Selasa, 04 Mei 2010

Berjualan Tanah-Air

Almanak menunjuk angka 1627 M. Seorang pedagang asal Newport membawa sebuah naskah beraksara Sunda Kuno ke Inggris, kampung halamannya. Andrew James, saudagar itu, bertujuan berlayar ke Pulau Jawa awalnya untuk memborong rempah-rempah, kemungkinan besar lada. Di suatu tempat—entah di mana—ia “menemukan” sebuah naskah dari lontar beraksara lokal. Pria itu bungkam bagaimana naskah itu diperoleh: apakah membeli dari seorang pangeran lokal yang butuh biaya besar entah untuk keperluan apa, atau menukarnya dengan seorang pedagang pribumi yang gelap terhadap isi naskah, atau hasil mencuri di sebuah kabuyutan tempat naskah itu ditulis dan disimpan apik.

Kita tak tahu semua tentang itu. Tapi yang pasti, dalam benak Andrew James terbetik kata-kata bahwa ia telah berbuat sesuatu yang membanggakan dirinya dan juga negaranya. Ia tak peduli apakah bangsa yang menghasilkan naskah tersebut kehilangan sesuatu, sebuah karya budaya yang merekam zamannya. Bisa saja ia merasa berjasa telah menyelamatkan karya tulis tersebut karena menganggap bila disimpan terus di tempat aslinya khawatir takkan terurus karena ia tahu betul bangsa tersebut tidak punya perhatian—walau secuil—terhadap hasil budayanya sendiri.

Setiba di Inggris, pedagang itu—mungkin anggota East India Company (EIC)—menyerahkannya ke Perpustakaan Bodleian di Oxford. Naskah yang kemudian diberi judul Bujangga Manik itu pun terlupakan selama tiba abad, tersimpan membisu di museum yang jauh dari tanah di mana naskah itu ditulis. Baru pada 1968, seorang peneliti sastra-budaya Sunda asal Belanda yang bernama Jacobus Noorduyn, meneliti naskah kuno tersebut. Berpuluh-puluh tahun ia abdikan intelektualitasnya dengan menggumuli Bujangga Manik. Setelah berjuang keras, hadirlah artikel singkatnya yang bertajuk “Bujangga Manik Journeys through Java: Topographical Data from an Old Sundanese Source”. Dunia pun tercengang!

Dunia internasional makin diteguhkan bahwa sesungguhnya bangsa Indonesia (pernah) punya peradaban yang aduhai dalam suatu masa tertentu. Penemuan-penemuan artefak-artefak budaya seperti candi, prasasti, arca, dan naskah kuno di berbagai titik di Jawa dan Sumatra pada abad ke-18 dan ke-19 membuat para peneliti Belanda berdecak kagum dalam hati. Bagi mereka dan orang Barat, benda tersebut haruslah dipelihara, dilestarikan, dan disimpan di museum bila sudah tak memungkinkan terpancang di lokasi asalnya. Maka, berbondong-bondonglah artefak-artefak yang mudah dijinjing hingga yang harus diangkat banyak orang, diangkut ke negeri mereka; dan orang-orang pribumi tak pernah protes akan hal tersebut. Kini yang tersedia di museum-museum Indonesia hanya duplikatnya. Itu pun masih untung.

Beruntung? Ya, sebutlah begitu—walau tetap menyedihkan. Karena awalnya oleh peneliti-peneliti Baratlah, candi-candi di Jawa dan Sumatra direkonstruksi, dibentuk kembali mendekati wujud aslinya. Bangsa kita sendiri hanya bisa menceritakan cerita-cerita mitologis yang melatarbelakangi pembangunan bangunan-bangunan tersebut seraya menonton mereka menata ulang wujud asal bangunan tersebut—tanpa bisa ikut campur karena tak ada pengetahuan cukup pada orang pribumi untuk itu. Orang pribumi hanya bisa mengikuti instruktur para peneliti itu agar tak keliru, misalnya, meletakkan bata atau batu kali di badan candi yang tengah digarap.

Penemuan-penemuan artefak-artefak yang tertimbun tanah atau sudah runtuh berserakan tersebut, di sisi lain, memperlihatkan kepada kita bahwa nenek moyang kita pun tak pernah menyimpan perhatian kepada benda-benda purbakala tersebut, baik pihak pejabat kerajaan maupun rakyatnya. Yang mereka urus hanya bangunan yang ada hubungan keagamaan dengan mereka; bila benda purba tersebut bertentangan dengan keyakinannya niscaya benda budaya bersangkutan luput dan dilupakan.

Sejak merdeka 1945 hingga kini tercatat, banyak benda arkeologis yang ditemukan, semua berasal dari zaman prasejarah dan sejarah kuno. Namun, makin banyak ditemukan artefak-artefak kuno, bangsa Indonesia makin tak mengerti filsafat dan semangat yang terpendar-tak terlihat dari benda purbakala itu. Kita masih ingat bagaimana Borobudur dibom, Menteri Agama menggali situs Batutulis yang diangap menyimpan harta karun, hingga pemalsuan arca dari masa Hindu-Buddha. Apa gerangan yang harus dilabelkan pada bangsa seperti itu?

Tahun 1992, UNESCO memiliki sebuah program mulia, yaitu Memory of the World (MOW). Program ini dicanangkan setelah disadari penting dan wajibnya umat manusia melestarikan dokumen-dokumen budaya di berbagai pelosok dunia. Indonesia sendiri menjadi bagian dalam MOW baru pada 2006, dengan dibentuknya Komite Nasional MOW. Komite ini setidaknya telah mendaftarkan tiga karya agung (master piece) tinggalan bangsa Indonesia, yaitu Nagarakretagama, I La Galigo, dan Mak Yong. Kabar terakhir, komite tersebut tengah mengusahakan Babad Diponegoro untuk dijadikan bagian Memory of the World.

Antara 2004-2006, Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga asal Muatan Kapal Tenggelam (BMKT), telah melakukan eksplorasi pengangkatan benda-benda arkelogis di perairan Cirebon, Laut Jawa. Hasilnya: 271.381 keping artefak yang ditemukan, berasal dari kapal yang tenggelam dari masa Dinasti Tang abad ke-10! Artefak-artefak itu berupa keramik, perhiasan emas, perak, gelas, kristal peninggalan Dinasti Fatimid (909-1711), dan sejumlah batu mulia lainnya. Sebuah penemuan yang membanggakan!

Namun, kini santer berita bahwa benda-benda purba tersebut akan dilelang oleh pemerintah, dalam hal ini oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad. Benda-benda tersebut akan dilelang pada 5 Mei nanti, dan berharap uang hasil pelelangan bisa menambah kas negara. Diperkirakan, negara akan memeroleh sekitar 1 triliyun atau 100 juta dolar AS dari pelelangan tersebut. Dan dari 271.381 keping yang ditemukan BMKT, yang telah disediakan untuk museum-museum di Indonesia hanya 991 keping. Fadel menyatakan, eksplorasi bawah laut tersebut telah sesuai dengan prosedur, dan hasil pelelangannya akan dibagi dua dengan perusahaan yang melakukan eksplorasi bawah laut tersebut, yakni PT Paradigma Putra Sejahtera Adi Agung. Rencana pelelangan tersebut disetujui oleh anggota DPR dari Komisi X Fraksi-Partai Demokrat, Sholeh Soe’aidi, yang mengatakan bahwa benda arkeologis yang berada di bawa laut boleh dijual sementara yang di darat tidak. Arkeolog maritim dari Universitas Indonesia, Heriyanti, tak keberatan dengan rencana tersebut karena, menurutnya, pemerintah belum mampu menyediakan tempat untuk menyimpan semua temuan artefak tersebut, dan juga museum tak memerlukan semua temuan tersebut untuk disimpan dan dipertontonkan seluruhnya, cukup sebagian saja. Sementara itu, anggota Dewan dari Komisi IV Fraksi PPP, Wan Abu Bakar, menilai sebaliknya, bahwa temuan-temuan tersebut harus dikembalikan kepada museum, tak boleh dijual.

Survei yang dilakukan Panitia Nasional BMKT pada 2008 baru menemukan tiga situs bawah laut. Padahal menurut hasil penelitian terhadap dokumen Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang selesai tahun 2004, di perairan Indonesia terdapat sekitar 274 situs bawah laut. Juga, dari penelitian terhadap dokumen lain dari Belanda, Portugis, Cina, dan negara lainnya pada 2005 diberitakan, Indonesia memiliki sekitar 460 situs arkeologi bawah air. Dan selain perairan Cirebon, Indonesia banyak memiliki situs arkeologi bawah laut, di antarnya: Karang Keliputan dan Pulau Buaya (Riau), Kepulauan Seribu (Jakarta), Batu Hitam (Belitung), dan Kalimantan Barat, seperti yang diungkapkan mantan Nunus Supardi, Direktur Purbakala Ditjen Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Mengetahui rencana pelelangan tersebut, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) mempertanyakannya karena diduga melanggar Konvensi Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air. Dan anehnya, pemerintah Indonesia belum meratifikasi konvensi itu, dengan begitu merasa tak melanggar aturan apa pun.

Kita, sebagai warga negara yang sebetulnya berhak ikut campur dalam urusan negara, tentu dikejutkan oleh perilaku pemerintah itu. Kita pasti tertunduk malu melihat bahwa yang dilindungi pemerintah hanya yang terdapat di darat sementara yang bertebaran di bawah laut dikesampingkan. Ini makin memperjelas bahwa bangsa ini telah hancur secara mental dan psikologis. Kasus Bank Century, pertikaian internal di tubuh Kepolisian, kasus Gayus, peristiwa sengketa makam Mbah Priok, hingga hingga keruwetan lalu lintas jalan raya, memperlihatkan kehancuran di berbagai sistem: moneter, pertahanan-keamanan, ekonomi, dan sosial-politik. Krisis tersebut makin diperkeruh oleh kehancuran di ranah budaya dan intelektualitas. Pelelangan benda sejarah dan budaya tersebut sama dengan (maaf agak keras) pelacuran harga diri bangsa, pelelangan identitas bangsa.

Di sini, kita juga wajib malu kepada Thomas Stamford Raffles, yang karena “kecintaan” yang begitu besar kepada Nusantara khususnya Pulau Jawa menulis buku dua jilid setebal kitab suci, History of Java. Ia dengan tekun melakukan pendokumentasian terhadap segala sesuatu yang berbau lokal—hingga cara-cara bermain catur ala Jawa abad ke-19 pun ia tulis dengan detail. Dan kita, kita sendiri yang hidup di tanah ini, malah menelantarkan begitu saja apa-apa yang pernah dan ada di tanah dan air Indonesia, bahkan menukarnya dengan nilai nominal. Kita pun lupa bahwa naskah Bujangga Manik yang belum ada salinannya itu sampai kini masih berada di Oxford, belum diserahkan kepada pemerintah kita yang paling berhak menyimpannya. Ataukah pemerintah Inggris punya kekhawatiran bila naskah tersebut di simpan di sini maka nasibnya akan merana karena pemerintah Indonesia pasti melelangnya diam-diam?

Hanya untuk mengisi kas negara, pemerintah melelang apa yang seharusnya disimpan tertib—bukan diuangkan. Sangat aneh bila pemerintah ketakutan tak punya tempat cukup untuk menyimpan artefak-artefak itu. Kenapa juga pemerintah tak segera mengesahkan Konvensi Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air? Lantas, bila kekayaan perairan sebagai sebuah nilai bangsa telah diperjualbelikan dengan angka-angka oleh pemerintahnya sendiri, apakah masih ada tempat tersisa yang patut kita sebut sebagai “tanah-air”?
Bila sekiranya jadi dilelang, sangat mungkin negara-negara lain, mungkin Cina, Portugis, Belanda, atau Inggris, akan dengan senang hati membelinya, lalu dalam hati berkata:

Lihatlah bangsa yang menyedihkan itu! Saking miskinnya, mereka melelang apa saja yang sepatutnya mereka jaga dan pelihara di kamarnya sebagai perabotan yang membuat rumah mereka indah dan artistik. Setelah perabotan habis, mereka pasti akan sewa-sewakan kamar-kamarnya. Setelah kamar-kamar penuh tersewa, mereka akan kontrakkan rumah itu. Dan kalau terdesak sekali, mereka akan menjual rumah itu, atau mungkin kemudian anak-anak gadisnya. Yang tetap mereka pertahankan adalah anggapan mereka sendiri bahwa setidaknya mereka masih punya sesuatu yang bisa disebut rumah sendiri—walau mereka sudah tak lagi menginjakkan kaki di rumah itu!


Salam Nusantara!

Tidak ada komentar: