Dwi Woro R. Mastuti
1. Pendahuluan
Sejarah kehadiran bangsa Cina di Nusantara berkembang selama beberapa abad di dalam suatu konteks budaya yang reseptif dan menguntungkan, sebelum berubah arah sama sekali pada abad yang lalu, sebagai kelanjutan dari perkembangan baru di dalam politik kolonial. Golongan etnis Tionghoa di Asia Tenggara telah dicap sebagai ‘minoritas dagang’, seakan-akan mereka tidak mempunyai budaya ataupun sastra. Sesungguhnya hal ini menyesatkan, karena orang-orang Tionghoa ini tidak saja memiliki karya-karya sastranya sendiri dalam bahasa Tionghoa, tetapi juga dalam bahasa-bahasa setempat. Di Indonesia umpamanya, karya-karya sastra orang Tionghoa cukup mengesankan. Hal ini teristimewa demikian dalam kaitannya dengan karya-karya mereka dalam bahasa Melayu (atau bahasa Indonesia), bahasa Jawa, Bahasa Bugis, atau bahasa daerah lainnya di Nusantara.
Berbicara soal wayang di Indonesia, cukup banyak ragam wayang yang dikenal oleh masyarakat. Khususnya wayang kulit purwa (Jawa) dan wayang golek Sunda. Kedua jenis wayang ini masih memiliki penggemar di zaman sekarang. Segala kekhawatiran akan musnahnya kesenian wayang yang menghembus saat ini tidak menyurutkan para dalang dan penonton untuk tetap menghadirkan pertunjukan tersebut di setiap kesempatan. Dalang-dalang muda terus bermunculan. Para penonton muda pun terus hadir ketika pertunjukan wayang berlangsung. Wayang kreasi baru pun diciptakan untuk menjembatani gagap budaya yang terjadi pada generasi muda.
Disamping kedua jenis wayang tadi, masih banyak jenis wayang lainnya yang masih digelar. Misalnya wayang Potehi, wayang Betawi, wayang Kancil. Hanya saja, penggemar wayang tersebut tidak seheboh wayang kulit purwa dan wayang golek. Mereka hanya digelar pada kegiatan-kegiatan khusus dan mengikuti pesanan. Museum Wayang Pemda DKI Jakarta adalah salah satu lembaga di Jakarta yang secara rutin menggelar pertunjukan wayang-wayang langka. Tujuan yang baik ini tidak diikuti dengan jumlah penonton. Biasanya, penontonnya juga langka.
Kita mengenal 28 jenis wayang. Pandam Guritno dalam bukunya menguraikan ke-28 jenis wayang tersebut dan klasifikasinya. Antara lain : wayang purwa, wayang gedog, wayang menak, wayang wahyu, wayang golek, wayang sasak, wayang betawi, wayang banjar, wayang palembang, wayang golek menak, wayang klithik, wayang beber, wayang topeng, wayang jemblung, dan sebagainya3 Dari sekian banyak jening wayang tersebut, saya belum melihat wayang potehi dan wayang kulit Cina-Jawa masuk dalam daftar. Hal itu mungkin saja terjadi, karena banyak hal yang akan dibahas pada bab selanjutnya.
Keberadaan wayang Potehi dan wayang kulit Cina-Jawa sudah cukup lama. Mereka bisasa digelar di klenteng-klenteng Cina di Pulau Jawa. Wayang Potehi muncul lebih dahulu ketimbang wayang kulit Cina-Jawa. Pertunjukan keduanya mengisahkan mitos dan legenda Tiongkok seperti Sam Kok, San Pek Eng Tai, Li Si Bin. Bahasa yang digunakan, bahasa Melayu untuk wayang Potehi dan bahasa Jawa untuk wayang kulit Cina-Jawa.
Dalam penelitian tentang Cina-Jawa yang baru saya lakukan (sejak 4 tahun yang lalu), saya menyadari bahwa kebijakan politik berperan dalam punahnya kekayaan budaya nusantara. Peraturan tentang adat istiadat keturunan Cina pemerintahan Soeharto dinyatakan dalam Instruksi Presiden no. 14/1967 yang mengatur agama, kepercayaan dan adat istiadat keturunan Cina. Peraturan ini diterjemahkan sebagai larangan atas berbagai bentuk ekspresi berkesenian. Salah satu yang terkena dampaknya adalah pertunjukan wayang Potehi. Kalau sebelum tahun 1967 pertunjukan wayang ini cukup meriah, maka setelah larangan itu diberlakukan keberadaannya langsung terancam musnah. Sepi order, sepi penonton, sepi apresiasi, sepi penerus. Di era Presiden Abdurrahman Wahid larangan tersebut dicabut. Mungkinkah masyarakat, khususnya Cina peranakan akan memberikan apresiasinya terhadap seni pertunjukan wayang Cina ini?
Pada masa lalu, Gubernur VOC telah melakukan pelarangan terhadap kegiatan yang berhubungan dengan hiburan, khususnya tari-tarian tandak maupun pertunjukan wayang. Misalnya sebuah peraturan tertanggal 6 Desember 1751 dari J. Mossel, yang ditujukan kepada orang-orang Cina dalam suatu daerah imigrasi tertentu. Dalam peraturan itu ditetapkan syarat-syarat dan pajak-pajak yang berlaku bagi pertunjukan wayang wong. Mereka dikenakan pajak sekitar 500 ringgit. Alasannya, dalam pertunjukan itu sering disertai permainan judi yang merugikan banyak peserta, dan bagi penari-penari wanita tertentu kadang-kadang dihamburkan uang secara kurang bertanggungjawab4.
Wayang kulit Cina-Jawa lahir di Yogyakarta tahun 1925 dan diciptakan oleh Gan Thwan Sing. Bahasa pengantar adalah bahasa Jawa. Musik karawitannya gamelan Jawa5. Diperkirakan, wayang ini pernah berjaya sekitar tahun 1930 hingga 1960an. Setelah sang dalang sekaligus penciptanya wafat, Gan Thwan Sing, tahun 1966, wayang ini pun lenyap di telan bunyi. Tak seorang pun tahu atau pun pernah mendengarnya. Khususnya mereka yang saat ini berusia 70an tahun dan tinggal di Yogyakarta dan sekitarnya. Hal ini saya ketahui dari wawancara dengan beberapa informan Cina-Jawa dan para dalang senior. Wayang ini dilengkapi dengan setumpuk naskah lakon wayangnya yang sekarang ada di Museum Sonobudoyo (1 naskah) dan Perpustakaan Berlin-Jerman (39 naskah). Naskah-naskah tersebut ditulis oleh Gan Thwan Sing dalam bahasa dan aksara Jawa.
Kedua Jenis wayang tersebut merupakan wujud akulturasi budaya di nusantara. Mereka pun telah menyumbangkan sebuah maha karya yang memperkaya budaya nusantara. Pada kesempatan ini, saya tidak akan membicarakan mengapa kedua produk budaya tersebut terabaikan atau diabaikan. Banyak aspek yang melatarbelakanginya. Misalnya aspek sejarah, politik ekonomi. Pada makalah ini saya ingin menyajikan data hasil penelitian, yaitu wayang potehi dan wayang kulit Cina-Jawa. Penelitian ini belum selesai, walau dimulai sejak tahun 2000. Saat ini, saya dan kawan-kawan dari Program Studi Jawa sedang menyelesaikan penelitian tentang Deskripsi Naskah-naskah Cina-Jawa yang tersebar di berbagai perpustakaan. Yaitu FIB-UI (Depok), PNRI (Jakarta), PDS HB Jassin (Jakarta), Museum Sonobudoyo (Yogyakarta), Taman Siswa (Yogyakarta), Puro Paku Alaman (Yogyakarta), Rekso Pustaka (Solo), Radya Pustaka (Solo), Tan Khoen Swie (Kediri), Museum Mpu Tantular (Surabaya), Universitas Leiden (Belanda), Berlin (Jerman).
2. Wayang Cina
Lebih dari sekedar budayanya yang telah berusia ribuan tahun, diaspora masyarakat Cina ke berbagai belahan dunia adalah salah satu unsur yang membuat kelompok masyarakat ini dikenal di pelosok dunia. Seperti telah dibahas pada bab terdahulu, salah satu hasil akulturasi dan asimilasi budaya Cina yang berhasil dilahirkan di tanah Jawa adalah wayang. Salah satu faktor yang memperlancar proses tersebut adalah terdapatnya persamaan nilai-nilai sosial budaya di antara dua atau lebih suku bangsa yang berbeda latar belakang kebudayaannya. Dalam asimilasi, inti yang terpenting adalah penggabungan golongan-golongan yang berbeda latar belakang kebudayaannya menjadi kebulatan sosiologis dan budaya6.
Masyarakat Tiongkok pun sebenarnya mengenal pertunjukan wayang. Ada 3 jenis wayang di Tiongkok yan dikenal oleh masyarakat. Yaitu wayang golek, wayang kulit dan marionet. Wayang golek adalah boneka dengan kepala dan tubuh terbuat dari kayu dan dibalut pakaian yang berwarna-warni7. Wayang kulit adalah boneka wayang yang diukir dari kulit kerbau berbentuk tokoh-tokoh tertentu dan deberi warna-warna8. Marionet adalah teater boneka seperti halnya wayang golek. Namun, ukuran boneka marionet lebih kecil dari wayang golek dan dimainkan dengan cara menggerakkan benang yang diikatkan pada jari-jari sang dalang (dimainkan oleh 3-4 orang)9. Di Jawa, jenis wayang yang dikenal oleh masyarakat cukup banyak, antara lain wayang kulit purwa, wayang gedhog, wayang klithik/krucil, wayang golek Sunda, wayang topeng, wayang revolusi , dan lain sebagainya. Berkaitan dengan asimilasi budaya Cina dan Jawa, dalam dunia pewayangan telah berkembang 2 jenis wayang, yaitu wayang Potehi dan wayang kulit Cina-Jawa Yogyakarta. Bagi sebagian masyarakat Tionghoa, pertunjukan wayang ini berfungsi sebagai hiburan, pendidikan dan kritik sosial, selain juga sarat dengan fungsi ritual. Dalam fungsinya sebagai sarana ritual, masyarakat Tionghoa menyampaikan segala hal yang berhubungan dengan Sang Pencipta, seperti pengaduan gagal usaha, ungkapan rasa syukur, penderitaan dan kegembiraan hidup melalui pertunjukan wayang, baik Potehi maupun wayang kulit. Pementasan wayang Potehi sebagai pementasan ritual tidak membutuhkan penonton karena ditujukan kepada Yang Kuasa. Bahkan seringkali sebuah pagelaran wayang dilaksanakan tanpa penonton. Berikut penjelasan dari kedua jenis wayang tersebut.
3. Wayang Potehi
Kata Potehi berasal dari kata Poo berarti kain, Tay (kantong), Hie (wayang). Secara lengkap istilah Po Te Hi memiliki arti wayang kantong atau boneka kantong (lihat gambar). Cara memainkannya adalah dengan memasukkan jari tangan ke dalam kantong kain dan menggerakkannya sesuai dengan jalannya cerita. Jumlah orang yang memainkan boneka ini ada 2 orang, masing-masing memegang 2 boneka. Dari kedua orang tersebut, satu orang adalah dalang inti, dan satu orang lagi asisten dalang. Dalang inti bertugas menyampaikan kisah atau lakon wayang. Sementara asisten dalang bertugas membantu dalang inti menampilkan tokoh-tokoh sesuai cerita. Pertunjukan wayang Po Te Hi ini dibawakan secara serial. Ada kisah yang setelah tiga bulan disampaikan baru selesai secara keseluruhan. Umumnya, wayang ini digelar pada pukul 15.00 hingga 17.00 dan pukul 19.00 hingga 21.00. Lakon yang disampaikan pada masing-masing waktu berbeda. Misalnya, pada waktu siang digelar lakon Sie Bing Kwie (Kuda Wasiat), dan pada waktu malam lakon Ngoho Peng See (Lima Harimau Sakti).
Menurut dalang Thio Tiong Gie10 alias Teguh Candra Irawan (72 tahun), asal-usul wayang Potehi berasal dari kreatifitas 5 orang narapidana yang divonis mati pada masa dinasti Tsang Tian. Dari ke-5 orang tersebut, hanya satu orang yang tetap tabah, sementara 4 orang lainnya merasa sedih. Si tabah tadi berpendapat bahwa sebaiknya jangan memikirkan kematian saja, lebih baik bersenang-senang. Kemudian mereka membuat alat musik dari barang-barang yang ada. Misalnya tutup panci menjadi kecrek/gembreng, boneka dari sapu tangan. Mereka pun berhasil menciptakan sutu pertunjukan boneka dengan musik yang indah, yang mengisahkan kehebatan raja. Keberhasilan mereka didengar oleh raja, yang kemudian meminta mereka bermain di istana. Mereka pun dibebaskan dari hukuman mati, karena berhasil menghibur raja. Wayang Potehi ini lahir pertama kali di provinsi Hokkian. Lakon-lakon wayang Potehi yang sering dipentaskan adalah Sin Jin Kwie, Hong Kiam Cun Ciu, Cun Hun Cauw Kok, Poei Sie Giok, Loo Thong Sauw Pak. Lakon-lakon ini sebetulnya mirip dengan lakon kethoprak yang dikenal oleh masyarakat Jawa.11 Semisal, tokoh Lie Sie Bien adalah Prabu Lisan Puro, Sie Jin Kwie adalah Joko Sudiro, kerajaan Thai Toy Tong merupakan kerajaan Tanjung Anom, pangeran Thia Kauw Kiem adalah Pangeran Dono Wilopo, Jendral Ut Thi Kyong adalah Jendral Utoro.
Musik wayang Potehi terdiri dari gembreng besar (Toa Loo), rebab (Hian Na), kayu (Piak Ko), suling (Bien Siauw), gembreng kecil (Siauw Loo), gendang (Tong Ko), slompret (Thua Jwee). Ke-7 alat musik tersebut dimainkan oleh 3 orang pemain musik (satu orang memainkan 2 atau 3 alat musik). Wayang ini dimainkan dalam sebuah panggung (seperti panggung boneka). Di tempat yang agak luas, dibuat panggung lengkap dengan atap (seperti bedeng). Di sisi depan dibuatkan panggung kecil tempat boneka-boneka dimainkan. Dalang dan asisten dalang memainkan boneka sambil duduk. Mereka tidak perlu mengenakan pakaian khusus, seperti beskap (pakaian Jawa untuk laki-laki). Mereka boleh berkaos oblong atau bertelanjang dada. Tidak ada orang yang akan melihat mereka. Yang penting adalah cara mereka memainkan boneka hingga tampak hidup, dan suara.
Selama 32 tahun, wayang Potehi menghilang akibat larangan Pemerintah Orde Baru. Selama itu wayang Potehi hanya bisa diam menunggu dan tak bisa dipentaskan. Sesuai Inpres Nomor 14 Tahun 1967, tidak dibenarkan melaksanakan ibadah yang berbau leluhur (Cina) secara mencolok, tetapi boleh dilaksanakan secara intern di lingkungan sendiri. Hingga saat ini, Thio Tiong Gie adalah satu-satunya dalang keturunan Cina-Jawa yang masih terus giat dalam pagelaran wayang Potehi. Selain dia, dalang Po Te Hi lainnya adalah orang-orang Jawa, termasuk pemain musiknya. Mereka berasal dari Malang, Blitar, Semarang, di mana banyak terdapat kelenteng/rumah ibadah Cina. Antara lain, Sukar Mudjiono, Mulyanto, Pardi, Edi, Slamet yang setia melayani umat di klenteng Tri Darma Hong Tiek Hian (Surabaya). Mereka sedang mengkader dalang muda, Budi dan Agus. Para pemusik yang terlibat di sini adalah Cina Peranakan Jawa, Ping Chuan, Bing Bing, Bun Bien, serta Bun Jiang.12
Pertunjukan wayang Potehi berfungsi sebagai sarana ritual untuk memuja roh para leluhur. Ketika wayang ini digelar di Klenteng, sebetulnya mereka bermain untuk para dewa dan roh leluhur. Mereka tidak terlalu memperdulikan ada penonton atau tidak. Mereka akan terus bermain hingga cerita lakon yang telah dipilih selesai. Pertunjukan wayang Potehi mendapat bayaran sebesar Rp 7.000.000,00 (tujuh juta rupiah) untuk dalang, asisten dalang, pemain musik dan transpor pulang pergi dari kota asal mereka ke tempat tujuan. Setiap kali pertunjukan (sore dan malam) mereka mendapat bayaran sebesar Rp 700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah). Jumlah uang yang terkumpul akan mempengaruhi jumlah hari pagelaran. Makin banyak uang terkumpul, makin lama pagelaran wayang Potehi berlangsung (bisa mencapai 30 hari).
Eksistensi wayang Potehi ini tak terlepas dari peran-serta para pendekar seni wayang yang semuanya ‘wong Jawa’. Mudah-mudahan di masa reformasi ini, pemerintah yang berkuasa tidak melakukan pencekalan terhadap ekspresi berkesenian, seperti yang terjadi pada masa lalu.
4. Wayang Kulit Cina-Jawa Yogyakarta
Di Yogyakarta, pada tahun 1925 sampai dengan sekitar 1967, dikenal sebuah seni pertunjukan wayang kulit Cina-Jawa atau wayang thithi. Kata thithi berasal dari suara alat musik yang terbuat dari kayu berlubang yang jika dipukul akan mengeluarkan suara thek...thek...thek. Di telinga orang Jawa, suara gemerincing kepyak terdengar seperti suara thi...thi...thi. Lakon atau cerita yang dimainkan adalah mitos dan legenda negeri Tiongkok. Menurut Seltman, penulisan lakon wayang Cina-Jawa dilakukan oleh Gan Thwang Sing sendiri.13 Ia adalah seorang dalang yang sangat piawai dan ahli di bidangnya. Karena ia menulis sendiri lakon cerita wayangnya sekaligus memainkannya. Buku-buku lakon tersebut ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa. Lakon-lakon ini bersumber dari folklor Cina kuna. Gan Thwan Sing memperoleh pengetahuan tersebut dari kakeknya tatkala ia masih muda belia. Lakon/kisah yang dimaksud misalnya Thig Jing Nga Ha Ping She : Rabenipun raja Thig Jing (Pernikahan Raja Tig Jing).
Nama-nama para tokoh lakon, negara, kerajaan, kadipaten, kahyangan, dan lain-lainnya ditulis menurut nama-nama aslinya (Hokkian). Akan tetapi istilah-istilah kepangkatan, jabatan, gelar, dan lain-lain, sebagian besar mempergunakan istilah-istilah Jawa. Seperti : narendra, pangeran, patih, adipati, bupati, tumenggung, senapati, pandhita, brahmana, radhyan, dyah, abdi, prajurit.
Buku lakon ini diawali dengan lokasi adegan (misalnya kejadian di kahyangan). Dilanjutkan dengan nama-nama tokoh wayang, dan diakhiri dengan uraian kisahnya. Dalam pelaksanaannya, baik janturan, suluk maupun kandha, seluruhnya menggunakan idiom-idiom pedalangan jawa.
Sejak wafatnya, seni pertunjukan wayang kulit Cina-Jawa tidak lagi dikenal orang. Putra satu-satunya, Gani Lukito, mengaku tidak memiliki kemampuan mendalang seperti ayahnya.14 Istri dari Gani Lukito, yaitu Lie Kwie Nio, mengatakan bahwa suaminya lebih senang bermain musik biola ketimbang mendalang.15 Dalang wayang Potehi dari Semarang, Thio Tiong Gie mengatakan bahwa dia tidak pernah melihat atau mendengar pertunjukan wayang tersebut.16 Peninggalan seni dan budaya bernilai tinggi ini masih dapat disaksikan di Yogyakarta (satu set wayang kulit), Berlin (Jerman, teks lakon wayang) dan Affenberg-Salem (Jerman, satu set wayang). Ketiga tempat ini menjadi monumen bagi kelangsungan sebuah tradisi kesenian wayang. Menurut Seltman, Gan Thwan Sing membuat sendiri wayang kulit Cina tersebut (bahasa Jawa : menatah wayang) dari kulit kerbau dan mewarnainya sesuai dengan karakter tokoh seperti halnya tokoh wayang kulit Jawa. Ia pun menulis sendiri cerita-cerita lakon wayang kulit Cina-Jawa dalam bahasa dan aksara Jawa.17 Ditambahkan oleh Seltmann bahwa ketika memasuki Perang Dunia II, di mana harga-harga membumbung tinggi, termasuk harga kulit kerbau, Gan Thwan Sing mengganti bahan kulit kerbau itu dengan karton tebal. Kemudian ia membuat wayang tersebut dengan bahan kertas karton. Menurut pengakuan Seltmann, hasilnya luar biasa bagusnya, kualitasnya sama dengan wayang dari kulit kerbau. Koleksi ini sekarang berada di Affenberg-Salem (Jerman) menjadi koleksi Dr. Walter Angst.
Sejak Gan Thwan Sing wafat, naskah-naskah itu tidak pernah dibaca. Menurut keterangan Ny. Lie Kwie Nio, ketika suaminya – Gani Lukito – meninggal (1982), ia membersihkan sebuah peti berisi naskah-naskah lakon wayang milik Gan Thwan Sing. Karena ia tidak bisa membaca aksara Jawa dan merasa tidak bisa memanfaatkannya, ia bersama anak lelakinya membakar naskah-naskah tersebut. 18 Penyesalan nampak pada raut muka beliau, ketika saya katakan bahwa saat ini hasil karya Gan Thwan Sing, baik wayang kulit maupun naskah lakon wayang, menjadi warisan budaya dunia yang sangat berharga dan tinggi nilainya.
Jika pagelaran wayang kulit purwa berfungsi sebagai hiburan dan sarana pendidikan maupun informasi lainnya (politik, sosial, ekonomi, dsb), maka wayang kulit Cina-Jawa pun memiliki fungsi yang sama, selain juga sebagai sarana ritual untuk memuja para dewa dan roh leluhur. Pagelaran wayang ini berlangsung di mana saja, seperti di klenteng (rumah ibadah Kong Hu Cu), rumah penduduk (khususnya bagi mereka yang memiliki hajatan pernikahan, ulang tahun, syukuran).
Seperti umumnya dalang wayang kulit purwa, seorang dalang wayang Cina-Jawa pun harus memiliki kemampuan seperti halnya dalang wayang kulit purwa. Hal ini disebabkan karena teknik pertunjukan wayang Cina-Jawa yang diciptakan oleh Gan Thwan Sing mengikuti pola pertunjukan wayang kulit purwa. Misalnya, para dalang harus mengucapkan mantra sebelum memulai pertunjukan wayang kulit. Selain itu, sang dalang juga harus menguasai gendhing (lagu) atau tembang-tembang Jawa, menguasai cerita, menguasai bahasa Jawa (di lingkungan keraton, masyarakat biasa, dewa, pendeta, raksasa).
Selama hampir empat dasawarsa, Gan Thwan Sing berhasil mendidik empat orang menjadi dalang-dalang wayang Cina-Jawa. Mereka itu adalah : 19
1. Kho Thian Sing atau Mbah Menang, berasal dari kalangan Peranakan Cina-Jawa. Pertunjukan wayang Cina-Jawa yang dibawakan oleh Kho Thian Sing sangat disukai oleh penonton dari kalangan masyarakat Cina.
2. Raden Mas Pardon atau Raden Mas Gondomastuti. Ia adalah seorang seniman dari kalangan bangsawan.
3. Megarsemu, seorang priyayi punggawa kraton.
4. Pawiro Buwang, seorang seniman dari kalangan penduduk biasa.
Keempat dalang tersebut wafat lebih dahulu dari Gan Thwan Sing dan mereka tidak melakukan kaderisasi.
Seperti halnya alat-alat pertunjukan wayang kulit purwa, maka alat-alat pertunjukan wayang Cina-Jawa pun tidak ada bedanya dengan alat-alat pertunjukan wayang kulit purwa.20 Kelir, yaitu tirai atau layar kain putih ukuran 130 x 390 cm yang direntangkan pada dua buah tiang. Kelir buatan Gan Thwan Sing, diberi tulisan dalam bahasa Melayu, terletak di tengah sisi bawah, yang berbunyi : “Terbikin oleh Gan Thwan Sing – Djogja, 27 Nov. 1942”. Selain itu, Kambi Kelir, Kotak, Cempala, Kepyak, Blencong, Sapit Blencong, Gedebog.
Tata cara pertunjukan wayang Cina-Jawa tidak berbeda dengan wayang kulit purwa, yang terbagi dalam tiga pembabakan. Yaitu :21
1. Babak awal, pertunjukan diiringi dengan gendhing-gendhing pathet nem.
2. Babak pertengahan, dalang memberi isyarat kepada para pemusik (niyaga) agar sejenak membunyikan gendhing lindur dan disusul dengan gendhing pathet sanga.
3. Babak akhir, pertunjukan diiringi dengan gendhing pathet manyura. Sebagai penutup, iringan musik gamelan menyajikan gendhing ayak-ayakan pamungkas.
Waktu pertunjukan berlangsung selama enam sampai tujuh jam, dapat digelar pada waktu malam dan siang hari. Pada malam hari, biasanya dimulai pukul 21.30 sampai pukul 04.30. Pertunjukan selama 6-7 jam tidaklah mutlak. Jika dikehendaki, masa pertunjukan dapat diperpendek menjadi empat hingga lima jam saja.
Berbeda dengan wayang kulit purwa, yang memiliki adegan banyolan (punakawan : Semar, Gareng, Petruk, Bagong), pada mulanya dalam pertunjukan wayang Cina-Jawa ini tidak dikenal adegan tersebut. Hal ini disebabkan karena tradisi Cina memang tidak mengenal tokoh-tokoh punakawan. Sebagai gantinya, GTS menghentikan jalannya pertunjukan untuk memberi waktu istirahat sang dalang. Masa istirahat ini ditandai dengan ditancapkannya seorang tokoh berbusana petugas keamanan membawa papan pengumuman yang memuat tulisan berbahasa Melayu, beraksara Latin : “Istirahat 10 menit”.22
Pada perkembangan selanjutnya, Gan Thwan Sing menciptakan tokoh-tokoh mirip punakawan, yang diberi busana dan tata rambut bercorak Cina klasik, kecuali Semar. Tokoh Semar sengaja tidak diciptakan karena Gan Thwan Sing memahami makna tokoh Semar bagi orang Jawa. Tokoh Semar adalah lambang kemuliaan bagi orang Jawa.
Untuk mengiringi pertunjukan wayang ini, maka digunakanlah musik gamelan seperti halnya wayang kulit purwa. Biasanya digunakan seperangkat gamelan dengan tangga nada slendro dan pelog. Perihal tembang atau gending-gending yang mengiringi wayang ini masih diperlukan penelitian tersendiri yang berkaitan dengan rekonstruksi pertunjukan wayang kulit Cina-Jawa.
Saya belum melakukan penelitian terhadap tokoh-tokoh wayang Cina-Jawa. Dari segi fisik atau wanda wayang, tokoh-tokoh ini dibedakan dari warna yang ditampilkan. Tinggi rata-rata tokoh wayang tersebut antara 60 hingga 70 cm. Demikian pula penjelasan Dr. F. Seltmann, tokoh-tokoh wayang Cina-Jawa ini terdiri dari dewa-dewi, siluman, pendeta, raja dan permaisuri, bangsawan, kasim, para pembantu raja/mentri-mentri, prajurit, dayang-dayang, perampok, binatang (macan, singa, naga, kuda), gunungan.23
Dr. Walter Angst yang tinggal di Affenberg-Salem-Bodensee (Jerman Selatan) memiliki satu set wayang kulit ini. Beliau membelinya dari istri Dr. F. Seltmann pada tahun 1998, satu tahun setelah Dr. F. Seltmann meninggal dunia (1997). Dalam wawancara dengan Dr. Walter Angst, dikatakan bahwa ada sekitar 300 tokoh WCJ terdiri dari tokoh manusia, binatang, senjata, dan lain-lain.24 Beliau telah melakukan pencatatan ke-300 tokoh wayang tersebut dengan cara sederhana, yaitu mencatatnya dalam kertas-kertas bergaris dan ditulis tangan. Kemudian memberi label setiap tokoh wayang Cina-Jawa sesuai dengan nomer pencatatan.
Menurut Angst, ada perbedaan antara koleksi wayang Cina-Jawa yang dimilikinya dengan koleksi wayang Cina-Jawa Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Pernyataan ini disampaikan ketika beliau melihat gambar-gambar wayang Cina-Jawa dalam buku karya B. Soelarto dan S. Ilmi Albiladiyah (1980). Seperti apa perbedaan tersebut, saya belum dapat menjelaskannya. Masih diperlukan penelitian lanjutan untuk membuktikannya.
5. Naskah-naskah Lakon Wayang Kulit Cina-Jawa
Naskah-naskah wayang kulit Cina-Jawa di Berlin merupakan koleksi pribadi Dr. F. Seltmann di Stuttgart, yang dijual kepada Staatsbibliothek zu Berlin pada tahun 1995. Naskah-naskah ini dibeli oleh Dr. F. Seltmann ketika ia tinggal di Yogyakarta selama 1 tahun (1964-1965?) dari Gan Thwan Sing (1885-1966). Pembelian naskah-naskah ini melengkapi pembelian satu kotak wayang Cina-Jawa milik Gan Thwan Sing. Teks wayang Cina-Jawa Yogyakarta merupakan teks lakon pergelaran wayang. Cerita-ceritanya ditulis dalam bentuk prosa, berbahasa dan beraksara Jawa. Keunikan naskah ini terletak pada aksara Jawa yang diciptakan oleh Gan Thwan Sing untuk menuliskan nama-nama tokoh Cina, bahasa, aksara dan kisahnya.
Keberadaan naskah wayang kulit Cina-Jawa ini bisa dikatakan satu-satunya data utama untuk merekonstruksi pergelaran wayang Cina-Jawa tersebut. Sejauh ini, saya belum lagi menemukan lagi naskah serupa.
Berikut ini daftar naskah Cina-Jawa koleksi Berlin. (Lihat Th. Pigeaud dan Wolfgang Voigt, Javanese and Balinese Manuscripts, Wiesbaden, Franz Steiner Verlag GmbH, 1975, hl. 253-259)
1. 282, I.1/Hs.Or.10539 She Yu, no. 1, dugi Li Shi mBin, Yu the Yu.
2. 282, I.2/ Hs.Or.10539 She Yu, no. 2, dugi in praja Po Cyang Kog.
3. 282, I.3/Hs.Or.10539 She Yu : Ha Ong Ka.
4. 283, II.1/Hs.Or.10540 Shik ñJin Kwi, Tuk Tok, Ching Thang, lolosing Shan Shin Myo.
5. 283, II.2/Hs.Or.10540 Shik ñJin Kwi, Cing Tha (tamat).
6. 284, III.1/Hs.Or.10541 Pakem Hwi Lyong Thwan, Thyong Gong In, no.1.
7. 284, III.2/Hs.Or.10541 Pakem Hwi Lyong, kasambet Sham Eng Lam Tong no.1.
8. 285, IV.1/Hs.Or.10542 Pakem Tig Jing : Nga Ha Ping She, wiwit lolos saking nagri Than Tan Kong.
9. 285, IV.2/Hs.Or.10542 Pakem No. 2 : Sambetyan : Thig Jing : Nga Ha Ping She : ingkang kaping kalih dumugi garwa pangkat nyusul mitulungi.
10. 285, IV.3/Hs.Or.10542 Pakem No. 3 Thig Jing Nga Ha Ping She tamat (Cariyos She Yu Hwi)
11. 286, V.1/Hs.Or.10543 Pakem Hwang Kang No. 1.
12. 286, V.2/Hs.Or.10543 Pakem Hwang Kang No. 2.
13. 286, V.3/Hs.Or.10543 Pakem Hwang Kang No. 3.
14. 286, V.4/Hs.Or.10543 Pakem Hwang Kang No. 4.
15. 287, VI.1/Hs.Or.10544 Hwan Tong No. 1. Lahiripun Li Than dugi Shik Kong, wuru.
16. 287, VI.2/Hs.Or.10544 Hwan Tong No. 2. Rabenipun Sik Kyang, Tha Di, ŋGa Lyong Shan, pecah kitha Yang Cyu; pecah.
17. 287, VI.3/Hs.Or.10544 Hwan Tong No. 3, wiwit mBu Cig Dyan nundhung pra sentana lami : dumugi Li Than nglar jajahan.
18. 287, VI.4/Hs.Or.10544 Hwan Tong No. 1 : Hong KyA ngenger. Ha Hwat dugi ing Li Cyu : enget sing kantaka.
19. 287, VI.5/Hs.Or.10544 Hwan Tong No. 2 : Hong KyA nglalu ing bengawan kasambet Shik Kong miwiti kraman.
20. 287, VI.6/Hs.Or.10544 Hwan Tong : sambetan buku C.3. mBu Shin Su, senapati dumugi Kwan.
21. 287, VI.7/Hs.Or.10544 Hwan Tong No. 7 tamat.
22. 288, VII.1/Hs.Or.10545 No. 1 Shik ñJin Kwi, Cing She dumugi ing kitha Sha Yang Shya.
23. 288, VII.2/Hs.Or.10545 Tanpa Judul.
24. 288, VII.3/Hs.Or.10545 Shik ñJin Kwi, Cing She dumugi ing kitha Ong Ong Kwan.
25. 288, VII.4/Hs.Or.10545 Shik ñJin Kwi, Cing She dumugi ing kitha Kim ŋGu Kwan.
26. 288, VII.5/Hs.Or.10545 Shik ñJin Kwi, Cing She, pecahnya glar Cu Shyan Thin.
27. 288, VII.6/Hs.Or.10545 Pakem Lo Dong Cing Sha Pan.
28. 289, VIII/Hs.Or.10546 Pakem Yong Cong Pong, Bak Jit Cap ñ Jit Thin.
29. 290, IX/Hs.Or.10547 No. 2 (Tamat) Sham Ong Lam Thong.
30. 291, X/Hs.Or.10548 Lo Dong Cing Sha Pag (Tamat).
31. 292, XI/Hs.Or.10549 Pakem O Pek Cyang, jaman ŋGwan Tyau
32. 293, XII/Hs.Or.10550 Thig Jing Ha Ping Lam no.1 (Tamat).
33. 294, XII/Hs.Or.10551 Pakem angka 1, lahiripun Yau Jit Cya dumugi praja She Hai Kog nungkul.
34. 295, XIV/Hs.Or.10552 Pakem Li Shi mBin, Che Ding, kasambet babat ŋGwan Tyao, Ga mBong Kau tulung ibu.
35. 296, XV/Hs.Or.10553 Perang She Lyau.
36. 297, XVI/Hs.Or.10554 Buku O Pek Cwa, wonten namine para shu Hae Lyong Ong
37. 298, XVII/Hs.Or.10555 Pakem Pag Yu, nyariyosaken lelampahnira ..?.. Hyan.
38. 299, XVIII/Hs.Or.10556 tanpa judul.
39. 300, XIX/Hs.Or.10557 tanpa judul.
Sampai sejauh ini, saya belum dapat memberikan gambaran tentang ringkasan cerita dari lakon wayang Cina-Jawa tersebut. Saya masih memerlukan waktu untuk membaca teks tersebut secara keseluruhan. Saat ini, banyak roman Cina klasik yang diterbitkan kembali dan dijual. Misalnya, San Pek Eng Tay (2001), Sam Kok 4 jilid (2002), Sastra Cina Sepintas Lalu (2004). San Pek Eng Tay adalah kisah roman Cina klasik yang cukup dikenal oleh masyarakat luas dan sering dipentaskan oleh teater-teater modern atau tradisional (ketoprak, ludruk).
Umumnya, sebuah buku hasil karya seseorang selalu menyebutkan nama penulisnya. Pada masa kini, sangatlah penting mencantumkan nama pengarang dalam sebuah buku. Hal ini diperkuat dengan Undang-undang Hak Cipta yang dicantumkan dalam penerbitan sebuah buku. Namun tidak demikian halnya dengan naskah-naskah kuno.
Dalam sebuah naskah, nama pengarang dan tanggal penyusunan atau penyalinan dapat ditemukan dalam kolofon. Umumnya, kolofon terdapat di bagian awal teks atau di bagian akhir teks. Para pengarang atau pujangga sastra mencantumkan nama mereka secara jelas atau dalam bentuk sandi-asma25 dan tanggal penulisan atau penyalinan dalam bentuk candra sengkala.26 Karya sastra pada zaman itu lebih banyak dinikmati dan hidup di lingkungan kraton. Raja memerintahkan para pujangga sastra untuk menuliskan sesuatu yang berkaitan dengan kejayaannya, pendidikan moral, kisah perjalanan raja ke desa-desa, dan sebagainya. Oleh sebab itu, beberapa naskah Jawa di abad ke-17 sampai abad ke-18 masih menuliskan manggala pada awal teks.
Pada naskah wayang Cina-Jawa ini tidak ditemukan sama sekali nama pengarang atau penyalinnya, baik dalam bentuk sandi-asma atau dalam manggala sekalipun. Tahun penulisannya pun tidak tercantum secara jelas maupun tersirat dalam bentuk candra sengkala. Menurut keterangan B. Soelarto dan S. Ilmi Albiladiyah (1980/1981), penulis teks lakon wayang Cina-Jawa tersebut adalah sang pencipta wayang Cina-Jawa itu sendiri, yaitu Gan Thwan Sing. Berikut ini kutipan yang menunjukkan bahwa teks wayang Cina-Jawa adalah hasil ciptaan Gan Thwan Sing.
“...Konsepsinya dimatangkan secara kreatif dengan penulisan beberapa buku lakon (pakem = bahasa Jawa) yang mengikuti pola buku lakon wayang kulit Jawa gaya Mataraman dan ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa ... Pada waktu yang bersamaan, Gan Thwan Sing berhasil menyelesaikan beberapa judul buku lakon yang dalam istilah pedalangan disebut pakem. Ditulis dalam bahasa Jawa dengan aksara Jawa. Susunan buku lakon, mengikuti pola pakem wayang kulit Jawa.”27
Berdasarkan keterangan tersebut dapat dipastikan naskah wayang kulit Cina-Jawa ini ditulis oleh Gan Thwan sing sendiri pada awal tahun 1900-an. Tahun 1925 wayang Cina-Jawa ciptaannya semakin populer. Dalam wawancara dengan Lie Kwie Nio (79 tahun ) menantu Gan Thwan Sing, dikatakan bahwa naskah-naskah lakon WCJ tersebut memang ditulis sendiri oleh Gan Thwan Sing semasa hidupnya.
Gan Thwan Sing lahir di Jatinom pada tahun 1885 dan wafat tahun 1966. Ayahnya bernama Gan Ing Kwat. Sejak muda belia, ia hidup bersama kakeknya, yang masih Cina totok dan sangat memegang tradisi Cina. Ia mendapat pengetahuan mengenai bahasa dan aksara Cina serta cerita legenda Cina dari kakeknya. Ia hafal bentuk-bentuk dan wajah tokoh legenda Cina yang dilihatnya secara berulang kali dalam buku-buku milik kakeknya. Pergaulannya dengan penduduk kampung menjadikannya merasa lebih akrab dengan kehidupan masyarakat pribumi. Seperti halnya anak-anak pribumi, ia menggemari pertunjukkan wayang kulit yang digelar semalam suntuk.
Pada awal abad ke-20, Gan Thwan Sing pindah ke Yogyakarta. Berbeda dengan teman sebayanya dari golongan Cina Peranakan yang memilih dunia dagang, maka ia lebih menyenangi dunia seni pertunjukkan. Di Yogyakarta, ia mengembangkan bakatnya di dunia seni pertunjukkan dengan belajar seni pedalangan dan musik karawitan. Sikapnya yang luwes membawanya ke dalam pergaulan yang luas dengan berbagai golongan masyarakat. Ia berhasil menjadi artis sandiwara dalam suatu organisasi teater amatir yang diusahakan oleh kalangan Cina Peranakan di Yogyakarta. Dalam kehidupannya sebagai seorang artis sandiwara, ia tetap meluangkan waktu untuk mempelajari seni pedalangan gaya Yogyakarta. Tatkala ia merasa pengetahuannya tentang seni pedalangan sudah cukup, lahirlah gagasannya untuk menciptakan suatu bentuk baru wayang kulit.
Gagasan tersebut merupakan perpaduan serasi dari dua latar belakang budaya yang berbeda, yaitu Cina dan Jawa. Legenda Cina digunakan sebagai materi cerita atau lakon wayang. Sementara tata cara pertunjukkan wayang Jawa digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan legenda Cina. Konsep perkawinan dua budaya yang berbeda ini dituangkan dengan menulis lakon-lakon wayang Jawa gaya Mataraman. Teks-teks lakon wayang Cina-Jawa tersebut ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa. Lakon-lakon itu digubah dari khasanah folklor Cina kuno yang populer dalam masyarakat Cina perantauan. Setelah menyelesaikan penulisan beberapa buah buku lakon, ia mulai membuat disain-disain dari tokoh-tokoh setiap lakon untuk kemudian dibuat wayang dalam dua dimensi.
6. Bahasa Jawa
Naskah wayang Cina-Jawa ini menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar. Bahasa Jawa yang digunakan dalam teks wayang Cina-Jawa ini bukan bahasa ‘indah’ atau bahasa sastra, seperti halnya bahasa Jawa yang digunakan oleh para pujangga sastra Jawa seperti Yasadipura atau R. Ng. Ranggawarsita. Bahasa Jawa yang digunakan sangat lugas, singkat dan menggunakan kalimat pendek. Bahasa Jawa dalam teks lakon ini dapat dikatakan sebagai bahasa Jawa yang khas digunakan oleh masyarakat Cina-Jawa. Contoh :
1. 282, I.2/Hs.Or.10539 Se Yu no.2 dugi Praja Po Cyang Kok
“...No. 50 Yitma nata sih kadherekaken sang 2. Jwi Kag sarta Cu De Wi dugi ing Kwa Teg. Ne Ho Kyo (ogal-agil) wiyang sasak dulu, inggil lebet sasak dulu, katon peteng, ponang wot bunder agondar-gandir tanpa cepengan, mungka pyarsa angetasi sambatira kang samya kacemplung. Ing ngriku akeh kewan kewan ingkang mawa wisa, sawer klabang sabangsanira, sami tatat amemothong jalmi. Sang nata langkung jrih sawangsul sang 2 kathah-kathah gya muntyun. Gya nglar kungigulung: In San sang nata rumaos kadunungan sae marang sang 2 nata dhateng para: Sip Dyan mBing Ong. Jwi Kag nuhun-nuhun mangke nata yen wus dugi ing ngarcapada, yen badhe paring bebingah ing ngriki amung semongka jingga ingkang datan wonten. Sang nata langkung suka nyagahi ...” (hl.1)
“...Swa sin anututu guru sati (?) kawewahan pucuke gunung. Tae San andeprok. Seluman ambuju, Tong Dae Cu, kaboyong, Se Cing: ambrujung prang, kapikut.
No. 106 (Ing guwa) Te Ong: 2 dhawuh Ling Thithi X Sing Sing Kwu, ambet pusaka. Cing Kim Ang Ha La sarta Yang Cang ŋGyog Cing Pag. Yen kaundag wus sumahur, ing kupun manjing ing ala. Gya sinumpet saha menetut asmanya. Te Gyang Li Long Kun, ŋGa Kong duka dhateng A te Sig dhanyange sragunung nanken digdah wangsul tobot kang munggweng angge. ŋGa Kong gya mawujud Lo Sin Nyin (Sin Syan?) amuja. Si Kim Ang Ha La gya minggah wus akeh arga. Te San pinanggih. Sye Ye 2 den iming-iming pusakanira kenging kangge jimat sapir niki sisat kang numethis ing jagat raya. Sang 2 purun angbali ........ pusaka 2 kang den beta nanging kedah kanyatakaken (hl.62).
2. 286, V.2/Hs.Or.10543 Pakem Hwang Kang no.2
“...Ong mBun Sing Tha sigra mundur prapta ing pasanggrahan dhawah kantaka. Sang durma bingung. Sang Natha esmu lingsem tan saget lajeng tindakira. Ko Shan Ong ngaturi wangsul tandek penggalih, gya wangsul dhateng kitha Thing Cyu. Tha Kyun thig matur supados nimbali putra Shi Hu Tyo Ong, Ling Gwan Phang, Ing Shan Se Thong ŋGwan Hu. Gya ngutus prajurit mundhi, Shing Ci, andhawuhaken Li Thong Kong, amundhut putranipun Ling ŋGwan Pang. Kasambet buku angka 3 ...”(1)
“...Ong mBun Sing Tha sigra mundur prapta ing pasanggrahan dhawah kantaka. Sang durma bingung. Sang natha esmu lingsem tan saget lajeng tindakira. Ko San Ong ngaturi wangsul tandek penggalih, gya wangsul dhateng kitha Thing Cyu. Tha Kyun Tig matur supados nimbali putra Si Hu Tyo Ong, Ling Gwan Pang, Ing San Se tong Gwan Hu. Gya ngutus prajurit mundhi. Sing Ci, anhawuhaken Li Tong Kong, amundhut putranipun Ling Gwan Pang. Kasambet buku angka 3.” (64).
3. 288, VII.2/Hs.Or.10545
“Prang rame, Shik Thing Shan Sha Po Thong, mangumpah-umpah. Dyong Kong Kim langkung benter ing manah. Dadi prang campuh. Prang : Tha Shyan Thong x Thyong Lyang Shing. Prang : Shik Kim Lyan x Kim Shyu Shin Sigeg. (1)
“... ambangun turut. Dyang Ko Kim dhateng acingak dene sang putri wus ngrumiyini. Malah-malah wus ngrampungi karya. Gya kadhaupaken saperlu. Sang temanten manjing pura. Pra satriya ondrawina. Shik Ing Lyong, sakelangkung bingah. Sedya ngabenti caos pakurmatan dhateng rama ibu, kang anembe dhaup.” (68)
7. Penutup
Etnis Tionghoa atau Cina telah tinggal di pulau Jawa sejak berabad-abad yang lalu melalui jalur perdagangan dan agama. Sampai akhir abad ke-19, kebanyakan etnis Tionghoa di pulau Jawa berasal dari Provinsi Hokkian (Fujian di Cina Selatan). Orang ‘pribumi’ melihat mereka sebagai orang asing dalam arti bahwa mereka adalah pendatang baru dan tergolong dalam kelompok ras yang lain, dan memeluk agama yang berlainan. Mereka terdiri dari pedagang dan pengrajin atau tukang, dan sejumlah kecil petani. Di zaman dinasti Mancu (Qing), orang Tionghoa yang bermukim di Jawa tidak diizinkan untuk kembali ke Cina. Lama-kelamaan etnis Tionghoa ini membentuk komunitas tersendiri yang dikenal sebagai kelompok peranakan. Saat itu jumlah mereka tidak terlalu banyak, sehingga kaum lelakinya ada yang kawin dengan perempuan pribumi. Keturunan kawin-campur inilah yang menghasilkan masyarakat peranakan. Kadar kawin-campur ini mulai menurun secara perlahan-lahan, karena mereka kawin dengan orang peranakan Tionghoa sendiri. Kelompok terakhir ini tidak lagi menguasai bahasa Cina dan hanya bicara bahasa daerah.
Masyarakat Cina yang berimigrasi ke pulau Jawa tersebut telah melahirkan suatu tradisi dan budaya ‘baru’ yaitu budaya Cina-Jawa sebagai hasil perkawinan antara budaya Cina dan budaya Jawa. Akulturasi dan asimilasi budaya itu tercermin dalam berbagai produk budaya yang dikenal oleh masyarakat, seperti barongsai, motif batik Pekalongan, pakaian kebaya encim, karya sastra, bahasa dan dialek Cina-Jawa di beberapa kota di Jawa.
Pada kenyataannya, budaya akulturasi Cina-Jawa ini tidak sepenuhnya mendapat apresiasi masyarakat. Di tambah lagi peristiwa-peristiwa buruk dalam sejarah perjalanan etnis Cina di Jawa. Misalnya, perlindungan dan perlakuan istimewa terhadap para pedagang Tionghoa dari pemerintah kolonial Belanda dan penguasa kerajaan-kerajaan di Jawa. Pada abad ke-17, orang-orang Cina telah berhasil menguasai jalur perdagangan beras dan kayu jati, sebagai komoditi utama di kerajaan Mataram. Tumenggung Wiraguna, seorang pegawai berpengaruh di akhir masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1646) memperoleh banyak kekuasaan dan kekayaan dari perdagangan tersebut.
Keberadaan etnis Cina di Jawa terjadi sejak berabad-abad yang lalu melalui jalur perdagangan dan agama. Sampai akhir abad ke-19, kebanyakan etnik Tionghoa di Jawa berasal dari Provinsi Hokkian (Fujian di Cina Selatan). Orang ‘pribumi’ melihat mereka sebagai orang asing dalam arti bahwa mereka adalah pendatang baru dan tergolong dalam kelompok ras yang lain, dan memeluk agama yang berlainan. Mereka terdiri dari pedagang dan pengrajin atau tukang, dan sejumlah kecil petani. Di zaman dinasti Mancu (Qing), orang Tionghoa yang bermukim di Jawa tidak diizinkan untuk kembali ke Cina. Lama-kelamaan etnik Tionghoa ini membentuk komunitas tersendiri yang dikenal sebagai kelompok peranakan. Kaum lelakinya ada yang kawin dengan perempuan pribumi. Keturunan kawin-campur inilah yang menghasilkan masyarakat peranakan. Kadar kawin-campur ini mulai menurun secara perlahan-lahan, karena mereka kawin dengan orang peranakan Tionghoa sendiri. Kelompok terakhir ini tidak lagi menguasai bahasa Cina dan hanya bicara bahasa daerah.
Pada hakikatnya, pemerintah Hindia-Belanda dan para penguasa ataupun pengusaha kerajaan-kerajaan Jawa tersebut sangat membutuhkan orang-orang Cina untuk mengembangkan usaha perdagangan mereka. Kondisi ini diperkuat dengan keistimewaan atas administrasi dan hukum di bidang perdagangan yang diberikan kepada orang-orang Cina. Keberpihakan kerajaan Mataram kepada para pedagang dan orang Cina diwujudkan dalam susunan undang-undang hukum tradisional Jawa, yang menetapkan bahwa denda yang dijatuhkan atas pembunuhan orang Cina haruslah dua kali lebih besar dari pada denda yang harus dibayarkan atas membunuh orang Jawa. Dukungan maupun larangan terhadap aktifitas perdagangan orang Cina oleh pemerintah tersebut membawa akibat munculnya’rasa sentimen’ dalam diri orang pribumi. ‘Rasa Sentimen’ tersebut tertanam bertahun-tahun lamanya, khususnya dalam hal perdagangan, yang cukup rawan untuk menyulut terjadinya konflik sosial.
Tahun 1967, pemerintah Orba mengeluarkan berbagai larangan yang menyatakan bahwa segala hal yang berbau Cina dilarang untuk dikaji, diekspos, disiarkan atau pun dimanfaatkan. Berbagai peraturan pemerintah di jaman Soeharto mematikan apresiasi budaya Cina dalam kehidupan sehari-hari. Sesungguhnya, ‘dominasi’ tadi masih berlangsung hingga kini. Hanya saja, saat ini banyak masyakarakat ‘pribumi’ dan etnis Cina dari generasi yang lebih muda telah mengalami suatu proses ‘pendewasaan diri’ karena pengaruh globalisme, sehingga benturan-benturan kepentingan sosial bisa lebih diatasi.
Wujud akulturasi budaya Cina-Jawa telah berlangsung ratusan tahun hingga menghasilkan berbagai karya seni bermutu, seperti seni sastra dan wayang. Karya sastra Cina-Jawa yang ditulis sejak 1880 hingga 1900-an tersebar di berbagai perpustakaan di Depok, Jakarta, Solo, Yogyakarta, Leiden dan Berlin. Jumlah judul sastra Cina-Jawa yang terdata hingga saat ini sekitar 150-an judul, terdiri dari naskah tulisan tangan dan cetak yang dimuat di majalah dan koran-koran berbahasa Jawa. Salah satu data yang menjadi obyek tulisan ini adalah naskah lakon wayang kulit Cina-Jawa koleksi Staatsbibliothek zu Berlin, yang berjumlah 39 naskah tulisan tangan karya Gan Thwan Sing.
Selama ini, golongan etnis Tionghoa di Asia Tenggara telah dicap sebagai ‘minoritas dagang’, seakan-akan mereka tidak mempunyai budaya ataupun sastra. Sesungguhnya hal ini menyesatkan, karena orang-orang Tionghoa ini tidak saja memiliki karya-karya sastranya sendiri dalam bahasa Tiongkok, tetapi juga dalam bahasa-bahasa setempat. Di Jawa, umpamanya, karya-karya sastra orang Tionghoa cukup mengesankan. Hal ini teristimewa demikian dalam kaitannya dengan karya-karya mereka dalam bahasa Jawa. Walaupun karya-karya tersebut merupakan karya saduran dari kisah-kisah mite dan legenda Tiongkok yang telah ditulis dalam bahasa Melayu.
Saran-saran
Sejak tahun 2000, di masa pemerintahan Presiden Abdurachman Wahid, segala bentuk larangan menyuarakan pendapat dihapuskan, termasuk larangan yang membatasi gerak etnis Tionghoa. Sejak itu terbukalah berbagai kesempatan bagi warga keturunan Tionghoa untuk menikmati alam demokrasi di Indonesia. Berbagai hasil karya akulturasi budaya Cina di Indonesia dapat dinikmati dan diekpresikan olehsiapa saja secara terbuka. Hanya sayangnya, banyak generasi muda masa kini yang tidak lagi mengenal karya-karya klasik Cina, yang sarat dengan ajaran moral dan kebajikan.
Oleh sebab itu, saat ini adalah kesempatan yang baik untuk melakukan penelitian-penelitian terhadap hasil karya Cina Peranakan. Larangan berkesenian dan berekspresi selama 32 tahun bagi etnis Tionghoa di Indonesia merupakan upaya yang lambat-laun memusnahkan kekayaan budaya dan tradisi mereka, yang juga menjadi bagian dari kekayaan budaya bangsa Indonesia. Akibatnya, pada saat ini tidak mudah untuk mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan budaya Cina-Peranakan. Baik data maupun para informannya sudah beranjak tua. Buku-buku maupun naskah-naskah telah lapuk dimakan usia. Para informannya pun tidak mudah dicari, karena umumnya mereka sudah berusia lanjut atau meninggal. Keadaan ini terjadi pada penelusuran wayang kulit Cina-Jawa, yang sejak wafatnya Gan Thwan Sing tidak ada lagi orang yang tahu bagaimana bentuk pertunjukannya.
Penelitian terhadap naskah-naskah Cina-Jawa pun perlu terus digarap. Alih aksara harus segera dilakukan, mengingat keterbatasan para ahli yang dapat membaca aksara Jawa. Apabila tahap transliterasi ini tidak segera dilakukan, maka berbagai gagasan atau ide yang ada di dalam naskah-naskah tersebut tidak akan diketahui oleh masyarakat luas. Dengan demikian, pemahaman terhadap sebuah peristiwa sejarah peradaban manusia akan lenyap.
Republik Federasi Jerman adalah salah satu negara di dunia yang menyimpan berbagai koleksi naskah nusantara. Sejauh pengetahuan saya, selama ini masyarakat peneliti khusunya para filolog dan sejarahwan, lebih memperhatikan naskah-naskah nusantara koleksi Leiden (Belanda). Namun, sejak saya ‘nyemplung’ dalam penelitian ini, saya berterima kasih kepada Dr. F. Seltmann dan Dr. Walter Angst dari Jerman, yang telah membeli naskah dan wayang kulit Cina-Jawa tersebut. Kondisi data tersebut di Jerman cukup terjamin perawatannya. Karena dengan segala kecanggihan dan kepeduliannya, mereka merawatnya dengan cukup baik. Penelitian naskah dan wayang kulit Cina-Jawa koleksi Jerman tersebut masih terus saya kerjakan, sebelum kita kehilangan data dan informan lebih banyak lagi. Kehilangan ini dapat diartikan musnahnya sebagian kekayaan budaya dunia, yaitu wayang kulit Cina-Jawa. Seperti kita ketahui bersama seni wayang telah ditetapkan sebagai warisan budaya milik dunia pada tahun 2004, dengan diterimanya penghargaan berupa Masterpiece of the Oral dan Intengible Heritage of Humanity dari UNESCO di Paris bulan April 2004.
Depok, September 2004
DWM
Catatan
1 Makalah disajikan dalam Seminar Naskah Kuno Nusantara dengan tema Naskah Kuno Sebagai Perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia di PNRI, Jakarta 12 Oktober 2004.
2 Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Program Studi Jawa. E-mail : mastuti@makara.cso.ui.ac.id
3Selanjutnya baca Pendam Guritno. Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. Penerbit Universitas Indonesia, 1988.
4 J.A. van der Chija. Nederleandsch-Indisch Plakaatoek. Batavia’s Gravenhage, 1889, deel VI (1750-1754), hlm. 110-113, dalam F. Seltmann, “Wayang Titi –Chinesisch es Schattenspiele in Jogjakarta”. RIMA, vol. 10 :1, University of Sidney, Australia, 1976.
5 B. Soelarto dan S. Ilmi Albiladiyah. Wayang Cina-Jawa Yogykarta. Depdikbud, Jakarta, 1980/1981.
6 P.Hariyono. Kultur Jawa dan Cina : Pemahaman Menuju Asimilasi Kultural. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1994.
7 Di Tiongkok, wayang golek ini disebut boneka teater Cina. Tinggi 50-70 cm. Jenis Wayang ini ditemukan di Provinsi Hunan, Sichuan, Shanxi, Guangdong, Jiangsu. (Brosur Chinesisches Puppentheater, Museum Volkerkunde, Dahlem-Berlin). Di Jawa, istilah golek adalah sebutan untuk wayang golek Sunda. Menurut Amir Mertosedono (1990:34) wayang golek ini kemungkinan merupakan perkembangan dari wayang Po Te Hi, semacam sandiwara boneka Cina.
8 Istilah wayng kulit di Tiongkok dan di Jawa tidak ada perbedaan. Di Tiongkok, wayang kulit ini dibuat 2 macam. Yaitu wayang kulit yang hanya bagian kepalanya saja dan wayang kulit seluruh badan. Pertunjukan wayang kulit ini dikenal sejak jaman dinasti Song (960-1278) dan mengalami puncak kejayaan pada jaman dinasti Ming (1368-1644) sampai dinasti Qing (1644-1911). (Brosur Das Chinesische Schattenspiel Des Beijinger (Pekinger) Typs, Museum Volkerkunde, Dahlem-Berlin). Di Jawa, hanya dikenal satu jenis, yaitu wayang kulit seluruh badan.
9 Ruizendaal, Robin Erik. 1999:7. Dikatakannya, jenis wayang ini sangat erat kaitannya dengan kegiatan religius, khususnya di daerah Fujian, dalam rangka memuja para dewa. Marionet di Fujian berkembang sejak tahun 1949.
10 Wawancara pertama berlangsung pada hari Jumat tanggal 19 Mei 2004, di Semarang di rumah tinggal Thio Tiong Gie di daerah gang Lombok (klenteng tertua ke-3 di Semarang, yaitu Thai Kat Shi). Wawancara kedua, hari Jumat tanggal 7 Mei 2004 di vihara Widhi Sakti atau klenteng Bie Hian Kiong yang dibangun tahun 1912 di Sukabumi. Pada saat di Sukabumi, dalang Thio Tiong Gie atau Teguh Candra Irawan, sedang mengadakan pagelaran wayang Po Te Hi selama 20 hari. Saat itu warga Vihara Widhi Sakti sedang memperingati hari ulang tahun leluhur mereka yang bernama Han Tan Kong. Peringatan ini dirayakan setiap tahunnya menurut penanggalan Cina, yang jatuh pada bulan ke-3 tahun Cina.
11 Kethoprak adalah seni teater tradisional Jawa yang mengisahkan cerita kepahlawanan. Kelompok kethoprak yang melakonkan kisah-kisah negeri Tiongkok yang dijawakan adalah kelompok kethoprak Cokro Jio di Yogyakarta.
12 KOMPAS Rabu, 21-01-2004. hl.8
13 F. Seltmann. “Wayang Thithi – Chinesisches Schattenspiel in Jogjakarta”. RIMA, vol. 10. no.1. January – June, 1976. hl. 51-75. Istilah wayang thithi masih perlu dikaji lebih jauh, karena ada yang mengatakan bahwa istilah thithi merupakan sebutan wayang potehi.
14 B. Soelarto dan S. Ilmi Albiladiyah. Jakarta, 1980/1981.
15 Wawancara dengan Ny. Lie Kwie Nio (79 tahun). Pada hari Kamis, 8 April 2004 di rumah Gani Lukito, beralamat di Gedong Tengen I/963 RT 51/13 Jogonegaran, Yogyakarta 55271. Saat ini beliau memiliki usaha jahit-menjahit. Di rumahnya tidak nampak satupun peninggalan wayang kult Cina-Jawa. Dikatakannya pula bahwa kegiatan terakhir suaminya adalah bermain musik biola.
16 Wawancara dengan Thio Tiong Gie (72 tahun) dalang wayang Po Te Hi di Semarang, hari Sabtu, 10 April 2004.
17 Dr. F. Seltman. “Wayang Thithi – Chinesisches Schattenspiel in Jogjakarta”. RIMA, vol.10. no.1. January – June, 1976. hl. 51-75.
18 Wawancara dengan Ny. Lie Kwie Nio (79 tahun) pada hari Kamis, 8 April 2004 di rumah Gani Lukito, di Jogonegaran Yogyakarta.
19 Ibid., 1980 : 30.
20 Ibid., 1980 : 31-32.
21 Ibid., 1980 : 34.
22 Ibid., 1980 : 36.
23 Dr. F. Seltmann. “Wayang Titi – Chinesches Schattenspiel in Jogjakarta.” RIMA, vol. 10, no.1, 1976.
24 Wawancara dengan Dr. Walter Angst dilakukan pada hari Sabtu, tanggal 13 Maret 2004, pukul 11.00-17.00, di rumah beliau di Affenberg-Salem, Bodensee, Jerman Selatan. Dr. Walter Angst adalah seorang kolektor wayang kulit Jawa, wayang golek Sunda, wayang Cirebon, Bali, Lombok, topeng Jawa-Bali. Koleksinya berjumlah sekitar 17.000 buah tokoh wayang. Beliau mulai mengoleksi wayang sejak tahun 1973. Profesi beliau adalah ahli komunikasi binatang, khususnya monyet. Untuk keperluan penelitian ini, saya telah mendapat ijin beliau untuk mengambil gambar tokoh-tokoh wayang Cina-Jawa (lihat lampiran). Tokoh yang difoto meliputi panglima perang, prajurit, dayang/pembantu dan binatang. Museum Wayang Pemda DKI Jakarta mencatat ada 277 tokoh wayang kulit Cina-Jawa. Saat ini sedang dibuat replika ke 277 wayang tersebut untuk nantinya dikoleksi oleh Museum Wayang DKI Jakarta.
25 Sandi-asma adalah usaha menuliskan nama pengarang dalam bait-bait puisi Jawa atau macapat/tembang Jawa. Hal ini sering dilakukan oleh R. Ng. Ronggowarsito.
26 Candra sengkala adalah penulisan angka tahun dalam kata-kata tertentu yang memiliki arti khusus. Misalnya : Nir Sad Asthining Urip = 1860 (Jaka Lodhang), Mulat Siwi Esthinya Sang Mahaprabu = 1812.
27 B. Soelarto dan S. Ilmi Albiladiyah, 1980/1981, hl. 10-11.
Daftar Pustaka
Boachi, Aquasie. “Mededelingen De Chinezen Op Het Eiland Java. BKI, 4de, 1856. HI. 278-301.
Brandes, Dr.J.“Lo Tong een Javaansche Reflex van een Chineeschen Ridder-Roman”. TBG, no. 45, 1902. p. 263-271.
Carey, Dr. Peter. Orang Jawa dan Masyarakat Cina (1755-1825). Translated by Redaksi PA. Jakarta, Pustaka Azet, 1985.
“Chinesische Puppentheater.” Brochure. Museum Volkerkunde, Dahlem (Berlin).
Chung, Lo Kuan. Sam Kok (San Kuo Chi Yen I). Vol. 1&2. Jakarta, Gramedia, 2002.
“Das Chinesische Schattenspiel Des Beijinger (Pekinger).” Brochure. Museum Volkerkunde, Dahelm (Berlin).
Gondomono. “Masyarakat dan Kebudayaan Cina” dalam WACANA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya. Vol. 4, no.1, April 2002.
“Gong Xi Fa Chai : ‘Wong Jawa Nguripi’ Wayang Po Te Hi.” KOMPAS, Rabu, 21 Januari 2004, hl. 8.
Guritno, Pandam. Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. Jakarta, UI Press, 1988.
Hariyono, P. Kultur Jawa dan Cina : Pemahaman Menuju Asimilasi Kultural. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1994.
“Thio Tiong Gie : Kegalauan Dalang Wayang Po Te Hi. KOMPAS, Sabtu, 30 Juni 2001, hl. 12.
Kumar, Ann dan John H. McGlynn. Illuminations : The Writing Traditions of Indonesia. Jakarta, The Lontar Foundation, Weatherhill Inc., New York & Tokyo, 1996.
Lan, Nio Joe. Ed. Sunu Wasono. Sastra Cina Sepintas Lalu. Jakarta, Gramedia, 1965.
Liem Thian Joe. “Tjerita-tjerita Tionghoa dalem bahasa Djawa”. Majalah Mingguan Sin Po, XVI, no. 832, 11 Maret 1939.
Lo Kuan Chung. Sam Kok (San Kuo Chi Yen I). Jilid 1 dan 2. Jakarta, Gramedia, 2002.
Ma Tjoen. Batavia Centrum, Bale Pustaka, 1932.
Marcus, A.S. See Yu (Hsi Yu Chin) : Catatan Perjalanan Ke Barat. Jakarta, Bhuana Ilmu Populer, 1990.
---------. “Sastra Cina-Jawa”. Makalah disajikan di FIB-UI. Depok, Mai, 2004.
---------. Description of Chinese-Javanese Wayang Kulit Manuscripts : Collection of
Staatsbibliothek zu Berlin in Germany (Prelimanary Research of Chinese-Javanese Literature). Research Report sponsored by DAAD. Depok, 2004.
Moens, J.L.Ir. “Een Chineesche Poppenkast en Het Spel van den Linnen Zak.” Overdruk uit JADE no.3, Jrg.XII.
Oetomo, Dede. The Chinese of Pasuruan : their language and identity. Canberra, Department of Linguistics, Research School of Pasific Studies, Australian National University, 1987.
Onghokham. Rakyat dan Negara. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1991.
Pigeaud, Th. Literature of Java. 3 jilid. The Hague, Martinus Nijhoff, 1967.
---------. Javanese and Balinese Manuscripts etc. : Descriptive Catalogue, in
Verzeichnis der Orientalischen Handschriften in Deutschland. Wiesbaden,1975.
Prabowo, Dhanu Priyo. “Cina, Sastra Jawa dan Oei Tjhian Hwat”. Kedaulatan Rakyat, 10 Februari 2002.
Ruizendaal, Robin Erik. Marionette Theatre in Quanzhou. Dissertasi Doctor. Faculty of Social Science, University of Leiden, 1999.
Salmon, Claudine. Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu. Jakarta, Balai Pustaka, 1985.
Seltmann, F. Dr. “Wayang Titi – Chinesisch es Schattenspiele in Jogjakarta”. RIMA, vol. 10 : 1, University of Sidney, Australia, 1976.
Serat Hong Sin. Kaecap saha kawedalaken dening : Pangecapan Sentral Cayudan, Surakarta, ing Tahun 1931.
“Sun Go Kong Menandai Geliat Wayang Po Te Hi.” KOMPAS, Selasa, 11 Maret 2003, hl. 40.
Suryadinata, Leo. Politik Tionghoa Peranakan di Jawa. Jakarta, Sinar Harapan, 1986.
--------. Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia. Jakarta, Gramedia, 1988.
--------. Pribumi Indonesians, The Chinese Minority and China. Singapore, Heinemann Asia, 1992.
“Wayang Po Te Hi sebagai Ungkapan Syukur.” KOMPAS, Jumat, 21 Nopember 2003.
Wibowo, I. (ed). Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Jakarta, Gramedia, 1999.
Sumber Tulisan:
http://www.pnri.go.id/Lists/List%20Surat%20Kabar%20dan%20Majalah/Attachments/28/Dwi%20Woro%20R.%20Mastuti%20(2005)%20Wayang%20Cina%20Di%20Jawa.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar