Selasa, 04 Mei 2010

Dan Batu Candi pun Berkata:”Bergurulah pada Kami”

1. Prolog

Ada satu pertanyaan yang sangat menarik berkaitan dengan konservasi arkeologi, yaitu “untuk apa sebuah sumberdaya arkeologi harus dikonservasi?” Ada banyak pendapat dari para ahli berkaitan dengan pertanyaan tersebut, salah satunya Pearson dan Sullivan (2002) menyatakan bahwa sumberdaya arkeologi harus dikonservasi karena merupakan bukti yang menarik tentang nilai dan kreativitas dari manusia pendukungnya dan juga merupakan bukti yang terdokumentasi tentang pemukiman suatu wilayah atau bagaimana hubungan tempat tersebut dengan dunia luar. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa sebuah sumberdaya arkeologi mempunyai sifat yang langka dan tidak dapat diperbaharui (Pearson and Sullivan, 2002: 11 - 12).

Ph. Subroto (2003) menyatakan bahwa sebuah benda cagar budaya merupakan salah satu asset budaya bangsa yang perlu dilindungi karena nilai – nilai penting yang terkandung didalamnya (Subroto, 2003 : 1). Hari Untoro Drajat menyatakan bahwa benda cagar budaya mempunyai nilai penting walaupun setiap benda tersebut mempunyai nilai yang berbeda (Drajat, 1993: 1). Scovill dkk (1977) berpendapat bahwa rekaman dari sebuah sumberdaya arkeolologis merupakan bahan studi untuk melihat dan menggambarkan serta untuk menjelaskan dan untuk mengerti prilaku dan interaksi manusia masa lampau sebagai bagian dari perubahan budaya dan sistem lingkungan (Scovill dkk, 1977 : 45).

Dengan nilai-nilai yang terkandung dalam sumberdaya arkeologi tersebut yang sarat dengan makna, maka tentu saja konservasi termasuk dalam hal ini pemugaran sebagai salah satu kerja konservasi, haruslah dilakukan dengan metode dan cara kerja yang sistematis dan ilmiah serta berpegang dengan ketat pada prinsip-prinsip yang berlaku, sebagaimana nenek moyang kita yang juga membangun candi dengan ilmu dan sarat dengan pertimbangan ilmiah (Anom, tanpa tahun : 3). Tapi justru hal inilah yang luput dari perhatian para arkeolog sekarang. Pelaksanan konservasi, termasuk pemugaran selalu ditinjau dari sudut pandang kekinian, sudut pandang sistem budaya sekarang dan melupakan konteks sistem arkeologi, konteks sistem budaya masa lalu.

Fenomena alam berupa gempa bumi yang melanda Yogyakarta dan sekitarnya pada tanggal 27 Mei 2006 jam 05.53 dengan skala 6,3 ricther (www.kompas.com), tidak hanya membuat kita tertunduk dalam akibat dampak bencana yang timbul, tetapi memberikan kita banyak pelajaran yang sangat berharga. Salah satunya dalam hal konsep pemugaran bangunan candi. Dampak yang ditimbulkan gempa pada bangunan candi berupa kerusakan secara fisik baik itu retak maupun rubuhnya bangunan candi, ternyata menjadi sebuah fenomena yang menarik (Swastika, 2007:1). Hampir sebagian candi yang mengalami kerusakan parah adalah candi yang telah mengalami proses konservasi dan pemugaran, sedangkan candi yang belum dikonservasi justru masih berdiri kokoh tidak mengalami kerusakan yang cukup berarti (Anom, 2007).

Hal ini berarti, teknologi yang dimiliki oleh nenek moyang kita dalam membangun candi masih lebih unggul dibandingkan dengan yang kita miliki. Candi-candi yang telah dibangun di masa lalu merupakan bukti nyata akan tingginya teknologi yang telah dimiliki nenek moyang kita. Sehingga sudah sepatutnya kita belajar pada masa lalu yang tersirat pada bangunan-bangunan candi. Kita harus ‘berguru pada batu-batu candi’ menemukan kembali teknologi dan pengetahuan yag terekam di dalamnya serta merefleksikannya dalam kegiatan konservasi dan pemugaran yang tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip konservasi. Dalam tulisan singkat ini kami mencoba memaparkan tentang makna filosofis yang terkadung dalam frasa “berguru pada batu” kaitannya dengan pelaksanaan pemugaran pada candi.

2. Pemugaran Candi dari Masa ke Masa
Secara umum kegiatan pemugaran di Indonesia telah mulai dilakukan sejak pertengahan abad ke-18 (Anom, tanpa tahun : 3). Salah satu riwayat pemugaran candi yang cukup terdokumentasikan dengan baik adalah pemugaran pada Candi Borobudur. Pada tahun 1814, Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris di Jawa (1811-1815) untuk pertama kalinya mendengar berita bahwa ada sebuah bangunan purbakala yang masih terpendam di dalam tanah di desa Borobudur, sewaktu beliau berkunjung ke Semarang. Raffles segera mengirim H.C. Cornelius ke Borobudur untuk mengadakan penyelidikan atas kebenaran berita tersebut. Pada saat itu, yang kelihatan hanyalah sebuah bukit yang tertutup oleh semak belukar dan diatas bukit terlihat adanya susunan-susunan batu candi yang berserakan. Sehingga untuk mengungkapkan apa yang ada dibalik bukit tersebut, bukit tersebut kemudian dibersihkan dengan cara menebang pohon-pohon, membakar semak belukar, menyingkirkan tanah dari atas bukit yang memakan waktu yang sangat lama. Baru dalam tahun 1834, atas usaha Residen Kedu, candinya dapat di tampakkan seluruhnya yang menjulang sampai ke atas puncak bukit.

Sejak itu, candi Borobudur terus mendapatkan perhatian dari pihak-pihak terkait. Ada beberapa tahun yang cukup penting dalam perjalanan pemugaran candi Borobudur seperti yang diuraikan di bawah ini :
1. Tahun 1840, Residen Kedu, Cl Hartman, memberikan beberapa peti hadiah Cinderamata kepada Raja Siam Chulalongkorn yang telah sekian lama berada di tanah Jawa saat akan kembali ke negaranya. Hadiah cinderamata ini berupa 8 gerobak memuat 30 batu relief, 5 patung Buddha, 2 patung singa, 1 pancuran makara,dan 1 patung raksasa penjaga gerbang-Dwarapala, semuanya ini berasal dari candi Borobudur, namun semuanya tenggelam hilang di dasar laut.

2. Tahun 1850, dilakukan berbagai usaha pemindahan relief-relief candi Borobudur melalui kertas gambar. Tahun 1873, monografi pertama tentang candi Borobudur diterbitkan.

3. Tahun 1885, Ijzerman di dalam berbagai penyelidikannya mendapatkan di belakang batu kaki candi masih ada lagi kaki candi lain yang dihiasi dengan relief-relief. Batu itu dibongkar sebagian demi sebagian dan kemudian dipasang kembali, J.W. Ijzerman berhasil memotret 200 relief yang selama ini tertutup di kaki candi Borobudur yang terbawah merupakan penjelasan Maha Karmavibhangga.

4. Tahun 1849, Wilsen mendapat instruksi dari pemerintah Hindia Belanda untuk meneliti secara resmi dan membuat gambar-gambar relief yang ada di candi Borobudur. Sekitar tahun 1873, Van Kinsbergen datang membuat foto-foto bergambar secara terbatas tentang Candi Borobudur.

5. Tahun 1901 di Hindia Belanda didirikan Commissie in Nederlandsch Indie voor Oudheidkundig Onderzoek op Java en Madoera, dibawah pimpinan Dr. JLA Brandes (wafat tahun 1905) yang bertugas untuk mengurusi keperbukalaan Indonesia, juga membawahi pemugaran Candi Borobudur, ia dibantu oleh Ir. Theodorus Can Erp yang juga seorang perwira Zeni berpangkat Letnan Satu. Setelah dibubarkan pada tahun 1913, lembaga ini kemudian diganti dengan Jawatan Kepurbakalaan (Oudheidkundige Dienst, Kemudian bernama Dinas Purbakala, diganti lagi menjadi Direktorat Sejarah dan Purbakala, dipecah lagi menjadi DP3SP dan PUSPAN). Dr. NJ Krom membawahi Dinas Purbakala ini.

6. Tahun 1900, pemerintah Hindia Belanda menetapkan sebuah panitia pemugaran dan perawatan candi Borobudur. Tahun 1907-1911, Theodore Van Erp memimpin pemugaran, candi Borobudur untuk pertama kali dalam sejarahnya dapat ditegakkan kembali setelah menghilang, namum T. Van Erp berpendapat bahwa hasil pemugaran ini hanya dapat bertahan 50 tahun, dan ternyata pendapatnya benar.

7. Tahun 1926 - 1940 diadakan pemugaran berikutnya, namun tetap tertunda disebabkan ada malleise, ada perang. Tahun 1929, terbentuk suatu panitia untuk menyelidiki proses kerusakan dan pelapukan batu-batu candi Borobudur yang disebabkan oleh berbagai faktor.

8. Tahun 1956, Pemerintah Indonesia meminta kepada UNESCO, Prof.Dr.C. Coremans (almarhum) datang ke Indonesia dari Belgia untuk mengadakan penelitian terhadap sebab-sebab kerusakan batu-batu candi Borobudur. Tahun 1960, pemerintah Indonesia mencanangkan bahwa candi Borobudur dalam keadaan sangat kritis.

9. Tahun 1963, pemerintah Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan berikut penyediaan anggaran khusus guna pemugaran candi Borobudur. Tahun 1965 meletus peristiwa G.30.S, pemugaran candi tidak berjalan karena inflasi yang tinggi. Tahun 1966, karena ketiadaan biaya maka pemugaran yang baru dalam tahap penelitian diberhentikan sama sekali.

10. Bulan Agustus 1967, di kota kecil Ann Arbor (Michigan, USA) dilangsungkan International Congres of Orientalist ke-27. Dari Indonesia hadir Dr. R. Soekmono dengan mengajukan sebuah kertas kerja berjudul 'New Light on some Borobudur Problems'. Kongres kemudian mendesak UNESCO untuk segera membantu Indonesia dalam menyelamatkan monumen nasional Borobudur, maka keluarlah Surat Keputusan tahun 1967 oleh UNESCO bahwa Borobudur segera diselamatkan. Awal tahun 1968 UNESCO menegirimkan 2 orang ahli, B. Groslier dan C. Voute ke Indonesia.

11. Tahun 1969, pemugaran Candi Borobudur dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun, sebagai bagian dari Proyek Pembangunan Kebudayaan Nasional.

12. Tahun 1971, Menteri P&K membentuk 'Badan Pemugaran Candi Borobudur (BPCB) yang diketuai oleh Prof. Ir. R. Roosseno. Drs. R. Soekmono sebagai Sekretaris, disamping tugasnya sebagai Pimpro dan Kepala LPPN (Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional). Badan ini dibantu oleh suatu tim staf ahli dari berbagai bidang disiplin ilmu: ahli purbakala dari LPPN, ahli mikro biologi dan mekanika tanah dari Fakultas Pertanian UGM, ahli teteknik bangunan dari Fakultas Teknik UGM, ahli Geologi dari ITB, dan ahli beton dari Universitas Saraswati. BPCB menangani semua masalah Borobudur baik yang bersifat nasional maupun internasional.

13. Bulan Januari 1971 atas usaha UNESCO, di Jogjakarta diadakan antara pihak Unesco dan Pihak Indonesia (Staf BPCB), dihadiri pula oleh para ahli dari negara-negara Perancis, Belanda, Amerika Serikat, Jepang, Jerman Barat, dan Italia. Pertemuan ini telah mensepakati bahwa rencana pemugaran yang akan diterapkan pada Candi Borobudur adalah sesuai yang telah dibuat oleh Nedeco (the Netherland Engineering Consultants).

14. Tahun 1972, rencana kerja pemugaran candi Borobudur yang lebih terpadu telah rampung dibuat. Karena bersifat internasional, Pemerintah Indonesia telah membentuk, 'internasional Consultative Committee' dalam bualn Desember 1972, tujuannya untuk menilai kemajuan pekerjaan dan merencanakan pembiayaan pemugaran untuk setiap tahunnya.

15. Januari 1973, UNESCO membentuk sebuah Badan Internasional ialah Executive Committee, yang tugas pokoknya membantu Dirjend. UNESCO dalam mengelola dana-dana internasional yang dikumpulkan dari berbagai negara sebagai sumbangan untuk penyelamatan Candi Borobudur.

16. Tanggal 10 Agustus 1973, Presiden RI., Soeharto berkenan meresmikan dimulainya pekerjaan pemugaran Candi Borobudur. Di Borobudur terdapat 2 buah prasasti; yaitu akan dimulainya pekerjaan pemugaran candi itu, dan tanda selesainya pemugaran candi.
(Kutipan dari buku: Menyingkap Tabir Misteri Borobudur, Seri Buku Warisan Budaya, Penerbit PT Taman Wisata Candi Borobudur & Prambanan)

Dari pemaparan di atas terlihat bahwa kegiatan pemugaran candi meliputi banyak hal dan membutuhkan banyak daya dukung lain untuk keberhasilan pemugarannya. Bahkan untuk pemugaran candi Borobudur yang merupakan tonggak awal pemugaran candi di Indonesia membutuhkan waktu yang sangat panjang dan sampai sekarang kegiatan konservasi di Borobudur tetap dilaksanakan secara kontinyu oleh institusi Balai Konservasi Borobudur. Dari masa ke masa, kegiatan pemugaran terus mengalami perkembangan sesuai dengan perubahan zaman. Pemanfaatan teknologi mulai diterapkan dalam setiap kegiatan pemugaran candi. Tapi satu hal yang pasti, dalam setiap aktifitas pemugaran candi sejak awal sampai sekarang tetap melibatkan para pencari batu yang memiliki keahlian berdasarkan pengalamannya selama bertahun-tahun dalam kegiatan pemugaran yang berkaitan dengan pemilihan batu candi yang tepat.

Mereka secara tidak langsung telah mengembangkan pengetahuannya dalam mencari dan memilih batu-batu candi dari candi yang telah rubuh untuk kemudian dipasang kembali saat pemugaran sebuah candi. Pengetahuan tersebut justru mereka peroleh karena mereka telah berguru pada batu, sehingga mereka memperoleh pengetahuan nenek moyang dalam pembuatan candi yang terefleksikan dalam batu-batu candi tersebut. Karena kesannya yang terlihat tidak scientific maka aktifitas para pencari batu yang telah berguru pada batu ini kurang mendapatkan perhatian, padahal metode ini bisa saja diterapkan secara ilmiah dalam menunjang kegiatan pemugaran candi.

3. Berguru pada batu perspektif ilmiah arkeologis
Arkeologi sebagai sebuah ilmu yang memfokuskan pada kajian tinggalan budaya material pada dasarnya bukan hanya sekedar mengkaji aspek kebendaan (ukuran, bentuk, hiasan, etc) tetapi mengkaji makna dibaliknya. Geertz, menyatakan bahwa tinggalan budaya itu merupakan simbol bermakna yang membawa pesan dari masa lalu. Salah satu makna dibalik sebuah tinggalan material-termasuk candi-adalah makna teknologis yang terekam dalam batu-batu candi tersebut.

Para pencari batu yang telah terlibat sejak kegiatan pemugaran candi untuk pertama kalinya dilakukan abad yang lalu, memiliki kemampuan untuk itu, yang diperoleh secara empiris dalam pergelutannya dengan batu-batu candi dan juga pengetahun yang diwariskan dari para pencari-pencari batu sebelumnya yang biasanya merupakan orang tua atau kakek-kakek mereka. Secara perlahan tapi pasti mereka memperoleh pengetahuan yang sangat berperan dalam suskesnya sebuah pemugaran. Dengan kejeliannya mereka dalam mencari dan memilih batu candi, menjadikan candi yang telah rubuh untuk kemudian dipugar dapat berdiri kembali dengan megah.

Dalam salah satu sesi perkuliahan Dr. I.G.N Anom pernah menyampaikan bahwa dalam pemugaran sebuah candi kita tidak boleh pongah dengan tekonologi yang kita miliki karena teknologi nenek moyang kita bisa jadi lebih unggul dalam pembuatan candi. Lebih jauh dalam salah satu tulisannya beliau, disebutkan bahwa dalam proses pencarian dan penyusunan batu candi ini benar-benar dibuat berdasarkan ‘kehendak’ dari batu-batu itu sendiri, sehingga berkembang istilah ngawula watu artinya para pencari batu atau tukang bekerja sebagai kawula atau abdi yang selalu menuruti segala kehendak atau perintah sang batu (Anom, 197:11). Dengan ngawula watu itulah mereka berguru pada batu-batu candi dan memperoleh pengetahuan yang bermanfaat dalam proses pemugaran candi sekaligus mendapatkan makna teknologi dari balik susunan batu-batu yang membentuk sebuah candi.

Jika ditelisik lebih jauh, makna ‘berguru pada batu’ ini pun sejalan dengan prinsip konservasi, yaitu keaslian . Pemugaran sebagai salah satu bagian dari konservasi seperti yang diungkapkan oleh Bosch bertujuan untuk merehabilitasi atau memperbaiki suatu bangunan purbakala sebagian atau seluruhnya dalam keadaan asli. Demikian juga yang disampaikan oleh Bernets Kempers, bahwa pemugaran dimaksudkan untuk mengembalikan bangunan kuno dalam keadaan dan bentuk semula. Dengan prinsip keaslian tersebut, maka berkembanglah metode pemugaran candi yang dikenal dengan metode anastilosis. Sebuah metode dalam pemugaran candi berupa membuat susunan percobaan sebelum dilakukan pemasangan batu-batu candi pada tempat semula. Dibuat dengan menyusun batu-batu candi yang ada berdasarkan bentuk, sistem kaitan, serta ornamen yang ada pada batu tersebut sehingga keaslian dari candi tetap dapat dipertahankan.

Dalam pelaksanaan metode anastilosis inilah para pencari batu berperan penting. Dengan pengetahuan yang mereka miliki, para pencari batu mampu untuk mencari dan memilih batu candi yang tepat dari ratusan bahkan ribuan batu candi yang ada. Kemampuan ini merupakan nilai lebih yang mereka miliki yang belum tentu dimiliki oleh setiap orang, termasuk para arkeolog. Walaupun terkadang muncul kesan sepintas bahwa mencari batu candi itu kelihatannya mudah. Padahal pengetahuan yang dimiliki para pencari batu bukanlah sesuatu yang dengan begitu saja diperoleh. Dibutuhkan waktu, pengalaman dan ketekunan untuk mendapatkannya. Menurut salah seorang staff Unit Pelaksana Teknis Candi Sewu, bahwa dalam mendidik para pencari batu yang terampil sudah sangat beruntung jika kita memperoleh lima orang dari seratusan orang yang dilatih.

Walaupun kemampuan yang dimiliki oleh para pencari batu ini diperoleh secara empiris. Pada dasarnya tetap merupakan pengetahuan, suatu ilmu yang berguna dalam menunjang pelaksanaan pemugaran yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Tinggal kita yang merefleksikannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang, dengan kata lain ‘mengilmiahkan’ pengetahuan nenek moyang tersebut. Kolaborasi antara pengetahuan dari para pencari batu yang telah berguru pada batu dengan ilmu pengetahuan modern bukan tidak mungkin akan menghasilkan metode konservasi bangunan candi yang lebih baik dan secara ilmiah dapat lebih dipertanggung jawabkan.

4. Epilog
Di era keterbukaan informasi dan kebenaran dalam ilmu adalah sesuatu yang tidak rigid, arkeologi jika dipandang sebagai sebuah metode disarankan hanya melakukan interpretasi, dan bukan eksplanasi, dengan mencoba ‘memahami dan memaknai’ tinggalan budaya masa lampau. Masa lampau tidak perlu lagi ‘dipatok’ sekali dan untuk selamanya menurut metodologi atau kerangka pikir tertentu, sehingga tidak terjadi lagi justifikasi tentang masa lalu, termasuk dalam persoalan konservasi dan pemugaran candi ini. Sebaliknya, dibutuhkan pendekatan yang beragam dengan nilai-nilai beragam pula (multivalent, multivocal, multidiscipline), termasuk nilai-nilai pengetahuan nenek moyang kita maupun kearifan-kearifan lokal masyarakat setenpat.

Kolaborasi pengetahuan antara para pencari batu yang telah ‘berguru pada batu’ dan pengetahuan akademis yang dimiliki para arkeolog maupun ilmuan lainnya, sangat memungkinkan akan menghasilkan metode konservasi dan teknik pemugaran yang lebih baik sehingga berdampak pada kualitas dari hasil pemugaran candi yang akan lebih bertahan lama dengan tetap mengacu pada prinsip-prinsip konservasi. Jika ini tercapai, akan semakin banyak candi-candi yang kembali berdiri dengan megah dan membangun kesadaran kesejarahan kita bahwa kita harus bangga sebagai bangsa Indonesia.

Bacaan Penunjang
Anom, I G. N. Tanpa tahun. Model, Cara, dan Praktek Konservasi Dead Monumen.
Drajat, Hari Untoro dan Ismijono. 1993. Tinjauan Penanganan Situs Ratu Bokodalam Pertemuan Teknis Dalam Rangka Evaluasi Program Pemugaran Situs Ratu Boko, Yogyakarta
Drajat, Hari Untoro. Tanpa tahun. Benda Cagar Budaya Peringkat Lokal, Regional, Nasional dan Global.
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Pearson, Michael and Sharon Sullivan. 1995. Looking After Heritage Places : The Basic of Heritage Planning, for managers, Landowners and Administrators. Melbourne University Press. Melbourne.
Scovill, Douglas H, Garland J. Gordon and Keith M. Anderson. 1977. “Guidelines for the Preparation of Statements of Enviromental Impact on Archaeological Resources” dalam Schiffer, Michael B and George J. Gumerman. 1977 (ed). Conservation Archaeology : A Guide for Cultural Resource Management Studies. Academic Press. New York.
Subroto, Ph. 2003. “Pemanfaatan Benda Cagar Budaya Bangunan Bata Pasca Pugar untuk Kepentingan Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan. Makalah pada Rapat Penyusunan Kebijakan pemanfaatan BCB di Cisarua, Mei 2003. Bogor.
Swastika, Ari. 2007. Laporan Kegiatan Penelitian Kerusakan Kompleks Candi Prambanan oleh Tim Jepang. Balai Konservasi Borobudur.Tidak Terbit

Sumber Pustaka Online
http://www.infobuddhis.com
http://www.kompas.com


Penulis Merupakan Arkeolog berdomisili di Makassar aktif di Ujungpandang Heritage Society

Tidak ada komentar: