Hutan Jatiwangi pada suatu masa yang rindang dan lebat oleh pepohonan jati di kawasan Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Dua lelaki berbeda umur tegak berhadapan. Seorang pemuda berpakaian serba hitam dan didepannya seorang pria lebih tua, dibalut busana serba putih. Sebatang tongkat menyangga tubuhnya. Pemuda berbaju hitam itu bernama Lokajaya, berandal yang gemar membegal pejalan yang melewati hutan Jatiwangi. Ia silau oleh kemilau kuning keemasan gagang tongkat yang dibawa pria berjubah putih. Siapapun orang berjubah putih itu, layaklah ia menjadi mangsa Lokajaya. Ketika tongkat itu direbut, orang tua tadi sama sekali tak berlawan. Ia tersungkur di tanah, kehilangan keseimbangan. Tongkat berkepala emas itu berpindah tangan. Bangkit dari jatuhnya, orang tua itu memberi nasihat, dengan tutur kata lembut. Nasihat inilah yang mengubah jalan hidup Lokajaya. Ia menjadi murid orang tua itu, yang tiada lain adalah Sunan Bonang. Lokajaya sendiri kemudian dikenal sebagai Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga adalah putra dari adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk.
Ia membuat wayang kulit dan cerita wayang Hindu yang diislamkan. Sunan Giri sempat menentangnya. Karena, wayang beber kala itu menggambarkan gambar manusia utuh yang tak sesuai ajaran Islam. Sunan Kalijaga mengkreasi wayang kulit yang bentuknya jauh dari bentuk manusia utuh. Ini adalah sebuah usaha ijtihad di bidang fiqh yang dilakukan Sunan Kalijaga dalam upaya dakwahnya.
Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (kungkum) di sungai (kali) atau “jaga kali”.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu (“Petruk Jadi Raja”).
Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) merupakan salah satu dari tiang utama penyangga masjid adalah hasil kreasi dari Sunan Kalijaga. Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula merupakan konsep oleh Sunan Kalijaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar