Bengali (India) yang meneruskannya ke wilayah Arakan, Pegu, hingga Yunnan, yang diteruskan ke Siam. Marcopolo pada abad ke-13 mencatat adanya kerang sebagai alat pembayaran di Yunnan. Di timur Asia Tenggara, persebaran benda keramik asal Cina telah menggeser pemakaian benda dari perunggu.
Mengenai pemakaian benda perunggu sebagai alat tukar, di Pulau Alor masih terdapat transaksi yang menggunakan genderang perunggu (sejenis moko). Ini mengingatkan kita pada jenis budaya Dongsong, yang merupakan jejaring sosial-budaya yang sangat kuno.

Namun, lambat-laun pemakaian benda perunggu dilibas oleh kehadiran keramik. Keramik tersebut tentu bernilai tinggi, seperti tenpayan, pinggan seladon, dan mangkuk biru putih, baik yang tersebar di Filipina, Kalimantan, Sulawesi, maupun timur Indonesia. Di titik-titik tertentu di Kalimantan, kerimik Cina masih dipergunakan sebagai “mata uang”, sementara di wilayah pantainya, terutama di Kuching dan Pontianak, orang-orangnya masih membuat guci yang lalu dikumpulkan oleh orang Dayak pedalaman. Di “Pulau Dewata” Bali, pada awal abad ke-20 kepeng Cina masih dipakai sebagai mata uang dan selalu ditawarkan kepada para wisatawan untuk ditukarkan dengan uang rupiah.

Hingga kini, para kolektor benda seni, terutama dari Barat dan Jepang, begitu semangat berburu koleksi keramik dengan harga yang begitu tinggi; dan ini membuktikan bahwa nilai keramik tetap tak bergeser meski fungsinya bukan tidak lagi sebagai alat pembayaran nominal.

Kepeng Cina “Caixa” dan “Uang Perak”
Setelah “periode” benda perunggu dan keramik, selanjutnya giliran kepeng Cina mendominasi persebaran alat pembayaran. Kepeng Cina merupakan uang dari tembaga yang ditempa agar diperoleh bentuk khusus dengan lubang kecil di tengah-tengah diameternya. Lubang tersebut berfungsi untuk mengikat rangkaian kepeng. Idiom “setali tiga uang” memperlihatkan pada kita tentang fungsi lubang pada uang itu.
Kepeng logam Cina mulai menyebar ke Asia Tenggara bersamaan dengan majunya perniagaan Dinasti Sung (960-1279). Salah satu tempat yang banyak dibanjiri kepeng jenis ini adalah Jawa, di mana para pedagangnya berperan besar dalam jaringan perniagaan regional. Mata uang Cina ini beredar terutama di pesisir Jawa. Kendati begitu, kehadiran kepeng Cina ini tak serta merta merata dan langsung tersebar. Orang ketika itu melihatnya sebagai suatu cara untuk memperoleh komoditas yang sangat digemari, yakni tembaga (Lombard, 2008: 159).

Persebaran kepeng Cina di Nusantara berlaku terutama di daerah pesisir sebagai gerbang perniagaan. Para penjelajah Eropa dan teks Cina banyak mencatat keberadaan kepeng Cina sebagai alat pembayaran, terutama di Jawa. Kepeng Cina rupanya telah berlaku di Jawa pada abad ke-12 dan ke-13. Dari sinilah kemungkinan besar dibuatnya mata uang pertama hasil “cetakan” orang Jawa, yang mengambil model dari kepeng Cina. Teks-teks dari Cina berulang kali menyebutkan adanya mata uang dari logam campuran yang dibuat di Jawa. Kronik Cina pertama yang menyebutkan hal itu adalah Lingwai Daida pada abad ke-12, dan Zhufan Zhi karya Zhao Rugua berkali-kali mengutip kalimat-kalimant dalam Lingwai Daida. Pada tahun 1349 kronik Cina lain yang berjudul Daoyi Zhileu memberitakan: “Kebiasaan orang negeri itu (Jawa) adalah membuat uang logam dengan campuran perak, timah, timbel, dan tembaga yang dilebur menjadi satu …. Uang itu dinamakan ‘uang perak’.”

Pada abad ke-13, Zhao Rugua dalam karyanya, Zhufan Zhi, memberitakan bahwa para penyelundup mengekspor kepeng dari Cina secara rahasia, karena besarnya permintaan mata uang tersebut di Jawa. Pada 1433, Ma Huan, sekretaris Zheng He, menulis bahwa “mata uang tembaga Cina dengan cap dari pelbagai wangsa lazim dipakai di sana”. Tome Pires pada awal abad ke-16 memberitakan bahwa caixa Cina adalah mata uang yang lazim berlaku baik di Pasundan maupun di Jawa. Penulis Portugis itu menambahkan bahwa “di Jawa tak ada uang emas dan perak”. Antonio Nunez (1544) menulis bahwa di Sunda 120 caixa “sama dengan satu tanga perak; caixa adalah mata uang dari tembaga yang berlobang di tengah-tengah, yang dikatakan sudah bertahun-tahun lamanya diimpor dari Cina: di negeri itu (Sunda) caixa berlimpah-limpah.” Uang kepeng atau “caixa” mungkin dipergunakan sebagai alat pembayaran dalam lalu lintas perniagaan internasional dan perpajakan pada abad ke-14 di sekitar Jawa.


Lengkapnya bisa di lihat di
Wacana Nusantara

Mau dapat uang Gratis, dapat kan di http://roabaca.com/forum/index.php/topic,87.0.html

Tidak ada komentar: