Saat ini dunia sedang bergerak menuju pemenuhan konsep globalisasi. Ramalan mengenai terwujudnya satu dunia yang dikumandangkan oleh beberapa tokoh tata Negara nampaknya mulai mendekati kenyataan, pun dalam bentuk yang lain, namun nampaknya dunia bergerak menuju ke arah sebuah penyatuan.
Perkembangan teknologi terutama dalam bidang komunikasi dan informasi kemudian mempercepat proses tersebut, tidak hanya dari unsur jarak, waktu dan biaya, tetapi juga pola dan gaya hidup, trend. Informasi sebuah trend di satu tempat akan menyebar dengan sedemikian cepat ke tempat lain dalam waktu yang sangat singkat apalagi ketika trend tersebut kemudian dibarengi dengan motif-motif lain, biasanya ekonomi.
Di tengah semakin “menyatunya” dunia, lantas, apa yang kemudian membedakan seorang satu dengan lainnya? Apakah hanya dari nama? Apakah sebuah nama kemudian menunjukan identitas seseorang, atau sebuah bangsa secara utuh? Dari warna kulit? Dari status? Atau keyakinan? Sementara batasan-batasan tadi sudah menjadi semakin luntur, meski tidak habis sama sekali, lantas apa yang kemudian bisa menjadi identitas seorang individu? Atau sebuah bangsa? Ketika dunia sama sekali tidak memiliki batas-batas nyata, apa yang membuat kita dapat “pulang ke rumah” dan merasa di “rumah”? Jawabannya sederhana ; Sejarah dan Budaya!
Ketika batas-batas Negara kemudian hanya menjadi sebuah syarat administratif belaka, ketika ras dan warna kulit kemudian hanya sekedar sebuah keragaman, maka sejarah dan budaya sebuah bangsa atau seorang individu akan menjadi sebuah petunjuk bagi identitas diri dan bangsanya. Pertanyaan yang kemudian muncul, apabila ketika semua perbedaan sudah “dihilangkan” sama sekali, semua manusia hidup dalam sebuah payung yang sama, lantas apa perlunya kemudian kita menggali sejarah dan budaya? Sejujurnya sejarah menyatakan bahwa mimpi penyatuan hingga saat ini tidak pernah ada yang benar-benar berhasil, karena manusia adalah mahluk yang sangat unik masing-masingnya, pun ketika kita berbicara tentang kembar identik, lagi pula sejarah menyatakan; ide kita “dikontrol dan dikendalikan” untuk umat manusia tidak pernah menemui keberhasilan, setidaknya sampai dengan saat ini.
Karena setiap individu unik, maka manusia sangat memerlukan eksistensi-keberadaan, pengakuan, aktualisasi terhadap hidup dan kehidupannya, dirinya dan lingkungannya sesederhana apapun itu, sehingga kemudian munculah apa yang disebut sebagai kebudayaan. Saya tidak dapat membayangkan seorang manusia/individu atau sebuah bangsa yang tidak memiliki budaya, kalau itu yang terjadi, apa bedanya manusia dengan sebuah mesin cuci di rumah kita?
Kematian sebuah bangsa! Itulah yang akan terjadi ketika sebuah bangsa tidak lagi memiliki budaya, dan itu sedang terjadi di Negara yang kita cintai ini, Indonesia, sebuah negara warisan konsep Nusantara yang dibangun berabad silam ini sedang menemui titik nadirnya, dan itu terjadi di pusat warisan bangsa Nusantara yang dititipkan oleh para leluhur kita untuk Indonesia, Yogyakarta!
Sebagai sebuah benteng terakhir budaya bangsa, ketika legitimasi kekuasaannya “dirampas”, maka fungsi Yogyakarta, dalam hal ini Sultan sebagai pewaris Matahari Nusantara nampaknya tidak cukup ngeuh ketika legitimasinya perlahan-lahan tercerabut satu persatu, sisa legitimasi terakhirnya, yaitu budaya-pun nampaknya perlahan-lahan mulai hilang satu-persatu, entah itu karena digerogoti dengan sebuah teori konspirasi multinasional yang tidak mau bangsa ini bangkit, atau hanya karena sekedar Sultan sudah tidak “sadar” lagi, Sultan sudah meninggalkan rakyatnya sendiri, karena salah satu budaya yang “seharusnya” hidup di bawah naungan payung sang Sultan, kini sedang sekarat, dan memutuskan, daripada menunggu mati, lebih baik pamit mati untuk bertempur untuk yang terakhir kalinya. Ironisnya, “medan pertempuran” itu ada di halaman istana Sultan itu sendiri.
Budaya yang pamit mati itu adalah Ketoprak Tobong pimpinan Bapak Dwi Tartiyasa, minimnya perhatian, ditutupnya kesempatan-membuat ketoprak tobong Kelana Bakti Budaya, yang tinggal satu-satunya itu tidak dapat bernafas lagi, mirip cerita-cerita yang beredar di masyarakat tentang dinding dalam keputren di keraton, ketika sudah tidak cantik lagi, jangan harap berkah akan menghampiri. Ketika fungsi ketoprak tobong sudah tergantikan oleh kemajuan teknologi, maka ketoprak tobong pun tidak lagi didekati.
Ketoprak tobong, apapun itu, tidak hanya berfungsi sebagai sebuah pentas kesenian belaka, tidak hanya berfungsi sebagai alat propaganda semata, atau panggung boneka dengan kostum warna-warni. Ketoprak tobong sesungguhnya menyimpan dan menjadi bagian dari pembentuk DNA bangsa ini, layaknya jenis-jenis kebudayaan lain yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, karena dari kebudayaan-kebudayaan tersebut kita dapat menggali banyak hal tentang karakter masyarakat pembentuknya, menelaah jaman pengembangannya, fungsinya, sampai kepada hal-hal kecil yang menjadi hiasannya, sehingga kita dapat merekonstruksi dan menerjemahkan unsur-unsur pembentuk jatidiri bangsa ini.
Kami, Tim Wacana Nusantara, melalui tulisan ini menyampaikan pesan kebahagian sekaligus duka yang mendalam kepada Ketoprak Tobong Kelana Bakti Budaya pimpinan bapak Dwi Tartiyasa, pesan kebahagiaan, karena Ketoprak Tobong Kelana Bakti Budaya memilih pamit kepada junjungannya, bertempur untuk yang terakhir kalinya dan siap gugur dengan Terhormat tanpa menjatuhkan harga diri, dan pesan duka, karena bangsa Indonesia sebagai ahli waris Nusantara, kembali akan kehilangan salah satu unsur pembentuk jati dirinya.
Salam Nusantara !!!
Sumber
wacana Nusantara
Mau dapat uang Gratis, dapat kan di http://roabaca.com/forum/index.php/topic,87.0.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar