Selasa, 04 Mei 2010

Makna Kebangsaan, Pahlawan dan Negara?

Jika ada yang bertanya, siapakah pencetus nama Nusantara? Barangkali tidak banyak yang tahu jawabannya selain dari sumber yang telah dikonstruksikan oleh sejarah versi Mohamad Yamin, yaitu Patih Gajah Mada pencetus Sumpah Palapa pada tahun 1258 Saka (1336 M) hidup pada masa Kejayaan Majapahit.

Kami menemukan catatan mengenai seorang tookoh bernama Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker (umumnya dikenal dengan nama Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi; lahir di Pasuruan, Jawa Timur, 8 Oktober 1879 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 29 Agustus 1950 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia.

Ia adalah salah seorang peletak nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20, penulis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah penjajahan Hindia-Belanda, wartawan, aktivis politik, serta penggagas nama "Nusantara" sebagai nama untuk Hindia-Belanda yang merdeka. Setiabudi adalah salah satu dari "Tiga Serangkai" pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia, selain dr. Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat. Jasa Douwes Dekker tentunya sangat besar bagi lahirnya Indonesia yang kelak tumbuh sebagai Bangsa dan Negara yang berdaulat melaui Proklamasi 17 Agustus 1945. Beliau layak menyandang gelar Pahlawan. Negara melalui pemerintah berkewajiban menghargai dalam bentuk apapun terhadap keturunannya.
Namun, pemerintah sering lupa dalam melaksanakan kewajiban menghargai jasa para pahlawan. Berbagai berita tentang terpuruknya kehidupan keturunan para pahlawan seringkali terdengar. Terakhir adalah berita tentang Koesworo Setiabudi yang saat ini berumur 65 tahun. Anak terakhir Douwes Dekker itu terbaring lemah setelah menjalani operasi kanker usus di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. (Metro Siang / Sosbud / Jumat, 2 April 2010 12:49 WIB dan KOMPAS Jumat, 9 April 2010 | 07:48 WIB) . Di usia tuanya Pak Koesworo Setiabudi tidak dapat menikmati hasil jerih payah ayahnya dalam memperjuangkan kedaulatan dan kesejahteraan bangsa Indonesia yang ia cintai. Kondisi Pak Koesworo jauh lebih memprihatinkan ketimbang keturunan para penghianat Republik yang kini hidup bergelimang harta korupsi dan menjual negara untuk kepentingan asing.

Apa yang tengah melanda negeri ini? Hari-hari belakangan ini kita diharubiru berita para koruptor dan para makelar kasus alias markus. Mereka berhasil membobol milyaran bahkan trilyunan uang negara untuk kepentingan perut mereka sendiri. Selain itu, kita juga menyaksikan di media massa, instansi kepolisian dan instansi hukum dan instansi pemerintahan lainnya telah dikuasai gurita korupsi yang merajalela. Pencapaian macam apa yang telah dicapai bangsa Indonesia saat ini?

Koesworo Setiabudi dan keadaannya yang memprihatinkan itu merupakan wajah negeri yang compang-camping ini. Wajah dari kekuasaan yang carut marut mengelola negara besar ini dan tidak pernah belajar dari sejarah. Indonesia diperjuangkan melalui pengorbanan yang tiada terkira, para pahlawan pendiri bangsa ini merelakan segenap hidup dan bahkan mengorbankan apapun yang mereka miliki hanya untuk satu visi Indonesia merdeka. Di mata dunia, Indonesia adalah negara yang besar, bukan hanya dari wilayah territorial, melainkan sejarah perjalanan peradaban yang besar pula. Kebesaran sebuah bangsa bernama Indonesia ini lantas dikerdilkan oleh mentalitas dan perilaku para penguasa yang selalu lupa menghargai jasa para pahlawan dan keturunannya. Mental kerdil kaum penguasa Indonsia ini pada akhirnya menghancurkan pondasi kokoh yang telah ditanamkan para pejuang kemerdekaan.

Catatan singkat ini merupakan refleksi bagi kita yang telah sepakat hidup bersama sebagai sebuah bangsa di dalam negara yang berdaulat. Jika para pahlawan tidak pernah dihargai, jika keluarga para pahlawan keleleran di sudut-sudut kelam sejarah bangsa ini, mungkin kini saatnya kita renungkan kembali makna kebangsaan, pahlawan dan Negara.


Salam Nusantara!

Tidak ada komentar: